Hola!
Karya ini diupload ulang dengan beberapa bagian yang diubah.
Selamat membaca!
Hari yang cerah untuk memulai petualangan baru. Barangkali itulah yang Michelle pikirkan sehingga gadis itu meneleponnya berkali-kali sejak pagi—hanya untuk mendorongnya keluar, menghadiri sebuah pertemuan. Katanya, sudah diatur sedemikian rupa.
“Sumpah, kalau sampai zonk, lo bakal gue gantung di pohon Flamboyan depan kantor redaksi.” Kayanara mengomel pada Michelle melalui sambungan telepon. Gadis itu masih memandunya dari belahan bumi yang lain, memastikan dirinya tidak punya alasan untuk mangkir dari pertemuan.
“Lo udah lihat fotonya, kan? Ganteng gila! Lagian, sebagai freelance writer yang doyan ngubek-ngubek isi dunia, nggak susah buat lo nyari tahu tentang background si Janu. Semua tentang dia ada di internet, terpampang nyata kayak buku cerita yang bisa dibaca sama siapa aja.” Di seberang, Michelle merepet. Nadanya mirip emak-emak yang sedang berjuang menawar cabai di pasar.
“Siapa tahu dia ternyata bau badan?” celetuk Kayanara asal.
“Nggak mungkin, lah! Kalaupun iya, pasti udah ramai gosipnya di sosial media!”
Kayanara berhenti melangkah. Kepalanya terangkat, menatap bangunan kafe dua lantai tempatnya akan bertemu dengan lelaki kenalan Michelle. Namanya Atma Janu Sukmajaya, duda anak dua pemilik perusahaan entertainment terbesar di Indonesia: Dash Entertainment.
Bangunan kafe itu didominasi kaca, membuat Kayanara bisa mengintip sedikit kondisi di dalamnya. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat seorang pria duduk sendirian di meja dekat jendela. Dari kejauhan, pria itu sudah tampak menawan. Setelan kasual yang dikenakan mampu menyamarkan usia aslinya yang hampir kepala lima.
“Pokoknya, kalau sampai zonk, gue bakal bikin perhitungan sama lo.” Dia mengancam, masih sambil memperhatikan Janu yang tampak sibuk dengan tab di tangan.
“Nggak akan zonk, Kay. Ko Daniel nggak mungkin kasih yang zonk ke lo. Sekali aja deh, percaya sama gue.”
Kayanara menghela napas rendah. “Ya, ya. Kita lihat aja nanti.” Pungkasnya. Terlalu malas mendebat Michelle lebih jauh karena gadis itu selalu punya seribu satu alibi.
Telepon baru diputus ketika seseorang tiba-tiba saja menabrak Kayanara dari belakang, membuat ponsel yang masih menempel di telinganya terlempar sebelum akhirnya mendarat mengenaskan di aspal.
“God!” Kayanara memekik heboh. Serabutan tangannya terulur menyambar benda pipih malang itu dan segera mengecek kondisinya. Dia berdecak sebal tatkala menemukan bagian layarnya retak seperti habis diketuk palu kuat-kuat. Beruntung sudah sempat dipasang screen protector yang cukup tebal. Kalau tidak, bisa repot urusan.
Selesai dengan urusan ponsel, Kayanara beralih menatap nyalang si pelaku penabrakan. Seorang pemuda sekitar usia 20-an berdiri congkak di depannya. Wajahnya datar, penampilannya urakan—celana jeans robek-robek, jaket belel, dan kaus hitam dengan motif sablon yang norak.
“Lain kali hati-hati, dong! Nggak lihat ada orang segede ini?” ocehnya.
“Bukan salah gue. Lo yang berdiri di tengah jalan.” Si pemuda menyahut santai. Seketika, dua tanduk iblis berwarna merah muncul di kedua sisi kepala Kayanara.
“Bukan salah lo? Gimana bisa itu bukan salah lo? Jelas-jelas gue lagi diem aja dan lo tahu-tahu nabrak gue sampai bikin hape gue jatuh!” semprotnya. Seraya mengacungkan ponsel yang retak untuk menunjuk-nunjuk wajah tengil si pemuda.
Yang lebih menyebalkannya lagi, si pemuda sama sekali tidak tampak terusik. Padahal Kayanara sudah mencak-mencak, garang pol seperti bisa menelannya hidup-hidup tetapi, si pemuda masih saja memasang wajah datar dan malah mengedik abai.
