Hai hai hai ... Assalamualaikum🙏🏻
Jumpa lagi dengan Author abal-abal. Judul ini sudah pernah aku publish sebelumnya. Kenapa aku hapus lalu aku publish kembali, karena isi ceritanya aku rombak secara keseluruhan untuk menyesuaikan dengan judulnya. Semoga kalian betah dengan isi ceritanya yang baru ya😉
Namun jika isi ceritanya tidak seperti yang kalian harapkan, silahkan di skip saja tanpa meninggalkan komentar yang buruk. Oke😉😉
Yudha Adyatama
Nadia Indira
Maura Fidelina Pramudya
......^^^......
Carilah Wanita Lain
Untuk kesekian kalinya, hasratnya harus kembali terbendung. Yudha duduk di tepi tempat tidur, memegangi kepalanya yang terasa pusing. Sudah hampir setahun lamanya, hasratnya tak pernah terpuaskan karena Maura tidak bisa memenuhinya dengan baik.
“Sayang, maafkan aku,” kata Maura sambil memeluk Yudha, lalu menyandarkan kepalanya pada punggung suaminya yang kekar. Ini sudah kesekian kalinya Maura mengecewakan Yudha. Setiap kali mereka bercinta, selalu berakhir dengan kegagalan.
Penyakit yang diderita Maura membuatnya tidak bisa melayani suaminya dengan baik. Hampir setiap kali mereka berhubungan intim, selalu ada rasa sakit yang muncul di area kewanitaannya. Tujuh tahun pernikahan mereka belum juga dikaruniai seorang anak.
“Ayo sayang, kita coba sekali lagi,” ajak Maura, berusaha menyembuhkan kekecewaan Yudha meskipun ia harus menahan sakit demi kenyamanan.
Yudha menolak ajakan itu. “Sudahlah, aku tidak ingin menyakitimu,” katanya.
Selain khawatir melihat istrinya kesakitan, Yudha sebenarnya juga telah kehilangan selera.
“Aku akan berusaha menahannya, sayang,” kata Maura.
Yudha melerai tangan Maura dari pinggangnya, lalu menoleh. “Tidak perlu, Ra. Aku tidak mau melihat kamu kesakitan. Meskipun aku sangat menginginkannya, tapi jika itu bisa menyakitimu, lebih baik kita tidak melakukannya.”
“Tapi aku ingin sekali menyenangkan kamu, sayang. Aku merasa kecewa dan tidak berguna sebagai istri karena tidak bisa memenuhi kewajibanku.” Sudah berkali-kali hal seperti ini kerap terjadi. Percintaan mereka selalu saja gagal lantaran rasa sakit yang ia rasakan pada area kewanitaannya. Hal itu juga sering membuatnya kecewa lantaran tak bisa melayani suaminya dengan baik.
“Kemarin kamu ketemu Rizal, kan? Apa katanya?” Mendadak Yudha mengalihkan topik.
Maura langsung lesu. Kekecewaan mendalam pun ia rasakan ketika tak bisa memenuhi kewajibannya. Sebagai istri ia merasa tak sempurna.
“Ra ...” panggil Yudha.
“Aku disarankan melakukan kemo.” Setelah operasi histerektomi atau pengangkatan rahim yang dilakukannya setahun lalu, Maura pikir penyakitnya sudah sembuh. Sehingga ia sedikit mengabaikan dan memilih kembali pada pekerjaannya dahulu.
Namun, ternyata sel-sel kanker sudah menyebar ke bagian tubuh yang lain. Maura berusaha menyembunyikan fakta ini dari Yudha karena tak ingin Yudha mengkhawatirkan dirinya. Dan ia juga tak ingin melihat Yudha bersedih.
Bagi Maura, kebahagiaan Yudha adalah yang terpenting. Ia sudah mencintai Yudha sejak lama. Bisa menikahi Yudha ia anggap sebagai sebuah keberuntungan untuknya.
“Lagi? Trus kapan kemoterapinya di mulai?”
“Tergantung aku kapan siapnya.”
