NovelToon NovelToon

Gadis Bar-Bar Mendadak Menikahi Ustadz

Dunia Malam Nayla

Malam itu, Nayla turun dari mobil dengan langkah terhuyung. Bau alkohol masih melekat di tubuhnya, dan matanya yang setengah terpejam menatap kosong ke arah rumah megah yang berdiri di hadapannya. Temannya yang mengantarnya pergi begitu saja setelah memastikan Nayla sampai di rumah dengan selamat.

Begitu ia melangkah masuk, suara derap kaki berat terdengar dari dalam. Ayahnya, Armand Adinata, sudah berdiri di ruang tamu dengan wajah merah padam menahan amarah. Sang ibu, Laras, hanya bisa menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca, seakan tak lagi tahu harus berbuat apa.

“Nayla!” suara lantang sang ayah menggema di ruangan luas itu.

Nayla, yang masih dalam keadaan mabuk, hanya terkekeh kecil, berusaha berjalan dengan santai, tetapi langkahnya oleng. “Papa... kenapa sih marah-marah? Aku kan udah pulang.”

Braak!

Armand meninju meja di depannya, membuat Nayla sedikit tersentak. “Aku sudah cukup sabar, Nayla! Kamu pikir hidup ini cuma pesta dan mabuk-mabukan?! Kamu pikir dengan bolos kuliah dan menghabiskan waktu di klub bisa membuatmu sukses?!”

Nayla mendecakkan lidahnya. “Duh, Papa dramatis banget, deh. Aku cuma bersenang-senang. Apa salahnya?”

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Nayla. Laras menjerit tertahan, sementara Nayla memegangi wajahnya dengan mata terbelalak. Selama ini, ayahnya memang keras, tapi tak pernah sekalipun ia berani mengangkat tangan padanya.

“Besok pagi, kau akan berangkat ke pesantren. Tidak ada diskusi, tidak ada penolakan! Aku tidak akan membiarkan anakku hancur seperti ini!” Armand berkata dengan suara bergetar menahan emosi.

Nayla tertawa sinis, meski matanya mulai memanas. “Oh, jadi ini hukuman Papa? Kirim aku ke pesantren? Supaya aku jadi perempuan baik-baik yang duduk manis pakai hijab dan rajin berdoa? Lucu sekali.”

Namun, kali ini bukan kemarahan yang terpancar dari wajah Armand, melainkan keteguhan. “Kau akan berangkat, titik. Jika kau menolak, aku akan mencabut semua fasilitasmu. Tidak ada mobil, tidak ada kartu kredit, tidak ada uang jajan.”

Nayla terdiam. Ia tahu ayahnya tidak main-main. Laras hanya bisa menunduk, tak berani membela putrinya kali ini.

Dengan hati memberontak, Nayla menyadari bahwa keesokan harinya, hidupnya yang bebas akan berakhir. Ia akan dikirim ke tempat yang paling ia benci: pesantren. Sebuah dunia yang terasa begitu asing baginya.

Dan di sanalah, tanpa ia sadari, takdir mempertemukannya dengan seorang lelaki yang akan mengubah hidupnya Arsyan Al Ghazali.

Nayla menatap ayahnya dengan sorot penuh pemberontakan. “Aku nggak akan pergi ke pesantren! Papa nggak bisa seenaknya ngatur hidupku!” bentaknya, meskipun suaranya terdengar sedikit berat karena efek alkohol.

Armand tak menggubris. Dengan isyarat tangan, beberapa pelayan yang sudah berjaga di belakang segera maju. Nayla membelalakkan mata ketika mereka mendekat, mencoba meraih lengannya.

“Hei! Apa-apaan ini?! Lepasin gue!” Nayla berusaha memberontak, tapi tubuhnya masih lemah akibat mabuk.

“Nona, mohon maaf,” ucap salah satu pelayan dengan suara pelan namun tetap tegas. Mereka membawanya ke lantai atas, menuju kamar tidurnya yang luas.

Begitu tiba di kamar, Nayla masih berusaha melepaskan diri, tetapi dua pelayan perempuan langsung membawanya ke kamar mandi. Tanpa banyak bicara, salah satu dari mereka menyalakan shower air dingin.

