Hallo temen-temen readers! Selamat datang di dunia yang penulis khayalkan. Kisah yang akan temen-temen baca sejatinya bersifat fiktif dan murni datang dari imajinasi penulis. Jika terdapat kesamaan nama atau kejadian, itu semua hanya kebetulan tanpa adanya unsur kesengajaan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih karena temen-temen readers telah mampir dan meramaikan cerita ini.
Happy reading, temen-temen!
•
•
•
*Februari 2017…
“Ra! Kapan kamu mau balik? Cowok kamu katanya dirawat, masa kamu gak jenguk dia?”
Suara kencang dari benda pipih itu semakin membuat kepala Sora berdenyut.
Di hadapan laptop yang tengah Ia operasikan, konsentrasi Sora nyaris terpecah karena Ia menggunakan loudspeaker ketika menjawab telpon dari Agnes, sahabat karibnya selama sekitar satu tahun terakhir ini.
Sejak pertemuan pertama mereka sewaktu interview, Sora memang menjadi lebih akrab dan semakin dekat dengan Agnes. Apalagi mereka sempat ditempatkan dalam satu ruangan kerja selama tiga bulan masa training bekerja di perusahaan itu.
Namun, setelah enam bulan bekerja di sana, Agnes mengundurkan diri karena katanya Ia mendapatkan pekerjaan yang lebih dekat dengan rumahnya.
Meski begitu, Sora dan Agnes masih menjalin hubungan pertemanan dengan baik. Mereka masih sering pergi bersama ke lokasi wisata atau hanya sekadar nonton ke bioskop. Agnes bahkan mengenal baik pacar Sora karena terlalu seringnya mereka pergi bersama.
“Gak tahu Nes… Mungkin dua atau tiga hari lagi…” Sora menjawab Agnes hanya dengan sedikit semangat.
“Waduh… Emang acaranya masih banyak?” Agnes terdengar penasaran.
“Enggak juga. Tapi kita-kita mau rencana extend. Lumayan kan, kapan lagi ke Bali gratis ongkos PP.” Sora masih sibuk mengoperasikan laptopnya.
“Oooh… Ya udah deh. Selamat liburan.” Setelahnya, Agnes memutuskan sambungan telpon tanpa menunggu jawaban Sora.
“Huhh…” Sora membuang nafas kasar sambil melirik ponsel yang tergeletak di samping laptopnya.
Sora meraih benda itu dan menekan ikon berwarna hijau dengan gambar telpon. Kemudian, Ia mengetuk sebuah kolom percakapan dengan nama ‘My R’ tertulis di sana.
Di sana, tampak beberapa pesan yang Sora kirim masih hanya bertanda dua centang abu-abu, tidak berubah menjadi dua centang biru seperti pesan-pesan lain di atasnya.
Jika diperhatikan, dalam satu hari Sora hanya mengirim tiga sampai empat pesan yang isinya hampir sama; sekadar menanyakan kabar dan menanyakan aktifitas yang tengah dilakukan. Dan kesemua pesannya itu sama sekali belum mendapat satupun balasan. Atau mungkin tidak dijawab.
Raut wajahnya tampak berubah. Sora terlihat semakin murung. Tiba-tiba saja dadanya sesak dan pandangannya buram terhalang air mata yang menggenang di pelupuknya.
Pikirannya lari pada sosok pria dengan lesung pipinya yang akan muncul ketika berbicara. Sora merindukan sosok itu. Adalah Reza, pria yang selama tiga tahun ini telah mengisi relung hati Sora.
Sora benar-benar kehilangan konsentrasi dengan laptopnya setelah sambungan telpon itu berakhir. Ia mengasihani dirinya sendiri karena dalam satu minggu terakhir ini Reza belum juga menghubunginya.
Tahu-tahu Ia mendapat kabar bahwa kekasihnya itu mengalami kecelakaan. Bagaimana mungkin hal itu tidak mengusik pikirannya?
Dada Sora terasa sesak dan nafasnya tercekat. Ia buru-buru mematikan laptop di hadapannya dan menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
‘Emang jadi pacar lu sesakit ini ya, Za?’ Sora bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Kala itu, Ia larut dalam kesedihan yang bertemu dengan kesendirian. Perpaduan sempurna untuk menikmati derasnya air mata yang meluncur menyusuri pipi.