“Sudah separah itukah? Kenapa kamu tidak memberitahu hal ini padaku? Kamu anggap apa aku ini, Ra? Hal sepenting ini malah kamu rahasiakan dariku?” Gurat wajah Yudha menunjukkan ada amarah yang berusaha ia redam. Satu hal yang tidak ia suka dari Maura adalah sering menyimpan rahasia. Hal itu bahkan terkadang menjadi sumber pertengkaran diantara mereka, karena Maura yang selalu menyembunyikan sesuatu darinya.
“Tidak, sayang. Tidak separah itu. Dokter menyarankan kemo hanya untuk penanganan lanjut. Aku baik-baik saja kok, sayang. Jangan khawatir.”
“Trus apa setelah kemo yang kedua kali apa kamu akan benar-benar sembuh?”
Maura mengangguk. Ia berusaha menahan tangisnya. Sekuat hati ia selalu meyakinkan diri jika ia akan sembuh total dari penyakit itu. Walaupun sebenarnya kemungkinan itu sangat kecil.
“Apa kamu pikir aku ini bodoh, Ra?” Yudha sudah mengikhlaskan kandungan Maura sudah diangkat. Ia juga sudah mengubur dalam-dalam keinginannya untuk memiliki keturunan. Baginya, asalkan Maura selalu ada bersamanya semua akan baik-baik saja. Meski kadang ia dikecewakan.
Maura menggeleng. “Tidak. Aku tidak pernah menganggap kamu seperti itu.”
“Lalu kenapa kamu tidak pernah memberitahuku?”
“Karena memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. I am fine. Aku tidak apa-apa, sayang. Ini cuma pengobatan lanjutan.” Maura mengembangkan senyumnya, berharap kemarahan Yudha sedikit mereda. Walaupun dalam hatinya juga sebenarnya ia marah. Marah pada dirinya sendiri yang tidak sempurna sebagai seorang wanita.
Maura tahu, Yudha sangat menginginkan kehadiran seorang anak. Sejak awal menikah, Yudha sudah mengutarakan keinginannya itu.
Sebagai istri, Maura pun menginginkan hal yang sama. Ia bahkan sudah berniat untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai seorang model demi memenuhi keinginan Yudha.
Namun sayang, sebelum keinginan itu terwujud Tuhan malah mengambil kebahagiaan itu darinya. Nadia tak pernah mengira ia akan mengidap penyakit kanker yang akhirnya merenggut rahimnya, satu-satunya harapan yang bisa mewujudkan keinginan Yudha.
Merasa dibohongi, Yudha lantas berdiri hendak ke kamar mandi. Tetapi langkahnya terhenti saat sepasang lengan Maura melingkari pinggangnya.
“Maafkan aku, sayang. Maafkan aku yang tidak bisa menjadi istri yang sempurna buat kamu. Maaf aku sudah mengecewakanmu sampai sedalam ini,” ujar Maura dengan lembut dan penuh penyesalan.
Walaupun selama ini Yudha tidak pernah menuntut, bahkan tidak pernah lagi membahas tentang anak, tetap saja Maura merasa sangat bersalah. Sebab hadirnya seorang anak merupakan sebuah pelengkap kebahagiaan dalam rumah tangga mereka.
Terlebih lagi, Yudha merupakan putra semata wayang keluarga Adyatama, pemilik Hotel King Queen. Salah satu hotel berbintang di kota ini.
Keluarga Adyatama sudah sangat mengharapkan cucu sebagai penerus garis keturunan. Tetapi sayang harapan mereka itu tidak akan pernah bisa Maura wujudkan.
“Kamu bukan tidak sempurna, Ra. Tapi Tuhan yang tidak mengijinkan kita menjadi orangtua,” kata Yudha sembari menurunkan kedua lengan Maura, kemudian memutar tubuhnya.
“Jangan pernah ungkit soal ini lagi. Kita sudah sepakat untuk tidak membahasnya,” tambahnya mengingatkan Maura tentang kesepakatan diantara mereka untuk tidak pernah lagi membahas tentang anak.