Byurrr!

“AAAHH!!” Nayla menjerit ketika air dingin mengguyur tubuhnya. Napasnya memburu, rasa mabuk yang tadi menguasai pikirannya perlahan memudar, digantikan dengan kesadaran yang mulai kembali.

“BERHENTI! BERHENTI, GUE BILANG!!” Nayla meronta, tetapi para pelayan tetap menjalankan perintah.

Di luar kamar mandi, Armand berdiri dengan ekspresi dingin, mendengar suara protes putrinya tanpa menunjukkan sedikit pun rasa iba. Baginya, ini adalah satu-satunya cara agar Nayla sadar dan tidak semakin terjerumus.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti siksaan, akhirnya para pelayan melepaskan Nayla. Tubuhnya menggigil, rambutnya basah kuyup, dan pakaiannya melekat di kulitnya. Matanya menatap penuh kemarahan.

“Aku benci Papa!” Nayla berteriak lantang.

Armand menatapnya tanpa ekspresi. “Bencilah sesukamu. Besok pagi, kau tetap berangkat ke pesantren.”

Tanpa menunggu jawaban, sang ayah berbalik pergi, meninggalkan Nayla yang masih berdiri dengan tubuh gemetar. Kali ini, ia sadar betul—tidak ada jalan keluar.

Pagi itu, Nayla terbangun dengan kepala yang masih terasa berat. Sisa-sisa mabuk semalam membuat tubuhnya lemas, tapi pikirannya sudah jernih—dan dipenuhi dengan satu rencana: melarikan diri.

Tangannya segera meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Dengan cepat, ia menghubungi satu-satunya orang yang bisa menolongnya—Reinaldi.

Nayla: "Ren, please jemput aku sekarang. Papa mau kirim aku ke pesantren! Aku nggak bisa hidup di sana, aku bakal gila!"

Dari seberang telepon, suara Reinaldi terdengar panik. "Pesantren? Serius, Nay? Tenang, gue bakal ke sana sekarang. Tunggu gue!"

Senyum kecil muncul di wajah Nayla. Ya, Reinaldi adalah satu-satunya orang yang mengerti dirinya. Bersamanya, Nayla merasa bebas, lepas dari aturan dan tuntutan keluarga.

Namun, saat ia bersiap untuk keluar dari kamar, jendela dan pintu sudah dijaga ketat oleh para pengawal ayahnya. Tidak ada celah untuk melarikan diri. Nayla menggigit bibir, lalu mengintip dari jendela.

Beberapa menit kemudian, ia melihat mobil sport hitam Reinaldi berhenti di depan gerbang rumah. Cowok itu keluar dengan wajah tegang, menatap rumah megah Nayla yang dijaga begitu banyak orang berseragam hitam.

Nayla segera mengirim pesan.

Nayla: "Ren, lo di mana?"

Reinaldi: "Gue di depan gerbang, tapi nggak bisa masuk. Gila, Nay, ini rumah atau penjara? Pengawalnya banyak banget!"

Nayla mengintip lagi. Beberapa pengawal sudah bergerak mendekati mobil Reinaldi. Lalu, salah satu dari mereka mengetuk kaca jendela mobilnya dengan keras.

Reinaldi menatap mereka dengan waspada, lalu menyalakan mesin mobilnya. Tapi sebelum sempat melakukan apa pun, salah satu pengawal ayah Nayla mendekatinya dengan tatapan tajam.

"Tuan Armand memerintahkan Anda untuk pergi. Jika Anda tidak segera meninggalkan tempat ini, kami akan mengambil tindakan."

Reinaldi mengepalkan tangan di setirnya. Ia tahu, melawan bukan pilihan yang bijak. Setelah mengumpat pelan, ia menatap ke arah jendela kamar Nayla, lalu mengirim pesan terakhir.

Reinaldi: "Maaf, Nay, gue nggak bisa tembus. Lo harus cari cara lain."

Nayla membanting ponselnya ke kasur dengan kesal. Ini gila! Ayahnya benar-benar serius kali ini.

Dan saat pintu kamarnya terbuka, memperlihatkan sosok ayahnya yang berdiri dengan ekspresi dingin, Nayla sadar bahwa dirinya tidak punya pilihan lain.

