...“Jangan menyesali yang sudah terjadi dan berlalu. Selamatkan saja yang tersisa.” — Melati Aisyah Nayra...
Suara gadis kecil dan gedoran pada pintu kamar membuat Dion membuka mata dan menatap pada jam dinding di kamarnya.
“Masih jam 11. Kenapa waktu bergerak lambat hari ini?” pikir Dion lalu kembali memeluk bantalnya coba tidur lagi.
“Om Dion! Om Dion, Bangun!”
“Iya, Om Dion akan keluar. Sebentar, Yen!” sahut Dion mendengar panggilan kedua dari Yenni, putri tunggal induk semang yang masih TK. Gadis itu sangat menyukai Dion karena selalu diajak bermain sepulang sekolah hingga jam makan siang.
Dion kini sudah mengontrak kamar di rumah sepasang suami-istri yang berjarak tak jauh dari kontrakan lamanya.
Si kembar Oscar dan Tian berhasil lulus UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan melanjutkan pendidikan di Jawa Tengah membuat Dion menjadi satu-satunya penghuni tersisa.
Dion tak memperpanjang kontrak rumah lamanya karena ingin menghemat pengeluaran apalagi ia sudah kembali ke bangku kuliah.
Seorang ibu paruh baya pemilik warung langganan memperkenalkan Dion pada pasangan Adian-Marini. Tak butuh banyak pertimbangan ketika kedua pasangan itu menawarkan kamar berukuran 3 x 3 kepada Dion.
Mulanya Dion sempat khawatir karena beberapa orang tidak nyaman dengan perbedaan agama. Tapi Marini dan Adian hanya tertawa mendengar pengakuan Dion. Dengan memiringkan kepala, Adian menjawab sambil berkelakar, “Asalkan tidak punya agama saja. Itu melanggar konstitusi alias ilegal di negara kita.”
Dion juga memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi, Diploma-3 atas dorongan Wina yang ingin pemuda itu terus menyibukkan diri.
“Dion tak boleh punya waktu untuk berleha-leha lalu melirik wanita lain,” begitu alasan Wina ketika itu.
Dion melewati hari-harinya dengan semangat. Apalagi ia memang menggandrungi bahasa pemrograman. Dion ingin meningkatkan kemampuannya beradaptasi pada penggunaan sintaks berbeda antar bahasa.
Dion yang langsung jatuh hati pada Java dan C++ mulai meninggalkan Pascal yang bertele-tele dan tidak berorientasi objek. Belakangan hari, Dion sangat mensyukuri keputusannya karena kedua bahasa itu mempunyai andil besar dalam membangun fondasi hidupnya.
Kehidupan sosialnya tak banyak berubah. Andi dan Hendrik masih merupakan teman terdekatnya. Ia hanya ketambahan beberapa teman dari kampus barunya.
Ia juga tetap mengunjungi Oppung Duma, nenek Wina secara rutin untuk mengantarkan madu hutan. Selain itu, Dion memang sangat menyukai obrolan dengan wanita tua itu yang selalu suka berbagi kisah tentang kehidupan di masa lalu.
Tak terasa waktu berlalu. Sudah 9 bulan sejak perpindahan Wina ke Jakarta. Jarak membuat keduanya hanya bisa berkomunikasi lewat telepon dan surat.
Bulan-bulan pertama, komunikasi keduanya sangat intens. Selain bertelepon secara rutin, Wina dan Dion juga saling bertulis surat elektronik dan surat konvensional menceritakan hal-hal yang tidak sempat dibicarakan lewat telepon.
Belakangan, berkirim surat secara konvensional menjadi favorit Dion. Ada sensansi tersendiri ketika membaca tulisan tangan dan mencurahkan isi hati melalui goresan tinta. Ia menjadi mengerti mengapa hal itu selalu menjadi bagian penting dari karya-karya novel dekade sebelumnya.
Dion yang mulanya kelabakan memilih kata-kata pada suratnya, mulai menemukan ritmenya sendiri. Ia iri pada tulisan Wina yang mampu menyusun kata-kata yang mengalir tanpa ragu. Wina yang straightforward tapi spontan membuat suratnya selalu terdiri dari belasan halaman.
Namun, bulan-bulan terakhir ini, kesibukan mulai memangkas kebiasaan itu. Telepon tak lagi sesering dulu, surat pun semakin jarang tiba. Dion menahan diri, menepis keinginan untuk mendengar suara Wina lebih sering. Ia tahu, kekasihnya butuh fokus penuh untuk menyelesaikan tugas akhir.
Meski rindu kerap menyelinap tanpa aba-aba, ia memilih mengalah.
Rabu, 04 April 2001.
Hari ini seharusnya menjadi hari yang penuh kebahagiaan bagi Dion, Wina akan diwisuda. Sebuah tonggak yang telah lama mereka nantikan bersama. Meski itu tak serta merta berarti mereka bisa segera bertemu, setidaknya satu tahap besar telah berhasil mereka lalui.
