NovelToon NovelToon

Terjebak Pernikahan Dengan Musuh

Bab 1 - Malam sial Maureen

Plak!

Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi seorang gadis, membuat rona kemerahan tampak kentara di wajah mulusnya “Mamah!” Pekiknya tak terima.

“Apa hah? Kamu udah bikin Mamah malu, ngapain kamu tidur berduaan sama si Essa?” teriak sang Ibu penuh amarah.

“Tidur berduaan apa sih Mah? Maureen cuma ikut berteduh karena semalem ujannya gede banget, Maureen takut gak berani pulang.” Maureen mengutarakan pembelaan.

“Cuma berteduh kamu bilang, terus apa ini? Di foto ini kalian berdua berpelukan di sopa!” teriak sang Ibu frustasi.

Maureen merampas ponsel yang di pegang Ibunya, ternyata benar saja di foto tersebut terpampang jelas jika dia tidur dalam posisi berpelukan dengan Essa yakni rivalnya tersebut.

“Essa sialan! Mah, ini gak bener Mah. Sumpah Aku gak tahu soal ini Mah, ini kerjaan si Kampret Essa pasti! Tunggu aku kasih dia pelajaran!” Maureen hendak berlalu, namun Ibunya mencekal tangannya.

“Apa saja yang sudah kalian lakukan?”

“Hah, apa maksud Mamah?”

“Jujur Reen, apa saja yang sudah kalian lakukan, berpelukan, berciuman atau...lebih dari itu?” tanya sang Ibu dengan nafas yang memburu.

“Mamah! Mamah kan tahu aku sama si Essa itu musuh bebuyutan mana mungkin aku ngelakuin itu sama dia Mah, please jangan mikir yang aneh-aneh. Lagi pula aku ini punya pacar dan bulan depan dia akan datang sama orang tuanya kesini Mah, mana mungkin aku ngelakuin hal gila sama si Essa.” Protes Maureen tak terima di tuduh begitu oleh sang Ibu.

“Kamu masih mikirin pacar kamu, gimana reaksi dia kalau dia tahu kamu bermalam sama cowok lain sambil pelukan. Kamu pikir dia akan terima kamu?” matanya melotot tajam.

Maureen menyugar rambutnya kebelakang, dia benar-benar bingung harus dengan cara apa dia meyakinkan Ibunya kalau tak ada yang terjadi antara dia dan Essa tadi malam. Air mata merembes begitu saja dari kedua sudut matanya.

“Please Mah, percaya ama Maureen, sumpah demi Tuhan gak ada yang terjadi diantara Maureen sama Essa. Awalnya cuma Maureen yang tidur di sopa, tapi entah gimana ceritanya si Essa juga bisa tidur disana,” jelas Maureen, namun sepertinya Ibunya tetap tak mau percaya dengan kata-katanya.

“Cukup Reen, mungkin Mamah bisa aja percaya sama kamu, tapi gimana dengan orang lain. Mungkin lebih baik kamu menikah dengan Essa.”

“Apa! Nikah! No Mah No! Apa pun yang terjadi Maureen gak bakal Nikah sama si Essa, gak bakal!” Maureen bangkit seketika dan masuk ke kamar sambil menutup pintunya dengan kasar.

Dia pun menangis sejadi-jadinya di dalam sana. Berteduh di toko milik keluarga Essa adalah kesalahan terbesarnya, seharusnya dia pulang saja semalam menerobos hujan lebat jika dia tahu akhirnya akan begini.

***

Malam tadi hujan mengguyur dengan lebatnya disertai petir dan kilat yang menyambar-nyambar, membuat Maureen yang hendak pulang sehabis bekerja terpaksa berteduh di salah satu toko yang sudah tutup karena tak berani pulang. Tanpa dia sadari itu adalah toko milik keluarga Essa yakni rivalnya.

Duar... Petir menyambar disertai kilat yang berwarna putih kemerahan, membuat Maureen menjerit ketakutan.