"Kita berangkat sekarang." Suara ayahnya tegas, tak terbantahkan.

Dengan penuh amarah dan rasa frustrasi, Nayla hanya bisa mengepalkan tangan. Hidupnya yang bebas akan segera berakhir.

Mobil hitam mewah melaju melewati jalanan yang semakin jauh dari hiruk-pikuk kota. Di dalamnya, Nayla duduk dengan wajah masam, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Tidak ada lagi ponsel, kartu kredit, atau akses ke dunia luar. Ayahnya mencabut semuanya. Kini ia hanya seorang gadis biasa tanpa fasilitas mewah.

Di tubuhnya, gamis panjang berwarna krem melekat dengan hijab sederhana yang menutupi rambut panjangnya. Ia merasa seperti orang asing dalam tubuhnya sendiri. Seumur hidup, Nayla tidak pernah memakai pakaian seperti ini.

“Nayla, sudah, jangan cemberut begitu.” Laras, ibunya, mencoba menenangkannya dari samping. Namun, Nayla hanya mendesah kasar dan membuang muka.

“Jangan berharap aku akan betah di tempat itu, Ma. Aku bakal cari cara buat keluar.”

Armand, yang duduk di depan, hanya melirik putrinya dari kaca spion. “Silakan coba. Tapi selama kamu masih anakku, kamu akan tetap di pesantren sampai aku yakin kamu berubah.”

Hari Pertama

Nayla menggertakkan giginya. Tak ada gunanya melawan. Ayahnya selalu menang.

"Dasar pria tua, mentang-mentang berkuasa,anaknya dipaksa buat ngikutin keinginannya, "

Setelah perjalanan panjang, akhirnya mobil berhenti di depan sebuah pesantren besar dengan gerbang besi kokoh. Bangunan bernuansa putih dengan halaman luas dan suasana tenang membuat Nayla merasa semakin tercekik.

Saat ia turun dari mobil, beberapa santri putri yang sedang duduk di taman melirik ke arahnya. Mereka berbisik-bisik, jelas penasaran melihat kedatangan seseorang dengan wajah penuh kemarahan seperti Nayla.

Di depan pintu utama, seorang pria tinggi dengan jubah putih dan sorban berdiri dengan tenang. Tatapan matanya teduh, senyum tipis menghiasi wajahnya yang tampan. Ia terlihat begitu berwibawa, seperti seseorang yang sudah terbiasa dengan dunia dakwah.

“Nayla.” Ayahnya menepuk bahunya, membuatnya menoleh. “Ini Ustadz Al Ghazali. Beliau yang akan membimbingmu di sini.”

Nayla menatap pria itu dari ujung kepala hingga kaki dengan pandangan sinis. Oh, jadi ini orangnya? Seorang ustadz muda yang kemungkinan besar akan mencoba 'menyadarkannya'.

Ustadz Al Ghazali mengangguk sopan. “Assalamu’alaikum, Nayla. Selamat datang di pesantren. InsyaAllah, ini akan menjadi tempat yang baik untukmu.”

Alih-alih menjawab salam, Nayla hanya mendecakkan lidah. “Dengar ya, Ustadz... Saya nggak mau di sini. Jadi jangan buang waktu untuk coba mengubah saya.”

Senyum di wajah Ustadz Al Ghazali tak pudar sedikit pun. Ia hanya menatap Nayla dengan tenang, seolah sudah terbiasa menghadapi santri pembangkang.

“Kamu tidak perlu berubah untuk saya, Nayla. Tapi mungkin suatu hari nanti, kamu akan menemukan alasan untuk berubah.”

Kata-kata itu entah kenapa membuat Nayla terdiam. Namun, ia segera menggelengkan kepala. Tidak! Aku nggak akan terpengaruh!

Namun, tanpa ia sadari, pertemuan ini akan menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya. Dan mungkin, tanpa bisa dicegah, hatinya juga akan tergerak oleh sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Hari-hari pertama di pesantren terasa seperti neraka bagi Nayla. Setiap pagi, ia harus bangun sebelum subuh, sesuatu yang sangat tidak biasa baginya. Tak ada lagi pesta, tak ada klub malam, dan yang lebih parah—tak ada kebebasan.