Janji Dion kepada Oppung sudah terpenuhi. Kini, ia merasa lebih siap dari sebelumnya untuk memperjuangkan hubungannya dengan Wina, berapa pun rintangan yang menghadang.
Biasanya, Dion menghabiskan sore bersama rekan-rekan kampus sebelum berangkat kerja. Tapi tidak hari ini. Ada yang lebih penting. Wina telah berjanji akan menelepon sore ini, dan Dion tak sabar mendengar cerita tentang hari istimewanya.
Namun begitu tiba di kantor, sesuatu terasa aneh. Lobi yang biasanya lengang justru dipenuhi para karyawan yang tampak gelisah. Beberapa orang tampak sibuk mengemasi barang-barang mereka, beberapa lainnya berdiri dengan wajah muram, seolah baru menerima kabar buruk.
“Kantor kita ditutup mulai hari ini,” suara Sugiharto, Kepala Produksi, menyadarkan Dion dari kebingungan.
Dion menatapnya tak percaya. “Maksudnya...?”
“Kau harus mengosongkan mejamu dan membawa semua barang pribadimu sebelum tengah malam,” lanjut Sugiharto dengan nada datar, seolah-olah ia sendiri belum siap menerima kenyataan itu.
Dion masih berusaha memahami situasi ketika Elfrida, sekretaris redaksi, menghampirinya.
“Dion, sepeda motor dan surat-suratnya harus diserahkan. Inventaris sedang dicek,” ujarnya singkat.
Dion lalu mengeluarkan STNK dan kunci motor yang telah menemaninya lebih dari setahun terakhir.
Pihak manajemen memutuskan menutup dan menghentikan operasi kantor berita itu sebagai buntut kekecewaan atas penahanan pemilik perusahaan oleh kejaksaan karena kasus pencucian uang. Sang pemilik kecewa, perusahaan pers miliknya tidak memiliki pengaruh untuk melindunginya.
Ruangan terasa hening meski aktivitas orang di sana cukup tinggi. Semua tenggelam dalam pikiran dan kecemasan masing-masing. Dion sendiri duduk termenung, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Kuliahku... bagaimana nasib kuliahku? pikirnya.
Tanpa pekerjaan, bagaimana ia bisa membayar biaya kuliah? Apakah ini akhir dari perjuangannya?
“Ah, ini akan jadi hari yang berat. Tapi biarlah. Masih ada sesuatu yang akan meringankan beban. Kabar dari Wina,” gumamnya dalam hati dan berusaha membawa semangat ke dalam pikirannya.
“Dion, ada telepon dari Wina,” suara petugas sekuriti menyadarkannya.
Dion segera bangkit. “Boleh kuterima di ruangan atas?” tanyanya.
Petugas itu mengangguk dan mulai menyambungkan panggilan ke ruang kerja Dion di lantai dua.
Dengan langkah tergesa, Dion menaiki tangga, seolah telepon itu adalah penyelamat yang akan mengangkatnya keluar dari kekalutan. Sesampainya di meja, ia menarik napas dalam-dalam, coba menghapus jejak kegelisahan dari suaranya.
“Selamat sore, Wina!” sapanya penuh semangat.
“Hmm, selamat sore!” sahut Wina datar dan lesu.
“Wina hari ini capek yah? Suaranya lesu,” tanya Dion yang merasa Wina tak bersemangat.
“Nggak apa-apa, kok,” jawab Wina masih dengan nada yang sama.
“Bagaimana wisudanya hari ini? Nanti kirimin foto ke email, ya! Dion mau lihat Wina pakai toga,” Dion berusaha menceriakan suasana.
Tak ada jawaban. Hanya keheningan.
Hati Dion mulai tak enak. “Wina?” panggilnya pelan.
Lalu, terdengar helaan napas dari seberang.
“Dion...” suara Wina terdengar lirih, hampir bergetar.
“Iya? Wina kenapa? Kamu baik-baik saja?”
“Dion, aku ingin mengatakan sesuatu yang penting. Tolong dengarkan baik-baik!”
Dion terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Wina yang membuatnya merasakan kegelisahan tak wajar.
“Aku dengar, Win,” sahutnya, coba menenangkan hati sendiri.
Hening sejenak. Lalu, kata-kata yang menghancurkan dunia Dion meluncur begitu saja.
“Hubungan kita harus berakhir, Dion. Wina sudah punya pacar baru.”
Detik itu juga, waktu seolah berhenti. Jantung Dion berdegup kencang, tapi seluruh tubuhnya terasa beku.
“Wina bilang apa? Sori, Dion nggak terlalu dengar?” Dion berharap telah salah dengar.
“Dion carilah pacar baru dan tidak usah menunggu Wina lagi. Dan kuharap setelah ini Dion tidak lagi menghubungiku lewat apapun,” Wina mengabaikan permintaan Dion untuk mengulangi pernyataan sebelumnya. Gadis itu merasa yakin Dion mendengar semua kalimatnya dengan baik.