Bruk... Akibatnya sebatang pohon pun ikut ambruk diterpa angin yang seakan sanggup menerbangkan apa pun.

Argghh...

Jeritnya kembali sambil menutup telinga dengan telapak tangannya.

Seseorang tiba-tiba menarik tangannya dan membawanya masuk kedalam, lagi-lagi Maureen pun menjerit “Arghh! Siapa kamu? Lepasin gak!” teriak Maureen sambil meronta, hari sudah malam di tambah hujan, petir dan angin, membuat suasana malam ini begitu mencekam.

Seketika orang itu melepaskan cengkraman tangannya “Ini gue, Essa.” Sahutnya dengan wajah sebal.

“Essa, ngapain Lu disini?”

“Lu gak liat ini toko punya siapa? Lu yang ngapain berteduh di depan toko gue?” ujarnya.

Seketika Maureen memasang wajah mematut, lantas berkata, “Ck, gue gak tahu ini toko punya elu, kalau tahu mana mungkin gue mau berteduh disini.” kesalnya.

“Sekarang elu udah tahu kan, pergi sana.” Essa menyeringai.

“Ck, lu tega banget ya Sa, gue ini cewek anjir. Lu suruh gue pergi di tengah hujan lebat gini.” Maureen menatap tak percaya.

“Lah, tadi kan elu yang bilang kalau tahu ini toko punya gue, elu gak bakal mau berteduh disini, sekarang kan elu udah tahu masa elu masih mau berteduh disini sih, malu dong Reen,” ejeknya.

“Ck bodo lah, pokoknya gue gak mau pulang. Terserah elu mau ngejek gue ke, apa ke, bodo amat!” Maureen duduk di sopa, rasa takut mengalahkan egonya.

Cih. Essa menarik sudut bibirnya, sambil melipat tangan di dada, “oke, gue bantu lu kali ini, tapi ini gak gratis ya. Suatu hari elu harus bayar bantuan gue malam ini.”

“Oke, gue bayar! Berapa pun yang elu minta gue pasti bayar.” Sahut Maureen tanpa ragu.

“Elu yakin? Jangan nyesel ya, kalau gue minta bayaran gede.” Essa menarik sudut bibirnya.

“Tenang aja gue banyak duit, gue sanggup bayar elu berapa pun. Apa lagi cowok gue orang kaya, baik pula dia gak bakal keberatan bantuin gue.” Ucap Maureen penuh percaya diri.

Essa memutar bola matanya malas, dia mengambil satu botol minuman soda berwarna kecoklatan dari dalam lemari pendingin kemudian meminumnya.

Setelah beberapa saat suasana pun hening, hanya suara air hujan yang mengguyur genteng yang terdengar. Malam semakin larut, hujan pun tak kunjung reda hingga kantuk menghinggapi dan Maureen pun terlelap.

“Essa, Maureen!” teriakan seseorang membuat Maureen terkejut dan sontak terbangun. Dia menatap sekitar dengan wajah bingung, dan yang paling mengejutkan adalah Essa tidur di sampingnya.

Argghh...!! Jeritnya.

Dia sontak mendorong tubuh Essa hingga jatuh membentur lantai.

“E-elu ngapain tidur di samping gue?!” jerit Maureen.

Tiba-tiba toko pun penuh sesak dengan orang-orang yang datang untuk menonton dan melihat apa yang terjadi, bahkan ada beberapa orang yang sempat mengambil gambar Maureen dan Essa.

Bab 2 - Sah!

“Gue gak mau nikah sama Essa, gak mau.” Isak Maureen, wajahnya ia telusupkan di antara tumpukan selimut dan bantal guling.

Suara dering ponsel mengalihkan atensinya, dia mengusap sisa air mata yang tergenang di bawah kelopak matanya.

“Arkan!” serunya tampak senang, namun di detik berikutnya dia kembali lesu kala mengingat semua yang terjadi barusan.