Pernah Maura mengusulkan agar Yudha menikah lagi demi memperoleh keturunan. Tapi Yudha menolaknya mentah-mentah. Satu kekurangan Maura ini tidak akan menjadi alasan untuk Yudha menduakan Maura.
“Tapi aku tahu, di lubuk hatimu yang paling dalam kamu masih menginginkan itu bukan?”
Yudha tak menjawab. Hanya helaan napas panjangnya yang terdengar.
“Kehadiran seorang anak akan menjadi pelengkap kebahagiaan kita, Yud. Itu juga yang akan menjadi pelengkap sempurnanya kamu sebagai suami. Walaupun kamu tidak pernah cerita padaku, tapi aku tahu gimana perasaan kamu, Yud. Karena itu juga yang aku rasakan sekarang.”
“Ada atau tidak adanya seorang anak, apakah kita tidak bahagia? Sejauh ini kita masih bahagia, Ra. Lagipula, apa bedanya kita punya anak atau tidak. Yang terpenting buat aku adalah kita masih sama-sama. Dengan kamu masih ada buat aku sampai hari ini pun aku sudah cukup bahagia, Ra.”
“Please, jangan bohongi diri kamu sendiri, Yud. Jangan dustai hatimu sendiri. Aku tahu kamu merasa pernikahan kita ini tidak lengkap.”
“Stop bahas tentang ini, Ra. Aku capek.” Yudha melangkah menuju kamar mandi di pojok ruangan. Maura menyusul di belakangnya.
“Aku cuma mau menawarkan solusi buat kita, Yud,” kata Maura.
“Jangan solusi yang itu lagi. Aku muak.” Yudha memang sudah muak dengan solusi yang selalu ditawarkan Maura. Dengan menikah lagi ia merasa hal itu malah akan menyakiti hati Maura. Walaupun berkali-kali Maura berkata dia sudah ikhlas.
“Cuma itu satu-satunya jalan untuk mewujudkan impian kita.”
“Bukan kita, tapi kamu. Kalau kamu memang benar ingin kita punya anak, tinggal adopsi saja. Gampang kan? Buat apa harus menikah lagi?” Yudha tersulut emosi. Dengan Maura memintanya menikah lagi sama saja Maura ingin mereka berpisah. Sedangkan ia tidak pernah menginginkan hal itu terjadi.
“Tapi keluargamu butuh darah dagingmu sendiri. Bukan darah daging orang lain. Aku ikhlas, Yud. Aku siap dimadu.”
“Omong kosong. Selain menikah lagi, apa tidak ada solusi lain yang bisa kamu tawarkan? Solusi yang lebih masuk akal, yang tidak akan menyakiti kita berdua, tidak akan menyakiti banyak orang?”
Maura menggeleng. “Tidak ada. Hanya itu satu-satunya jalan keluar. Carilah wanita lain yang lebih sempurna dariku. Aku ikhlas.”
-To Be Continued-
Yakin Kamu Ikhlas?
“Sampai langit runtuh pun, aku tidak akan melakukan itu, Ra.” Sudah berulang kali Yudha menolak usul Maura yang baginya tidak masuk akal ini. Namun Maura terus saja memaksa.
Pagi ini sebelum ia berangkat ke kantor, ia ingin sekali memadu kasih sebentar dengan Maura. Namun lagi-lagi gagal.
Memang hasratnya yang seringkali tak tersalurkan ini membuatnya merasa pusing dan emosi menjadi tidak stabil. Tetapi tidak pernah sekalipun ia terpikirkan untuk mencari tempat pelampiasan yang lain.
“Coba kamu pikirkan sekali lagi, Yud. Ini demi masa depan kita. Kebahagiaan kita. Kebahagiaan orangtua kamu,” bujuk Maura.
Sebenarnya, Maura tidak rela suaminya menikahi wanta lain. Hati seorang istri mana yang rela suami tercintanya memiliki wanita lain dalam hidupnya. Setiap wanita pasti ingin menjadi satu-satunya dalam hidup suaminya. Namun keadaan memaksa Maura untuk merelakan meskipun hatinya tidak sanggup.
