Zainab Rahayu Fadillah seorang gadis berusia 30 tahun, akhirnya melepas masa lajangnya. Setelah sekian lama mendambakan tambatan hati. Akhirnya, diusia yang matang ini dia bisa menikah dan menjalani kehidupan baru bersama suaminya.
Zainab menikah dengan pilihan orang tuanya. Dia tidak begitu menyukai calon suaminya. Namun mengingat umur yang sudah tidak muda lagi, dia memutuskan untuk menikah.
Lagi pula calon suaminya itu ada darah turunan dari seorang tuan guru dari sebuah kota di Sumatra Utara.
“Jika darahnya berasal dari garis keturunan baik-baik, tentu saja perilakunya juga baik.” tutur keluarganya menyakinkannya.
Waktu itu ia hanya menganguk pelan menerima lamaran itu. Didesanya ia selalu disindir kenapa belum menikah.
“Jangan asyik mengendong anak orang, sesekali ngendong anak sendiri...” sindir seorang pria saat dia mengendong ponakannya pergi kekedai membeli jajan.
Tanpa berpikir panjang, Zainab menerima pinangan itu.
Mereka berpikir, jika memiliki aliran darah turunan baik, maka nanti perilaku calon suaminya juga baik dan paham agama.
Namun, pernikahan ini malah membawanya ke nerakanya dunia. Suami dan keluarganya, yang seharusnya menjadi tempat bernaung, malah menjadi sumber penderitaannya tiada henti.
Setelah seminggu menikah.
Zainab dan Hasan, bersiap-siap hendak pindah kerumah baru mereka. Ibu nya Zainab sibuk menyusun alat-alat yang mau dibawa.
Sedangkan ayah Zainab duduk didepan pintu sambil termenung. Entah apa yang dipikiran pria tua berumur 50 tahun itu.
Mungkin saja sedang memikirkan apa yang mau diberikan kepada sang anak bekal untuk pindahan. Apalagi posisi mereka lagi sulit. Entahlah, hanya dia dan tuhan yang tahu.
“Jika tidak ada yang mau bantu kami hendak pindah, jangan harap bisa datang kerumah kami...” ucap Hasan membuat kedua orang tua Zainab terkejut mendengarnya.
Apalagi Zainab. Dia tidak menyangka, sang suami bisa berbicara seperti itu.
Sang ayah, mengambil alat-alat yang hendak dibawa pindah. Ibu Zainab tidak ikut mengantarkan Zainab pindahan.
Bahkan seumur hidupnya tidak pernah tahu bagaimana bentuk dan letak rumah sang anak.
Pindah ke rumah baru, seharusnya menjadi moment yang dinanti-nanti dan moment bahagia bagis sepasang pengantin. Namun malah membuka titik awal penderitaan yang tidak berkesudahan.
Rumah itu lebih mirip penjara, ketimbang dibilang rumah.
Hasan sang suami, yang diharapkan akan menjadi sosok imam yang baik serta bertanggung jawab, hanya bisa menghabiskan hari-harinya ditempat tidur.
Sedangkan sang istri, mati-matian bekerja mengurusi rumah dan mencari uang sampingan. Seperti mengambil upah membelah pinang, mengambil upah menanam padi dan lain sebagainya.
Hasan selalu punya alasan untuk tidak bekerja, seolah-olah mencari uang adalah kewajiban sang istri.
“Kerja keras tidak membuat orang kaya, aku juga sering lihat orang sering tidur kaya juga ia. Jadi orang sering tidur, itu tidak sebab seseorang menjadi miskin, tapi itu hanya takdir yang sudah membuat kita miskin...” ujarnya pada suatu hari.
Sebenarnya bisa saja, kata-katanya dijawab. Tapi, akan menimbulkan perkelahian ujung-ujungnya.
Ia bukan hanya seorang pemarah, tapi juga biang penyulut bara dan perkelahian dalam rumah tangganya sendiri, membuat kehidupan sang istri dan anak-anaknya diwarnai pertengkaran setiap harinya.
Hampir tiap harinya suka membicarakan aib orang lain, sedangkan aibnya sendiri, ia diam.
“Lihat si Karim itu, dia mencuri padi yang telah dipanen. Apa tidak malu dia? Kelihatan aja seperti orang baik, padahal hatinya busuk juga...” ujar Hasan dengan nada tinggi.