#
Untung saja Sora terbangun jauh sebelum alarm yang Ia setel berbunyi. Dilihat-lihat lagi ini baru jam tiga pagi. Artinya Sora bangun tiga jam sebelum alarm berbunyi jam enam pagi nanti.
“Huh… Untung banget gua kebelet pipis. Kalo enggak, gua gak inget keburu beresin kerjaan,” Sora mulai menyalakan laptopnya, “gara-gara Si Reza asem, gua jadi nangis sampai ketiduran. Aishh…” Sora terus menggerutu sambil menunggu laptopnya menyala.
“Bodo amat lah. Terserah. Gua gak mau urusin dia.” Sora masih menggerutu.
#
Siang itu, Sora telah berdiri dengan lesu menunggu koper bawaannya melintas. Lagi-lagi gara-gara Reza, atau mungkin kali ini gara-gara Agnes, Sora membatalkan rencana memperpanjang kegiatannya di Bali. Ia merasa tidak tenang dan memilih penerbangan paling pagi dengan harapan dirinya akan bisa segara bertemu dengan Reza, kekasihnya.
Sayangnya, jadwal penerbangannya terganggu karena cuaca buruk sehingga Sora harus menunggu sekitar dua jam lamanya sebelum keberangkatannya.
‘Arghh…’ Sora memaki dirinya sendiri dalam hatinya. Meski raut wajahnya terlihat datar. Namun isi kepalanya sangat berantakan. Lebih tepatnya, Sora tak bisa berhenti terpikirkan tentang Reza.
Setelah urusannya di bandara selesai. Sora memesan taksi dan segera meluncur ke rumahnya. Meskipun Ia sangat ingin menemui Reza, tapi Ia tak ingin dirinya terlihat penuh drama seperti di film-film yang akan langsung pergi ke rumah sakit dengan semua barang bawaan yang merepotkan. Tidak, Sora tak mau seperti itu.
Ia memutuskan untuk ke rumahnya terlebih dulu menyimpan koper besar itu. Selain itu, Ia tentu ingin terlihat cantik ketika bertemu dengan Reza nanti.
“Makasih, Pak.” Kata Sora ketika sopir taksi itu menurunkan koper dari bagasi.
Di depan gerbang rumah dua tingkat bergaya Eropa klasik modern itu, Sora menekan bel dan tak lama setelahnya gerbang besar itu terbuka.
Tampak seorang pria dengan setelan rapi berjalan menghampiri Sora. Jika dilihat sekilas, pria itu sepertinya telah memasuki usia lima puluhan tahun.
Kemudian, pria itu menyambut koper besar milik Sora dan menariknya menyusuri jalanan yang cukup lebar yang terbuat dari susunan paving block. Halaman rumah itu cukup luas. Dua buah mobil tampak terparkir di bawah pohon di sisi lain halaman.
Sora yang seolah kehilangan beban hidup itu buru-buru berjalan mendahului pria yang kini tampak sibuk dengan koper miliknya.
Rumah itu memang terlihat besar. Namun, ketika Sora memasuki pintu utama yang berwarna coklat tua itu, suasana sepi langsung menyeruak dari dalam sana.
Sora melirik sekilas ke belakang ketika dirinya telah beranjak menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Pria yang membawa kopernya tadi telah berada di ambang pintu, tak begitu jauh di belakang Sora.
"Nanti biarin di depan kamar aja, Pak.” Kata Sora pada pria itu.
“Baik, Non.” Pria itu menjawab dengan singkat.
Sora memasuki kamarnya dan segera berjalan menuju kamar mandi yang memang masih terletak di dalam kamarnya. Ia benar-benar tak sabar untuk kembali bersiap diri demi menemui kekasihnya yang beberapa hari ini tak ada kabar.
Sora bersusah payah melawan rasa kantuk selama dirinya memoles wajahnya yang memang sudah terlihat cantik. Rambut panjangnya Ia biarkan tergerai.
Begitu Sora membuka pintu kamar, Ia sempat tersentak ketika melihat kopernya teronggok tepat di depan pintu. Sora langsung saja menarik kopernya masuk ke kamarnya.
