NovelToon NovelToon

PUTRI ASLI KELUARGA CEO

BAB 1. DIBUNUH

Langkah kaki tak henti bergerak dalam pekatnya malam, terus berlari hingga tidak tahu lagi kemana arah gadis berambut pirang itu tuju. Wajah panik tergambar jelas dalam paras mungil dengan mata nanar mencari jalan mana yang akan ia ambil untuk melarikan diri.

Napas gadis tersebut sudah tidak teratur, kaki mulai menjerit sakit karena ia telah berlari nyaris satu jam tanpa istirahat. Tahu, jika ia berhenti berlari maka mungkin ia tidak akan dapat melihat hari esok lagi.

Gila! Siapa sebenarnya mereka?! Mau apa mereka mengejarku mati-matian seperti ini?! pikir sang gadis yang sungguh tidak tahu kenapa ada orang yang ingin menangkapnya. Setahu dirinya, ia tidak memiliki musuh atau pun hutang piutang sampai ia harus di kejar seperti ini.

"Jangan berhenti, Leona," ucap sang gadis kepada dirinya sendiri ketika laju larinya mulai melambat karena kaki nyaris sampai pada batasnya. Ia tidak bisa berhenti sekarang. Ia tidak mau menyerahkan diri pada orang-orang yang jelas sedang mengincar nyawanya.

DOR!

Mata peridot milik sang gadis melebar ketika ia merasakan sakit luar biasa pada betisnya bersamaan dengan suara letusan senjata api yang terdengar. Hingga dalam hitungan detik gadis itu tersungkur di jalanan, meringis penuh kesakitan.

"Jangan biarkan dia lari lagi. Pastikan kali ini kalian menghabisinya."

Gadis pirang tersebut mendengar kalimat yang membuatnya ketakutan setengah mati. Ia tidak mengenali suara siapa itu, ini pertama kalinya ia mendengar suara bass tersebut. Suara pria dengan nada memerintah yang tak dapat diabaikan oleh yang mengikuti perintahnya.

BUGH!

Pukulan keras mendarat di kepala gadis itu tanpa ampun. Membuat sang gadis perlahan kehilangan kesadaran, tidak tahu lagi apa yang terjadi padanya setelah ini. Ia merasakan seseorang mencengkeram rambutnya dengan keras, memaksa sang gadis mendongak agar orang tersebut dapat melihat dengan jelas wajah dan keadaan gadis tersebut.

"Beruntung aku tahu kalau kau masih hidup sebelum mereka duluan yang tahu. Tidak akan kubiarkan kau menghalangi jalanku setelah sejauh ini. Posisi itu akan selamanya milik Luna. Matilah seperti yang sudah menjadi takdirmu sembilan belas tahun lalu," ucap pria berpakaian rapih, dengan cerutu menempel di bibir.

Leona berusaha melihat sosok di depannya ini dengan sisa kesadarannya, namun pandangannya terlalu samar. Rasa sakit terus menarik Leona ke dalam ambang ketidaksadaran.

Kumohon sedikit saja. Sedikit saja, biarkan aku tahu siapa pria ini. Kumohon, pinta Leona dalam hati, berusaha untuk tetap sadar untuk tahu siapa gerangan yang begitu ingin mencabut nyawanya ini.

Semua terlalu samar, selain bentuk tubuh, Leona tidak dapat melihat paras pria di depannya ini. Terlalu remang dalam kegelapan, terlebih dengan pandangan Leona yang tidak jelas. Tapi ia yakin kalau pria di depannya ini bukan pria sembarangan, melainkan dari kalangan atas, bukan kalangan kumuh tempat Leona tinggal. Sayangnya Leona tidak ingat pernah berurusan dengan orang dari kalangan atas.

Sampai Leona melihat seorang wanita berdiri di belakang pria itu, menatap sang pria penuh kebencian dan bercucuran air mata. Membuat Leona bertanya-tanya, siapa wanita itu dan kenapa ada di sini? Apakah dia komplotan pria ini juga?

Namun sayang, kesadaran Leona telah hilang sepenuhnya. Tubuh itu terkulai sudah di jalanan, dikerumuni oleh beberapa orang yang menatap sosok Leona dengan satu pandangan sama; mereka berhasil membunuh gadis itu.

