"Maksud Anda apa, Pak? Aku harus masuk ke perusahaan itu dan menyamar sebagai karyawan di sana, begitu?" tanya Irene, polisi wanita ditugaskan di Satuan Tugas Khusus.
"Mau gimana lagi, Ren. Cuma kamu yang cocok menyamar dan kerja di sana," jawab Herman, ketua satuan tugas khusus yang bertekad menangkap mafia sindikat penyeludupan barang-barang mewah bernilai miliaran rupiah. "Kan tau sendiri, susah kali nangkap orang-orang gak bermoral itu. Mereka licin kayak belut!"
"Tapi, Pak. Kalau aku kerja di sana, itu sama aja aku masuk sarang harimau. Kalau mereka sampe tahu aku polisi, bisa habis nyawaku di tangan mereka," jawab Irene dengan ragu.
"Hey, apa kamu lupa sama sumpah yang kamu ucapkan saat bergabung dengan kepolisian? Kamu siap ditempatkan di manapun, siap menerpa bahaya demi negara kita tercinta," tegas Herman penuh penekanan. "Lagian, kamu gak bakalan ketahuan, Ren. Kamu berbaur aja sama mereka, terutama si Alex. Kamu deketin dia karena si Alex itu target utama kita. Kalau kamu gak mau, mendingan kamu keluar aja dari kepolisian!"
Wanita yang mengenakan pakaian biasa itu nampak bingung. Tugas yang diberikan kepadanya terbilang cukup berbahaya. PT Mandiri Global Trade (MGD) adalah perusahaan ekspor impor yang dicurigai menyeludupkan barang-barang bernilai miliaran ke Indonesia melalui jalur darat, laut bahkan udara.
Mereka bisa lolos tanpa terendus pihak berwajib. Permainan mereka begitu rapi, seperti yang diucapkan oleh Herman, mereka begitu licin seperti belut. Satgas mereka ditugaskan untuk menangkap mafia sindikat penyeludupan barang-barang dari luar negri dan perusahaan itu adalah target utama mereka.
"Udah, gak usah banyak mikir. Besok akan ada perekrutan karyawan baru di perusahaan itu, kamu dateng dan melamar ke sana. Pastikan kamu diterima bagaimana pun caranya. Paham?" tegas Herman penuh penekanan.
Irene tidak memiliki pilihan lain selain menganggukkan kepala, patuh kepada perintah sang ketua. Meskipun nyawa yang menjadi taruhannya, ia harus siap sesuai dengan sumpah yang pernah ia ucapkan saat bergabung di satgas kepolisian.
"Saya akan siapkan KTP dan identitas baru buat kamu. Besok sebelum ke sana, kamu ambil dulu berkas identitas baru kamu ke sini, oke?"
Irene kembali mengangguk patuh.
"O iya, kamu gak perlu mengganti nama biar mereka gak curiga."
"Siap, Pak," jawab Irene dengan tegas.
***
Setelah menerima tugas dari sang atasan, Irene dipulangkan lebih cepat dari biasanya guna mempersiapkan fisik juga mental sebelum menjalankan tugas berat bahkan nyawa menjadi taruhannya. Wanita itu berjalan di trotoar. Celana jeans yang dipadu padankan dengan kaos oblong berwarna hitam tidak mencerminkan jati dirinya sebagai seorang polisi wanita.
"Akh, sial! Gini amat sih jadi polisi. Gue kira jadi polisi enak, tugasnya cuma nilang pemotor, terus dapet duit," keluhnya, menarik napas panjang-panjang meratapi nasibnya yang malang. "Tuhan, lindungilah hambamu ini!"
Irene berhenti di tepi jalan raya hendak menyebrang, kendaraan beroda empat nampak berlalu lalang hampir memenuhi jalanan. Wanita itu terdiam dengan pikiran melayang, hingga kakinya melangkah menyebrangi jalanan setelah ia rasa cukup aman.
Akan tetapi, sebuah mobil Pajero berwarna hitam tiba-tiba melaju kencang dari arah samping. Irene terkejut, kakinya terhenti dan hampir tertabrak. Tubuhnya pun seketika ambruk terjatuh ke aspal.
"Haa!" teriak Irene, matanya terpejam. Telapak tangannya terasa nyeri setelah terjatuh ke aspal.