“Tapi bukan dengan cara seperti ini, Ra. Kalau ada cara lain yang bisa kita tempuh, kenapa harus cara konyol ini yang kamu pilih.”
“Kalaupun ada, tolong beritahu aku.” Maura sudah lelah menerima pandangan tidak menyenangkan dari keluarga Yudha karena ia yang sampai hari ini tak kunjung bisa memberi keturunan pada keluarga itu.
Memang Maura salah karena merahasiakan penyakitnya ini tidak hanya pada keluarga Adyatama saja, tapi juga dari keluarganya sendiri. Ia menjalani pengobatan diam-diam.
Lima tahun lalu ketika mereka berlibur ke Korea Selatan, Maura melakukan kemoterapi di sana dengan didampingi suami dan dokter Rizal.
Namun, karena urusan pekerjaan yang mendadak, Yudha terpaksa harus kembali lebih dulu.
“Inseminasi buatan. Kita bisa menyewa rahim orang lain. Cara itu juga efektif, bahkan sangat aman,” sahut Yudha.
Maura menghela napas dalam-dalam. Sebelumnya, ia juga sudah memikirkan cara itu. Namun, bukan itu yang ia inginkan. Ia memiliki harapan lain dari solusi yang ia tawarkan, selain hanya untuk memiliki keturunan. Sayangnya, ia tidak bisa mengutarakan itu pada Yudha.
Maura takut bahwa jika ia tiada nanti, Yudha akan sendirian dan kesepian menjalani hidupnya. Memang, usia seseorang tidak ada yang tahu. Tapi, apa salahnya jika ia mempersiapkan segala sesuatu sebelum waktunya tiba.
“Sayang, hei ...” Maju dua langkah, Maura lantas meraih kedua tangan Yudha ke dalam genggamannya.
“Kamu mencintaiku, kan?” Ia bertanya kemudian seraya menatap mata suaminya dengan sendu. Sebisa mungkin ia menampakkan melalui sorot matanya bila ia memiliki kelapangan hati. Cinta membuat ia sanggup melakukan semua ini. Melakukan sesuatu yang mustahil bisa dilakukan oleh semua wanita di dunia ini.
“Kamu masih bertanya?” Yudha menatap dalam sepasang mata Maura.
“Kalau begitu, tolong lakukan apa yang aku minta.”
Yudha menghela napas sejenak. Semakin ia menolak, semakin Maura terus mendesaknya. Mungkin bagi pria lain hal ini merupakan kesempatan yang menyenangkan. Bisa memiliki dua istri pria mana yang bisa menolak.
Namun baginya, hal itu justru merupakan sebuah beban.
“Maura, tolong jangan paksa aku melakukan ide konyol ini. Kita masih bisa cari jalan lain, tidak harus dengan cara gila ini,” tolak Yudha untuk kesekian kali.
“Memang ini gila, tapi coba kamu pikirkan lagi. Walaupun aku mengijinkan, tapi kamu tidak harus menikahinya secara resmi. Tolong kamu pikirkan juga bagaimana masa depan keluarga ini, Yud.”
“Kamu yakin mengijinkan aku? Apa kamu tidak akan menyesal, Ra?”
Maura menggeleng, berusaha keras untuk tidak menitikkan air mata. Ia tahu suatu hari nanti ia akan pergi meninggalkan Yudha sendirian. Maka sebelum ia pergi ia ingin meninggalkan satu kenangan berharga untuk suaminya itu.
“Aku ikhlas, sayang.”
“Yakin kamu ikhlas? Trus bagaimana jika seandainya suatu hari nanti aku jatuh cinta dengan perempuan itu?”
“Kecuali itu. Hubungan kalian tidak boleh lebih dari itu. Hanya sampai dia bisa memberi kita seorang anak, tidak lebih. Hm?”
“Tapi masalahnya siapa perempuan itu Ra? Siapa perempuan yang mau melakukan ide gilamu ini?”
Benar juga. Maura belum sempat memikirkan hal itu. Selama ini ia hanya terfokus mencari cara serta fokus menata perasaannya sendiri tanpa memikirkan siapa perempuan yang akan bersedia memberinya seorang anak nanti.