Senyum puas penuh kemenangan terbentuk di wajah pria yang menghisap cerutunya dan menghembuskan asapnya penuh rasa puas.

"Buang dia di sungai atau di laut, pastikan tidak ada yang bisa menemukan mayatnya. Kalau pun ditemukan mereka tidak akan bisa mengenalinya lagi," perintah pria tersebut kemudian berjalan meninggalkan sosok Leona yang tidak lagi bernapas.

Tiga pria yang ada di sana langsung membawa tubuh Leona masuk ke dalam mobil, menaruhnya di bagasi lalu melesat meninggalkan tempat tersebut.

...***...

Leona berjalan melewati lapangan rumput yang luas, terus berjalan seolah tiada ujung. Semua tampak gelap dengan sinar remang berwarna kelabu, ditambah kabut tipis dari segala sisi. Pohon-pohon terlihat seolah mengering, menyisakan batang dan ranting-ranting yang terlihat rapuh.

Di penghujung lapangan rumput, gadis tersebut melihat ramai orang berjalan ke arah yang sama di depan sana. Ke sebuah cahaya terang yang menjadi satu-satunya penerangan paling menghangatkan serta menenangkan setelah berjalan dalam kegelapan tak berujung. Dan Leona memutuskan untuk ikut berjalan ke arah cahaya tersebut.

"Jangan ke sana!"

Gadis itu mendengar suara, entah dari mana. Padahal sejak tadi tempat ini terasa begitu sunyi walau banyak orang berkerumun di depan Leona. Ia tetap melangkahkan kakinya.

"Kumohon jangan pergi ke sana!"

Lagi, Leona mendengar suara yang sama. Ia ingin melihat siapa yang bicara, namun tubuhnya seakan menolak untuk berhenti melangkah. Ia melihat gerbang yang luar biasa besar, menjulang tinggi hingga tak terlihat ujungnya di atas sana. Gerbang dengan cahaya yang menghipnotis, membuat Leona ingin segera masuk ke dalam cahaya melewati gerbang indah tersebut.

"Jangan kesana!"

Leona tersentak kaget, seperti terbangun dari tidur. Ia melihat seorang anak laki-laki memegang erat tangan Leona, menahannya untuk melangkah lebih maju.

"Kumohon jangan pergi ke sana. Kembalilah, mereka membutuhkanmu," ucap anak kecil tersebut dengan pandangan mengiba.

"Kau ... siapa?" tanya Leona dengan tatapan seperti orang linglung.

"Jika kau melewati gerbang itu, maka kau akan menghilang selamanya dari dunia. Apa kau akan terima kalau kau mati begitu saja?!" seru bocah itu tanpa menjawab pertanyaan Leon

Mendengar kata 'mati' membuat Leona membelalak. Seolah tersadar ia kemudian melihat sekeliling. Ketakutan merayapinya dengan luar biasa hingga tubuh gadis itu gemetar ketika menyadari betapa menyeramkannya tempat ini. Seolah tak ada kehidupan, bahkan udara yang ia hirup pun terasa kosong masuk ke hidung dan paru-parunya. Terlalu hampa hingga membuat Leona takut.

"Dengarkan aku! Aku akan membawamu kembali tapi dengan syarat dan kau harus melakukannya," kata bocah itu seraya memukul keras lengan Leona agar membuat gadis itu fokus.

Leona hanya menatapi anak laki-laki tersebut, seakan ketakutan dan juga kebingungan yang menderanya membuat sang gadis tidak bisa berpikir panjang.

"Cepat! Jawablah dengan cepat! Kita tidak bisa berlama-lama di sini atau kau akan terhisap ke dalam gerbang itu! Aku akan membawamu kembali asal kau mau melakukan sesuatu untukku!" seru bocah itu, terlihat sekali buru-buru dan tidak sabaran. Matanya terus melihat ke arah belakang Leona, ke arah gerbang cahaya yang terasa seperti nina bobo untuk siapa pun yang ada di sana.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Leona.

"Selamatkan ibuku. Tolong selamatkan ibuku dan keluargaku," kata sang bocah, kali ini air mukanya berubah mengiba.

