Ucapan Mia beberapa detik lalu layaknya belati tajam menikam dada, membuat napasnya tertahan.
Rafa merasakan seluruh tubuhnya mendadak lemas. Hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Raka? Jadi selama ini Mia menyukai Raka?" Pikir Rafa.
Ia mengusap wajah dengan menghela napas panjang. Ternyata selama ini ia telah salah paham.
Ia bahkan mengira bahwa Brayn adalah lelaki yang ada di dalam hati Mia.
Satu yang ada di dalam pikiran Rafa sekarang, akan seperti apa reaksi Raka dan Zahra jika mengetahui cinta terpendam yang dimiliki Mia untuk Raka.
"Maksudnya, dia sudah menikah?"
"Sttt!!" Mia meletakkan jari telunjuk di depan bibir, melirik Rafa sejenak takut lelaki itu akan mendengar ucapannya.
Namun, kini Rafa sedang terpejam dengan earphone menempel di telinga.
Seperti sedang tertidur sambil mendengarkan musik.
Mia pun mengangguk sebagai jawaban.
"Minggu lalu."
"Apa aku kenal?" tanya sang teman semakin penasaran.
"Tidak, kamu tidak kenal,"
"Uh, padahal aku penasaran ingin tahu siapa yang sudah mengabaikan seorang Mia Aurora Hadiwijaya. Dia pasti akan menyesal."
Mia terkekeh. "Tidak lah. Dia menikah dengan wanita sempurna dan mereka sangat bahagia. Karena itulah aku ikhlas."
"Dia tidak tahu perasaan kamu?"
Mia menggeleng sebagai jawaban. Senyum tipis terlukis di bibirnya, matanya berbinar memandang boneka di pelukannya.
"Dulu, dia menjadi doaku yang paling serius, sekarang dia menjadi ikhlasku yang paling tulus."
Mendengar jawaban Mia membuat Rafa diam-diam mengulas senyum. Tidak hanya cantik, Mia juga memiliki hati yang lembut.
"Laa tahzan, Mia, Allah sedang menyiapkan jodoh terbaik untuk kamu. Mungkin dia akan datang menjemput kamu suatu hari nanti."
"Aamiin."
Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam, mereka tiba di tempat tujuan.
Beristirahat satu jam, mereka akhirnya turun langsung menyerahkan bantuan yang sebelumnya berhasil dikumpulkan melalui kegiatan seperti bazar dan penggalangan dana, dan membagikan kepada korban bencana banjir.
Sebuah mobil box besar yang memuat bahan pokok membuat para mahasiwa bertanya-tanya siapa penyumbangnya.
Tentunya, tidak ada yang tahu dari mana sumbangan tersebut bersumber.
Rafa yang sederhana sama sekali tidak menggambarkan siapa dirinya.
Ia sama seperti Joane, yang tidak gemar memamerkan harta dan menyukai kesederhanaan.
Bahkan Rafa lebih suka ke kampus dengan mengendarai motor atau naik bus.
Menjelang sore, barulah kegiatan tersebut selesai dan akan dilanjutkan besok pagi.
Seluruh mahasiswa menuju vila yang sudah disiapkan. Vila untuk laki-laki dan perempuan hanya berjarak beberapa rumah.
Sepanjang kegiatan berlangsung, Mia terus didekati oleh Leon.
Bahkan lelaki itu tak segan menyatakan cintanya dengan memberikan hadiah mahal, meskipun akhirnya ditolak oleh Mia.
"Mia itu memang cantik, sayang dia terlalu sombong," ucap Leon, sesaat setelah memasuki kamarnya.
"Wajarlah dia sombong. Anak siapa dulu," sahut Rama, salah satu temannya. "Keluarga Hadiwijaya terkenal di mana-mana sebagai keluarga sultan. Kalau mereka sombong ya wajarlah."
"Cih, dia belum tahu saja siapa aku," balas Leon menyandarkan punggung pada kursi.
"Lebih baik cari yang lain. Mereka pasti memilih yang sepadan untuk anaknya. Kalau kamu mau mendekati Mia, harus menghadapi keluarga Hadiwijaya dulu."