“Keriput lo tuh di mana-mana. Saran gue, kurang-kurangin deh marah-marah.” Enteng sekali mulutnya mencibir. Sehabis itu pun, pemuda berambut ikal kecokelatan itu berbalik dan melenggang pergi begitu saja. Meninggalkan Kayanara dengan bibir terbuka lebar—cengo.
“Yak! Dasar bocah zaman sekarang, nggak ada sopan-sopannya sama orang tua!” teriak Kayanara kesetanan ketika si pemuda sudah terlampau jauh pergi.
“Gue tandain muka lo, ya! Awas kalau kalau sampai kita ketemu lagi, bakal gue kasih pelajaran biar ngerti tata krama!” kutuknya sungguh-sungguh.
God, kalau sudah begini, apanya yang cerah? Kayanara merasa harinya baru saja berubah mendung, dirundung awan kelabu.
...🌼🌼🌼🌼🌼
...
Setelah melalui drama menyebalkan dengan si pemuda tidak sopan, Kayanara akhirnya bisa menampakkan diri di depan Janu. Tak sulit baginya untuk menyetel senyum karier demi membangun image yang baik pada pertemuan pertama mereka hari ini. Walaupun sebenarnya, dia juga mau-tidak-mau datang ke sini.
“Silakan duduk.” Janu mempersilakan. Dengan sopan, lelaki itu menarik kursi agar Kayanara bisa duduk.
Kayanara tersenyum tipis. “Terima kasih,” ucapnya, lantas menduduki kursi yang telah Janu siapkan untuknya.
“My pleasure.” Janu menanggapi seraya duduk di kursinya lagi.
Tak lama berselang, seorang pelayan perempuan datang membawakan satu gelas Ice Matcha Latte dan satu gelas Ice Americano. Dengan sigap, Janu membantu pelayanan tadi menggeser gelas Ice Matcha Latte ke depan Kayanara, sementara Ice Americano dia tarik ke hadapannya.
“Terima kasih,” ucap Janu. Si pelayan menyahut singkat sambil tersenyum, lalu pergi undur diri. Meninggalkan meja Janu dan Kayanara yang diliputi hening selama beberapa saat.
Kayanara terpaku sejenak. Menatap gelas Ice Matcha Latte di hadapannya dengan terheran-heran. Pasalnya, tidak banyak yang tahu kalau dirinya suka minuman yang satu itu. Kebanyakan orang tahunya dia suka Caramel Macchiato. Karena kalau pergi hangout, dia lebih suka memesan menu itu.
“Saya tanya sama Michelle apa yang kamu suka, biar nggak salah pesan.”
Informasi yang Janu berikan itu berhasil membuat Kayanara menaikkan lagi pandangannya. Netranya gantian terpaku pada manik kelam sang pria, cukup merasa tersentuh atas effort yang dikeluarkan oleh si duda anak dua.
Iya, iya. Itu bare minimum, Kayanara tahu. Tapi zaman sekarang, susah sekali mencari seseorang yang seniat itu mencari tahu tentang apa yang kita suka dan yang tidak. Sekalinya mau, kadang mereka malah menggunakan hal tersebut untuk membuat kita mengikuti seleranya, kalau dirasa selera kita tidak sesuai dengan standar miliknya.
Maka, bukankah wajar jika Kayanara memberikan apresiasi atas usaha Janu kali ini?
Oke, satu poin plus.
“Thank you, I appreciate it.”
“Not a big deal.” Janu menjawab sambil menyunggingkan senyum. Kemudian, dia lebih dulu menyambut Ice Americano miliknya sebelum mengisyaratkan kepada Kayanara untuk melakukan hal serupa.
Kayanara pun turut mengambil Ice Matcha Latte miliknya. Menyedot cairan hijau yang kata orang-orang rasanya mirip rumput itu secara perlahan. Menyesapi rasa uniknya yang menari-nari di lidah. Meninggalkan sensasi pahit—tapi nikmat—yang muncul di akhir.
Baru saja akan memulai pembicaraan setelah meletakkan kembali gelasnya, Kayanara dan Janu dibuat menoleh serempak ketika sebuah suara datang menyapa dari sisi meja.
“Ayah....”
Bersambung....
"Ayah...."
Sejenak, Kayanara terpaku pada sosok pemuda yang berdiri di sisi meja. Netranya yang kecokelatan menatap dirinya intens. Sorotnya teduh, hampir-hampir membuatnya terbawa arus dan perlahan-lahan tenggelam dalam pesonanya yang lembut.