Namun, ada satu hal yang paling membuatnya kesal: Ustadz Al Ghazali.

Pria itu selalu muncul di setiap kegiatan pesantren. Dengan wajah tenangnya, dengan sorot matanya yang selalu tampak penuh pengertian. Nayla muak melihatnya.

Saat kajian pagi di masjid pesantren, Nayla duduk di barisan belakang dengan wajah bosan. Ustadz Al Ghazali sedang berbicara di depan, suaranya lembut namun berwibawa.

"Hati yang gelisah sering kali bukan karena keadaan sekitar, tapi karena jauhnya kita dari Allah."

Nayla mendengus pelan. Bullshit. Baginya, hidup di pesantren inilah yang membuatnya gelisah.

Setelah kajian selesai, para santri berbaris untuk memberi salam pada Ustadz Al Ghazali. Nayla mencoba kabur lebih dulu, tapi suara itu menghentikannya.

“Nayla.”

Ia memejamkan mata sejenak, lalu menoleh dengan malas. “Apa lagi?”

Ustadz Al Ghazali menatapnya dengan tenang. “Bagaimana harimu di pesantren?”

Nayla menyilangkan tangan di dada. “Seperti di penjara. Dan Anda adalah sipirnya.”

Alih-alih tersinggung, Ustadz Al Ghazali justru tersenyum kecil. “Penjara bisa menjadi tempat untuk merenung, mencari jati diri.”

Nayla mengerutkan kening. “Jangan coba-coba ceramahin saya.”

“Saya tidak berceramah. Hanya mengajak berpikir.”

Nayla menghela napas panjang. “Dengar ya, Ustadz. Saya nggak mau berubah, dan saya nggak akan tunduk di tempat ini. Papa mungkin bisa naruh saya di sini, tapi dia nggak bisa ngatur hati dan pikiran saya.”

Ustadz Al Ghazali mengangguk pelan. “Tentu saja. Hanya Allah yang bisa membolak-balikkan hati manusia.”

Nayla melengos. Ia tidak mau berdebat lebih lama. Tanpa pamit, ia langsung pergi, meninggalkan ustadz itu yang tetap berdiri tenang.

Tapi, di balik kemarahannya, ada sesuatu yang mengganggunya. Mengapa pria itu selalu tampak tidak terpengaruh oleh sikapnya? Mengapa tatapannya begitu teduh, seakan melihatnya bukan sebagai orang yang rusak, tapi seseorang yang bisa berubah?

Nayla membenci itu.

Dan semakin ia membenci Ustadz Al Ghazali, semakin sering ia memikirkannya.

Pagi itu, suasana di pesantren terasa lebih riuh dari biasanya. Para santri putri berlarian ke jendela, menyingkap tirai dengan wajah berbinar. Beberapa bahkan sudah berbisik-bisik dengan penuh semangat.

"Ustadz Al datang! Ustadz Al datang!"

"Astaghfirullah, kenapa sih Ustadz bisa setampan itu?"

"Ya Allah, aku sampai deg-degan kalau lihat beliau!"

Nayla, yang sedang duduk di serambi asrama, hanya mendengus kesal. Ia menatap ke arah sekumpulan santri yang histeris seperti melihat idol K-Pop.

"Dasar labil," batinnya.

Dari kejauhan, Ustadz Al Ghazali berjalan dengan tenang, mengenakan jubah putih bersih dan sorban di kepalanya. Cahaya matahari pagi menyorot wajahnya yang teduh dan menambah kesan berwibawa. Setiap langkahnya penuh keyakinan, dan senyumnya yang ringan justru membuat para santri semakin gempar.

"Astagfirullah... Aku nggak boleh suka sama Ustadz Al, tapi gimana dong?" seorang santri berbisik dengan pipi merona.

"Udah, kita istighfar rame-rame!" sahut yang lain sambil tertawa.

Nayla merasa mual melihatnya. Ia melipat tangan di dada, menatap sinis ke arah sosok pria yang selalu menjadi pusat perhatian. Kenapa sih semua orang tergila-gila sama dia?

Saat Ustadz Al Ghazali melewati serambi tempat Nayla duduk, pria itu melirik sekilas dan tersenyum.