Kemudian Ia menutup rapat pintu kamar dan kembali menuruni tangga. Tangan kanannya menggenggam erat kunci mobil kesayangannya.
“Non. Lho? Bukannya baru dateng? Mau pergi lagi tah? Gak mau makan dulu? Bibi mau siapin-“
“Gak usah, Bi. Aku buru-buru.” Jawab Sora sambil melirik wanita dengan celemek sepinggang.
Wanita itu adalah seorang asisten rumah tangga yang telah sangat lama bekerja di rumah Sora. Ia adalah istri dari pria yang membantu mengangkat koper Sora. Mereka adalah sepasang suami istri yang tidak memiliki anak.
Sampai di halaman rumah, Sora dengan yakin melangkahkan kakinya menuju sebuah sedan putih yang terparkir di bawah pohon tadi. Ia menyalakan mesin mobil dan tak lama setelahnya Sora melesat mengikuti penunjuk jalan di ponselnya.
#
“Kak. Pasien atas nama Reza William di ruang mana ya? Jam besuknya masih belum abis, kan?” Sora memberondong seorang staf pusat informasi dengan sejumlah pertanyaan.
“Tunggu ya…” Kata wanita dengan name tag ‘Dinda’ itu.
Tak sampai satu menit, Dinda akhirnya memberi Sora jawaban.
“Pasien atas nama Reza William baru pulang tadi pagi, Kak”
“Oh, sudah pulang, ya? Ya sudah Kak. Makasih ya.” Sora berbalik dan berjalan dengan malas seperti daun tertiup angin.
‘Apa mending ke rumahnya aja? Apa gimana? Ck. Lagian dihubungin gak bisa-bisa.’ Sora berbicara sendiri dalam pikirannya.
Akhirnya, Sora kembali menancap gas sedan miliknya mengikuti map di ponselnya. Sebelum tiba di tujuan, Sora menyempatkan diri mampir ke sebuah toko buah dan minta dibuatkan satu bingkisan parsel.
Ia kembali menyusuri jalanan dan kali ini perjalanannya ditemani sekeranjang buah-buahan segar.
Sampai di dekat titik akhir perjalanan, Ia sempat ragu karena itu baru pertama baginya ke sana. Sora hanya pernah diberi tahu oleh Reza bahwa Reza tinggal di daerah Sunrise Garden, tak jauh dari sebuah toserba. Hanya itu informasi yang Ia ketahui tentang tempat tinggal Reza selama hampir tiga tahun lamanya mereka menjalin hubungan.
Setelah bertanya pada beberapa orang yang Ia temui, Sora akhirnya menghentikan mobilnya di tepi jalan karena rumah-rumah di sana tak memiliki halaman yang cukup untuk memarkir mobil.
Tak jauh dari tempat Sora memarkir mobil, Ia melihat beberapa anak laki-laki tengah bermain bola dengan menggunakan sandal sebagai gawang. Usia mereka sekitar delapan sampai sepuluh tahunan.
Sora menghampiri seorang anak dengan pakaian yang sablonannya tampak memudar. Sora ingat Ia pernah melihat anak itu pada sebuah foto yang pernah Reza tunjukkan.
“Dek. Kamu adiknya Reza, kan?” Sora menampilkan raut wajah seramah yang Ia bisa.
Anak itu tak langsung menjawab pertanyaan Sora. Ia memindai Sora dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Situ kenal abang saya?” anak itu menatap Sora curiga.
“Iya. Kenalin, saya Sora. Pacarnya Reza. Nama kamu siapa?” Sora mengulurkan tangan.
‘Ciieeee…’
‘Eaaa…’
Tanpa Sora duga, anak-anak lain yang berada di sekitarnya menyorakinya karena ucapannya barusan.
“Berisik lu!” anak kecil itu melotot pada teman-temannya yang lain sambil mengangkat tinju ke udara. Sorakan itu seketika berganti menjadi gelak tawa.
“Situ beneran pacarnya abang saya? Kok kayak bukan...” anak itu mendelik, “terus situ kok cepet banget sembuhnya? Abang saya masih pada diperban.” Anak itu bersidekap. Ia bahkan tak memberi tahu namanya pada Sora.