Zainab sedang mencuci disamping rumah hanya diam dan menghela napas. Ia tahu, jika dia menanggapi nya ceritanya akan panjang, bahkan bisa berubah menjadi pertengkaran, apalagi jika tidak ditanggapi.
Hidup Zainab menjadi serba salah, ditanggapi malah berujung pertengkaran, diam juga akan memancing pertengkaran. Jadi, gimana Zainab haru bersikap?
Kenapa ia dipertemukan manusia benalu kek suaminya.
“Apa kamu tidak mendengarkan aku? Soal si Karim itu?” tanya Hasan duduk mendekati Zainab mencuci.
“Iya, saya dengar kok.” jawabanya pelan.
“Tapi, kok diam aja? Jangan-jangan kamu bela dia ya?” tanya Hasan lagi.
“Nggak...” Zainab mengelengkan kepalanya.
“Tapi kok kamu diam saja tadi? Kok kamu nggak menanggapi perkataanku?” tanyanya dengan nada tinggi.
“Aku nggak mau ikut-ikutan, itu kan urusan mereka dan para Rt disini... Itu bukan urusan kita bang...”
“Oh, sekarang kamu ngajarin aku ya? Kamu pikir kamu lebih tahu dari aku? Aku tahu semuanya, bahkan sebelum terjadi pun aku sudah tahu... Orang tidak tahu malu kek dia itu jangan dibela...” ia berdiri.
Matanya melotot, suaranya naik satu oktaf. Setiap apa yang keluar dari mulut sang istri, akan menjadi bumerang baginya.
Tidak peduli, seberapa bijak kata-kata yang keluar dari mulutnya, Hasan akan memelintir kata-kata itu hingga menjadi alasan untuk memaki sang istri.
“Perempuan sepertimu layak untuk disumpah. Udah wajah jelek, sok-sok an membela orang lain... Dulu jika kau tidak menikah denganku, siapa yang mau menikahi dengamu? Kamu tidak akan laku...” hinanya dengan wajah sinis.
Zainab menghela napas lelah. “Siapa ya yang sana kemari dibawa-bawa kemana ibunya pergi, untuk dijodohkan sama anak-anak temannya? Aku atau kau?” balas Zainab membuat Hasan semakin kesal.
“Dasar manusia tidak tahu sopan santun. Aku ini suami, apa pantas kau bicara seperti itu. Dasar istri durhaka...”
“Durhaka mana? Kau atau aku? Lebih baik berkaca sebelum berbicara...” jawab Zainab dengan emosi.
Didalam rumah anak-anak Zainab hanya diam, mereka sudah biasa mendengar dan melihat kedua orang tuanya bertengkar. Anak-anak itu mulai ketakutan, dan mulai pelan-pelan menangis.
Hasan Bahri apa peduli jika melihat anak-anaknya menangis? Tidak...
Jika dia peduli, maka ia akan diam dan tidak memulai pertengkaran. Tapi pertengkaran itu malah hampir setiap hari terjadi.
Fatur Hasan Bahri, hanya diam memeluk adiknya Melinda yang terisak. Perdebatan sengit itu berhenti, karena ada beberapa warga yang datang dan mulai melerai.
Selain mengambil upah membelah pinang, Zainab juga mengambil daun nipah, untuk dijadikan atap untuk rumah di pendesaan. Uang dari itulah untuk memberi beras dan keperluan rumah.
Saat mengambil daun nipah, Fatur dan Melinda ikut dengan kedua orang tuanya. Keduanya ikut, mengambil daun nipah dan menyusunnya. Sesekali mereka berdua bermain.
Namun tidak lama kemudian, Hasan mulai menunjukkan belangnya, dia memulai pertengkaran demi tidak mau membantu sang istri bekerja, hanya karena kesalahan sepele.
Hari itu Zainab memotong pelepah nipah, dan menyusunnya daunnya dengan sendiri, sesekali dibantu oleh dua anaknya. Sedangkan Hasan sibuk mengomel dan memaki sang istri.
Sampai mereka hendak pulang pun Hasan tidak mau membantu. Sesampainya dirumah, daun nipah yang dimasukkan kedalam goni itu dimasukkan kedalam bawah rumah. Zainab dan dua anak-anaknya siap-siap untuk mandi.