Lelaki itu hanya mengulas senyum.
Pembicaraan mereka sempat terhenti saat Rafa memasuki kamar dan meletakkan tas ke meja.
Ia hanya mengeluarkan peci dan langsung keluar kamar lagi untuk menjalankan shalat ashar di masjid terdekat.
"Sok alim," ujar Leon mendengkus.
Lelaki itu segera berdiri mengambil tas yang tergeletak di lantai.
Ia pindahkan ke atas meja, namun beberapa benda dari dalam sana terjatuh berhambur ke lantai.
Sebuah botol kecil menggelinding dan jatuh tepat di kaki Rama.
Sang pemuda hanya melirik sekilas, tetapi kemudian perhatiannya tertuju pada sebuah botol kecil berwarna biru.
Melihat dari merk, Rama tentu tahu botol apa itu dan apa kegunaannya.
Ia langsung melirik Leon penuh tanya.
"Leon, ini kan obat ...." Ia mengangkat botol tersebut, tetapi langsung direbut oleh Leon dan disembunyikan ke dalam tas.
"Untuk apa membawa barang seperti itu?"
"Em ... ini punya teman, tidak sengaja terbawa di tasku," jawab Leon asal.
"Jangan sembarangan dipakai, obat itu efeknya sangat kuat."
"Kamu pernah pakai?"
Rama terkekeh. "Tidaklah. Hanya dengar dari orang-orang."
**
**
Kembali ke rumah keluarga Hadiwijaya.
Zahra merasa enggan melepas pelukan suaminya sejak beberapa menit lalu.
Satu minggu terus bersama membuatnya seakan berat untuk melepas kepergian sang suami keluar negeri.
Merasa terbiasa dipeluk Raka saat tidur, pasti ia akan merasa sepi tanpa sang suami di sisinya.
Terlebih, Raka benar-benar memanjakan dirinya selama satu minggu ini.
"Jangan sedih, ya. Sebulan tidak akan terasa." Raka mencium kening, mendekap istrinya penuh kasih.
"Tapi, harus sering kabari aku."
"Iya, Sayang. Aku akan telepon setiap ada waktu." Tangannya membelai puncak kepala yang terbalut hijab.
Ia merangkul wanita itu keluar kamar setelah menghabiskan waktu cukup lama di kamar.
Zahra yang murung tentu saja mengundang perhatian papa dan kakak-kakaknya.
Pak Vino tersenyum memandangi wajah putrinya. Sikap Zahra sama persis seperti Bu Resha.
"Raka, siap-siap nanti ada yang video call dan minta ditemani tidur sampai pagi," kelakar Pak Vino.
**
**
Prang!
Suara pecahan kaca membuyarkan konsentrasi Airin yang sedang duduk di atas sajadah dengan tasbih di tangan.
Wanita itu sontak menoleh dan melirik ke arah lantai di mana bingkai foto terjatuh.
"Astaghfirullah." Ia langsung berdiri menghampiri bingkai foto.
Mendadak tubuhnya seakan lemas, dadanya bergemuruh.
Tangannya meraih bingkai pecah tersebut, mengusap gambarnya perlahan.
"Awh!" desis Airin saat merasakan pecahan kaca menancap di ujung jarinya.
Cairan merah segar pun menetes pada gambar Mia.
"Ya Allah, semoga ini bukan pertanda. Lindungi anakku di mana pun dia berada,"
Ia mengusap ujung jarinya, segera bangkit dan menuju meja untuk mengambil ponsel.
Mencari nomor kontak suaminya.
"Assalamualaikum, Sayang ." Suara Gilang terdengar di ujung telepon.
"Walaikumsalam, Mas."
"Kenapa suaranya seperti itu?" tanya Gilang, kala mendengar suara istrinya bergetar.
"Mas, aku mau menyusul Mia. Apa boleh? Perasaanku tidak enak."
**
**
Sementara itu di vila, buka puasa bersama digelar. Semua berkumpul di satu tempat.