"Assalamu'alaikum, Nayla," sapanya lembut.

Nayla hanya membuang muka. "Wa'alaikumsalam," jawabnya setengah hati.

Beberapa santri yang melihat itu langsung heboh.

"Astaga, Ustadz Al nyapa Nayla!"

"Nayla, kamu beruntung banget!"

"Tuh kan, aku bilang juga Nayla spesial di mata Ustadz Al!"

Nayla menatap mereka dengan mata melotot. "Diam kalian! Nggak ada yang spesial!"

Malam itu, di ruang utama pesantren, Ustadz Al Ghazali duduk berhadapan dengan Kyai Ridwan. Secangkir teh hangat mengepul di antara mereka, sementara suara jangkrik terdengar samar dari luar.

Kyai Ridwan menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka percakapan. “Ghazali, ada sesuatu yang ingin aku titipkan padamu.”

Ustadz Al Ghazali menatap gurunya dengan tenang. “Silakan, Kyai.”

Kyai Ridwan meletakkan cangkirnya dan menatap Al Ghazali dengan sorot mata penuh kebijaksanaan. “Gadis bernama Nayla. Dia bukan santri biasa. Ayahnya, Tuan Armand, datang kepadaku dengan hati yang penuh kekhawatiran.”

Al Ghazali mengangguk, mendengarkan dengan saksama.

“Ayahnya sudah menyerah, Ghazali. Nayla terlalu liar, terlalu bebas. Hidupnya selama ini penuh dengan kemewahan dan kebebasan yang tak terkendali. Ia hobi ke klub malam, sering mabuk, dan menganggap agama tak lebih dari aturan kaku yang membatasi dirinya.”

Ustadz Al Ghazali menundukkan kepala sejenak, mencerna semua informasi itu.

“Itulah sebabnya Tuan Armand membawanya ke sini,” lanjut Kyai Ridwan. “Dia ingin anaknya menemukan jalan pulang. Dan aku percaya, kau orang yang tepat untuk membimbingnya.”

Mata Al Ghazali sedikit menyipit. “Saya?”

Kyai Ridwan tersenyum. “Kau memiliki kesabaran yang luar biasa. Kau tidak mudah tersulut emosi, dan kau tahu bagaimana cara menyentuh hati seseorang tanpa harus memaksa.”

Ustadz Al Ghazali menghela napas pelan. Bayangan Nayla yang selalu bersikap sinis dan memberontak muncul dalam pikirannya. Gadis itu jelas tak suka berada di pesantren, dan lebih dari itu—ia sangat membenci dirinya.

“Apakah Nayla tahu tentang ini, Kyai?” tanyanya.

Kyai Ridwan menggeleng. “Tidak. Jika ia tahu, ia pasti semakin membencimu. Jadi biarkan ini tetap menjadi rahasia kita.”

Ustadz Al Ghazali mengangguk. “Baik, Kyai.”

Namun, dalam hatinya, ia tahu tugas ini tidak akan mudah. Nayla bukan sekadar gadis pembangkang—ia adalah seseorang yang terjebak dalam dunia yang berbeda dari tempatnya sekarang.

Dan mungkin, di antara semua tantangan ini, yang paling sulit adalah menghadapi perasaan aneh yang mulai tumbuh di hatinya.

Ia langsung berdiri dan pergi dengan kesal. Namun, tanpa ia sadari, ada senyum tipis di sudut bibir Ustadz Al Ghazali saat melihatnya pergi.

Entah kenapa, Nayla adalah satu-satunya santri yang justru semakin menarik perhatiannya.

Kena Hukuman

Malam itu, udara di pesantren terasa sejuk. Langit gelap bertabur bintang, sementara suara lantunan ayat suci dari para santri masih menggema di dalam aula utama.

Namun, di antara para santri yang khusyuk mengaji, ada satu orang yang justru memilih untuk menyelinap keluar.

Nayla.

Dengan langkah hati-hati, ia melangkah menjauh dari aula, memastikan tidak ada yang melihatnya. Rasa bosan yang menyesakkan dadanya membuatnya enggan berlama-lama duduk di dalam ruangan itu, apalagi mendengarkan suara Ustadz Al Ghazali yang selalu berbicara tentang ketenangan hati dan hidayah. Omong kosong!