Setelah mandi, Zainab mulai memasak nasi dan lauk di tunggu secara bergantian. Saat makan, Melinda dan Fatur berebutan lauk.
“Kasi Fat...” tegur sang ibu.
“Kan udah Fatur kasi ummi, Melinda malah mau lagi... Kalau Fatur kasi, nanti buat Fatur mana?” ujar Fatur dengan cemberut.
Tanpa ba bi bu, Hasan Bahri membenturkan kedua kepala bocah itu dengan cukup keras, membuat dua anak itu menangis cukup keras.
Zainab memandang suami nya dengan tatapan nanar.
“Apa perlu membenturkan kepala mereka hah? Aku yang ngasi mereka makan, bukan kau... Jadi, kau tidak ada hak untuk memukulnya...” teriak Zainab emosi.
“Berisik, sedang makan pun bertengkar...” jawab Hasan emosi.
“Namanya juga anak-anak, sesekali nggak apa-apa lah dimaklumi. Justru, kau orang yang sudah tua tidak bisa berpikir, mana yang harus dilakukan mana tidak... Mana otakmu?” teriak Zainab mengelus kepala anaknya.
“Makanya ajarin tuh anak kau itu, jangan ribut saat makan. Jadi ibu, kok nggak becus jaga anak...” bentaknya tidak kalah kerasnya membuat dua anak itu semakin menangis.
“Apa kau becus dalam mengurusi anak haha? Yang kau makan itu, masih dari hasil jerih payahku...”
“Dasar manusia tidak tahu diri... Aku ini suamimu, apa tidak bisa berbicara pelan hah? Dasar istri durhaka...”
“Apa aku harus diam, saat kau melakukan itu pada anak-anakku hah? Apa kau waras?”
“Dasar manusia tidak tahu diri... Aku ini suamimu, apa tidak bisa berbicara pelan hah? Dasar istri durhaka...”
“Apa aku harus diam, saat kau melakukan itu pada anak-anakku hah? Apa kau waras?"
Malam itu berakhir diam-diaman. Kebiasaan Hasan adalah saat sudah berantem, dia akan tidur. Entah pura-pura tidur, atau tidur beneran.
Saat pagi tiba, seperti biasanya Zainab sudah bangun, mengulung lengan bajunya, menyalakan api ditungku, dan menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya. Dari dapur, aroma goreng terasi memenuhi ruangan. Didalam kelambu, Melinda dan Fatur masih tidur.
“Fatur, Melinda... Ayo bangun, nak... Nanti telat kesekolah.” teriak Zainab dari dapur.
Membangunkan Fatur bukan perkara mudah. Bocah lelaki itu paling sulit untuk dibangunkan. Dengan mata masih setengah tertutup, rambut acak-acakan, ia menangis, mengeliat, lalu menghentak-hentakkan kakinya di atas tikar usang.
“Nggak mau sekolah! Capek!”
Zainab hanya tersenyum tipis melihat tingkah sang anak. Ia sudah hafal perangai putra kecilnya. Detik kemudian, dengan langkah berat, Fatur berjalan ke luar rumah dan Byuur! Fatur menceburkan diri ke parit di depan rumah.
“Fatur!” seru Zainab sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya.
Melinda pun ikut menceburkan diri ke parit, dan menyiram abangnya dengan air. Didalam parit, keduanya malah main air, sambil sesekali berenang.
“Fatur, Melinda, ayo naik... Cepat, nanti telat kesekolah...” teriak Zainab lagi, karena keduanya terlalu lama mandinya. Keduanya bergegas naik.
“Ummi, mana baju Fatur?” tanya Fatur.
“Dasi Mel, mana ummi?” Melinda juga ikut bertanya.
“Coba lihat baik-baik, ada disitu semuanya. Udah ummi siapkan...” teriak Zainab dari dapur.
“Nggak ada ummi...” rengek Fatur dan juga Melinda secara bersamaan.
Zainab akhirnya memutuskan pergi ke ruang tengah. Ukuran rumah itu kecil. Tidak ada kamar. Hanya ada pembatas tirai, antara tempat tidur dan ruang tengah.
Zainab mencari keperluan sang anak. Ia sibuk mencari baju Fatur dan juga dasi Melinda yang tiba-tiba hilang, padahal dia sudah manaruhnya dekat tas keduanya anaknya.