Mia dan teman-teman wanitanya duduk di meja yang sama.
Sementara Rafa berada di sudut meja lain dengan beberapa teman laki-laki.
Rafa hanya berbuka puasa dengan air putih dan kurma, lalu segera beranjak menuju masjid terdekat untuk shalat maghrib.
Hal tersebut tak luput dari perhatian beberapa mahasiswi yang mengagumi sosok Rafa.
Bahkan ada yang diam-diam mengabadikan gambarnya dengan kamera ponsel.
"Duh, sempurnanya. Badan tinggi, ganteng dan sholeh. Calon imam siapa dia? Semoga aku," ucap salah satu mahasiswi sambil memandang Rafa yang berjalan menuju masjid.
"Huh, dasar! Kak Rafa pasti mencari yang shalihah, bukan yang seperti kamu. Hijab saja tidak pakai," sahut salah satu di antaranya.
Namun, gadis itu malah tertawa kecil. "Jodoh siapa yang tahu, kan?"
Mia pun ikut tertawa mendengar pembicaraan teman-temannya.
Tak dapat dipungkiri, Rafa memang memiliki pesona yang membuat para gadis terkagum-kagum.
Terlebih, ia begitu tenang, tidak grasa-grusu dan tidak sembarangan mendekati lawan jenis.
"Besok pagi, yang laki-laki kembali turun ke lokasi dan bantu tim untuk mencari korban yang belum ditemukan. Yang perempuan bantu warga lainnya di pos pengungsian," ucap Leon, yang merupakan salah satu pembina dalam kegiatan tersebut.
"Baik, Kak," jawab yang lain dengan serentak.
Bisik-bisik para gadis kembali terdengar.
"Kalau yang ini juga keren banget sebenarnya. Ganteng banget malahan. Tidak tahu kenapa aku merasa wajahnya sedikit mirip Kak Rafa, tapi bedanya, Kak Leon itu lebih necis, sementara Kak Rafa lebih gagah," ucap Wina panjang lebar.
Mia tak menanggapi. Perhatiannya hanya tertuju pada layar ponsel.
Ia baru saja membalas pesan dari Gilang yang dikirim dua jam lalu dan baru sempat terbaca.
"Sudah sampai, Nak?"
"Alhamdulillah, Ayah. Aku sedang buka puasa dengan teman-teman," tulisnya dalam pesan. Kemudian memasukkan ponsel ke dalam tas.
"Mia, mau jus jeruk, tidak?" tawar salah satu teman wanita yang baru saja tiba.
Mia mengangguk sambil tersenyum.
"Boleh, terima kasih," jawab Mia, sambil meraih gelas jus dan menempelkan ujung sedotan pada bibirnya.
Tanpa disadari oleh Mia, sepasang mata sedang memandangnya dari jarak aman dengan seringai tipis.
**************
**************
Rafa masih duduk di atas sajadah dengan memetik tasbih di tangan ketika kepingan perasaan aneh tiba-tiba menyergap ke hatinya tanpa sebab.
Sebuah perasaan aneh yang entah berasal dari mana. Dadanya terasa sesak, bahkan membuyarkan konsentrasinya dalam bertasbih.
"Astaghfirullah." Ia bergumam dalam hati.
Pikirannya tiba-tiba tertuju pada Mia, berikut pesan Om Gilang untuk menjaga dan mengawasi putrinya selama berada di sana.
Lelaki itu menghembus napas pelan demi mengurangi perasaan anehnya, lalu bangkit dan segera keluar dari masjid.
Pandangannya mengedar ke sekeliling, mulai dari dalam masjid hingga ke halaman.
Tampak beberapa mahasiswa mulai berdatangan, sebab akan digelar doa bersama yang akan dilanjutkan dengan shalat isya dan tarawih.
"Lihat Mia tidak?" tanya Rafa pada seorang mahasiswi.
"Tadi masih di pos, makan dengan Wina, Kak," jawab gadis itu.
"Oh ya sudah, terima kasih, ya."
Gadis itu hanya mengangguk, lalu bergegas masuk ke masjid.