“Yang, ko lama banget sih ngangkat telponnya?” suara Arkan dari balik telpon.

“Maaf Yang, aku baru balik dari kamar mandi,” dusta Maureen.

“Oh gitu, kirain kamu lagi ngambek tadi.” tebaknya.

“Mana ada sih Yang aku ngambek sama kamu, aku–,” belum sempat Maureen menyelesaikan kata-katanya pintu kamarnya diketuk seseorang.

“Reen, buka pintunya ini Mamah.” Maureen berdecak kesal, dia sama sekali tak menanggapi Ibunya.

“Reen, itu Mamah kamu manggil-manggil kamu, kenapa kamu biarin?” ujar Arkan.

“Gak papa, udah biarin aja,” Maureen berucap malas.

“Gak bisa gitu Reen, gak baik loh ngacuhin orang tua kaya gitu. Pergi dulu gih, nanti kita sambung lagi telponnya.” Maureen menyapu air matanya kembali, entah mengapa perhatian kecil yang Arkan ucapkan menjadi pemicu air matanya.

Arkan sosok pria yang sempurna di mata Maureen, ganteng, kaya, punya kehidupan yang baik. Dia juga perhatian padanya dan Ibunya.

“Oke, tapi jangan di matiin ya telponnya, aku pergi bentar.” Ucap Maureen.

“Iya, gak aku matiin ko.”

Maureen meletakkan handphonenya yang masih tersambung di atas ranjang, kemudian beranjak menuju pintu.

“Ada apa Mah? Mamah mau ngajak Maureen debat lagi?” ucap Maureen ketus setelah ia keluar dan menutup pintu, takut Arkan mendengar perdebatannya dengan sang Ibu.

Ibunya tak berkata apapun dia langsung menggenggam tangan Maureen dan membawanya ke ruang tengah. Maureen menatap bingung, pasalnya disana sudah ada Essa dan orang tuanya dan ada juga pamannya yakni adik dari almarhum sang Ayah, dan ada satu orang yang tak Maureen kenali ikut duduk disana. Ada juga Pak RT dan Pak Rw.

“Mah, ada apa ini?” firasatnya sudah tak baik.

“Essa mau tanggung jawab, dia siap nikahin kamu.”

“Apa? Aku kan udah bilang aku gak mau nikah sama dia Mah, gak mau,” isak Maureen, dia berusaha melepaskan genggaman tangan Ibunya, namun usahanya gagal sepenuhnya.

Sedang Essa, dia hanya menunduk menatap lantai, “Sa, elu jangan diem aja. Jelasin sama mereka, kalau gak terjadi apa pun di antara kita semalam.” lagi-lagi Essa hanya membisu, membuat pengakuan dalam kebungkamannya.

Pada akhirnya pernikahan pun tak dapat dihindarkan, Maureen hanya bisa pasrah dalam tangisnya.

“Sah!”

“Alhamdulilah!” seru semua orang, dan lantunan doa pun terucap dari bibir masing-masing, terkecuali Maureen.

‘Gue benci elu Sa, sampai kapan pun gue gak bakal nerima pernikahan ini.’

Brak...!!

Maureen menutup pintu kamar dengan keras, dia menangis sejadi-jadinya di dalam sana sambil mendekap lututnya di lantai, dia benar-benar merasa telah di tipu habis-habisan oleh Essa.

“Essa brengsek! Essa sialan, gue benci elu Sa, gue benci elu!” Teriaknya keras, yang sudah pasti di dengar oleh orang yang berada di luar kamarnya.

“Reen?” suara panggilan itu mengusiknya. Maureen baru ingat jika telponnya masih tersambung dengan Arkan.

‘Astaga, Arkan. G-gimana ini, apa dia denger semuanya?’ Maureen lekas menyapu air matanya dan meraih ponselnya.

“H-halo?”

“Iya Reen aku masih disini, ada apa ko lama banget, apa ada masalah serius?”