Ia ingin udara segar. Ia ingin kabur, meski hanya sebentar.

Begitu sampai di halaman belakang pesantren yang sepi, ia menghela napas lega. Ia menatap langit dan mendesah. “Kenapa hidupku jadi begini?” gumamnya kesal.

Namun, baru saja ia ingin menikmati kebebasannya, suara langkah kaki terdengar di belakangnya.

“Nayla.”

Jantungnya berdegup kencang. Ia mengenali suara itu. Suara yang paling tidak ingin ia dengar malam ini.

Perlahan, ia menoleh. Dan benar saja.

Ustadz Al Ghazali berdiri di sana, mengenakan gamis putih dan sorban yang melingkar di pundaknya. Tatapannya tenang, namun penuh arti.

Nayla melipat tangan di dada, berusaha terlihat tak peduli. “Mau ceramah lagi, Ustadz?”

Al Ghazali mengangkat alis. “Aku hanya bertanya, kenapa kau di sini?”

Nayla menghela napas panjang. “Bosan.”

“Bosan dengan apa?”

“Bosan dengan semuanya.” Ia menatap pria itu dengan tajam. “Dengan aturan, dengan bacaan, dengan cara hidup di sini. Aku bukan tipe orang yang bisa duduk diam dan membaca kitab berjam-jam.”

Ustadz Al Ghazali tersenyum tipis. “Lalu, kau lebih suka apa?”

“Klub. Musik keras. Kebebasan.” Nayla sengaja mengatakannya untuk melihat reaksi pria itu, berharap bisa membuatnya kaget atau setidaknya sedikit terguncang.

Tapi, Ustadz Al Ghazali tetap tenang. Ia tidak terlihat marah, kecewa, atau terganggu.

“Dan apakah semua itu membuatmu bahagia?” tanyanya lembut.

Nayla terdiam. Pertanyaan itu seharusnya mudah dijawab, tapi entah kenapa, hatinya justru terasa berat.

Ia mendengus. “Tentu saja.”

“Benarkah?”

Nayla semakin kesal. Ia benci cara pria itu bertanya seakan-akan tahu jawabannya lebih baik daripada dirinya sendiri.

“Sudahlah,” katanya dengan nada ketus. “Aku nggak mau diceramahi. Aku bisa kembali ke sana kalau itu membuatmu puas.”

Ustadz Al Ghazali menatapnya sejenak sebelum berkata, “Aku tidak pernah memaksamu, Nayla. Tapi ingat, lari dari sesuatu tidak akan menyelesaikan apapun.”

Ia lalu berbalik, membiarkan Nayla berdiri sendiri dalam diam.

Dan untuk pertama kalinya, Nayla tidak tahu kenapa kata-kata pria itu begitu mengganggu pikirannya.

Nayla masih berdiri di tempatnya, menatap punggung Ustadz Al Ghazali yang perlahan menghilang di balik bangunan pesantren. Hatinya terasa kacau, tapi ia menepisnya cepat-cepat. Kenapa aku harus peduli dengan ucapannya?

Namun, sebelum ia bisa kembali ke kamarnya dengan tenang, sebuah suara tegas menghentikan langkahnya.

“Nayla.”

Nayla menegang. Ia menoleh dan mendapati Aisyah, kepala kamar santri putri, berdiri dengan tangan terlipat di dada. Tatapan matanya tajam, dan bibirnya menekan rapat seolah menahan emosi.

Nayla menghela napas. Ketahuan juga.

“Apa yang kau lakukan di luar saat jam mengaji?” Aisyah bertanya, suaranya rendah tapi penuh tekanan.

Nayla mendengus. “Cari udara segar.”

“Udara segar?” Aisyah melangkah mendekat. “Atau kau memang sengaja melanggar aturan?”

Nayla tersenyum sinis. “Kenapa? Mau kasih hukuman?”

Aisyah menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Ya, memang sudah seharusnya.”

Nayla mendengus. “Terserah.”

Tanpa basa-basi, Aisyah menarik tangan Nayla dan membawanya kembali ke aula utama. Beberapa santri yang masih mengaji melirik mereka dengan rasa ingin tahu, tapi Aisyah hanya berjalan lurus tanpa menjelaskan apa pun.