"Meeting or..."
"Kencan."
Celetukan asal itu praktis membuat kepalanya beralih pada Janu. Entengnya cara om-om itu berbicara membuatnya sedikit tidak siap.
Namun, reaksi yang diberikan oleh si pemuda tadi justru membuat Kayanara kebingungan. Alih-alih mencecar kembali ayahnya dengan rentetan pertanyaan tak berkesudahan, Kayanara malah menemukannya mengangguk mengerti. Bahkan ada terselip senyum tipis menghias wajahnya yang kecil.
"Kamu mau lunch?" Janu bersuara lagi.
Kayanara tidak menggubrisnya dan malah semakin terpaku pada sosok pemuda di sampingnya. Diam-diam, dia mulai mengamati setiap fitur yang ada di wajah pemuda itu dengan saksama. Matanya, hidungnya, bibirnya. Nyaris tidak ada satu pun bagian yang tidak mirip Janu. Sekali lihat pun sudah bisa membuat orang-orang tahu bahwa mereka adalah sepasang ayah dan anak. Fix, tidak perlu tes DNA.
"Iya." Pemuda itu menjawab dengan kepala naik-turun. Kayanara tidak mengerti kenapa, tetapi gerakannya justru terlihat lucu.
"Mau gabung?" tawar Janu.
"Nope." Jawaban itu muncul hanya sedetik setelah Janu tutup mulut. Lugas, tanpa keraguan. Detik berikutnya, kontak mata dengan Kayanara terputus. Anak itu fokus mencurahkan perhatiannya pada Janu. "Aku udah janjian sama Ben, bentar lagi dia datang."
"Okay, then. Have fun."
"Aight, I'll see you at home, Ayah. And see you..." Anak itu menelengkan kepala, seakan menanti Kayanara untuk segera memperkenalkan dirinya.
"Kayanara." Alih-alih sang empunya nama, Janu mewakili bersuara.
Anak itu manggut-manggut lagi. Gerakannya mirip seperti tangan boneka kucing di toko emas yang menarik datangnya pembeli. Lucu sekali! Rasanya Kayanara ingin mengacak rambut hitamnya, lalu memasukkan tubuhnya ke dalam karung untuk dia bawa pulang sekarang juga.
"See you, Kayanara."
Kayanara hanya bisa menganggukkan kepala dan membalas lambaian tangannya. Setelah punggungnya menghilang di belokan, Kayanara kembali menaruh fokus penuh pada Janu.
"Mahen, my son." Janu menjelaskan sebelum Kayanara sempat membuka mulut.
"Bungsu?"
"Sulung. He's 24 already." Janu menjawab santai, lalu terkekeh pelan. Entah apa yang lucu.
"Oh, I thought he was 17."
"Karena baby face, kan?" tebak Janu.
Kayanara mengangguk setuju. Mahen terlihat muda untuk usianya yang sudah kepala dua. Kalau saja Mahen datang menggunakan seragam SMA dan mengaku baru kelas satu pun, Kayanara mungkin akan percaya.
"Kamu emang biasanya sesantai itu sama anak-anak kamu? I mean ... mereka nggak ngereog pas tahu kamu jalan sama cewek?"
Janu tidak lantas menjawab. Lengkungan di bibirnya perlahan sirna, sementara sorot matanya menyiratkan kegusaran. Ragu-ragu menyampaikan isi kepalanya sebab ini adalah pertemuan pertama. Keraguan terlihat jelas dari caranya memutar-mutar gelas di tangannya, seakan tengah mencari keyakinan dari potongan es yang perlahan tenggelam.
Kendati begitu, setelah mengambil napas cukup dalam, dia memutuskan untuk mengatakan semuanya apa adanya. "Sama Mahen selalu oke. Hubungan kami lebih seperti teman daripada anak dan ayah kebanyakan. Tapi kalau si bungsu..." Kalimatnya menggantung.
Kayanara langsung mengangguk paham. Tidak perlu dijelaskan sampai tuntas, dia sudah mengerti. Berbeda dengan Mahen yang chill, si bungsu pasti lebih berisik dan clingy. Bisa jadi tipikal anak manja yang tidak mau dirinya kehilangan spotlight.