Melinda dan Fatur mulai merengek. Setelah sekian lama, akhirnya ia menemukan apa yang ia cari. Ia kembali ke dapur melanjutkan memasak.
Tidak lama kemudian kedua anak itu duduk bersila diatas gelaran tikar, didapur. Keduanya makan dengan lahap. Wajah ceria mengukir diwajah keduanya. Setelah selesai makan, keduanya menyalami kedua orang tuanya.
“Jajan, Ummi...” pinta Fatur dengan wajah tersenyum.
Zainab mengeluarkan dua lembar uang masing-masing 500 perak. Walaupun sedikit, namun kedua anaknya nampak senang.
“Makasih, Ummi!” seru Melinda, dan Fatur.
Keduanya langsung memasukkan uangnya dalam kantong baju mereka.
Dimasa itu, uang lima ratus sudah cukup untuk jajan. Jika mendapatkan jajan seribu atau sampai lima ribu rupiah, anak-anak zaman itu seperti diberi uang lima puluh ribu rupiah. Senangnya tidak terbilang.
Dunia anak-anak memang sederhana. Mereka tidak banyak meminta. Kadang-kadang saat keduanya pulang sekolah, Zainab menjemput pulang anak-anaknya.
Anak-anaknya langsung berhamburan mendekati Zainab, saat menjemput keduanya.
Ditengah rasa sakit yang dia terima dari pernikahannya, ia tetap berusaha memberikan kasih sayang pada dua anaknya.
Apapun yang terjadi, anak-anaknya tetap harus mendapatkan perhatian.
Seperti biasanya anak-anak, saat pulang sekolah, setelah makan, keduanya akan langsung berhamburan pergi main-main dengan teman-temannya. Kadang-kadang mandi di parit.
Hasan tidak hanya suka memancing perkelahian, tapi juga sering memarahi jika teman-teman bahkan anak-anak dari saudara dari sang istri bahkan mengusirnya jika bermain dengan anak-anaknya dirumah.
Alasannya klise. Berisik.
“Pulang, pulang sana... Jangan bermain disini, berisik. Menggangu orang...” marahnya pada teman-teman anaknya.
Teman-teman Fatur dan Melinda berlarian saat diusir. Mereka bermain ditempat lain. Mereka sering main di halaman rumah neneknya.
Main-main rumah-rumahan, main kelereng, dan lain sebagainya.
Saat malam tiba, Fatur dan Melinda lahap menyuapi nasinya. Setelah selesai makan, keduanya turun kebawah, saat sudah sampai dijalan, keduanya malah terteriak pada ibunya.
“Ummi, kami pergi nonton ya...” teriak keduanya, sambil berlari pura-pura tidak mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut sang ibu.
Mereka melakukan itu, supaya mau tidak mau ibunya mengizinkan mereka menonton tv di rumah tetangga.
Sekitar jam sembilan malam, keduanya berlarian di malam gelap sambil berteriak memanggil ibunya dari kejauhan.
“Makanya kalau takut, jangan nonton tv dan pulang malam-malam...” seru Zainab sambil membuka pintu.
Keduanya hanya nyengir, menarik napas lelah habis berlarian kencang.
“Sekarang, tidur... Besok sekolah...” perintah Zainab. Keduanya segera masuk dalam kelambu, sambil bercanda.
“Diam! Berisik! Bisa tidak, kalau mau tidur itu tenang sesekali...” bentak Hasan membuat sang anak terdiam, langsung mengambil kain dan menyelimuti badannya.
Zainab hanya menghela napas lelah. Fatur nampak diam, tapi sebenarnya tidak tidur. Dia hanya diam, tapi pikirannya berkelana.
Dia sedang membayangkan menjadi seorang kapten kapal luar angkasa. Dia menyelamatkan planet dari alien jahat, bersama robot-robot ciptaan ia sendiri. Fatur tersenyum membuat alur demi alur di pikirannya.
Ia dan robot-robotnya dengan berani dan cekatan melawan para alien. Fatur hampir setiap hari, berkhayal saat sebelum mau tidur, bahkan saat ia sedang duduk dan bermain dengan teman-temannya, ia masih sempat-sempatnya berkhayal dan menciptakan duninya sendiri.
Bahkan berjam-jam, waktu ia habiskan untuk menciptakan dunianya. Tidak ada yang menyadari kelainan dari Fatur ini. Fatur sangat menikmati kelebihannya yang suka berkhayal. Setidaknya dengan berkhayal ia bisa mengatur kehidupannya sendiri.