Sementara itu, Sora sama sekali tak mengerti ucapan anak itu barusan. Wajahnya memancarkan sebuah tanda tanya.
“Maksudnya?” tanya Sora.
“Abang saya jatoh dari motor kan sama pacarnya. Ya mereka pada luka-luka lah. Pada dibawa ke rumah sakit.” Anak itu menjelaskan dengan ketus.
“Masa sih?” Sora masih tak percaya dengan apa yang Ia dengar.
“Ck. Dibilangin juga... Jangan ngaku-ngaku deh!” Anak itu melengos dari hadapan Sora.
Sora kembali memasuki sedan putih itu dengan sejuta pertanyaan dalam benaknya. Tiba-tiba saja Ia teringat Agnes. Rasanya Sora ingin menumpahkan semua beban isi kepalanya pada Agnes.
Sora kembali menancap gas dan mengendarai mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Hingga ketika dirinya berhenti karena lampu merah, Ia baru teringat untuk menghubungi Agnes. Sora terlalu bersemangat ingin menemui Agnes tanpa bertanya kesediannya terlebih dulu.
Setelah beberapa kali mencoba, Sora akhirnya bisa terhubung dengan Agnes.
“Halo?”
“Nes. Kamu di rumah, kan?” tanya Sora segera setelah Ia mendengar suara Agnes.
“Heem, kenapa?” tanya Agnes polos.
“Aku bentar lagi nyampe rumah kamu. Aku mau-“
“Hah? Bukannya kamu masih di Bali? Kok tiba-tiba mau ke rumah aku?” Agnes seperti terkejut setengah mati mendengar ucapan Sora.
“Yah… Nanggung, Nes. Aku udah masuk gang rumah kamu.” Dan memang, kali ini kanan kiri jalanan yang dilalui Sora sudah berupa jajaran perumahan.
“Puter balik lagi aja. Jangan ke rumahku!” Nada suara Agnes meninggi.
“Nes… Aku butuh kamu… Emang kamu kenapa? Di rumah kamu ada apa? Lagi ada acara?” Sora justru terdengar memelas pada sahabatnya itu.
“Berisik. Kalo lo berani ke rumah gue, gue anggep kita gak pernah temenan, Ra” ancam Agnes.
“Kok kamu gitu, sih?” Sora merasa heran dengan gelagat Agnes, namun keheranan itu berubah menjadi rasa penasaran yang tinggi.
“Bodo amat! Pokoknya lu jangan berani-berani dateng ke rumah gua!” Sambungan telpon itu kemudian Agnes putuskan begitu saja.
“Dih. Dia kesambet apaan sih? Apa dia lagi dapet?” Sora mengerlingkan matanya. Ia memilih untuk tak mendengarkan Agnes dan tetap melanjutkan niatnya.
Hingga dirinya tiba di rumah Agnes, semua terlihat biasa, tak ada yang aneh.
“Agnes…” suara Sora menggema di luar gerbang besi yang hanya setinggi lehernya.
“Agnes…”
Baru setelah dua kali panggilan, seorang wanita paruh baya terlihat keluar dari balik pintu dan berjalan menghampiri Sora. Wanita itu membuka pintu gerbang dengan hanya menggesernya sedikit selebar tubuhnya.
Sora mengulurkan tangan dengan maksud memberi salam. Untungnya, uluran tangan Sora diterima dengan ramah oleh wanita itu.
“Eh, Sora? Ngapain ke sini? Agnes kan masih di RS.” Ucap wanita itu yang ternyata adalah Ibu Agnes.
“Oh Iya… Aduh Bu, Aku kebiasaan nih suka langsung ngarah ke sini.” Padahal saat itu Sora baru tahu bahwa Agnes berada di rumah sakit.
Ibu Agnes sedikit tertawa mendengar ucapan Sora, “tapi kamu gak lupa alamat Rumah Sakit Graha K, kan? Gak lupa nomor kamar Agnes, kan?” Ibu Sora kembali tertawa.
Sora hanya ikut tertawa mendengar ucapan Ibu Agnes. Dalam hatinya, yang Ia ingat bahwa Rumah Sakit Graha K adalah rumah sakit tempat Reza dirawat.