“Gak ada, semua baik-baik aja ko Kan,” dusta Maureen sambil menggelengkan kepalanya, “k-kamu dari tadi nungging aku?” tanya Maureen, pasalnya hampir dua jam setelah percakapan terakhirnya dengan Arkan dan telpon itu masih tersambung.

“Iya, kan kamu tadi yang nyuruh aku nungguin kamu.” Sahutnya.

Akhhh... Maureen menutup wajah dengan telapak tangannya, air mata mengalir begitu saja tanpa bisa ia tahan.

“Reen, ko kamu diem aja? Kamu lagi nangis?” sepertinya suara isakan lembutnya sampai kesana padahal Maureen sudah berusaha meredamnya.

“Gak ko, aku cuma lagi flu makanya suara aku kaya gini,” Dalihnya memberi alasan.

“Kamu sakit?”

“Gak parah ko, cuma flu biasa.”

Saat Maureen tengah berbincang-bincang dengan Arkan tiba-tiba pintu pun terbuka, menampilkan wajah Essa dari ambang pintu.

Bab 3 - Jadi Pasutri dalam sehari

Maureen melempar tatapan penuh permusuhan pada Essa, sedang Essa hanya menunduk menghindari tatapannya.

“Yang, aku tutup dulu telponnya ya. Kebelet,” dustanya dengan suara lembut.

“Ya udah, tutup aja.” Sahut Arkan.

“Love you."

“Love you to.” sahut Maureen.

Maureen melempar ponselnya yang sudah mati keatas ranjang. Dia menatap nyalang kearah Essa sambil berkecak pinggang.

“Ngapain lo ke kamar gue? Keluar gak?” bentak Maureen.

“Gak! Essa udah jadi suami kamu Reen, mulai sekarang di akan tinggal di rumah ini dan tidur di kamar ini.” Balas sang Ibu yang masuk sambil membawa koper Essa yang tak sanggup dia bawa.

Maureen mengacak rambutnya frustasi.

“Sa, apa pun yang terjadi jangan keluar dari kamar ini.” ujar Ibu Arumi memperingatkan, sedang Essa hanya mengangguk patuh sebagai jawaban.

“Oke, kalau dia gak boleh keluar biar aku aja yang keluar.” Maureen mengambil koper dari bawah ranjang dan bersiap mengemasi barang-barangnya.

“Cukup Reen, mau sampai kapan kamu kaya gini? Apa gak cukup rasa malu yang kamu berikan untuk Mamah?”

“Rasa malu apa Mah? Udah aku bilang aku gak ngapa-ngapain sama dia, semua itu cuma dilebih-lebihkan oleh orang lain, dan mungkin aku juga sudah dijebak oleh dia.” Ucap Maureen dengan nada penuh amarah.

Ibu Arumi menghela nafas kasar, lantas berkata, “Reen, terlepas dengan cara apa kalian menikah yang pasti sekarang kalian sudah sah sebagai pasangan suami istri dimata hukum dan Agama, Mamah tidak ingin ada masalah lagi,” ujar Arumi sambil meringis memegangi dadanya.

“M-mah, Mamah kenapa?” Maureen tampak panik, aura kemarahan yang semula terpancar darinya lenyap seketika kala melihat sang Ibu meringis menahan sakit.

Maureen tahu Ibunya punya riwayat penyakit jantung, dulu saja saat Ayahnya meninggal Ibunya dirawat satu Minggu di rumah sakit karena penyakit jantungnya kambuh.

“Mamah gak papa,” Sahutnya lemah, dia menepis tangan Maureen yang berusaha membantunya, kemudian berlalu keluar sambil menutup pintu.

Maureen menghela nafas berat sambil menghempaskan tubuhnya di ranjang, dia mendelik menatap Essa yang hanya membisu sejak tadi.

“Kenapa lu diem aja hah? Jelasin ke gue gimana caranya kita bisa tidur di sopa?”

“Gue juga gak tahu,” balasnya sambil mengeluarkan pakaiannya dari koper.