Mengambil sandal yang berjejer di rak, Rafa segera melangkah. Berjalan menuju pos tempat mereka berbuka puasa tadi.
Benar, Mia masih di sana bersama dua temannya, sedang membersihkan sisa makanan setelah berbuka puasa bersama.
Melihat Mia di sana membuat Rafa bernapas lega. Ia berjalan ke arah gadis itu.
"Kok belum ke masjid?"
Mia berbalik dan tersenyum. Senyum yang selalu berhasil menghangatkan hati seorang Rafa Bagaskara.
Memandang wajah Mia walau hanya beberapa detik saja selalu mampu menggetarkan jiwanya.
Mia memiliki mata yang indah dengan bulu mata lentik alami, dagu lancip dan hidung mungil yang tegak lurus meruncing ke bawah, layaknya hidung hasil operasi plastik yang kerap dilakukan para wanita untuk mempercantik diri.
Tapi, Rafa tahu bahwa wajah cantik di hadapannya itu alami pemberian Sang Pencipta.
Wajah perpaduan antara Airin dan Gilang itu seakan sanggup menghipnotis siapapun yang memandangnya.
"Hijab bagi perempuan adalah pakaiannya, sementara hijab bagi laki-laki adalah menundukkan pandangan dari perhiasan dunia yang menyesatkan. Perempuan yang bukan mahram misalnya." Petuah Brayn tiba-tiba terngiang di telinga.
"Astaghfirullah, bukan mahram." Rafa langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.
Salah tingkah sedikit gugup. Aneh, saat dengan gadis lain, ia bisa sedingin salju, tapi dengan Mia ia meleleh bak cokelat yang dihangatkan.
"Kamu tidak ke masjid?" tanya Rafa.
"Ini baru mau ke masjid. Oh iya, Kak Rafa belum makan, kan? Ini aku simpan satu nasi kotak untuk Kak Rafa," ucap Mia lembut, sembari menyerahkan sekotak makanan.
Perhatian sekecil itu saja sudah mampu membuat hati Rafa melayang ke angkasa.
"Iya, belum. Terima kasih, Mia."
"Sama-sama, Kak."
Rafa melirik cup jus jeruk di tangan gadis itu. Tampak sangat segar dengan warna orange keemasan.
"Tidak sekalian jus jeruknya?"
"Tapi ini sisa aku. Sudah aku minum setengahnya," balas gadis itu sambil menunjukkan cup jus di tangannya yang tersisa separuh.
"Tidak apa-aра."
"Ya sudah, ini, Kak." Mia kembali mengulas senyum memberikan sisa jus jeruk miliknya.
"Syukron, Mia Aurora Hadiwijaya."
Mia terkekeh mendengar Rafa menyebutkan nama lengkapnya dengan manis.
Lelaki itu duduk di kursi dan meletakkan kotak makanan ke meja.
"Cepat ke masjid," ucap Rafa ketika Mia masih berdiri di sana.
"Iya, Kak. Mau ambil mukena di vila dulu."
Mia pun hendak melangkah, namun seketika pandangannya tertuju kepada dua temannya yang sedang memandangi Rafa.
Bibir gadis itu mengerucut dengan wajah menekuk, dua teman gadisnya bahkan memandang Rafa tanpa berkedip.
"Kalian duluan ke masjid saja, nanti aku menyusul!"
Keduanya tersentak dan mengalihkan pandangan.
"Oh oke. Jangan lama-lama, ya."
"He-em."
Setelah kepergian dua temannya, Mia segera kembali ke vila untuk mengambil mukena di kamar.
Sebelum keluar, ia lebih dulu masuk ke kamar mandi untuk wudhu. Namun, tiba-tiba saja perutnya terasa aneh.
"Aduh, kenapa ini?"
**
**
"Loh memang kenapa, Sayang?" tanya Gilang heran dengan permintaan sang istri yang baginya sedikit berlebihan.
"Perasaanku tidak enak, Mas. Aku merasa Mia sedang tidak baik-baik saja," balas wanita itu cemas.