"Kau akan membawaku kembali?" tanya Leona lagi, mulai paham dimana ia berada saat ini walau pikirannya tampak tumpang tindih dan terasa seperti melayang.

"Pasti," jawab bocah itu penuh keyakinan.

"Aku akan membantu. Bawa aku kembali," ujar Leona.

Bocah itu menarik Leona pergi keluar dari rombongan orang-orang di sana. Ia berlari dengan menggenggam erat tangan Leona, luar biasa erat seolah takut kalau-kalau genggaman tangan itu akan lepas.

Leona melihat ke belakang, ke kerumunan orang-orang yang berjalan melewati gerbang besar menjulang ke langit itu. Semakin lama semakin jauh. Ia melihat ke depan sekarang, ke bocah kecil yang tidak ia tahu siapa. Hingga cahaya terang ia menyilaukan mata Leona, membuat gadis itu memejamkan matanya karena tidak kuat dengan cahaya terang tersebut.

Ia mendengar suara 'bip' di telinganya. Entah apa, tapi ia tidak bisa membuka mata, rasanya Leona ingin lelap dalam tidur karena merasa lelah yang tiba-tiba mengambil alih.

Namun satu hal yang tertangkap telinga gadis itu. Hal yang membuatnya seolah merasa kalau dirinya baik-baik saja.

"Kumohon, tetaplah hidup, Princess."

BAB 2. HIDUP KEMBALI

Kelopak mata Leona terbuka, menampakkan netra peridot miliknya yang perlahan menampilkan pantulan kesadaran dari sang gadis.

Hal pertama yang Leona tangkap adalah langit-langit berwarna putih, selang di bawah hidung yang mengalirkan oksigen, dan suara 'bip' tak jauh darinya. Kesadaran gadis itu hilang timbul, pikirannya masih kacau dan tidak fokus. Bahkan untuk sesaat ia bertanya dalam hati siapa dirinya, akibat efek tidak sadarkan diri yang dialami oleh gadis itu. Sampai sebuah suara seseorang membuat Leona mendapatkan kesadaran penuhnya perlahan.

Seorang pria bertubuh tinggi dan tegap, jelas kalau pria itu merawat diri dengan berolahraga jika dilihat sekilas pun. Ia berjalan dari arah pintu menuju ke tempat Leona terbaring. Senyum pria itu rekahkan, seolah tidak ingin membuat Leona takut.

"Hai, aku tahu kau bingung. Tapi tenang saja, kau sedang ada di rumah sakit, kau terluka parah karena insiden yang terjadi padamu. Lebih baik kita bicarakan nanti soal insidennya. Saat ini kau hanya perlu istirahat dan menyembuhkan diri," kata pria itu ketika berdiri di samping ranjang sang gadis.

Leona ingin bertanya tentang pria itu dan bagaimana gadis tersebut bisa ada di rumah sakit, tapi ia tidak punya tenaga untuk itu. Rasanya untuk membuka mulut pun ia tidak mampu. Ia hanya menatap pria tersebut, melihat dengan seksama seperti apa parasnya.

Tampan.

Itu satu kata yang terlintas dalam kepala Leona ketika melihat sosok pria tersebut. Namun ia yakin kalau pria itu berusia lebih tua dari Leona jika dilihat dari perawakannya. Dengan rambut berwarna cokelat gelap dan mata berwarna honey brown membuat pria yang saat ini menatap Leona terasa hangat sekaligus misterius.

"Aku Noah Agustine. Aku yang membawamu ke rumah sakit ini. Lengkapnya nanti saja ditanyakan ketika kau sudah membaik. Yang pasti, kau amat sangat beruntung karena berhasil kembali dari kematian. Dokter sempat mengatakan kalau kau tidak terselamatkan, tapi tak lama kau kembali hidup. Aku tahu ini terdengar aneh dari orang asing yang tidak kau kenal, tapi terima kasih karena kembali hidup," kata pria tersebut, terdengar tulus di akhir kalimat.

Leona ingin bertanya lebih lanjut, tapi ia tidak bisa belum bisa mengatakan apa pun. Seperti yang pria itu katakan tadi, mungkin Leona akan bisa bertanya nanti ketika kondisinya sudah jauh lebih baik.