“Ya jelas masih inget dong, Bu. Kalo gitu saya pamit ya. Mari, Bu” Sora mengakhiri perbincangan itu.
Lalu, bukannya menuju rumah sakit. Sora justru mengemudikan sedan putih itu kembali menuju rumah Reza. Hampir satu jam lamanya sora mengemudi untuk kembali sampai di sana.
Meski hari semakin sore, anak-anak tadi masih saja terlihat asyik bermain kejar-kejaran sambil tertawa riang. Tiba-tiba kesenangan mereka terhenti ketika melihat Sora kembali berjalan menghampiri mereka.
Seorang anak tampak menunjuk-nunjuk Sora sambil berbisik pada temannya. Namun Sora tak peduli. Ia langsung menghampiri adik Reza yang bahkan namanya saja tak Ia ketahui
“Dek. Sini deh, Kakak mau nanya…” Sora menatap anak itu dengan lembut.
“Apaan?” Ketus anak itu.
Kemudian, Sora menggulir layar ponselnya dan menunjukkan sebuah foto pada anak itu.
“Pacar abang kamu yang ini?” Sora masih bisa mengembangkan senyum.
Tatapan anak itu melebar ketika menatap layar ponsel Sora.
“Ho’oh. Yang jatoh waktu jalan sama abang saya yang itu. Gimana sih?! Katanya situ pacar kakak saya, tapi mukanya beda sama di foto. Ngaku-ngaku mulu!” Anak itu melengos setelah meninggalkan kalimat yang menyesakkan dada Sora.
Dengan nafas tercekat. Sora kembali ke arah mobilnya terparkir. Ia membuka pintu bagian penumpang dan mengambil parsel buah yang terlanjur Ia beli.
Langkah gontainya menuntunnya menuju pintu rumah pria yang Ia rindukan.
“Misi… Reza...” Sora memanggil salah satu penghuni rumah itu.
Pintu itu pun beberapa kali diketuknya hingga seseorang dari dalam sana membuka pintu.
Seorang wanita yang agak gemuk muncul dari balik pintu dan kini berdiri di ambang pintu. Wajahnya terlihat letih.
“Siapa kamu?” wanita itu terdengar lesu.
“Saya Sora. Pacarnya Reza.” Sora mengulurkan tangannya.
Raut wajah letih wanita itu hilang ketika Sora berkata demikian. Sorot mata wanita itu seperti memancarkan api yang menyala-nyala.
“Ooh… Jadi Kamu ini pacarnya Reza? Asal kamu tahu ya! Kamu tuh bawa sial mulu buat anak saya! Kemaren kecopetan, sekarang kecelakaan, besok apa lagi? Kamu bikin anak saya sial kayak gimana lagi?!” Sambil menunjuk-nunjuk ke arah Sora, wanita itu tiba-tiba menyerang Sora dengan tuduhan yang jelas terasa aneh bagi Sora.
“A-anu… Maaf Bu. Saya sama Reza udah sebulan ini gak ketemu-“
“HALAH!!! JANGAN BOHONG KAMU?! KALO BUKAN KETEMU KAMU, TERUS KETEMU SIAPA? Orang Reza bilang mau ketemu pacarnya!” Wanita itu menyilangkan tangan di dada.
Sora terkesiap. Ia tak tahu harus menjawab apa, tak tahu harus bagaimana mengambil sikap.
“POKOKNYA, SAYA GAK BAKAL BIARIN ANAK SAYA DEKET-DEKET KAMU LAGI! SAYA SUMPAHIN GAK BAKAL ADA COWOK YANG MAU SAMA CEWEK PEMBAWA SIAL KAYAK KAMU!” Akhir dari serangkaian ucapan pedas wanita itu tak kalah mengerikan.
Sora tak tahan dengan ucapan tanpa filter dari wanita itu. Saat itu juga, Ia bertekad mengakhiri hubungannya dengan Reza. Sedikit terbesit dalam pikirannya jika wanita di hadapannya menjadi mertuanya kelak.