Suara gemericit rem yang diinjak secara tiba-tiba terdengar nyaring. Mobil tersebut terhenti tepat di depan Irene yang ketakutan dan histeris. Irene memandang mobil tersebut dengan tajam dan mata memerah.
"Dasar mobil sialan, gak liat apa ada orang yang lagi nyebrang?" gumam Irena, berdiri tegak. Kedua telapak tangannya terasa nyeri bahkan berdarah. "Hey, keluar lo! Mentang-mentang orang kaya, seenak-enaknya aja bawa mobil? Lo pikir jalan ini punya Nenek moyang lo apa?" teriaknya seraya menendang bagian depan mobil tersebut.
Pintu mobil dibuka, seorang pria berbadan besar juga berjas hitam keluar lalu melangkah menghampiri. "Astaga, Mbak. Apa Anda tau berapa harga mobil ini, hah? Kalau sampe lecet, Anda gak bakalan sanggup buat bayar ganti rugi!" bentak pria tersebut
"What? Lo masih mikirin mobil lo? Liat tangan gue," bentak Irene seraya memperlihatkan telapak tangannya yang terluka. "Mobil lo gak lecet, tangan gue yang lecet tau!"
"Anda sendiri yang salah, Mbak. Kenapa nyebrang jalan gak liat-liat? Anda pikir jalanan ini punya Nenek moyang Anda apa?"
"Sudah cukup!" ucap seorang laki-laki keluar dari dalam mobil yang sama.
Pria berperawakan tinggi, berwajah agak bule dengan jambang tipis di kedua sisi wajahnya. Jas hitam dengan dasi senada membalut tubuh kekarnya terlihat begitu berkarisma.
Pria yang tengah berdebat dengan Irene sontak memundurkan langkahnya dengan kepala menunduk. "Pak Bos," sapanya dengan sopan.
"Sudah cukup, David. Gak usah diperpanjang," ucapnya seraya memandang wajahnya Irene dengan perasaan kagum.
Wanita itu bukan hanya cantik, tapi juga memiliki keberanian. Rambutnya yang pendek sebahu juga pakaian yang dikenakan oleh Irene cukup menggambarkan seperti apa kepribadian wanita itu, tomboi dan tidak mau mengalah, seperti itulah gambaran sifat Irene di mata pria tersebut.
"Saya minta maaf atas kelalaian anak buah saya, Mbak," ucap pria tersebut, ramah. Tatapan matanya tidak beranjak sedikitpun dalam memandang wajah cantik seorang Irene. "Sepertinya Anda terluka. Apa perlu kita ke Rumah Sakit?"
Irene tersenyum sinis seraya memalingkan wajahnya ke arah samping. Tatapan mata pria itu membuatnya tidak nyaman. "Gak usah, gue gak butuh ke Rumah Sakit," jawabnya dengan dingin.
Pria itu tersenyum lebar. "Kalau begitu, apa kamu mau uang konfensasi? Katakan berapa jumlah uang yang kamu minta? Saya akan berikan berapa pun jumlahnya sebagai konfensasi."
Pria tersebut merogoh saku jas hitam yang ia kenakan lalu meraih selembar kartu nama dari dalam sana dan memberikannya kepada Irene. "Ini kartu nama saya. Silahkan hubungi saya kapan pun. Walau bagaimanapun, kamu hampir ketabrak mobil saya. Saya takut kamu kena luka dalam."
Irene menerima kartu nama tersebut dengan ragu-ragu, memandang wajah pria itu saja rasanya benar-benar canggung karena pria berjas hitam itu memiliki karisma yang luar biasa membuat nyalinya seketika ciut. Irene membaca dengan seksama kartu nama yang baru saja ia terima.
"Alex William, Direktur Utama PT Mandiri Global Trade. Ini, 'kan?" batin Irene akhirnya menatap wajah pria bernama Alex tersebut dan kembali berucap dalam hatinya. "Ya Tuhan, kayaknya aku gak perlu susah payah ngelamar di perusahaan dia."
"Baiklah, sekali lagi saya minta maaf atas kejadian ini. Jangan lupa hubungi saya kalau suatu saat nanti kamu membutuhkan bantuan," ucap Alex tersenyum ramah lalu berbalik dan hendak melangkah.
"Tunggu," pinta Irene membuat langkah Alex terhenti lalu kembali memutar badan dan menatap wajahnya. "Aku lagi butuh perkejaan. Apa Anda bisa memberiku kerjaan di perusahaan Anda, Pak Alex?"