Dion masih berharap ini hanya lelucon. Tapi Wina tidak tertawa. Ia bahkan tidak terdengar ragu.
Dion terdiam linglung, tak tahu harus mengatakan apa. Ia berusaha mengumpulkan dirinya yang segera saja tercerai berai pada kebingungan, kesedihan, dan amarah.
Semua perasaan yang telah Dion genggam erat selama ini—cinta, harapan, impian tentang masa depan bersama—semua hancur berkeping-keping dalam sekejap.
“Oh, Tuhan!” gumam Dion pada diri sendiri sambil menarik dan meniup napas panjang. Walaupun terucap lirih tapi masih terdengar oleh Wina.
“Dion, marahlah kalau mau marah! Setelah ini Dion tak akan berkesempatan untuk melakukannya,” ujar Wina.
“Oh!” hanya itu yang keluar dari mulut Dion menyahuti.
Lalu terdiam.
Tak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan.
Satu menit, dua menit hingga menit ketiga tak ada kata yang terdengar. Hanya napas berat Dion yang sesekali terdengar di telinga Wina.
“Baiklah kalau Dion tak ingin mengatakan sesuatu lagi. Kita akhiri saja teleponnya. Semoga kamu baik-baik saja. Selamat sore!” pungkas Wina menutup telepon setelah beberapa saat tak juga mendapat jawaban dari Dion.
Menyadari panggilan sudah terputus, Dion pun meletakkan gagang telepon. Dengan gontai ia melangkah meninggalkan ruangan itu kembali ke lobi kantor.
Dion yang berjalan lesu dan wajah pucat pasi tak menarik perhatian siapapun karena setiap orang di tempat itu juga mengalami kegundahan yang sama. Semuanya bersedih dan terguncang karena tiba-tiba kehilangan pekerjaan.
Tapi bagi Dion, bukan kehilangan pekerjaan yang menjadi beban terberat. Kata-kata Wina yang menyatakan hubungan mereka telah berakhir lah yang membuat seluruh saraf dan otot tubuh seolah menolak bekerja sebagaimana mestinya.
Hampir satu jam mereka duduk di situ. Selama itu Dion hanya diam membisu dan hanyut dalam pikiran sendiri. Dion bahkan tidak bisa menyimak pembicaraan rekan-rekannya yang mengeluhkan PHK mendadak.
"Ah, mungkin hanya lelucon. Wina memang sering mengerjaiku,” pikirnya tiba-tiba, mencari secuil harapan di tengah kekacauan batinnya.
Dengan gerakan mendadak, Dion bangkit dari kursinya.
“Dion mau ke mana?” tanya Sugiharto, mengangkat alis.
“Ke wartel sebentar, Bang! Ada yang harus kutelepon.”
Tanpa menunggu respons, Dion melangkah cepat meninggalkan lobi menuju warung telepon tak jauh dari kantornya.
Jantungnya berdetak keras saat memasuki bilik wartel yang sempit. Tangannya sedikit gemetar saat menekan angka demi angka nomor rumah Wina di Jakarta.
Nada sambung terdengar lama, tapi tak ada jawaban.
Dion menggigit bibir, lalu mencoba nomor ponsel Wina. Satu kali. Dua kali. Di percobaan ketiga, akhirnya panggilannya tersambung.
“Halo!” sapa Wina menjawab panggilan di ponselnya. Ia sudah menduga Dion akan menghubungi nomor itu.
Dion menarik napas lega. “Wina cuma bercanda, bukan?” tanyanya buru-buru, berharap kata-kata tadi hanyalah bagian dari kebiasaan gadis itu menggodanya.
Wina tak segera menjawab pertanyaan Dion. Bagaimanapun, ia bisa merasakan kesedihan pemuda itu dan merasa harus mengulangi perkataannya.
“Tidak. Wina tidak bercanda. Semuanya sudah berakhir, Dion! Lupakanlah Wina dan mohon jangan menghubungiku lagi.”
Kata-kata Wina kembali membuat Dion terdiam. Bak hujaman pisau kedua ke hatinya.
“Apakah aku tak boleh mendapatkan sedikit pun penjelasan, Win?” Dion berupaya membela diri atas desakan Wina untuk mengakhiri panggilan itu.
“Apa yang ingin kamu ketahui?”
“Siapa dia dan bagaimana kamu bertemu dengannya?”
“Bara. Namanya Barandika. Dia anak teman mami dan kami dikenalin Agustus tahun lalu dan Wina magang di perusahaan milik keluarganya.”
Dion merasakan sesuatu menghantam dadanya, membuatnya sesak.
“Apa Wina dipaksa?” tanyanya, masih berharap ada alasan yang bisa membuatnya berpegang pada harapan terakhir.
“Tidak. Kami saling menyukai dan jadian di bulan Oktober. Ada lagi yang ingin Dion ketahui?”
Dion kembali membisu tak tahu harus mengatakan apa. Hatinya kini kian terbakar oleh rasa cemburu dan amarah.