Setelah itu perawatan Leona terus dipantau setiap saat oleh dokter dan perawat. Hingga dua hari setelah itu kondisi Leona berangsur membaik dan ia tidak perlu lagi menggunakan selang oksigen di bawah hidungnya. Akan tetapi, ia masih tidak bisa menggerakkan kaki kirinya. Untuk duduk pun ia harus meminta bantuan orang lain.

Dan yang mengejutkan, Leona mendapati kemampuan tidak biasanya sejak kecil kini semakin tajam. Tidak, justru terlihat begitu nyata hingga sulit untuk Leona menyangkalnya seperti dulu. Mungkin setelah masuk ke alam kematian, membuat Leona semakin bersinggungan dengan yang telah tiada.

"Bagaimana keadaanmu?"

Leona menolehkan kepalanya ke sumber suara, menarik gadis itu keluar dari lamunan singkatnya. Ia melihat anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun atau mungkin lebih berdiri di samping ranjangnya. Anak laki-laki yang tidak akan pernah Leona lupakan seumur hidupnya.

"Syukurlah kau semakin baik," kata anak laki-laki tersebut dengan senyuman manis di wajah.

"Siapa namamu?" tanyaku.

"Rowan. Namaku Rowan Barness, senang berkenalan denganmu, Leona," kata sang bocah dengan begitu ramah.

Pandangan Leona menatap sang bocah secara keseluruhan. Alisnya bertaut sedih ketika ia mendapati kenyataan bahwa anak laki-laki yang membantunya kembali dari kematian, justru telah mengecap kematian itu sendiri. Dapat Leona lihat beberapa bagian tubuh dari Rowan seperti kaki dan tangan kirinya transparan, terkadang jika dilihat dari sisi lain seperti hologram, menandakan kalau bocah itu adalah roh.

"Kau ingat janjimu, kan?" tanya Rowan melihat ke arah Leona.

"Ya, menyelamatkan ibumu dan keluargamu," konfirmasi Leona.

"Benar. Tolong selamatkan mereka. Cukup aku saja yang menjadi korban, aku tidak ingin mereka juga. Tidak ada yang bisa membantu. Kau satu-satunya orang yang bisa, terlebih kau bisa melihatku," kata Rowan.

"Apa karena itu kau belum bisa tenang?" tanya Leona.

"Kurasa," jawab Rowan.

"Kau tidak boleh terlalu lama di dunia ini. Atau mereka yang gelap akan mengambil alih dirimu. Pastikan kau tidak memiliki emosi negatif dalam dirimu, dendam, benci, marah, pastikan jauhkan itu sampai aku berhasil membantu," ujar Leona, khawatir kalau bocah kecil yang terlihat polos ini akan terkontaminasi dengan energi jahat di sekitar.

"Tentu. Jadi aku memang benar." Rowan terlihat lebih ceria.

"Benar soal apa?" tanya Leona bingung.

"Benar kalau kau memang orang yang sangat baik. Mungkin karena itu, kau satu-satunya yang bisa mendengar suaraku di sana," kata Rowan yang tersenyum lebar, membuat pipinya terlihat lebih tembam.

Obrolan Leona dengan Rowan terputus ketika pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok pria bernama Noah yang senantiasa selalu datang untuk melihat kondisi Leona.

"Senang melihatmu sudah lebih baik," kata Noah berjalan menuju ke ranjang Leona dengan buket bunga kecil di tangan.

Rowan berpindah tempat, duduk di atas ranjang di samping Leona, dan bersandar pada lengan Leona sambil memerhatikan Noah.

Leona sempat terkejut karena Rowan bisa menyentuhnya, dan ia pun bisa menyentuh Rowan walau tubuh bocah itu terasa dingin. Tapi akan ia simpan nanti tentang bagaimana ia bisa menyentuh roh, padahal selama ini tidak pernah biasa.