Hembusan napas pelan terdengar dari ujung telepon.
"Beberapa menit lalu dia membalas pesanku dan bilang sedang buka puasa bersama teman-temannya. Jadi, tenang saja, Mia dalam keadaan baik. Jangan terlalu berpikir buruk. Di sana juga ada Rafa yang menjaganya,"
"Tapi mereka tinggal di vila yang berbeda, Mas."
"Mia ada di vila khusus mahasiswi, kan? Dia bergabung dengan teman perempuannya, bukankah itu lebih aman?"
Namun, bujukan itu rupanya tak berhasil. Airin tetap bersikeras ingin menyusul putrinya.
Setiap kali memikirkan Mia, hatinya terasa sakit, seperti ditusuk ribuan jarum.
"Tolong izinkan aku ke sana, Mas. Aku hanya mau menjemput anakku dan memastikan dia tidak apa-apa," ucap Airin penuh permohonan.
"Tapi, aku tidak bisa mengantar kamu, Sayang. Aku masih ada pekerjaan. Ini saja tidak bisa makan masakan kamu untuk buka puasa dan malah buka puasa di kantor."
Setidaknya, alasan itu dirasa mampu mengurungkan niat Airin untuk menyusul, sebab Gilang yakin ada Rafa yang menjaga putrinya.
"Aku bisa pergi dengan sopir."
Gilang menyerah. Ia tahu seperti apa Airin jika sudah berbicara tentang anak-anaknya.
Jangankan Mia yang merupakan anak perempuan, Rino dan Adam yang anak laki-laki pun dijaga dengan sangat baik oleh sang bunda.
"Ya sudah, Sayang. Kamu boleh menyusul."
"Aku akan minta diantar sopir." Airin hendak menutup panggilan.
"Tunggu! Aku akan hubungi Brayn atau Zayn, siapa tahu salah satu dari mereka bisa menemani kamu," ujarnya. "Oh iya, Rino dan Adam ke mana?"
"Mereka ikut pesantren kilat di sekolahnya, dengan Bima."
Ya, anak-anak di keluarga Hadiwijaya bersekolah di tempat yang sama.
Usia Bima satu tahun di atas Rino yang merupakan anak ke-2 Airin dan Gilang.
"Ya sudah kalau begitu. Aku hubungi Brayn dulu."
Panggilan berakhir, Gilang segera menghubungi Brayn dan meminta tolong untuk menemani Airin menyusul keluar kota.
Beruntung, saat dihubungi, Brayn sedang dalam keadaan tidak sibuk.
Ia sedang di rumah menghabiskan waktu bermain dengan adik barunya yang masih bayi, Bastian.
"Kalau tidak sibuk, apa kamu bisa mengantar Bunda ke lokasi kegiatan kampusnya Mia?" tanya Gilang.
"Bunda mau apa ke sana?" tanya Brayn dengan alis berkerut.
"Katanya mau jemput Mia. Biasa ... kamu tahulah seperti apa Bunda kalau pada adik-adikmu," ucap Gilang santai, membuat Brayn terkekeh.
"Iya, aku paham. Kebetulan aku sedang kosong. Bisa mengantar Bunda, kok."
"Terima kasih, Nak."
"Bunda mau berangkat sekarang?" tanya Brayn, sambil memainkan pipi mungil adiknya.
"Kalau bisa, sih."
"Bisa. Aku siap-siap dulu."
"Hati-hati ya, Nak. Jangan ngebut."
"Insyaallah."
Setelah panggilan berakhir, Brayn meletakkan ponselnya.
Meraih tubuh mungil Bastian dan menggendongnya ke ruang keluarga.
Di sana Pak Vino dan Bu Resha sedang duduk bersama, sepasang suami istri yang selalu terlihat romantis meskipun tidak muda lagi.
"Halo, jagoan Papa, ayo sini!" Tangan Pak Vino mengulur, meraih tubuh Bastian dari gendongan sang putra sulung.
"Pakai baju koko semakin terlihat gantengnya anak Mama ini," puji Bu Resha membelai punggung sang bayi.