“Lho, Bu? Kok ngedoanya gitu? Saya baik-baik lho ke sini, mau jenguk Reza. Saya bela-belain bawa ini-“ ucapan Sora terpotong oleh suara pintu yang ditutup dengan keras oleh wanita itu.
Sora terperangah. Ia hanya merasa sikap Ibu Reza terlalu berlebihan. Ia merasa dirinya tak pantas mendapat caci maki dan sumpah serapah yang bertubi-tubi itu.
“Udah lah. Gua kayak gak ada cowok laen aja.” Sora beringsut meninggalkan tempat itu.
Parsel buah itu Ia berikan pada anak-anak yang rupanya masih terus asik bermain bahkan ketika senja akan tenggelam.
“Kili bikin kitimi kimi, tiris kitimi siipi?” Sora mengoceh dengan rasa kesal yang menggunung, “anak lu tuh selingkuh! Kesel bangat gua!” Sora memukul kemudi mobil yang tak bersalah itu.
Dengan amarah yang menggebu-gebu, Sora mengetik pesan singkat pada kontak bernama ‘My R’ yang hingga detik itu masih saja belum membalas pesan-pesannya.
‘Za. Gua capek.. Udah cukup tiga taun gua backstreet sama lo, gua gak bakal nyariin lu lagi, Thank u buat semuanya’
“Cukup buat bikin kesabaran gua abis,” ucapan itu tak ditulis oleh Sora dalam pesan teksnya.
Sora membiarkan pundaknya lemas dan tertunduk bertumpu pada kemudi mobil. Perasaanya campur aduk. Ia gusar karena Reza seolah menghilang dan lenyap ditelan bumi, Ia kecewa karena Agnes tega mengkhianati dirinya, dan Sora juga merasa kesal atas sumpah serapah Ibu Reza. Padahal sejatinya Ia adalah korban dari semua kegaduhan yang terjadi.
Tangis Sora akhirnya pecah. Puncak dari semua kekalutan yang menggunung memenuhi hati Sora adalah air mata yang membanjiri wajahnya.
#
•
•
•
Hallo temen-temen readers! Sampai tahap ini masih seputar kisah Sora yang lagi patah hati. Mari berdoa bersama-sama supaya Sora cepat move on dan tidak galau berkepanjangan. Terima kasih semuanya yang sudah mampir dan ikut menyemangati Sora.
Minggu-minggu pertama menyandang status lajang terasa berat bagi Sora. Seperti ada bagian dari dirinya yang hilang. Sora sering terlihat murung dan menjadi penyendiri.
Beberapa bulan setelahnya, senyum cerah Sora perlahan-lahan muncul kembali. Luka dalam diri Sora sepertinya berangsur pulih.
#
*Desember 2017…
Tak mau terlalu lama merasa sendiri, Sora kembali berpikir untuk membuka hatinya kembali. Ia ingin membuktikan pada Reza bahwa dirinya bisa bahagia tanpa keberadaan pria itu.
Pada suatu malam yang dingin karena hujan yang deras, Sora telah berada di sebuah restoran yang terkenal dengan sajian Escargot-nya.
Sora memiliki janji dengan seorang pria yang Ia kenal di aplikasi kencan. Itu adalah pertemuan perdana mereka setelah beberapa hari bertukar pesan.
Dalam balutan midi-dress berwarna biru muda, Sora tampak menawan dengan rambutnya yang dikepang dengan rapi. Ia terlihat seperti tokoh kartun populer yang memiliki kekuatan sihir es.
Sora menatap layar ponselnya. Ia mengingat-ingat waktu yang telah Ia habiskan untuk menunggu kenalan barunya itu.
“Udah mau sejam tapi dia gak dateng-dateng…” gumam Sora.
Sora menaruh kembali ponselnya dan melirik gelas yang hampir kosong di sebelah ponsel. Sisa minuman itu adalah saksi bisu yang setia menemani penantian Sora.
Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Sora terperanjat dan senyumannya merekah. “Wah…”
“Aku udah di depan, kamu di mana?” Sora membaca pesan yang baru masuk itu.
“Tunggu deh, aku ke sana. Aku pake dress biru ya…” Sora bangkit dan bergegas menuju pintu utama restoran.