Seperti biasa Leona hanya memerhatikan Noah tanpa mengatakan apa pun. Ia melihat dan mengawasi setiap gerak-gerik Noah, takut kalau-kalau pria itu ada hubungannya dengan orang-orang yang menculik dan mengambil nyawa Leona malam itu. Karena sebelum gadis itu melarikan diri dari tempat penyekapan, ia bisa melihat kalau ada begitu banyak pria yang berjaga, membuat Leona bahkan tidak berani untuk melakukan perlawanan yang sembrono.

"Kau bisa bertanya apa pun padaku, jadi berhenti mengawasiku seperti itu, Princess," kata Noah yang memasukkan bunga yang ia bawa ke dalam vas.

"Bagaimana kau bisa membawaku ke rumah sakit ini?" tanya Leona akhirnya.

"Apa kau percaya kalau itu sebuah ketidaksengajaan?" Noah melihat Leona sekarang, duduk di samping ranjang gadis itu dengan gerakan halus untuk memberikan kesan ia tidak berbahaya.

"Tidak ada yang kebetulan di dunia ini," ujar Leona.

"Aku hanya mengikuti mobil yang mencurigakan dan yang sudah lama menjadi target buruanku. Dan saat itulah aku melihat orang di dalam mobil itu membuangmu ke sungai. Begitu mereka pergi aku langsung menarikmu keluar dari sungai itu, beruntung karena arusnya tidak deras. Karena aku bisa merasakan detak jantungmu masih ada, aku membawamu ke rumah sakit ini," Noah menjelaskan.

"Lalu kenapa kau mengejar mobil itu? Siapa kau sebenarnya? Jika kau ada hubungannya dengan orang-orang itu, sekarang juga aku akan membuat laporan ke polisi," ancamku, karena bagaimana pun Noah tetaplah orang asing.

"Tenanglah, tidak perlu repot-repot membuat laporan ke polisi. Karena polisinya ada di depanmu," kata Noah dengan senyuman lebar.

Leona terdiam hingga menganga ketika melihat Noah menunjukan lencana polisinya.

"Jadi, mau memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi padamu, dan kenapa kau berurusan dengan orang-orang itu?" Noah melihat Leona dengan pandangan serius sekarang.

"Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Saat pulang kerja tiba-tiba mereka menarikku ke dalam mobil dan menyekapku di sebuah gudang di dekat pelabuhan. Aku melarikan diri dari sana, tapi tertangkap juga karena mereka menembakku. Tujuan mereka sepertinya hanya satu yaitu membunuhku. Tapi aku bersumpah, aku tidak tahu siapa mereka dan aku tidak pernah punya urusan dengan orang-orang seperti mereka," jelas Leona. Ia pun masih bingung kenapa dirinya diincar sampai seperti itu.

"Apa kau tahu sesuatu dari orang-orang itu? Nama, wajah yang kau kenali, atau minimal ciri-ciri orang yang dominan di antara orang-orang itu. Yang memberikan mereka perintah, pasti ada di sana, kan?" tanya Noah.

"Tidak jelas. Memang ada satu orang yang datang ketika aku tertembak, tapi aku tidak bisa melihat wajahnya, hanya suaranya. Dia menghisap cerutu, dan berpenampilan rapih. Dia mengenakan sarung tangan kulit. Selebihnya tidak tahu lagi, karena kepalaku di pukul saat itu dan penglihatanku buram, terlebih tempatnya tidak berpenerangan bagus," beritahuku sebisa yang kuingat.

"Apakah mereka ada menyebut satu nama? Mungkin nama salah satu dari mereka, atau nama kelompok, nama apa pun itu." Noah mencoba menggali informasi yang mungkin berguna.

Leona berpikir, berusaha mengingat kembali kejadian tidak menyenangkan waktu itu. Ia tidak banyak mendapatkan informasi karena pikirannya saat itu hanyalah melarikan diri, karena jika ia menyerang pun ia tetap kalah dalam jumlah. Sampai Leona teringat sesuatu.

"Ada?" Noah melihat perubahan air muka Leona.

"Pria yang memberi perintah itu menyebutkan satu nama yaitu Luna. Dia ingin membunuhku agar tidak mengambil posisi orang bernama Luna dan menghalangi jalan orang itu. Seingatku dia bicara seperti itu," kata Leona.