Brayn mengulas senyum memandang kedua orang tuanya dalam mengasuh Bastian.
Sangat lembut dan perhatian meski bukan anak sendiri.
Lelaki itu kemudian bercerita tentang Gilang yang baru saja menghubungi dirinya dan meminta tolong mengantar Airin ke lokasi kegiatan kampus putri mereka.
Pak Vino dan Bu Resha yang sudah paham tentang Airin pun memberi izin.
Sedangkan Airin dapat bernapas lega setelah mendapat kabar dari sang suami bahwa Brayn yang akan mengantarnya.
**
**
"Astaghfirullah, telat." Mia melirik angka yang tertera pada layar ponselnya.
Waktu sudah menunjuk ke angka 19.05 yang berarti doa bersama di masjid sudah mulai sejak lima menit lalu.
Namun, ia masih berada di kamar, sebab perutnya terasa kram dan sedikit aneh.
Setelah merasa lebih baik, ia menarik tas kecil berisi mukena miliknya, lalu meninggalkan vila yang sudah kosong sebab teman-teman lain sudah lebih dulu ke masjid.
"Kenapa tiba-tiba pusing, sih? Padahal tadi tidak," gumam Mia sambil sesekali menyentuh kepala.
Ketika melewati taman kecil, langkahnya terhenti oleh seorang lelaki yang tiba-tiba berada tepat di hadapannya.
Mia sempat terkejut, kemudian menghela napas panjang saat mengetahui bahwa orang itu adalah Leon.
"Kak Leon?"
***********
***********
"Mau ke mana?" tanya Leon.
"Ke masjid, Kak. Ini sudah terlambat."
"Em ... aku butuh bantuan sebentar, bisa?"
"Bantuan apa?"
"Ada konsumsi untuk jamaah di masjid, masalahnya tidak ada orang lagi yang bisa membawa karena semua sudah berangkat. Kamu bisa bantu?"
Mia melirik ke segala arah, di tempat itu memang hanya ada mereka berdua, sementara yang lain sudah berangkat ke masjid.
Bahkan Rafa yang tadi masih berada di pos untuk makan sudah tidak terlihat lagi.
"Tapi, Kak...."
"Please, masa aku membawa makanan sebanyak itu sendirian. Sebentar saja, Mia," ucap Leon memohon.
"Ya sudah, Kak. Boleh." Terpaksa ia menurut dan mengikuti kakak seniornya.
Mereka menuju vila untuk para laki-laki. Mia berjalan di belakang Leon dengan sangat hati-hati dan sedikit gontai, sebab tubuhnya terasa bereaksi dengan aneh, namun masih dapat ditahan.
Ia sendiri tak paham ada apa dengan tubuhnya.
Ketika menuju sebuah tangga, langkah Mia seketika berhenti. Ia menatap Leon penuh tanya.
"Memang makanannya ada di lantai atas?"
"Tidak. Ada di bawah, kok. Tapi, aku mau ambil kunci vila dulu di atas. Tunggu sebentar, ya."
Mia mengangguk pelan. Setelah menunggu dua menit, Leon kembali menuruni tangga dengan membawa kunci.
Kemudian segera melangkah ke sebuah ruangan yang berada paling belakang di vila tersebut.
Namun, setibanya di sana, Mia tak mendapati apapun, selain sebuah kamar dengan satu tempat tidur berukuran besar dan beberapa kardus air mineral kemasan.
"Makanannya mana, Kak?"
"Loh, tadi di sini. Apa sudah ada yang membawanya?" Pandangan lelaki itu mengedar ke seluruh ruangan, seperti sedang mencari dan ikut bingung.
Mia mengerutkan dahi menatap sang senior.
"Yakin tadi konsumsinya disimpan di sini"
Leon hanya mengangguk.
"Ya sudah, kalau sudah ada yang bawa."
Mia hendak melangkah. Namun, pandangannya terasa semakin memburam.
Gejala aneh yang ia rasakan pada tubuhnya sejak beberapa menit lalu kian pekat.