Berkhayal sebelum tidur, kadang membuatnya selalu begadang dan kekurangan tidur, bahkan disekolah ia sering tidur saat istrirahat.
Rumah Zainab setiap harinya selalu diisi pertengkaran demi pertengkaran. Pada suatu hari Hasan berniat untuk membuka sekolah dengan meminjam gedung sekolah yang terbengkalai.
Ia sangat sibuk mengurus ini dan itu, bahkan saat ia pergi mengurus persyaratan demi persyaratan, ia tidak membawa uang dan tidak ada uang yang ditinggalkan di rumah.
Sesampainya di Bagan kota di Kabupaten, ia numpang selama beberapa hari di rumah saudaranya. Beliau lah yang membantu Hasan mengurus semuanya.
Sedangkan di desa Pasir, Zainab hanya bisa memandangi beras di tempayan yang hanya tinggal segenggam. Zainab menghela napas panjang. Fatur dan Melinda main rumah-rumahan di bawah rumah mereka.
Fatur merangkak berjalan di bawah rumah, ia mendapatkan uang koin 200 perak. Ia keluar dengan cepat, dari bawah rumah. Ia segera berlari membeli permen di sebuah kedai. Ia pulang dengan wajah bahagia sambil berjingkrak-jingkrak.
Ia kembali masuk ke bawah rumah, dan memberikan Melinda permen. Keduanya mengulum permen dengan wajah berseri. Mereka tidak tahu, bahwa ibunya sedang sedih memikirkan bagaimana hendak mendapatkan beras untuk makan.
Mereka bermain dengan riang, sesekali suara keduanya bercanda terdengar dari dalam rumah. Detik kemudian suasana menjadi hening, karena keduanya sudah tidak ada lagi dibawah rumah.
Mereka bermain dengan riang, sesekali suara keduanya bercanda terdengar dari dalam rumah. Detik kemudian suasana menjadi hening, karena keduanya sudah tidak ada lagi dibawah rumah.
Keduanya pergi kerumah nenek, tidak jauh dari rumah mereka. Keduanya masuk ke dalam kelambu sang nenek dan bercerita kisah-kisah dongeng.
Saat selesai bercerita, sang nenek memberikan beberapa uang receh untuk keduanya jajan.
Keduanya menerimanya dengan wajah berseri. Fatur dan Melinda langsung berlari membeli jajan. Setelah itu mereka pulang.
“Ummi, ini uang dikasi nenek. Cukup nggak beli beras?” tanya Fatur pada ibunya.
Ia memberikan uang 400 perak pada sang ummi. Uminya tersenyum mengelus kepala dua anaknya itu dengan sayang.
“Uang ini untuk Fatur dan Mel aja untuk jajan...” seru Zainab.
“Tapi, kita udah beli jajan Ummi.” jawab Melinda menunjukkan jajan yang ia beli.
“Untuk Mel dan Fatur saja, nanti ditabung ya nak...”
“Apa cukup beras segitu buat makan kita hari ini Ummi?” tanya Fatur melirik kearah tempayan berisi segengam beras.
Zainab menganguk pelan. Fatur dan Melinda kembali bermain dengan anak tetangganya.
Harga beras saat itu Rp 2.500- Rp 3.000 per kg. Harga sekitaran tahun 1999.
Pada tahun 1999, krisis memang sudah mulai mereda, tapi dampaknya masih terasa. Harga beras belum juga turun dari harga beras Rp 700- Rp1000 menjadi Rp 2. 500- Rp 3000.
Harga Rp 2.500 untuk sekilo beras jumlah yang begitu besar bagi Zainab. Zainab menghela napas berat, dia mengambil beras segenggam itu dan mencucinya. Ia tambakan sedikit banyak air, lalu memasukkan daun salam dan sedikit garam.
Sambil mengaduk bubur, Zainab menoleh kearah pintu, berharap keajaiban akan datang. Berharap, mungkin saja ada tetangga yang akan membawa bahan makanan untunya dan anak-anaknya. Namun, itu hanya khayalan semata.
Saat bubur sudah matang, ia menyendok kedalam piring, dan memanggil anaknya yang sedang bermain.
“Fatur, Mel, ayo makan...” teriak Zainab.