Bersambung ....
Alex tersenyum ringan seraya memandang wajah Irene. "Kamu lagi butuh kerjaan?" tanyanya.
"I-iya, Pak Alex. Kebetulan aku baru resign dari pekerjaan aku yang lama," jawab Irene, menggaruk kepalanya sendiri seraya tersenyum cengengesan.
"Hmm ... emangnya, sebelumnya kamu kerja di mana?"
Irene terdiam, menggerakkan matanya ke kiri dan ke kanan merasa bingung dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Alex William. Mustahil jika ia berkata jujur bahwa dirinya adalah polisi wanita di Satgas Khusus, misinya bisa berantakan.
"Eu ... itu, Pak. Anu, aku kerja di Mall Pelita. Karena gajinya kurang cocok, makannya aku resign dari sana," jawab Irene, asal bicara.
"Mall Pelita?" tanya Alex, senyuman di kedua sisi bibirnya semakin mengembang lebar. "Mall itu punya saya juga lho. Astaga! Jadi, gaji di sana kurang memadai, ya."
Irene terkejut, matanya membulat. Sebenarnya, berapa perusahaan yang dimiliki oleh pria berwajah dewasa itu? Jadi, bukan hanya PT MGT saja perusahaan milik Alex, salah satu Mall terbesar di kota Jakarta pun berada dibawah naungannya. Irene tersenyum singkat, satu informasi penting berhasil ia dapat. Namun, gadis berusia 25 tahun itu dibuat penasaran, berapa kira-kira jumlah kekayaan yang dimiliki oleh Alex William?
"Waah! Gak kebayang berapa jumlah kekayaan nih orang. Sayangnya, dia mafia sindikat, kalau aja dia dapetin uang dengan cara yang halal dan gak ngelanggar undang-undang, mau deh gue jadi bininya," batin Irene, seraya memandang tubuh Alex dari ujung kaki hingga ujung rambut.
"Kamu kenapa liatin saya kayak gitu?" tanya Alex seketika gugup.
Irene tersenyum dipaksakan seraya menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal. "Ng-nggak ko, Pak. Bapak ganteng mirip CEO-CEO di drama Korea," jawab Irene dengan sedikit candaan.
"Kamu bisa aja," decak Alex dengan wajah memerah. "Eu ... kalau kamu serius pengen kerja di perusahaan saya, kamu dateng besok pagi. Gak usah interview, langsung aja dateng ke ruangan saya. Oke?"
"Anda serius, Pak?"
"Tentu saja saya serius, tapi--" Alex menahan ucapannya seraya menatap tubuh Irene dari ujung kaki hingga ujung rambut.
"Tapi apa, Pak?" tanya Irene, menatap tubuhnya sendiri lalu kembali menatap wajah Alex.
"Saya gak mau kamu dateng dengan pakaian kayak gini, kamu pake baju yang lebih formal dan rapi, pake high hell dan sedikit di make up," jawab Alex.
"Baik, Pak. Aku janji akan dateng ke kantor Anda dengan pakaian yang lebih rapi dan pake make-up," jawab Irene dengan semangat. "Ya, meskipun aku gak terbiasa pake make-up, aku lebih suka kayak gini lebih natural, tapi demi Bapak, aku rela pake make-up asalkan aku bisa kerja di perusahaan bapak."
Alex mengangguk-anggukkan kepala seraya tersenyum ringan. Gadis itu bukan hanya pemberani, tapi juga penuh semangat dan ceria. Terlebih, wajahnya benar-benar polos dan tetap terlihat cantik meski tanpa polesan lipstik yang selalu mewarnai bibir seorang wanita. Diam-diam, Alex mengangumi sosok wanita yang baru pertama kali ia temui itu. Apa mungkin Alex jatuh cinta pada pandangan pertama? Entahlah, hanya Tuhan dan ia sendiri yang tahu pasti.
"O iya, kita belum kenalan. Siapa nama kamu?" tanya Alex, mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
Irene menatap telapak tangan dengan jari-jarinya yang lebar dan kulit sawo matang, ia pun menerima uluran tangan tersebut, berjabat tangan seraya menyebutkan namanya.
"Namaku Irene, Pak Alex. Irene Larasati," jawabnya dengan senyum.