"Kalau nggak keberatan, boleh kapan-kapan kamu bawa aku ketemu dia?" Ice Matcha Latte yang mulai mencair kembali Kayanara sedot. Bersamaan dengan diturunkannya kembali gelas, dia menatap Janu dengan sudut bibir yang perlahan naik. "I want to see if I can handle his attitude."
Tadinya, Kayanara masih tidak yakin apakah dia akan bertemu lagi dengan Janu dan membiarkan hubungan mereka berlanjut. Tetapi setelah mendengar soal si bungsu, semangatnya mendadak berkobar. Dia mendapat julukan Si Pengendali Bocah Kematian sejak masih muda dulu, dan cerita singkat soal si bungsu malah membuatnya ingin bertemu.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Mulut cerewet Michelle langsung menyambut ketika Kayanara baru saja masuk ke unit apartemennya. Suaranya yang terlampau cempreng membuat telinga Kayanara panas, sehingga dia terpaksa meninggalkan ponsel di meja makan dan menyalakan loud speaker selagi dirinya berjalan menuju kulkas.
"Oke, kan? Lo sih nggak percaya sama gue!" Dari nada suaranya saja, Kayanara sudah bisa membayangkan betapa congkaknya raut wajah Michelle sekarang. Oh, gadis itu pasti sedang berlagak seperti pahlawan yang telah berhasil menyelamatkan sahabatnya dari bencana jomblo abadi.
"First impression sih, oke. Dia gentle dan mau keluarin effort. Tapi..." Kayanara sengaja menjeda. Sebelum melanjutkan, dia menenggak air mineral yang telah dia pungut dari kulkas. Setelahnya, dia berjalan menuju meja makan, menyambar ponsel dan mematikan loud speaker. "Age-gap kami jauh banget."
"Halah ... umur hanyalah angka, Kay! Yang penting kan orangnya bertanggung jawab. Lihat track record-nya juga gue yakin anak-anaknya behave, kok."
"Yakin amat? Udah pernah ketemu langsung emang?"
"Belum, sih. Tapi kata Ko Daniel anak-anaknya Janu baik, kok, sopan dan rajin ibadah juga."
"Yang sulung sih emang mantep, tapi yang bungsu..."
"Lah, lah, lo udah ketemu sama si sulung? Secepet itu Janu bawa lo ketemu anak-anaknya? Damn, gercep juga si Janu." Michelle heboh sendiri. Belum juga Kayanara dapat kesempatan menjawab, bibirnya sudah merepet lagi. "Terus soal yang bungsu, maksudnya apaan? Anaknya nggak suka sama lo? Tantrum?"
Kayanara menenggak air mineral sekali lagi, meletakkan satu tangannya di pinggang, dan memandang jauh ke depan. Pandangannya menerobos jendela dapur, mengamati perubahan warna langit dari biru menjadi semburat keemasan. "Gue belum ketemu sama si bungsu, tapi kata Janu anaknya agak sulit."
"Sulitnya?"
Bahu Kayanara mengedik—meski tahu Michelle tidak bisa melihatnya. "Dia cuma bilang kalau si bungsu nggak seramah abangnya. Gue nggak nanya lebih lanjut sih, kayaknya si Janu juga kesusahan buat deskripsiin soal anak bungsunya. Mungkin saking nggak ada akhlak-nya?"
"Masa sih? Kata Ko Daniel anaknya dua-duanya baik, kok."
"Baik kalau sama orang pada umumnya kali. Kalau sama pacar bapaknya mungkin enggak?"
"Yah ... terus gimana? Padahal gue udah optimis banget lo sama Janu bisa lanjut. Kalian serasi, tahu!"
Kayanara terdiam cukup lama. Bukan lagi memikirkan soal kecocokan dirinya dengan Janu. Tiba-tiba saja dia malah teringat pada si bocah kemarian yang bertemu dengannya tadi siang. Membayangkan bahwa kelakuan anak bungsu Janu sebelas dua belas dan kepuasan sebesar apa yang akan dia dapatkan jika bisa menaklukkannya.
"Kay?"
"Gue udah minta Janu buat ketemuin gue sama si bungsu. Ya ... siapa tahu bisa gue jinakin."
"Really?" Tidak perlu melihat secara langsung, Kayanara tahu Michelle sedang sangat bersemangat sekarang.
Sebelah bibir Kayanara terangkat sedikit. Senyum jemawa perlahan muncul. Kepercayaan dirinya secara ajaib meningkat. "Iya. Udah lama juga gue nggak handle bocah-bocah kematian."
Bersambung....