Ia kegirangan seperti anak kecil yang mendapat hadiah sepeda, binar matanya berkilauan.
“Kamu di mana? Aku udah di depan.” Sora celingukan ketika Ia tak melihat sosok pria yang katanya tingginya sekitar 184 cm itu.
Alih-alih dihampiri pria tampan, Sora justru didatangi seorang wanita yang menggunakan celana kulot berwarna krem yang dipadukan dengan balutan blouse bermotif macan salju. Terdapat juga nama merek fashion melintang di bagian tengahnya.
“KAMU!” tiba-tiba saja lengan Sora dihantam oleh shoulder bag yang entah apa isinya hingga Sora merasa seperti dipukul menggunakan papan.
“Lho? Ibu siapa? Ada masalah apa ya kok tiba-tiba mukul saya?” Sora keheranan dengan tingkah wanita itu.
“KAMU SIMPENAN SUAMI SAYA, KAN?” Wanita itu menunjuk di depan hidung Sora, “NGAKU, GAK?!” shoulder bag itu kembali dipukulkannya pada Sora.
“Apa sih, Bu? Cowok aja saya gak punya!” darah Sora ikut mendidih.
“Ya karena kamu simpenan suami orang!” wanita itu melotot. Kemudian, Ia menunjukkan layar ponselnya tepat di depan wajah Sora. Layar kunci ponsel itu adalah sebuah foto bersama antara wanita itu dan seorang pria. Tunggu, Sora merasa sosok pria itu seperti tidak asing.
“Hah? Ini Mas Aldo?!” ucap Sora keheranan sambil menatap layar ponsel wanita itu.
“Aldo, Aldo! Dia itu suami saya, Mas Aris!” Wanita itu menyilangkan tangan di dada.
“Bentar, Bu. Bentar!” gantian Sora yang merogoh ponselnya. Kemudian, Ia menggulir layar ponsel dan menunjukkannya pada wanita itu.
“Nih, Bu. Lihat! Di dating app namanya Aldo! Aldo Hartosuwirjo!” Sora menatap sinis wanita itu.
“Ck, halah! Berisik. Pelakor mah pelakor aja!” Setelahnya, wanita itu melengos begitu saja dari hadapan Sora.
Sora masih menatap kepergian wanita itu.
Wanita itu pergi meninggalkan Sora yang saat itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di sana.
Meski begitu, Sora yakin pasti wanita itu sebenarnya sadar bahwa apa yang dikatakan Sora tidaklah salah. Wanita itu pasti hanya terlanjur malu dan tak mau mengakui kesalahan suaminya.
#
*Juni 2018…
Sejak rencana pertemuannya dengan pria di aplikasi kencan gagal total, Sora langsung menghapus aplikasinya tak lama setelah insiden menyebalkan itu terjadi. Ia tak mau lagi berkenalan dengan orang baru lewat jalur aplikasi. ‘Trauma’ mungkin ungkapan yang tepat bagi apa yang Sora rasakan jika mendengar nama aplikasi kencan itu.
Meski begitu, Sora tak pantang menyerah untuk kembali mencari calon kekasih hatinya. Saat itu Sora tengah menjalin komunikasi intens dengan seorang pria.
Mereka bertemu pada pesta perayaan ulang tahun perusahaan tempat Sora bekerja. Rupanya, pria itu masih saudara jauh salah satu direksi perusahaan.
Setelah pertemuan tak disengaja itu, Sora merasa senang tiap kali pria itu menghubunginya meskipun hanya saling berbalas pesan singkat.
Hubungan tanpa status yang jelas itu berlangsung selama beberapa minggu. Selama itu pula Sora merasa seperti di atas awan setiap hari. Namun, rasa itu ternyata tak bertahan lama.
Tiba-tiba saja Sora tak bisa menghubungi pria itu. Seluruh pesan yang Sora kirimkan tak pernah sampai, panggilan telpon Sora tak pernah terhubung.
Tapi Sora bisa apa selain menunggu. Status mereka saja tidak jelas. Disebut teman tapi kelewat dekat sampai-sampai Sora sering senyum sendiri ketika berbalas pesan, dan diantara mereka belum ada yang pernah menyatakan perasaan satu sama lain.