"Baiklah, besok saya tunggu kamu jam delapan pagi di kantor, Iren. Kalau kamu kesulitan menemui saya, kamu langsung aja telpon saya di nomor yang tertera di kartu nama itu," ucap Alex, seraya menunjuk kartu nama yang masih dipegang oleh Irene.
"Baik, Pak. Terima kasih atas bantuannya," jawab Irene tersenyum lebar.
***
Keesokan harinya. Irene Larasati nampak berdiri di depan gedung pencakar langit. Kepalanya mendongak, menatap puncak gedung yang saking tingginya sampai-sampai ia tidak dapat melihat ujungnya. Irene tersenyum kecil, misinya baru saja akan dimulai. Satu doanya, semoga ia selamat sampai misi ini selesai. Irene melangkah hendak memasuki gedung tersebut, tapi seseorang tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dan menahannya.
"Tunggu, Ren," pinta seorang laki-laki, rekan kerjanya di kepolisian.
Irene sontak menahan langkahnya lalu memutar badan dengan terkejut. "Ikbal?" sapanya, matanya membulat. "Lagi ngapain kamu di sini? Astaga, kalau mereka sampe tahu kamu ada di sini, bisa gawat."
"Justru itu, Ren. Kenapa kamu mau dikasih tugas berbahaya kayak gini, heuh? Biar saya aja yang gantiin kamu, ya," ucap Ikbal, pria berusia 30 tahun, berbadan tinggi dan berkulit sawo matang.
"Nggak bisa, Bal. Aku udah terlanjur nyebur, ini tinggal nyelem doang," tolak Irene, seraya melepaskan lingkaran tangan Ikbal.
"Tapi misi ini berbahaya banget, Ren. Nyawa kamu bisa aja melayang. Kalau kamu masuk ke dalem, saya takut kamu gak bisa keluar dalam keadaan hidup," ujar Ikbal, merasa khawatir. "Kalau mereka sampe tau kamu polisi, gimana?"
"Kamu tenang aja, aku gak akan ketahuan ko. Kamu lupa siapa aku? Aku Irene, gadis tomboy yang jago berkelahi. Aku bisa jaga diri ko, oke?" jawab Irene, menepuk pundak Ikbal dengan senyum lebar, lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya yang sempat tertahan.
Ikbal hanya bisa menatap kepergian wanita itu dengan helaan napas panjang. Sudah lama ia memendam perasaan kepada Irene yang memiliki usia lima tahun lebih muda dengannya. Bisa dikatakan, Irene adalah juniornya di satgas kepolisian. Ia tidak ingin wanita yang ia sukai terluka apa lagi kehilangan nyawanya. Dirinya akan tetap melindungi wanita itu dan memantaunya dari kejauhan.
"Jaga diri kamu baik-baik, Ren. Saya gak mau kamu sampe terluka apalagi kehilangan nyawa," gumam Ikbal lalu berbalik dan melangkah meninggalkan tempat itu.
***
30 menit kemudian, Iren berdiri di depan pintu ruangan Presiden Direktur. Matanya nampak menatap tulisan kapital berwarna keemasan bertuliskan ruangan Presdir PT MGT Group. Jantungnya berdetak kencang, telapak tangannya bahkan mulai berkeringat. Irene menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan sebelum akhirnya mengetuk pintu ruangan.
"Masuk!" seru seorang laki-laki dari dalam ruangan, suaranya terdengar samar-samar, tapi penuh wibawa.
Irene membuka pintu lalu melangkah memasuki ruangan tersebut. Alex, yang tengah duduk di kursi kebesarannya seketika berdiri tegak, menatap wajah Irene yang terlihat lebih cantik dengan balutan jas berwarna hitam dan rok A-line pendek di atas lutut, tidak lupa high heels dengan warna senada melengkapi penampilannya dengan make-up tipis dan lipstik berwarna natural menyempurnakan kecantikannya.
Irene melangkah mendekati meja dengan gugup. "Selamat pagi, Pak Alex," sapanya dengan senyum manis, berdiri tepat di depan meja.
"Se-selamat pagi, Iren. Kamu cantik sekali," jawab Alex, pandangan matanya tidak beranjak sedikitpun dalam menatap wajah cantik seorang Irene.
"Akh, Bapak bisa aja," ucap Irene, seraya merapikan rambut pendeknya dengan salah tingkah.
"Oke, kamu udah bisa bekerja mulai hari ini. Kebetulan, posisi sekretaris lagi kosong. Jadi, kamu akan bekerja sebagai sekretaris saya. Oke?"