Untuk sesaat Noah hanya terdiam, memandang lekat Leona. Pikiran pria itu melayang ke hal yang hanya pria itu sendiri saja mengerti.

"Apa aku mengatakan hal yang salah?" tanya Leona ketika Noah terus diam.

"Aku akan membuat tawaran denganmu," kata Noah tiba-tiba.

"Apa itu?"

"Jadi kekasihku," ujar Noah.

"Huh?" Untuk sesaat otak Leona seakan berhenti bekerja.

"Tapi jika dilihat dari usiamu akan terasa janggal. Bagaimana kalau menjadi sugar baby-ku saja?" celetuk Noah semakin menjadi-jadi.

Mendengar hal itu, Leona mengambil bantal di balik punggungnya dan melemparkannya ke wajah Noah dengan keras.

"Pergi kau polisi mesum!" seru Leona.

Dan tawa dari Rowan yang sejak tadi ada di sana dan mendengarkan dengan baik di samping Leona terdengar memenuhi ruangan. Tawa itu sanggup membuat Leona merasa malu sekaligus marah dengan ucapan gila dari polisi di depannya ini.

BAB 3. TERDUGA

Noah mengangkat kedua tangan sebagai tanda menyerah. Tidak menyangka kalau Leona akan memukuli Noah dengan kasar hanya karena apa yang pria itu lontarkan.

"Apa aku terlihat semurahan itu, hah?! Berani mengatakan hal seperti itu lagi kepadaku maka kau akan kuhajar," ancam Leona yang masih belum menurunkan kekesalannya.

"Kau salah paham, Little Girl. Aku hanya memikirkan tentang apa yang akan kulakukan padamu setelah ini," ujar Noah dengan ucapan ambigunya.

"Kau benar-benar pria mesum tidak tahu diri," geram Leona, kembali memukuli Noah dengan bantal di tangan sang gadis.

"Woah, woah, santai. Dengarkan aku dulu sebelum kau memukuliku seperti ini!" Noah berusaha untuk menghindari setiap pukulan dari bantal tersebut.

"Lebih baik kau keluar sebelum aku memanggil keamanan!" ancam Leona kembali. Jika saja tubuhnya dalam keadaan baik, Leona pastilah sudah membanting pria itu di lantai atau mematahkan tangannya saat ini juga.

Noah yang tidak sabar, memegang pergelangan tangan Leona, menahan setiap gerakan gadis itu, dan mendorongnya hingga punggung sang gadis menempel ke kepala tempat tidur. Sebisa mungkin Noah menghentikan pergerakan Leona, menahan kedua tangan gadis itu di sisi tubuhnya.

"Mau apa kau sekarang?" Marah sudah Leona dengan sikap Noah.

Tidak hanya Leona yang terkejut, melainkan juga Rowan di samping Leona berhenti tertawa. Tidak menyangka kalau pria itu akan melakukan gelagat mencurigakan seperti itu.

"Berhenti bersikap seperti anak kecil dan dengarkan aku, paham?" ujar Noah dengan tatapan dan suara yang begitu mengintimidasi. Seolah senyum ramah penuh candaan yang pria itu tunjukan lenyap sudah dalam hitungan detik.

"Tidak masalah, dia tidak jahat," beritahu Rowan.

Spontan Leona mengangguk terutama setelah mendengar ucapan dari Rowan, merasa kalau Leona tidak bisa menolak ucapan dari Noah begitu saja. Bahkan Leona tidak berani beradu pandang dengan pria itu. Rasanya ia sedang menghadapi pria yang berbeda, mengingatkan kalau pria tersebut jauh lebih tua dari Leona bahkan dari segi auranya.

"Bagus, dengan begini kita bisa bicara lebih tenang,." Noah menepuk kepala Leona kemudian memundurkan tubuh untuk kembali duduk di kursi lalu melanjutkan ucapannya, "Ada hal yang harus kurasa harus kau tahu, dan ini kemungkinan berkaitan dengan orang yang mau membunuhmu itu."

Leona membenarkan posisi duduknya dan mendengarkan. Ia juga melihat Rowan kini menatap Noah dengan pandangan serius, entah apa yang bocah itu pikirkan tentang pria tersebut.