“Enam bulan Wina menyembunyikan itu dariku,” ujar Dion dalam hati yang hancur lebur.
Dion mengepalkan tangan kanan kuat-kuat berusaha mengusir rasa marah dan cemburu dari pikiran sambil menggertakkan gigi.
“Kalau tak ada lagi yang perlu Dion tanya atau katakan, tutuplah teleponnya. Nanti tagihannya besar sekali,” ujar Wina karena Dion hanya diam saja.
“Dion, Marahlah! Makilah Wina sesukamu! Tapi berjanjilah untuk tidak menghubungiku lagi setelah ini,” tambah Wina dengan suara bergetar membuat Dion menghembuskan napas berat.
“Biarkanlah untuk beberapa saat lagi. Toh ini yang terakhir kali, bukan? Tidak apa-apa harus bayar mahal,” jawab Dion.
Dia mencoba meraup sedikit saja rasa bahagia dari pembicaraan lewat telepon itu seperti yang biasa ia alami setiap kali berbicara dengan Wina.
Tapi Dion segera sadar, semua sudah berakhir.
“Tidak ada gunanya marah-marah, Win. Tidak akan mengubah apapun. Hariku sudah cukup berat, kenapa aku harus merusak harimu juga?” ujar Dion.
Di seberang sana, Wina mulai terisak.
Wina sudah mengharapkan Dion marah dan menyalahkannya atas ketidaksetiaan. Tapi Dion tetaplah Dion yang ia kenal. Hingga saat itu, ia belum pernah melihat atau mendengar pemuda itu marah.
“Baiklah, Wynna Pingkan Arina!” Dion seolah mengambil ancang-ancang untuk mengucapkan sesuatu.
Wina menahan napas. Dion hanya menyebutkan nama lengkapnya saat ingin mengatakan sesuatu dengan sungguh-sungguh.
“Aku berjanji tak akan menelepon, mengirim surat, atau email lagi. Jangan khawatir, aku selalu menepati janjiku.”
Tangis Wina pecah di seberang sana. Ia tahu itu benar. Dion tak pernah mengingkari janjinya.
“Tapi aku masih ingin menanyakan satu hal sebelum berlalu,” pinta Dion dengan hati perih.
“Apa? Tanyakanlah!” tanya Wina di antara isakannya.
“Apakah dia memperlakukanmu dengan baik?”
Wina heran. Ia tak mengerti alasan di balik pertanyaan Dion.
“Iya. Bara baik pada Wina. Dia banyak membantu dan kami sering bersama dalam beberapa bulan terakhir. Keluarga kami juga sudah bertemu dan berencana akan mengadakan acara pertunangan beberapa bulan lagi,” jawab Wina.
Dion menutup mata, menahan perih yang semakin menusuk.
“Oh! Aku senang mendengarnya. Setidaknya ada sedikit hal baik yang aku dengar hari ini. Terima...”
Kalimat Dion terputus ketika seruan menyela terdengar dari seberang sana.
“Untuk apa kau teleponan lama-lama sama orang kampung itu. Tutup saja! Jangan biarkan dia mengacaukan pikiranmu,” ketus wanita yang segera Dion kenali sebagai ibunya Wina, Maria Lasma.
Sepertinya Wina tak menggubris teriakan ibunya karena Dion kemudian mendengar suara bantingan pintu dan kunci yang diputar.
“Maafkan Wina!” kata Wina masih dengan suara lirih dan isakan.
“Tak mengapa, Win. Aku justru berterima kasih atas kebaikanmu selama ini. Karenamu aku merasakan indahnya cinta kasih. Tapi, seperti semua hal baik dalam hidupku, pasti akan berakhir dengan cepat,” ujar Dion.
“Dion...,” Wina mencoba bicara, tapi suaranya tercekat.
“Aku akan mengakhiri panggilan ini. Aku berdoa kamu selalu sehat dan bahagia,” lanjut Dion kali ini dengan suara normal.
Keheningan menyelimuti mereka beberapa detik.
Lalu, dengan suara yang dipenuhi luka, Dion mengucapkan kata terakhirnya.
“Selamat jalan kekasihku, Wynna Pingkan Arina!”
Dion mengakhiri panggilan dengan meletakkan gagang telepon ke tempatnya semula.
...***...
Dion tak tahu sudah berapa lama ia duduk termenung di dalam bilik wartel itu. Waktu seolah kehilangan makna, larut dalam kehampaan yang mengungkungnya. Pikirannya kosong, tapi dadanya penuh sesak.
Suara di sekelilingnya memudar, berganti dengan gema percakapan terakhirnya dengan Wina yang terus berulang dalam benaknya. Menusuk, menyayat, menguliti hatinya hingga tak bersisa.
Ketukan pelan di pintu bilik menyentakkannya kembali ke dunia nyata. Dengan gerakan kaku, Dion mengangguk kecil, lalu bangkit.
Ia membayar tagihan telepon yang terasa jauh lebih mahal dari sekadar angka di kertas. Bayarannya adalah kepedihan yang tak terhitung jumlahnya.