Empat hari setelah menghilang tanpa kabar, Sora akhirnya bisa terhubung kembali dengan pria itu. Namun kali ini Sora tak lagi merasa di atas awan seperti biasanya.
Melihat ikon foto profil pria itu berubah menjadi seorang wanita yang tersenyum manis, Sora memberanikan diri menanyakan status hubungan mereka. Dan hasilnya sesuai dugaan Sora. Pria itu benar telah memiliki seorang kekasih.
“Dasar bekantan sok kegantengan!” Sora menghapus kontak bernama ‘Bayuuu’ itu dan menghapus seluruh pesan dalam kolom chatnya.
Menyebalkan memang. Lagi-lagi harapan kecil yang tumbuh dalam hati Sora kembali berujung kecewa. Ia seperti terjun bebas dari pesawat dan menghantam tanah dengan keras karena tidak ada parasut yang mengembang.
#
*Desember 2019…
“Dek… Maaf ya… Mas sebenernya udah punya cewek, udah lama. Dan bentar lagi kita mau nikah…” Dari sebrang sana terdengar seorang pria meminta permohonan maaf pada Sora.
Sora masih terdiam. Suara petir yang menyambar seolah mewakili gemuruh dalam hatinya. Malam itu, Sora duduk termangu di tepi tempat tidurnya.
“Dek?” Kembali terdengar suara dari ponsel Sora.
“Oh, iya Mas. Gak apa-apa, kenapa minta maaf. Lagian saya bukan siapa-siapanya Mas Dimas.” Jawab Sora getir..
“Sekali lagi Mas minta maaf ya Dek… Mas-“
Sora tak mau lagi mendengar suara pria itu. Ia mematikan sambungan telpon dan menangkup wajahnya dengan kedua tangannya.
Ada pisau gaib yang menusuk dadanya. Nafasnya menjadi sesak. Bulir air mata ikut jatuh seperti hujan di luar sana.
Malam itu, untuk yang kesekian kalinya perasaan Sora kembali hancur berkeping-keping setelah susah payah Ia berbenah dan merangkainya. Sora membiarkan dirinya tenggelam dalam tangisnya.
#
“Surat cuti saya, Bu”
Pagi itu, Sora telah berdiri menghadap Yasmin, Direktur SDM yang salah satu kewenangannya adalah mengurus pengelolaan karyawan.
Yasmin tak langsung menjawab ucapan Sora. Ia masih terus bersidekap menatap kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di atas hidung Sora yang mancung.
“Kamu mau liburan sekarang?” Tanya Yasmin datar.
“Enggak, Bu. Rencana cuti saya minggu depan. Sudah saya tulis di suratnya.” Jawab Sora santai sambil membenarkan posisi kacamatanya yang sedikit turun.
Setelah Sora memutus hubungan pertemanan dengan Agnes, Sora memilih untuk menganggap semua orang sama dan setara hanya sebagai teman. Ia masih sakit hati teringat rasanya dikhianati oleh ‘sahabat’.
Namun diantara banyak temannya, Sora terbilang lebih akrab dengan Yasmin. Entah kenapa Sora merasa Yasmin menghadirkan sosok seorang ‘kakak’ yang tak pernah Ia miliki dalam hidupnya. Dan Sora beruntung Yasmin selalu menyambutnya dan nyaris menghapus jarak yang biasa terbentuk karena batasan pekerjaan.
“Terus, itu kenapa?” Yasmin menunjuk kacamata hitam itu dengan dagunya.
“Biar gak kelihatan ngantuk, Bu.” Sora memahami arti tatapan Yasmin.
Namun, jawaban Sora tidak sepenuhnya benar. Pagi tadi ketika Sora bagun dari tidurnya, kedua matanya menjadi sangat bengkak karena Ia terus-terusan menangis hampir sepanjang malam.
Dan hingga saat itu pun, Sora masih merasa kesusahan untuk membuka matanya dengan sempurna. Benar-benar terasa seperti orang yang mengantuk berat.
“Ooh…” Yasmin mengangguk sambil meraih selembar kertas yang Sora taruh di atas mejanya.
“Empat hari? Kamu mau ke mana Ra?” Yasmin penasaran.
#
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!