"Aku ingin bertanya tentang profil dirimu. Jika kau tidak keberatan, maukah kau memberitahu dimana kau tinggal, lahir, orang tua, dan sebagainya. Ada sesuatu yang ingin kukonfirmasikan," pinta Noah dengan nada sopan kali ini.

"Untuk apa ingin tahu?" tanya Leona.

"Untuk menguatkan dugaanku," jawab Noah.

Leona menatap Noah, mencari hal yang mungkin menjadi ancaman pada diri pria itu. Ia sesaat memerhatikan Noah, melihat perubahan energi pada diri Noah. Namun Leona dapat bernapas lega karena tidak ada energi negatif yang menguar dari tubuh pria itu.

"Jadi, mau memberitahuku tentangmu? Setelah itu aku akan memberitahu hal yang mungkin kau butuhkan," kata Noah.

"Leona Warner, aku diasuh oleh pria bernama Herold Warner setelah menemukanku di gang pemukiman dulu katanya. Dia membesarkan dan yang merawatku sampai sekarang, aku lulus satu tahun lalu dari sekolah menengah atas dan bekerja paruh waktu di beberapa tempat. Tidak ada yang menarik dariku, kecuali mungkin beberapa kekacauan khas remaja," beritahu Leona secara garis besar tentang dirinya.

"Dan kau masih tinggal dengan ayah angkatmu itu? Apakah dia tidak khawatir tentang keadaanmu saat ini, kau sudah tidak pulang beberapa hari, kan?" tanya Noah.

"Herold pergi sejak dua bulan lalu dan aku tidak tahu kemana. Dia bilang ada urusan di luar kota, dan hanya menitipkan pesan untuk tidak berinteraksi dengan orang asing," jawab Leona, seketika memikirkan bagaimana keadaan ayah angkatnya itu saat ini. Karena sejak Beliau pergi, tidak ada kabar satu pun yang terdengar darinya.

Noah terdiam, lagi-lagi menatap lekat Leona seakan ia memikirkan sesuatu yang tidak biasa dan bersangkutan dengan gadis itu.

"Kenapa ingin tahu tentangku? Jika kau berpikir aku ada hubungannya dengan orang-orang itu, aku benar-benar tidak memiliki koneksi apa pun dengan mereka," kata Leona, takut kalau ia menjadi terduga dalam komplotan anggota kriminal.

"Kau tahu alasanku memburu orang-orang yang mau membunuhmu itu? Karena aku sedang mencari anak dari kakak perempuanku yang hilang. Selama bertahun-tahun aku mencarinya, sampai aku mendapatkan jejak sejak satu tahun lalu. Kalau mobil yang membawamu malam itu, adalah mobil yang sama dengan mobil yang pernah aku lihat di depan rumah kakakku sebelum puterinya menghilang," jelas Noah. Ada kesedihan yang kental dalam netra cokelat madu tersebut.

"Kenapa bisa hilang? Diculik?" tebak Leona, terkejut karena tiba-tiba mendengar cerita seperti ini.

"Ya, dan digantikan oleh anak yang lain. Semua keluarga tidak menyadarinya karena hilangnya si kecil itu ketika dia baru saja di lahirkan. Satu-satunya yang menjadi ciri khasnya adalah rambut pirangnya. Kakakku tidak sadarkan diri karena kelelahan saat melahirkan, sehingga belum melihat bayinya dengan benar. Sedangkan suaminya dan anaknya saat itu sebelum proses kelahiran terjadi, bengkel show room kendaraan milik keluarga terbakar tiba-tiba, dan harus segera diurus, sehingga mereka tidak bisa melihat proses kelahiran," jelas Noah.

"Lalu kenapa kau yakin kalau bayi itu diculik dan digantikan? Bukankah biasanya rumah sakit memiliki keamanan yang cukup ketat juga jika menyangkut bayi?" tanya Leona semakin penasaran.