Usai mengumpulkan barang-barang pribadi, beberapa rekan mengajaknya makan malam bersama. Dion menurut tanpa banyak bicara, membiarkan dirinya hanyut dalam kebersamaan yang terasa semu.
Mereka juga melanjutkan malam di sebuah warung kopi yang buka hingga subuh, mencoba menertawakan nasib sambil merencanakan langkah selanjutnya.
Percakapan di sekitarnya berkisar pada tuntutan pesangon, rencana mencari pekerjaan baru, dan janji untuk tetap saling berhubungan. Tapi Dion nyaris tak menyimak. Kata-kata itu berlalu seperti angin yang sekadar menyentuh permukaan kulit, tak mampu menembus labirin pikirannya yang kusut.
Pikiran Dion berkecamuk. Marah, cemburu, kecewa, berkecil hati, putus harapan, khawatir dan kesedihan, bercampur jadi satu.
“Masih adakah sedikit harapan yang tersisa dari cinta yang terhempas? Mengapa Tuhan menciptakan hari yang begini berat? Masih adakah sesuatu yang berarti buatku esok hari?” keluh Dion.
Sudah lewat tengah malam ketika Dion dan rekan-rekan sekantornya membubarkan diri setelah bertekad untuk memperjuangkan pesangon secara bersama.
“Di simpang sini saja, Bang! Lagipula aku ingin berjalan kaki menjernihkan pikiran,” ujar Dion. Malam itu Dion pulang dengan memboncengi Sugiharto karena sepeda motor yang biasa ia gunakan sudah dikembalikan.
Sugiharto menepikan motor, menoleh sekilas dengan tatapan mengerti. “Besok, sehabis magrib, jangan lupa. Kita makan malam dan bertemu lagi dengan yang lain untuk membahas tuntutan pesangon.”
“Iya, Bang. Dion pasti datang,” sahutnya dengan senyum tipis yang lebih mirip usaha menyembunyikan luka.
Dengan menenteng helm hitamnya dan sekantung plastik berisi barang-barang pribadi dari kantor, Dion tetap berdiri membiarkan Sugiharto meninggalkannya.
Sebelum melangkah menuju indekos, Dion menatap helm di tangan lalu membaui bagian dalamnya.
“Bau sampo Wina sudah hilang berbulan-bulan lalu. Seperti cintanya,” batin Dion.
Angin malam dingin tiba-tiba berhembus kencang, meliukkan dahan-dahan tua di persimpangan jalan, mencabut daun-daun kering dari ranting pepohonan dan menerbangkannya.
Alam seolah tengah merayakan kehancuran hati Dion. Seperti paduan suara sunyi yang menyanyikan elegi bagi luka yang menganga di jiwanya.
Hembusan dingin itu tak ubahnya taburan garam di atas luka yang masih menganga.
Dion mengerutkan dahi keheranan, matanya menyapu sekeliling.
“Aneh. Biasanya tempat ini tak pernah sepi, bahkan saat larut seperti ini,” pikirnya.
Malam itu, persimpangan tampak lengang, seperti kota mati yang ditinggalkan penghuninya. Hanya ada seorang perempuan berdiri di emper warung yang telah tutup, tampaknya sedang menunggu jemputan. Cahaya lampu jalan yang remang-remang menyelimuti sosoknya dalam bayang-bayang samar.
Dion baru meninggalkan persimpangan beberapa langkah ketika suara perempuan itu menghentikannya.
“Tunggu, Bang! Jalannya barengan, ya?”
Dion menoleh. Perempuan itu kini berjalan mendekat, setengah berlari dalam langkah-langkah kecil yang tertahan oleh roknya.
“Kasihan, dia pasti takut berjalan sendirian dan menunggu seseorang untuk menemani. Aih, kenapa sih orang-orang takut pada hantu?” pikir Dion.
Meskipun jalanan taram temaram, Dion masih bisa melihat perempuan jangkung itu mengenakan kemeja putih dengan rempel yang menghiasi bagian depan kerah dan kancing baju. Ia menenteng tas jinjing berwarna hitam di tangan.
“Wajahnya familiar. Ah, pasti pernah melihatnya di sekitar sini. Mungkin juga tetangga,” batinnya sambil berusaha mengingat. Tapi Dion tak mau ambil pusing karena pikirannya sudah kembali disibukkan oleh hal yang sedari sore membuatnya linglung.
Seperti orang kebanyakan yang selalu mencari pihak untuk dipersalahkan ketika ada masalah, Dion menyalahkan Maria, ibu Wina sebagai penyebab perpisahannya.
“Kau hampir membuatku terbunuh, kini juga menghancurkan harapanku. Andai mampu, aku ingin melihatmu berlutut meminta maaf,” geram Dion dalam hati sambil melangkahkan kaki.
“Bang, jangan cepat-cepat jalannya. Aku tertinggal, nih. Pakai rok, susah kalau jalan terlalu cepat,” suara perempuan itu memecah lamunannya.