Rasa panas perlahan-lahan menjalar, mengalir pada seluruh tubuhnya disertai degub kencang pada jantung. Tubuhnya berkeringat. Napas pun memburu.
Denyutan pada kepala membuatnya memilih bersandar di dinding dengan merapatkan kedua kaki.
Tangannnya mengepal menekan paha. Gemetar.
Ia melirik Leon yang berdiri tak jauh darinya.
Kepalanya menggeleng berulang-ulang sebab penglihatan semakin memburam.
Dan ....
Entah mengapa ia merasa bagian bawah tubuhnya semakin memanas.
"Kamu kenapa, Mia?" tanya Leon, hendak menyentuh bahu, namun Mia segera menepis dengan gerak lemah.
"Jangan sentuh aku...," ucapnya lirih.
"Oke, tapi kamu kenapa? Apa kamu sakit? Mau baring?"
**
**
"Astaghfirullah, ada apa ini?" Berulang-ulang Rafa menggumamkan kalimat itu.
Sudah beberapa menit ia menghabiskan waktu di kamar mandi umum tak jauh dari pos tempatnya makan tadi.
Tiba-tiba gejala aneh menyerang tubuhnya dengan sangat hebat.
Urat-urat terasa menegang dan ia kesulitan menahan gejolak berbahaya tersebut.
Membasuh wajah dengan air dingin, memijat kepala dan mengatur napas yang memburu rupanya tak cukup untuk meredam rasa aneh itu.
Hingga ia sendiri merasa bingung dan takut. Tubuhnya bahkan bergetar hebat.
"Brayn!" Satu nama yang terpikir untuk segera dihubungi.
Sebagai seorang dokter, Brayn pasti tahu cara meredam gejolak yang bangkit secara paksa tersebut.
Namun, setelah 5 kali mencoba, panggilannya tak kunjung dijawab.
Pilihan berikutnya jatuh pada Raka. Rafa gegas menghubungi.
Akan tetapi, baru satu kali mencoba ia kembali meletakkan ponselnya ke wastafel.
"Tidak aktif. Raka sedang dalam perjalanan ke Jerman." Lelaki itu mendesah frustrasi. Dua sahabatnya sedang tidak bisa dihubungi.
Akhirnya, ia memilih menghubungi sang ayah.
Setelah panggilan berdering dua kali, sapaan Joane terdengar dari sana.
"Assalamualaikum, Nak."
"Walaikumsalam, Ayah!" jawab Rafa dengan napas sedikit memburu.
Mendengar suara putranya yang tak biasa, Joane langsung menebak bahwa sesuatu sedang terjadi.
"Kamu kenapa?"
"Ayah... Bagaimana cara ...." Rafa menjeda ucapannya dengan hembusan napas. Rasa itu semakin tak tertahan.
"Cara apa? Kenapa suaramu terdengar berbeda? Apa terjadi sesuatu?" desak Joane mulai khawatir.
"Iya, Ayah! Aku ... ."
Lagi, ucapannya tertahan, sebab ia berada antara malu dan terdesak keadaan. Khawatir jika sang ayah akan berpikir buruk tentangnya.
"Kenapa? Beritahu Ayah kamu kenapa?"
"Bagaimana cara menghilangkan efek kalau sedang terangsang?" tanya Rafa frontal, tak tahan lagi.
Tentu saja pertanyaan itu membuat Joane terkejut.
"Apa? Maksudnya terangsang bagaimana?"
"Aku tidak tahu, Ayah. Rasanya benar-benar tidak tertahan." Rafa meringis pelan, menahan sensasi dari ledakan gairah.
"Ya Allah, anakku. Apa yang terjadi? Kamu habis makan apa? Buka puasa di mana tadi?" tanya Joane panik.
Rafa yang tengah dalam keadaan kalap itu seolah tak kuasa menjawab. Pikirannya terasa buntu, konsentrasinya buyar.
Ia bahkan tak bisa mengingat hal-hal kecil yang terjadi sebelumnya.
Semua terasa mengambang dalam pandangan, tersamar dalam ingatan.