"Karena aku orang pertama yang menggendong bayi itu. Orang hanya tahu rambut pirangnya. Tapi aku satu-satunya orang yang tahu kalau mata bayi itu adalah hijau kekuningan bukan biru. Mata seperti kuncup yang baru tumbuh, seperti permata peridot yang menawan, bagaimana bisa aku melupakannya ketika bayi itu melihatku. Aku tidak akan pernah lupa, aku mengenali si kecil bahkan ketika puluhan musim telah berlalu," ucap Noah dengan tangan yang kini berada di pipi Leona.

Gadis itu kembali terkejut ketika merasakan sentuhan selembut beludru dari wajah Leona. Lebih terkejut lagi ketika melihat air mata meluncur turun dari mata pria itu. Ia tidak mengerti kenapa pria itu menangis. Rasanya dalam sekali waktu entah berapa emosi dan tingkah laku yang Leona lihat pada diri orang tersebut, membuatnya bingung.

"Bagaimana mungkin aku tidak mengenali keponakanku sendiri. Setelah hampir dua puluh tahun, akhirnya aku menemukan si kecil di depan mataku sendiri. Jika saja aku tidak terjun ke sungai malam itu dan menyelamatkanmu, mungkin aku akan kehilangan keponakanku selamanya. Bagaimana bisa aku melupakan mata peridot milikmu ini, Baby," kata Noah dalam tangis namun merekah sebuah senyum.

"Kurasa kau salah. Tidak mungkin ada kebetulan seperti itu di dunia ini. Ada banyak perempuan berambut pirang dan bermata hijau di luar sana," kata Leona, masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

Noah mengeluarkan ponselnya, beberapa saat mencari sesuatu di dalam smartphone miliknya itu. Dan ketika ia menemukannya, Noah langsung menunjukan layar ponselnya ke Leona.

Mata hijau itu melebar, terkejut ketika ia melihat sebuah foto yang begitu mirip dengan Leona hanya saja terlihat lebih dewasa. Berambut pirang dan dengan warna mata serupa dengan Leona. Seolah gadis itu melihat dirinya dalam bentuk versi dewasa.

"Paham, kan? Kau begitu mirip dengan kakakku, bahkan jauh lebih mirip lagi ketika dia muda. Jadi bagaimana mungkin aku bisa salah mengenali anggota keluargaku sendiri," kata Noah.

Kali ini Leona yang terdiam. Bingung dan sulit diterima. Terlalu kebetulan tentang pertemuan mereka berdua ini. Rasanya aneh ketika berpikir kalau Leona tidak dibuang seperti yang ia tanamkan selama ini ketika mendengar pengakuan ayahnya tentang menemukan Leona di sebuah gang.

"Aku akan melakukan tes DNA. Apa kau mau?" tanya Noah, tahu kalau gadis di depannya ini sedang bingung setengah mati.

Leona mengangguk. Yah, mungkin itu yang terbaik. Dirinya akan mendapatkan kepastian dan kemungkinan kalau dugaan Noah tentang diri Leona ini salah.

Namun dalam diri Leona ada pergolakan, ada keinginan kalau tes DNA itu memiliki hasil positif. Gadis itu tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis ketika tahu kalau dirinya tidak dibuang, tidak dibenci oleh orang tuanya. Hal yang selalu menghantui Leona selama ini, kini membuat Leona dapat berpikir di jalur pikiran yang lain. Bahwa dirinya diharapkan untuk lahir ke dunia ini.

"Oh, tidak."

Leona mengalihkan pandangannya ke arah Noah yang tiba-tiba panik saat ada telepon yang masuk dan memberitahu sesuatu kepada Noah. Gadis itu mengusap air mata seraya bertanya ada apa.

"Orang yang mencoba membunuhmu sepertinya tahu kalau kau masih hidup. Mereka ada di lantai bawah dan mencari wanita pirang yang terdaftar di rumah sakit ini dalam beberapa hari belakangan. Mereka mencarimu," kata Noah.

Berpacu sudah jantung Leona. Rasanya oksigen tidak masuk sempurna ke paru-parunya, tertahan di dada hingga membuat gadis itu kesulitan untuk bernapas. Panik sudah ia rasakan ketika mengingat bagaimana sakitnya kematian itu. Yang menjadi malaikat mautnya malam itu, justru kini hendak mengambil kembali nyawa sang gadis.

Leona harus lari dari sini, tapi bagaimana caranya?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!