Dion menoleh sesaat ke belakang lalu berhenti untuk membiarkan wanita itu menyusulnya.
“Malam ini pulang lebih cepat, Bang? Biasanya juga naik motor. Kok jalan kaki?” tanya wanita sesaat sebelum sejajar dengan Dion.
“Cuma motor pinjaman, Kak. Sudah dikembalikan,” sahut Dion. Di dalam hati ia heran mengapa wanita itu tahu kebiasaan pulang Dion.
“Ah mungkin dia pekerja di mall atau apotek yang juga pulang lewat tengah malam dan sering melihatku melintasi jalan ini,” pikir Dion mencoba mencari alasan logis.
“Apa karena itu Abang berpikir keras?” tanyanya lagi.
“Nggak juga. Cuma baru saja melewati hari yang berat,” jawab Dion.
“Direlakan saja Bang. Besok-besok juga akan ada hari berat lainnya. Biasakan diri saja,” cetus wanita itu.
Dion membenarkan kata-kata wanita itu. “Aku hanya perlu melupakannya. Bukankah kehidupanku baik-baik saja sebelum bertemu dia,” pikir Dion.
Berusaha mengalihkan pikirannya, Dion mencoba ramah. “Kakak baru pulang kerja, ya?”
“Bukan. Tadi ada urusan jadi kemalaman,” jawab wanita itu.
Sebenarnya Dion penasaran dengan wanita itu, tapi pikiran yang kembali digerogoti oleh rasa cemburu dan kecewa membuat ia berjalan dengan diam.
“Bang, aku duluan yah! Aku di sini saja,” kata perempuan itu tiba-tiba.
“Iya, Kak,” sahut Dion sambil menoleh dan melihat perempuan itu berbelok ke sebuah gang. Gang Mangga.
Langkah Dion melambat. Dahinya berkerut. Gang Mangga?
“Seingatku tidak ada penghuni gang ini yang seperti dia,” pikir Dion lalu mundur cepat untuk melihat di rumah mana wanita itu akan berhenti.
Di mulut gang, ia tak melihat sosok wanita itu. Lorong itu sepi.
“Aneh, seandainya pun dia berlari tak mungkin bisa mencapai rumah pertama secepat itu,” pikir Dion. Jarak rumah pertama dengan mulut gang memang lumayan jauh.
“Mungkin aku yang terlalu larut dalam pikiran,” gumam Dion coba mengabaikan rasa penasarannya.
Angin kembali bertiup kencang, menggugurkan daun-daun mangga kering yang melayang turun dengan gerakan melingkar seperti tangan-tangan tak kasat mata yang berusaha meraih sesuatu.
Dion menyingkirkan sehelai daun kering yang hinggap di kepalanya sebelum beranjur menuju indekosnya.
Namun, di belakangnya, di mulut Gang Mangga yang kini kosong, udara terasa lebih dingin. Seakan ada sesuatu yang masih berdiri di sana, memperhatikannya dalam keheningan.
...***...
Dion duduk termangu di atas dipan, tubuhnya terasa begitu berat seolah ada beban tak kasat mata yang menekan. Kamar kos yang biasanya terasa sempit kini seperti ruang kosong yang luas dan hampa, sepi dan sunyi, menggema dengan pikirannya sendiri.
“Aku pasti sedang bermimpi. Mungkin kalau tidur, aku akan terbangun pada kondisi semula,” pikirnya mengingkari kenyataan lalu merebahkan diri.
Ia mencoba memejamkan mata, membiarkan diri tenggelam dalam gelap yang menenangkan. Namun, semakin ia memaksa, semakin pikirannya menolak untuk diam. Hati penuh gejolak dan waktu seolah melambat, membiarkannya tersiksa lebih lama.
Azan Subuh mulai berkumandang dari kejauhan, sayup-sayup merayap masuk ke dalam kamar, namun Dion masih terjaga. Matanya terasa panas, tubuhnya lelah, tetapi kantuk tak kunjung datang.
Ia kesal karena tak juga tertidur tapi tak tahu harus menyalahkan apa dan siapa. Dion lalu memutuskan untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
“Mungkin sehabis mandi rasa kantuk akan datang,” pikirnya.
Ia bangkit dengan gerakan malas dan menyeret tubuhnya ke kamar mandi. Air dingin mengguyur tubuh, menusuk kulit, membangunkan kesadaran yang terasa tumpul.
Sehabis mandi, tubuh Dion malah menjadi segar dan semakin jauh dari rasa kantuk.
Dion coba memainkan game ‘Commandos 2’ di komputer menunggu datangnya kantuk tapi hanya bersemangat pada menit-menit pertama. Selanjutnya sudah kehilangan motivasi untuk menyelesaikan misi game itu.
Dengan putus asa, ia kembali ke dipan, menelungkupkan wajahnya ke atas bantal, berharap bisa mengubur semua kepedihan di dalamnya. Namun waktu terus berlalu tanpa ada tanda-tanda kantuk.