Menjelang magrib, Janu baru sampai di rumah karena harus mampir dulu ke kantor untuk mengurus beberapa hal. Hal pertama yang menyambutnya setelah keluar dari mobil adalah si bungsu Narendra yang berdiri di depan pintu utama sambil berkacak pinggang, bibirnya cemberut dan matanya memicing tajam.
Tingkah Naren yang seperti itu sudah biasa. Janu hanya perlu mendekat dan bertanya baik-baik apa kesalahan yang telah dia perbuat sampai si bungsu menjadi murka. Malas susah-susah menebak, karena meskipun dia adalah ayah kandung Naren, pola pikir anak itu tidak pernah begitu mudah untuk bisa dia pahami—seolah ia memang datang dari dunia lain.
“Kenapa berdiri di depan pintu sambil cemberut begitu?” tanyanya segera setelah tiba di depan Naren.
“Ayah dari mana aja? Kenapa baru pulang jam segini?” cecar anak itu balik dengan nada yang ketus.
“Habis dari kantor, ada kerjaan.” Janu menjawab dengan pembawaannya yang tenang.
“Tapi ini weekend, dan kita udah sepakat buat nggak urusin kerjaan pas weekend.” Naren protes. Nadanya melemah, tapi sorot matanya justru semakin menajam.
“Urgent, lagian kamu kan tadi siang juga pergi sama Eric."
“Naren cuma pergi sebentar sama Eric, cuma sampai jam 2 dan sebelum jam 3 udah ada di rumah. Bang Mahen juga pergi sama Bang Ben nggak pulang-pulang, nyebelin! Gara-gara kalian pergi, Naren jadi harus sholat ashar sendirian!”
Oalah... ternyata itu titik permasalahannya. Janu pikir apa.
Kendati kedengarannya sepele, Janu harus akui dia memang bersalah kali ini. Sejak tiga tahun terakhir, dia dan kedua putranya sudah sepakat untuk tidak menyibukkan diri pada saat weekend supaya mereka punya lebih banyak waktu untuk quality time. Kalaupun ada urusan mendadak, mereka sepakat untuk ada di rumah ketika jam-jam sholat supaya bisa berjamaah. Dan selama tiga tahun ini pula, Naren selalu jadi yang paling cerewet agar tidak ada yang melanggar kesepakatannya.
“Iya, maafin Ayah, ya. Nah, berhubung bentar lagi magrib, kita masuk yuk. Ayah mau bersih-bersih dulu sambil nungguin Bang Mahen pulang, biar bisa magrib berjamaah," bujuk Janu, masih dengan sikap lemah lembutnya yang... beuh, idaman sekali!
“Ayah masuk duluan aja, Naren mau nungguin Bang Mahen di sini.”
“Ya udah.” Janu pasrah, daripada ngambeknya si bungsu makin parah.
Tapi baru selangkah masuk, Janu berhenti lagi. Sebab satu mobil lain baru saja masuk ke pekarangan, lantas dalam waktu singkat telah terparkir rapi di car port. Mahen muncul dari dalam mobil itu, dengan tampang innocent berjalan menuju pintu utama tanpa tahu bahwa bungsu kesayangan mereka tengah merajuk.
Enggan kena semprot untuk yang kedua kali, Janu memilih untuk segera melarikan diri. Kabur meninggalkan Mahen yang langsung menjadi sasaran empuk kemarahan si bungsu.
“Sorry, Bang, adikmu kalau marah serem,” bisiknya entah kepada siapa, lalu lari terbirit-birit ketika suara ocehan Naren semakin keras terdengar.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Selepas isya, Janu dan kedua putranya menghabiskan malam Minggu di ruang keluarga. Anak-anak duduk gelesotan di lantai, asyik bermain game konsol yang suaranya menggelegar melalui speaker. Sementara Janu sendiri hanya mengawasi dari atas sofa, sesekali menegur ketika dirasa teriakan kedua putranya terlalu berisik.
Selagi menunggu anak-anaknya selesai main, Janu iseng membuka second account miliknya di Instagram. Postingan yang muncul pertama kali di beranda adalah milik Kayanara, karena memang hanya akun perempuan itu saja yang dia follow. Postingannya sudah dibuat tiga hari lalu dan Janu juga sudah sempat meninggalkan love di sana.
Kepada tiga ribu followers yang dimiliki, Kayanara sering membagikan momen kesehariannya. Tapi, tidak seperti orang kebanyakan yang gemar menunjukkan hal-hal fancy, perempuan itu malah lebih banyak mengunggah soal humanity.