Setibanya di kamar santri, Aisyah melepaskan cengkeramannya dan menatap Nayla dengan serius.

“Sebagai hukuman, kau harus membersihkan kamar mandi santri malam ini.”

Nayla membelalakkan mata. “Apa?”

“Dan jangan pikir kau bisa kabur. Aku akan mengawasi.”

Nayla mendecak kesal. Membersihkan kamar mandi? Gila!

“Terserah. Aku bisa bayar orang untuk melakukannya,” katanya santai.

Aisyah tersenyum miring. “Di sini, uangmu nggak berlaku, Nayla.”

Nayla merasakan dadanya memanas. Ia ingin membantah, ingin marah, tapi tatapan Aisyah begitu tegas. Brengsek, aku benar-benar terjebak di neraka ini.

Dengan berat hati, ia mengambil ember dan sikat. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nayla membersihkan kamar mandi pesantren—sambil menggerutu sepanjang waktu.

Nayla berdiri di depan pintu kamar mandi santri dengan wajah penuh kebencian. Tangannya menggenggam erat gagang sikat, sementara ember berisi air sabun tergeletak di sampingnya. Bau khas kamar mandi pesantren yang lembap langsung menusuk hidungnya, membuat perutnya terasa mual.

Ia memejamkan mata, mencoba menguatkan diri. Aku, Nayla Armand, yang biasa bersantai di klub dengan segelas cocktail di tangan, sekarang harus jongkok dan membersihkan lantai kotor ini? Ini gila!

Dengan enggan, ia mulai menyikat lantai, tapi baru beberapa kali gerakan, cipratan air kotor mengenai lengannya.

“Astaga! Ini menjijikkan!” Ia hampir melempar sikatnya.

Dari pintu, Aisyah berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatap Nayla dengan ekspresi datar. “Lebih baik kau cepat menyelesaikannya daripada terus mengeluh.”

Nayla mendengus. “Kenapa bukan orang lain saja yang melakukan ini?”

“Karena ini hukuman untukmu,” jawab Aisyah tanpa basa-basi.

Nayla mendesah keras. Dengan perasaan terpaksa, ia melanjutkan pekerjaannya. Air sabun mengalir, membawa kotoran yang membuatnya merasa hampir muntah. Tangannya mulai pegal, keringat mulai bercucuran, tapi Aisyah tetap berdiri di sana, memastikan ia tidak bisa kabur.

Saat ia akhirnya selesai, tubuhnya terasa lengket dan lelah. Ia menatap hasil kerjanya dengan ekspresi muak, lalu menoleh ke Aisyah.

“Sudah. Puas?” tanyanya ketus.

Aisyah hanya tersenyum tipis. “Bagus. Sekarang, kau bisa istirahat.”

Nayla menyeret kakinya keluar dari kamar mandi dengan perasaan campur aduk. Selama hidupnya, ia tak pernah dipaksa melakukan sesuatu yang tak ia suka. Tapi di tempat ini, semua itu tak berlaku.

Dan yang lebih menyebalkan, ia mulai menyadari bahwa dirinya tak lagi bisa lari dari kenyataan.

Hari-hari pertama Nayla di pesantren terasa seperti neraka.

Ia merasa seperti terjebak di tempat yang tak masuk akal—jauh dari kebebasannya, jauh dari hingar-bingar dunia malam yang biasa membuatnya merasa "hidup."

Yang paling menyiksanya adalah tidak adanya handphone.

Ia tak bisa membuka media sosial, tak bisa chatting dengan teman-temannya, dan yang lebih menyakitkan—tak bisa menghubungi Rernaldi, pacarnya.

Setiap kali ia mencoba meminta ponselnya kembali, jawaban dari Aisyah atau pengurus pesantren selalu sama:

"Selama kau di sini, tak ada gadget. Fokuslah pada dirimu sendiri."

Nayla hampir gila.

Siang hari, ia harus mengikuti jadwal ketat: salat berjamaah, mengaji, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an yang sama sekali tak ia mengerti, dan mendengarkan ceramah yang terasa begitu membosankan baginya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!