"What? A-aku jadi sekretaris Anda?"
Bersambung ....
"Anda serius, Pak? A-aku jadi sekretaris Anda?" tanya Irene merasa tidak percaya.
Ia pikir dirinya hanya akan bekerja sebagai karyawan biasa. Sepertinya, Tuhan membukakan jalan yang mulus untuk pekerjaannya. Ia tidak perlu bersusah payah mendekati Alex William karena dirinya akan selalu berada dekatnya sebagai sekretaris.
Alex berdiri tegak lalu melangkah mendekat. "Kenapa? Kamu gak mau jadi sekretaris saya?" tanyanya dengan senyum. "Kebetulan, sekretaris saya baru resign beberapa hari yang lalu dan posisi itu masih kosong. Saya pikir kamu cocok gantiin dia."
"Hmm ... kenapa Anda berpikir kalau saya cocok jadi sekretaris Anda, Pak? Anda belum tau kinerja saya seperti apa," tanya Irene dengan kening dikerutkan.
"Karena kamu cantik."
"Hah?"
"Nggaklah, saya bercanda, Iren. Hmm ... saya udah ngerasa sreg sejak pertama kali ketemu kamu, Iren," ucap Alex, berdiri tepat di samping Irene menyandarkan tubuhnya di ujung meja. "Kamu pemberani, smart, ceria dan--" ucapan Alex tertahan, menoleh dan menatap lekat wajah Irene.
Iren sontak melakukan hal yang sama, tatapan mata mereka pun saling bertemu. Iren salah tingkat, wajah Alex terlihat tampan dan matang membuat jantungnya berdetak kencang.
"Dan apa, Pak Alex?" tanya Irene dengan wajah datar, mencoba menguasai kegugupannya.
"Dan cantik dong, kamu cantik Irene," jawab Alex, matanya tidak beranjak sedikitpun dalam menatap wajah wanita berambut pendek itu.
Irene tersenyum kecil. "Apa kualifikasi untuk menjadi sekretaris Anda itu harus cantik?"
"Tentu saja, sekretaris saya akan menemani saya ke manapun saya pergi, ya dia harus cantik dong," jawab Alex. "Bayangin, kalau saya punya sekretaris yang buruk rupa dan gak enak dipandang, apa kamu pikir saya akan betah lama-lama sama dia? Ngga dong!"
"Baiklah, aku akan bekerja keras buat jadi sekretaris Anda, Pak, dan aku akan dandan setiap hari biar aku selalu keliatan cantik biar Anda betah dekat-dekat sama aku," jawab Irene dengan penuh semangat.
Alex tiba-tiba mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Iren membuat wanita itu sontak memundurkan kepalanya dengan mata membulat.
"Apa kamu lagi berusaha ngegoda saya, Iren?" tanya Alex, tatapan matanya berubah genit.
Iren memundurkan langkahnya dengan jantung berdetak kencang. "Hah? Si-siapa bilang, Pak? Mana berani saya menggoda Anda. Anda dan aku bak langit dan bumi."
"Kenapa?"
Irene terdiam, menggerakkan bola matanya ke kiri dan ke kanan dengan perasaan bingung. Alex bukan hanya tampan dan berkarisma, tapi juga pandai mengobrak abrik perasaan wanita. Irene dibuat gugup karenanya.
"Kenapa kamu diem aja?" tanya Alex, lalu melangkah menuju kursi kebesarannya kemudian duduk menyandarkan punggungnya di sana.
"Eu ... hari ini hari pertama aku kerja 'kan, Pak? Boleh aku mulai kerja sekarang? Kayaknya, banyak hal yang harus aku pelajari," ucap Irene seraya menggaruk kepalanya sendiri juga tersenyum cengengesan.
"Baiklah, tempat kerja kamu ada luar. Meja kosong di luar itu milik kamu, oke?"
Irene mengangguk. "Siap, Pak."
"Selamat berkerja, Iren," ucap Alex, seraya mengulurkan telapak tangannya untuk bersalaman.
Irene menerima uluran tangan Alex tanpa ragu lalu menjabat tangannya penuh keyakinan.
"Anda udah masuk perangkapku, Pak Alex. Aku akan cari bukti sebanyak-banyaknya dan menjebloskan Anda ke penjara untuk mempertanggung jawabnya perbuatan Anda," batin Irene, menatap lekat wajah Alex diiringi dengan senyuman kecil.