Dalam beberapa unggahan, Janu menemukan perempuan itu sedang berada di panti asuhan, menjadi volunteer untuk membantu menghibur anak-anak yang kesepian. Dalam beberapa unggahan lain, Kayanara terlihat begitu menikmati momen ketika dirinya melakukan street feeding. Semua kegiatan yang dia bagikan adalah hal-hal positif, dan walaupun masih ada satu atau dua orang yang nyinyir mengatai dirinya sedang pencitraan, Janu tidak pernah menemukan Kayanara membalas.
“She’s wonderful. Selama hidup, gue baru pertama kali ketemu sama cewek yang setangguh dia.” Ucapan Daniel, salah satu koleganya, kembali terngiang di kepala sehingga membuat Janu stop menggulir layar ponsel.
Janu bertemu Daniel terakhir kali sebulan lalu di dalam sebuah acara peresmian gedung studio baru miliknya. Dan pada kesempatan kali itu, Daniel untuk pertama kalinya menunjukkan foto Kayanara kepada dirinya. Kepadanya, Daniel juga bercerita banyak. Soal latar belakang Kayanara dan bagaimana perempuan itu berjuang keras agar bisa bertahan hidup sendirian.
Kedua orang tuanya direnggut dalam sebuah bencana alam, jasadnya kembali dalam keadaan tidak utuh dan anehnya, Kayanara tidak menangis ataupun meratap. Semuanya dia terima dengan lapang dada. Seakan sudah mengerti bahwa protes pun tidak akan ada gunanya.
Sosok Kayanara yang diceritakan oleh Daniel telah berhasil merebut atensi Janu. Jadi ketika Michelle, sepupu Daniel yang juga merupakan sahabat dekat Kayanara, menawarkan diri untuk menjembatani pertemuannya dengan perempuan itu, Janu langsung setuju.
Sudah empat tahun sejak dia tidak lagi mencoba dekat dengan perempuan lain setelah menduda cukup lama. Selain karena Naren yang selalu tantrum dan membuat para perempuan yang sedang dekat dengannya mundur teratur, Janu juga mulai menyadari bahwa para perempuan itu memang hanya tertarik pada dirinya, tidak kepada anak-anaknya.
Sekarang, dia hanya bisa berharap semoga Kayanara berbeda.
Janu mengembuskan napas cukup keras, tanpa sadar telah menarik perhatian kedua putranya hingga salah satu di antara mereka bangkit dari duduknya. Ketika tiba-tiba satu kepala muncul menghalangi layar ponselnya, barulah Janu tergagap dan buru-buru memencet tombol power yang seketika membuat layar ponselnya padam.
“Nggak boleh ngintip, nggak sopan.” Peringatnya pada Naren, yang serta-merta membuat anak itu menatap penuh curiga.
“Siapa yang ngintip, orang Naren mau ambil tisu!” kilah anak itu, sambil menarik beberapa lembar tisu dari meja kaca di depan Janu. Dengan langkah yang mengentak-entak, bocah itu kemudian kembali ke depan layar televisi. Tisu hasil jarahan dia jatuhkan begitu saja di atas pangkuan Mahen, dan sang abang hanya bisa pasrah menerima perlakuan adiknya yang semena-mena. Daripada bocahnya tantrum lagi, pikirnya.
Sementara di atas sofa, Janu merasakan jantungnya berdegup begitu kencang. Sensasinya seperti dia baru saja ketahuan menonton film dewasa, oleh anaknya yang masih balita. Deg-degan parah!
Naren dan Mahen sudah kembali asyik bermain game, dan Janu memanfaatkan momen itu untuk kabur—lagi. Mengendap-endap ia menuju kamarnya, berusaha tidak berisik agak si bungsu tidak memekik heboh seperti sedang kesurupan reog.
Sukses! Dia berhasil masuk ke dalam kamar tanpa terdengar suara amukan.
Eits... itu menurutnya. Sebab tanpa ia tahu, Naren telah lebih dulu sadar akan tindakan mengendap-endap bak maling yang dia lakukan. Janu lupa kalau bungsunya itu berjiwa detektif, jadi dia pasti tidak akan menyangka ketika Naren berbisik pelan kepada Mahen sambil melirik tajam ke arah pintu kamarnya.
“Kayaknya Ayah udah mulai dekat sama cewek lagi, deh."
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!