Dua jam berlalu dalam kehampaan, ia menyerah dan beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air.
“Lho, Dion sudah bangun atau belum tidur?” tanya Marini, ibu kos yang sedang menyiapkan meja untuk sarapan di dapur pagi itu.
“Nggak bisa tidur, Kak,” sahut Dion sambil menuangkan air putih ke gelas.
“Sarapan sudah siap. Sarapanlah bareng abangmu,” ujar Marini. Ia merujuk pada suaminya, Adian, yang bersiap-siap berangkat kerja.
Suami Marini yang bekerja sebagai sopir perusahaan ekspedisi selalu berangkat kerja pagi-pagi sekali.
Dion pun sarapan bersama Adian sambil ngobrol. Maklum, keduanya tak punya banyak kesempatan berbincang karena jam kesibukan yang berbeda.
Setelah sarapan, Dion keluar rumah dan duduk di bangku panjang di sudut tikungan lorong, tempat ia bisa melihat dua arah jalan sekaligus.
Ia berharap bisa mengurangi beban pikirannya dengan memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang—para pekerja yang bergegas ke tempat kerja, ibu-ibu yang pulang dari pasar dengan kantung belanjaan di tangan. Tapi semakin ia mengamati, semakin ia merasa terasing. Seolah dunia terus berjalan tanpa peduli betapa hancurnya hatinya saat ini.
Marini terheran dengan sikap Dion yang hanya duduk diam di bangku panjang itu sejak keberangkatan Adian suaminya. Dion masih duduk di sana ketika Marini pamit untuk mengantarkan Yenni ke sekolah TK.
Setelah mengantarkan Yenni, ia pergi ke pasar untuk berbelanja dan kembali pulang. Ia tetap mendapati Dion tak bergeser dari posisi duduknya.
“Dion, kau kenapa? Belum mengantuk, kah?” tanya Marini.
“Nggak apa-apa, Kak. Cuma banyak pikiran saja. Paling-paling sebentar lagi ngantuk juga,” sahut Dion tanpa menoleh pada induk semangnya.
Tak ingin mencampuri urusan anak kosnya, Marini masuk ke rumah dengan kantung belanjaannya. Ia harus menyiapkan makan siang sebelum menjemput Yenni pulang sekolah beberapa jam lagi.
Jarum pendek jam dinding sudah menunjuk pada angka 10 ketika Marini bersiap-siap menjemput Yenni dari sekolahnya. Ia kembali kaget karena Dion masih duduk pada posisi semula dengan tertunduk, menatap tanah dengan pandangan kosong.
“Ada yang salah dengan Dion,” pikirnya.
“Kalau sudah lapar, makan siang sudah siap, tuh. Kakak mau jemput Yenni dulu, ya,” ujar Marini, mencoba menarik perhatian Dion.
Dion tersentak dari lamunannya, menoleh dan mengangguk.
Giliran Dion yang kaget, ternyata matahari sudah mulai terik, bahkan sinar panas sudah menyentuh lengannya yang berpegangan pada bangku.
“Sudah berapa lama aku duduk di sini?” tanya Dion pada diri sendiri sambil memandangi punggung Marini yang berjalan menjauh.
Ia menyesali diri yang larut dalam lamunan. Ia sudah terlambat untuk menghadiri kuliah pagi itu. “Aku tak boleh melewatkan kuliah sore ini,” janjinya dalam hati.
Dengan malas-malasan ia masuk ke kamarnya dan mempersiapkan tas kuliah. Ia juga memaksakan diri untuk membaca materi kuliah hari itu karena tak ingin menyia-nyiakan waktu. Tapi baru sepuluh menit, ia menutup bukunya karena tak bisa konsentrasi.
“Tidak ada gunanya kuliah. Toh aku tak akan mampu membayar biaya kuliah semester depan,” pikirnya getir sambil rebahan menatap langit-langit kamar.
Sebagian dari dirinya ingin menyerah, ingin membiarkan kekecewaan mengambil alih segalanya. Namun, sebagian lain masih berusaha bertahan, menolak kenyataan yang begitu pahit.
Meskipun dengan wajah pucat dan rasa letih karena belum juga tidur sejak hari sebelumnya, Dion tetap mengikuti kuliah sore itu.
Dion merasa gembira ketika akhirnya kuliah berakhir. Ia sudah tak sabar untuk segera menuju kantor— atau bekas kantornya. Sore itu ia memang sudah membuat janji dengan rekan-rekan bagian produksi. Ia bersemangat karena berpikir masih ada kemungkinan Wina akan menelepon ke sana sore itu.
Dion harus gigit jari. Hingga mereka meninggalkan bekas kantornya itu, petugas sekuriti mengatakan tidak ada telepon untuk Dion.
Seperti pada malam sebelumnya, pertemuan kali itu juga hanya berisi keluhan-keluhan. Dion kebanyakan diam, tak sungguh-sungguh menyimak pembicaraan.
...***...