***
Irene duduk di kursi sekretaris, meskipun ia tidak memiliki pengalaman dibidang tersebut, tapi ia yakin mampu menjalankan pekerjaan itu dengan baik. Tujuannya hanya satu yaitu, menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang perusahaan bernama PT MGT yang bergerak di bidang ekspor impor, mencari bukti tentang penyeludupan yang dilakukan oleh perusahaan itu.
Irene menatap layar laptop, mencari sumber informasi tentang perusahaan itu. Namun, ia kesulitan menembus fail pribadi perusahaan karena Alex belum memberinya akses tersebut. Berkali-kali mencoba log in, hasilnya tetap gagal.
Sampai akhirnya, seorang pria melangkah di ujung koridor seraya memandang wajahnya dengan tajam. Pria itu adalah supir pribadi sekaligus orang kepercayaan Alex yang waktu itu sempat menabrak Irene.
"Jadi nih cewek beneran kerja di sini?" batin David.
Irene tidak menyadari kedatangannya David. Bahkan ketika David berdiri di depan mejanya pun, tatapan mata Irene tetap fokus kepada layar laptop.
"Akh, sial!" umpatnya, mengalihkan pandangan mata dari layar hingga akhirnya menyadari kehadiran pria itu. "Ka-kamu? Eu ... sejak kapan kamu di sini?" tanya Irene seraya berdiri tegak dengan gugup.
"Sejak tadi," jawab David dingin dan datar.
Irene mengangguk-anggukkan kepala lalu kembali duduk dengan jantung berdetak kencang. Semoga saja pria itu tidak melihat apa yang ia lakukan.
"Tadi kenapa kamu misuh-misuh sendiri?" tanya David masih dengan ekspresi wajah yang sama.
Irene menyentuh telinganya sendiri merasa gugup. "Nggak ko gak apa-apa," jawabnya memaksakan senyum. "Ngomong-ngomong, nama kamu siapa? Kita belum kenalan lho," tanya Irene seraya mengulurkan telapak tangannya untuk bersaman.
Akan tetapi, David sama sekali tidak menanggapi pertanyaan wanita itu. Ia hanya menatap telapak tangannya saja lalu berbalik kemudian mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan sang Presdir dengan wajah dingin.
Irene tersenyum sinis. "Dih, dasar sombong. Orang cuma supir biasa juga," decaknya dengan kesal.
***
Alex sontak menatap ke arah pintu saat melihat David memasuki ruangannya. "Gimana tugas dari saya? Udah beres?" tanyanya.
"Beres, Pak. Wanita itu udah diamankan di tempat yang tak akan ditemukan sama siapapun," jawab David melangkah mendekat lalu berdiri tepat di depan meja.
"Bagus, dia udah tau terlalu banyak. Udah saatnya dia disingkirkan," jawab Alex tersenyum menyeringai.
"O iya, Pak Bos. Wanita yang di luar itu beneran sekretaris baru Anda?" tanya David. "Eu ... saya ngerasa pernah liat dia di suatu tempat, tapi di mana, ya? Saya lupa."
"Kemarin 'kan kamu hampir nabrak dia, Dav. Gimana sih."
"Nggak, bukan itu, Bos. Kayaknya saya pernah liat muka dia sebelumnya, Bos, tapi saya lupa."
David mencoba untuk mengingat. Ia yakin pernah melihat wajah Irene di suatu tempat. Potongan rambutnya pun begitu familiar di otaknya. Sayangnya, ia masih tak mampu mengingat sekeras apapun otaknya berusaha.
"Gimana, kamu udah ingat?" tanya Alex dengan penasaran.
David menggeleng. "Nggak, Bos. Saya gak ingat. Mungkin itu cuma perasaan saya aja," jawabnya dengan helaan napas panjang.
"Hmmm ... baiklah kalau gitu," ucap Alex seraya memutar kursi yang ia duduki ke kiri dan ke kanan. "Saya ada tugas penting buat kamu, Dav."
"Tugas apa, Bos? Saya selalu siap menerima tugas apapun dari Anda."
"Kamu selidiki latar belakang Irene. Di mana rumahnya, orang tuanya, bahkan adik atau kakaknya juga teman-temannya sekalian," titah Alex. "Tapi ingat, jangan sampai Irene tau tentang hal ini. Kamu lakukan serapi mungkin, paham?"
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!