Satu-satunya hal yang terpikir adalah bagaimana melampiaskan syahwat yang tiba-tiba bangkit dan tak terkendali. Menyiksa dirinya dengan begitu hebat.
"Tidak tahu, Ayah! Hanya buka puasa air putih, kurma, dan nasi kotak."
"Kamu bukan sedang keracunan, kan?" tanya Joane hendak memastikan. "Apa kamu sakit perut, mual, pusing, diare atau yang lainnya?"
"Tidak, Ayah. Ini rasanya berbeda. Seperti mau ... astaghfirullah, Ya Allah. Aku harus bagaimana, Ayah?"
Joane semakin panik. Namun, berusaha untuk tetap tenang menghadapi segala situasi.
Setidaknya, ia harus bisa mengarahkan Rafa agar tak sampai melakukan tindakan terlarang.
"Tenang dulu! Kamu di mana sekarang?"
"Di toilet umum."
"Oke, terus istigfar. Jangan pikirkan hal lain!"
Rafa mengikuti arahan sang ayah. Menarik napas dalam sambil beristighfar berulang-ulang.
"Sekarang kamu ke kamar, minum air putih yang banyak dan mandi dengan air dingin sampai gejalanya berkurang. Kunci pintu kamar! Kalau ada yang menawarkan bantuan jangan di terima sembarangan selain orang yang kamu percaya! Paham?"
"Iya, Ayah."
"Tetap tenang! Ayah segera menyusul ke sana."
Rafa membuang napas panjang setelah panggilan berakhir. Meletakkan ponsel dan keluar dari kamar mandi.
Sejenak ia memandang ke segala arah. Sekeliling pun terasa memburam saat ini.
"Ya Allah, ada apa ini sebenarnya?"
Mengikuti saran sang ayah, Rafa segera beranjak menuju vila.
Sepanjang jalan ia mencoba mengingat apa saja yang dilakukannya hari ini, makan apa saja dan bertemu siapa saja.
Sepintas tidak ada yang aneh. Semua yang ia makan terasa normal.
Tak pula ada kecurigaan dalam pikirannya terhadap seseorang yang mungkin ingin menjebaknya.
Sambil sesekali memijat kepala, Rafa melangkah gontai.
Menerka dalam hati tentang apa yang membuatnya merasakan gejala ini. Ketika akan memasuki pintu utama vila, langkahnya terhenti.
Bayangan Mia mengisi pikiran, disusul dengan sebuah dugaan.
"Jus jeruk?" Rafa tersentak, bagaimana jika reaksi aneh dari tubuhnya ini berasal dari jus jeruk yang diberikan Mia?
Bukankah Mia sudah meminum setengahnya?
"Astaghfirullah, Mia!" Lelaki itu menjadi sangat panik setelah mampu menebak apa yang sedang terjadi.
Tak ingin mengulur waktu, ia segera melangkah. Tak peduli dengan rasa dalam diri yang semakin menjadi.
Hal pertama yang terpikir adalah mencari Mia di vila untuk para mahasiswi.
"Ya Allah, tolong lindungi dia."
Begitu tiba di vila, suasana tampak sunyi. Tak ada siapapun terlihat di sana.
Bahkan Rafa tak tahu sebelah mana kamar yang ditempati Mia, sehingga ia memeriksa semua kamar.
Tetapi, di antara 9 kamar itu, tak ada Mia di sana.
"Mia, kamu di mana?" panggilnya setengah berteriak.
Ia pun bergegas menuju masjid tempat doa bersama sedang digelar.
Berjalan di teras dengan mata tertuju pada barisan wanita dan mencari Mia di antara mereka.
"Kak Rafa kenapa?" tanya Wina melalui celah jendela masjid.
"Apa Mia ada di dalam?" balas Rafa berusaha tenang.
"Tidak ada, Kak. Sepertinya, masih di vila."
Semakin panik saja Rafa dibuatnya.
Tak menemukan gadis kesayangannya di mana-mana tentu membuatnya merasa khawatir dan takut jika seseorang sedang berusaha menjebak Mia.
************
************
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!