“Sudahlah, lupakan saja ide konyol ini. Sedikitpun aku tidak tertarik melakukannya. Lebih baik kamu pikirkan saja tentang kebahagiaan kita. Ya sudah, aku mau mandi dulu. Tolong siapkan bajuku.” Yudha kemudian masuk ke kamar mandi usai mengecup pipi Maura.
Maura pun hanya bisa meniupkan napasnya panjang. Usahanya gagal lagi untuk kesekian kalinya. Berbagai cara sudah ia coba demi meyakinkan Yudha. Namun Yudha terlalu keras kepala.
Maura tahu hal ini tidak mudah. Tak hanya bagi Yudha tetapi juga bagi dirinya sendiri akan jauh lebih sulit. Sebab da perasaan cemburu dan tak rela yang harus mati-matian ia lawan hanya demi mewujudkan impian keluarga Adyatama itu.
Maura sudah lelah terus menerus ditanyai kapan ia dan Yudha berencana untuk memiliki anak. Ia juga sudah lelah menghadapi prasangka buruk orang-orang tentang dirinya.
Di dalam kamar mandi, di bawah guyuran air dari shower, permintaan Maura beberapa menit lalu itu masih mengganggu pikiran Yudha. Karena terus terang saja, sedikitpun Yudha tak berminat mencari wanita lain.
Walaupun hasratnya seringkali tak terlampiaskan, namun ia tak pernah berpikir untuk mencari tempat pelampiasan di luar sana. Apalagi sampai menyewa wanita panggilan. Sebab ada reputasi juga karir yang harus ia pertaruhkan jika sampai ia melakukan semua itu.
****
Sementara di lain tempat di waktu yang sama. Seorang gadis berparas manis tengah bersiap-siap pergi bekerja. Ia sudah terlihat rapi dengan balutan seragam yang bertuliskan King and Queen Hotel pada pojok kiri dadanya.
Hari ini merupakan hari yang ke tiga ia bekerja di hotel berbintang itu setelah sebelumnya diberhentikan dari pekerjaannya sebagai kasir di sebuah minimarket.
Sebetulnya ia sudah mengirimkan lamaran kerja ke hotel tersebut sejak beberapa bulan lalu. Namun lamarannya baru mendapat pertimbangan pada bulan ini. Yang kebetulan waktunya bertepatan ketika ia diberhentikan dari kasir minimarket.
Gadis itu merasa ini merupakan sebuah keberuntungan baginya, sebab kabarnya tidak mudah untuk bisa bekerja di hotel tersebut.
Untuk itulah, sebagai karyawan baru di King and Queen Hotel ia harus berusaha bekerja dengan sebaik mungkin. Sebab tidak mudah mendapatkan pekerjaan di jaman seperti sekarang ini.
“Semangat, Nadia.” Ia menyemangati diri sendiri dengan senyuman merekah sembari memandangi pantulan dirinya dalam cermin.
Ia sudah siap berangkat, ojek online sudah ia pesan melalui aplikasi. Namun begitu ia membuka pintu rumahnya, ia malah dibuat terkejut dengan kedatangan seseorang.
“Kamu mau ke mana? Urusan kita belum selesai,” kata orang itu dengan wajah tak bersahabat.
Nadia, begitu ia disapa, terlihat panik sekaligus khawatir. Jarak yang harus ia tempuh ke tempat kerjanya yang baru ini lumayan jauh. Jika sampai ia datang terlambat di hari pertama ia berkerja, ia khawatir akan diberhentikan lagi dari pekerjaannya yang baru ini. Sedang dirinya sedang sangat membutuhkan biaya.
Sejak kedua orangtuanya meninggal, Nadia tinggal sebatang kara di rumah yang kecil dan sederhana peninggalan orangtuanya ini.
“Cik, tolong beri saya waktu lagi, Cik,” pinta Nadia memelas.
“Tidak bisa, Nadia. Saya sudah cukup memberi kamu waktu. Sekarang juga silahkan angkat kaki dari sini.”
-To Be Continued-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!