“Elu mau ngapain? Itu lemari gue Essa!” protes Maureen kala melihat Essa ingin menata pakaiannya di lemari miliknya.

“Terus, masa baju gue disini terus.” tunjuknya pada kopernya.

“Wah parah lu Sa, lu pasti udah ngerancanain ini semua kan?”

Essa berdecak kesal dia berbalik menatap kearah Maureen, “Rencanain apa? Lu yang tiba-tiba dateng ke toko gue, lu sendiri yang mau nginep disana, terus elu cuma nyalahin gue, elu gak mikir elu juga salah saat elu mutusin buat nginep di tempat cowok.”

Maureen berdecak kesal, “masalahnya bukan itu kampret! Masalahnya adalah gimana ceritanya elu bisa tidur ama gue di sopa!”

Essa membuang muka kearah lain, entah mengapa dia seolah tak ingin menjawabnya, “Essa, jawab gue!” Sergahnya, dia bahkan menarik kerah kemeja yang di pakai Essa.

Namun lagi-lagi dia hanya diam, dan malah menghempaskan tangan Maureen dari bajunya, kemudian pergi.

Argghh... “si brengsek itu! Essa brengsek!” teriak Maureen.

***

Malam harinya. Essa kembali setelah lama pergi.

“Ngapain lu masuk kamar gue lagi?! Keluar gak?!” usir Maureen.

Essa hanya melempar tatapan jengah, kemudian membuka lemari dan mengambil pakaiannya.

“Essa!” teriak Maureen saat Essa hendak membuka baju tepat di hadapannya.

“Apa sih Reen lebay amat pake tereak-tereak segala, entar tetangga mikirnya gue apa-apain elu lagi,” Ujarnya dengan nada enteng.

“Lebay lu bilang! Lu mikir gak, sebelum buka baju depan cewek!”

“Iya iya, bawel banget sih,” akhirnya Essa pun mengalah dan terpaksa mengganti pakaiannya di kamar mandi.

Essa kembali ke kamar, baru saja dia menyentuh selimut Maureen langsung terbangun, ”mau apa lu? Tidur di sopa sana!”

Essa yang sudah lelah tak ingin lagi mendebat kata-kata yang keluar dari mulut Maureen, dia menurut begitu saja dan berbaring di sopa dengan posisi memunggungi Maureen.

Flash back.

Essa duduk menyandar ke dinding sambil menelusupkan wajahnya di antara lututnya, jam sudah menunjukkan pukul 01:30 dini hari, namun hujan tak kunjung reda. Dia melirik kearah sopa tempat Maureen duduk, gadis itu tampak tertidur dengan gelisah, bahkan jaket yang ia kenakan pun separuhnya basah.

Essa melepas jaketnya untuk menyelimuti tubuh Maureen, karena tak ada selembar pun kain di tempat ini.

“Ck, ngapin juga gue perhatian ama nih cewek. Udah nyebelin, biang rusuh, selalu ngajak ribut kalau ketemu,” Essa kembali mengurungkan niatnya, namun saat melihat tubuh Maureen yang menggigil ia pun kembali meneruskan niatnya dan menyelimuti tubuh gadis itu.

“Ayah,” lirihnya pelan.

Essa berjongkok dan mendengarkan gumaman pelan dari bibir Maureen.

“Ayah, jangan pergi,” isaknya lirih.

“Ck, dia pasti mimpi ketemu Ayahnya.” Ucap Essa, dia membantu membaringkan tubuh Maureen yang tidur sambil duduk. Namun saat dia hendak kembali pada posisinya, tiba-tiba Maureen mencengkeram tangannya.

“Tidak, jangan pergi.” lirihnya lagi, membuat Essa terpaksa duduk di lantai di dekat sopa tempat Maureen berbaring.

Haish... Essa berdecak pelan, kantuk pun menghinggapinya, dia terpaksa tidur sambil duduk di lantai sedang sebelah tangannya berada dalam genggaman Maureen.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!