Mel dan Fatur berhamburan masuk kedalam rumah. Wajah mereka berseri-seri saat masuk rumah. Keduanya duduk bersila, memandang bubur yang masih panas dengan wajah bahagia. Keduanya langsung memakannya dengan lahap.
“Enak, ummi...” ucap Mel pelan.
“Benar, enak...” sambung Fatur dengan wajah mulut penuh dengan bubur. Zainab tersenyum tipis.
Sore harinya terlihat Hasan tergopoh-gopoh dikejauhan. Melinda dan Fatur sedang bermain-main dibawah pohon mangga, berlarian mendatangi sang ayah. Hasan mengelus wajah sang anak. Zainab tersenyum tipis, melihat kedua anaknya berlarian mendekati sang ayah.
Kedua anak itu bahkan tidak menanyakan apa-apa kepada ayahnya. Adakah membawa mainan, dan makanan. Mereka hanya senang melihat ayahnya pulang.
Hasan pulang tidak membawa apa-apa. Tidak ada hadiah, tidak ada jajanan seperti anak-anak lainnya.
“Aku sudah urus semuanya. Tinggal surat izin keluar. Kita akan punya sekolah sendiri.” ujarnya dengan bangga.
Zainab tersenyum. “Baguslah, kalau begitu...” ujarnya menyambut kedatangan sang suami.
Zainab tidak mau berbicara banyak. Dia tidak mau mematahkan semangat Hasan, walaupun ia tahu rencana-rencana besar Hasan tidak pernah berhasil, selalu kandas ditengah jalan.
Hasan masuk kedalam rumah dan menuangkan air minum ke gelas dan meminumnya sekali teguk. Melinda dan Fatur masih mengenggam tangan ayahnya dengan wajah ceria.
Dalam hati Zainab, ia berdoa semoga rencana yang dilakukan oleh Hasan kali ini bukan hanya sebatas khayalan semata. Bukan sekedar alasan untuk tidak mencari uang dan bekerja.
Beberapa bulan kemudian, surat izin keluar. Belajar mengajar pun dimulai. Saat itu malah kejayaan Hasan bersinar, anak-anaknya sering dibelikan mainan, baju baru, kalung emas, cincin, dan juga gelang untuk Melinda, sepeda baru untuk kedua anaknya.
Namun lain dengan Zainab yang tidak mendapatkan apa-apa. Jangankan baju baru, sempak sehelai pun tidak. Zainab tidak meminta haknya, yang terpenting kedua anaknya bahagia.
Makan mereka pun mulai terjamin. Zainab hanya kebagian uang belanja untuk dapur. Itu pun harus disuruh irit, jangan boros.
“Jangan boros-boros, harus irit... Gajinya tinggal sedikit...” ujarnya suatu hari.
Sebagian uang Hasan itu diberikan kepada ibunya. Ia lebih mementingkan pihak ibunya daripada kebutuhan sang istri.
Sesekali sedih juga melihat, sang suami membawa belanjaan untuk ibunya berupa beras, minyak goreng, kadang juga lauk pauk, belum lagi duit yang dikasi, sementara dirinya harus disuruh irit.
“Jika tidak karena anak-anak, sudah lama aku pergi...” lirihnya mengingat kehidupan tidak pernah berpihak padanya.
Fatur dan Melinda diluar sana sibuk memainkan sepedanya, bahkan sesekali ia mengajak teman-temannya menaiki sepedanya dan sesekali ia yang membonceng temannya.
Wajah mereka terlihat bahagia. Zainab menyaksikan kebahagian anak-anaknya dengan senyum bahagia, walaupun jauh dilubuk hatinya, ada perasaan sedih saat sang suami tidak begitu mementingkannya.
Fatur dibelikan mainan robot, sedangkan Melinda dibelikan boneka barbie dan alat-alat masak-masak untuk anak-anak.
Siang itu Fatur tidur memeluk robotnya, sedangkan Melinda memeluk bonekanya.
Zainab mengelus wajah kedua anaknya. “Ya Allah, jangan Engkau biarkan kebahagian mereka hilang... Jangan ambil lagi kebahagian mereka. Biarkan mereka bahagianya selamanya Tuhan...” senyum mengukir diwajahnya sambil menciumi wajah sang anak.
Ternyata kejayaan yang dialami keluarga Hasan kembali diterpa masalah. Hasan menjadi kepala sekolah dengan memakai ijazah orang.
Orang yang punya ijazah pun meminta kembali ijazahnya, padahal setiap gajian, yang punya ijazah dikasi uang.
Mungkin diliputi dengki, orang tersebut meminta kembali ijazahnya.
“Enak saja, ia dapat gajian banyak, membeli anaknya emas, masa kau hanya sedikit saja diberi olehnya...” seseorang menghasut Hilman teman Hasan yang dipinjami ijazah.
Akhirnya ijazah itu kembali dipulangkan pada pemiliknya. Hasan memakai ijazah orang lain. Namun masalah tidak sampai disitu saja. Suatu malam Hasan diundang untuk rapat.
Namun, pada malam itu malah semua orang yang datang memutuskan untuk memilih kepala sekolah. Dari voting suara, Hasan kalah suara. Malam itu, termasuk jebakan bagi Hasan. Ia hanya diberitahu untuk rapat, bukan untuk memilih kepala sekolah.
Padahal yang mengurus semua persyaratan berdirinya sekolah itu adalah Hasan. Namun setelah berjaya, orang lain malah hendak menjadi kepala sekolah.
Setelah malam penuh pengkhianatan itu, Hasan pulang dengan wajah lesu. Sepanjang jalan, ia tidak berkata sedikit pun. Pikirannya sibuk memutar percakapan dirumah Pak Herman, yang masih memiliki ikatan persaudaraan.
Ia tidak menyangka, mereka malah menusuknya dari belakang. Bahkan yang berbuat curang itu masih memiliki ikatan persaudaraan dengannya.
Apakah karena ia miskin?
Jadi mudah saja diperalat oleh orang lain?
Sesampainya dirumah, Zainab melihat sang suami pulang dengan keadaan lesu, bertanya-tanya dengan apa yang terjadi dengan suaminya.
“Ada apa bang? Apa ada masalah?” tanya Zainab pelan.
Hasan duduk bersandar didinding rumahnya. Napasnya berat. Ia tidak langsung menjawab. Baru beberapa menit kemudian ia berkata dengan lirih.
“Mereka menyingkirkan aku, Nab. Aku cuma diundang untuk rapat, tapi ternyata mereka malah melakukan pemilihan kepala sekolah. Aku kalah sekolah. Aku kalah suara...” ujarnya dengan suara bergetar.
Zainab terdiam. Walaupun ia tidak suka dengan sikap suami pada dirinya, namun ia sedih juga dengan masalah yang menimpa suaminya.
Mulut Zainab kaku. Ia tidak bisa berkata-kata. Dadanya bergemuruh menahan marah. Ia tahu betul, Hasan jungkir balik membangun sekolah itu dari nol, namun orang yang tidak ada berkontribusi dalam hal tersebut, malah diangkat menjadi kepala sekolah.
Zainab mengepalkan tangannya. “Siapapun mereka yang terlibat menyingkirkanmu, semoga segera mendapat bala dari Tuhan... Tuhan tidak akan tidur, mereka akan membalas perbuatan mereka...” ujarnya dengan suara tinggi.
Tidak butuh waktu yang lama, bencana pun datang pada keluarga yang terlibat. Awal mula terjadi pada seorang guru yang mengajar disana.
Tiba-tiba suaminya menjadi gila dalam berbulan-bulan. Ditambah lagi keluarga tempat mengadakan rapat. Tiba-tiba sang anak, saat keluar dari kamarnya, kepalanya terbentur pada dinding kamar dan selama berbulan-bulan juga tidak bisa melihat.
Ditambah lagi, sang ayah mengalami lumpuh total saat terjatuh di pinggir jalan.
Bahkan rata-rata guru-guru yang mengajar disana, rata-rata mendapat musibah yang mengeluarkan biaya yang besar untuk pengobatan.
Gosip-gosip tersebar diseluruh desa...
“Itu karma telah menjatuhkan orang tulus. Hasan tulus dalam membangun sekolah itu, malah orang lain yang tidak mau membantu, mau jadi kepala sekolah. Aneh. Mau enaknya saja...” gunjing warga sekitar.
“Doa istri Hasan terkabul... Mereka perlahan hancur dengan sendirinya, berkat kelakuan mereka sendiri...” sambung warga lainnya.
“Akibat iri sama orang... Bencana pun datang dengan sendirinya...”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!