Sudah hampir tengah malam ketika Dion kembali ke indekosnya. Seperti hari kemarin, tanpa bertukar pakaian dan membersihkan badan ia langsung merebahkan diri di kasur.
Dion yang amat lelah akhirnya takluk juga oleh rasa kantuk dan tertidur.
Dion terbangun oleh suara-suara riuh yang menggema dari luar jendela. “Oh, sudah siang ternyata,” pikirnya. Ia hendak mandi, tapi memutuskan hanya mencuci muka dan menyikat gigi karena penasaran dengan suara keramaian di luar rumah.
Hari itu tampak cerah. Dion menyaksikan keramaian orang yang lalu lalang di muka rumah indekosnya. Ia kemudian duduk kembali di bangku panjang di depan rumahnya.
Sejenak ia merasa heran juga karena tak mengenali seorang pun dari keramaian itu. Sesekali ia membalas senyuman orang yang melintas.
Dion penasaran ingin mencari tahu apa yang terjadi tapi tak punya kesempatan bertanya. Ia mengharap Marini keluar dari rumah untuk menjelaskan, tapi tak melihat induk semangnya itu dari tadi.
“Aku sudah bangun tapi rasa sakit di dadaku tak juga hilang. Berarti yang kualami bukan mimpi. Wina benar-benar meninggalkanku,” batin Dion.
Namun, perhatiannya segera teralihkan oleh sosok yang berjalan mendekatinya, wanita yang ia temui tadi malam.
Wanita jangkung dan cantik itu masih mengenakan seragam sama, kemeja putih dengan rempel di bagian dada dan rok hitam melewati lutut.
Wanita itu melemparkan senyum dan berhenti di depan rumah Dion.
“Lagi duduk-duduk aja, Bang?” sapanya sambil menghentikan langkah di depan Dion.
“Iya, Kak. Cuma lihat-lihat keramaian. Kakak dari mana?”
“Dari pertemuan. Lelah juga berjalan. Abang masih sibuk dengan pikiran yah?” Wanita itu sedikit menyindir.
Sambil tersenyum miris Dion menggeser duduknya agar wanita itu punya cukup tempat berehat. “Namanya masih hidup, ya masih berpikir lah, Kak. Duduk lah kalau merasa lelah.”
Wanita itu pun duduk di samping Dion. Seketika, aroma parfumnya yang manis dan lembut menguar, memenuhi udara di sekitar mereka.
“Abang namanya siapa? Kita belum berkenalan, kan?”
“Dion. Kalau Kakak?”
“Melati, Bang.”
Dion menatap wanita cantik yang tersenyum dengan lesung pipi ganda di pipi kanannya. Seperti Dion, Melati juga mempunyai belahan dagu meskipun hanya terlihat ketika tersenyum.
“Maaf yah, Kak. Aku lupa kalau pernah lihat kakak di mana. Tapi sepertinya sudah kenal sebelumnya,” ujar Dion membuat Melati tertawa kecil.
“Ya iyalah. Kita ketemu tadi malam.”
“Hmm, bukan, tapi sebelumnya. Tapi aku tak bisa ingat,” Dion coba mengingat.
“Mungkin lama kelamaan akan ingat juga. Bang Dion jangan terlalu memikirkan segalanya. Sampai susah-susah mikirin pernah ketemu Melati di mana,” ujar Melati yang kini duduk sedikit serong.
“Jangan panggil Abang dong. Sepertinya Kakak lebih tua dari Dion,” protes Dion, ekspresinya menunjukkan ketidaknyamanan.
“Memangnya Melati sudah kelihatan tua, ya?” tanya Melati, bibirnya mengulas senyum penuh arti. Tatapan tajamnya membuat Dion merasa terpojok. Ia sadar, bagi sebagian wanita usia adalah ranah sensitif yang tak bisa diungkit sembarangan.
“Bukan begitu, Kak. Justru karena kebanyakan orang salah menebak umurku. Aku memang sering dikira lebih tua daripada usia sebenarnya,” Dion berusaha menghindari jebakan halus Melati.
“Oh, memangnya berapa usiamu?”
“Baru akan menginjak 22.”
“Terlalu banyak berpikir membuatmu tampak lebih tua. Rasanya kamu sudah seperti pria di akhir 20-an,” ungkap Melati sambil tertawa kecil, matanya memandang Dion dengan tatapan mengamati.
“Benar itu, Kak! Pasti gara-gara itu,” Dion mengangguk setuju. “Kalau Kakak sendiri, berapa umurnya?”
“Ih, tidak sopan sekali menanyakan usia seorang wanita,” protes Melati, alisnya sedikit terangkat.
“Curang si Kakak,” Dion merengut tapi senyumnya tak surut.
“Pokoknya sudah bukan awal 20-an lagi. Jadi pastinya lebih tua,” sahut Melati, masih dengan nada menggoda.
“Fair enough!” ucap Dion sambil mengangkat bahu.
“Sepertinya tahun depan kamu akan terlihat seperti bapak-bapak,” seloroh Melati lagi.
“Kok bisa?” tanya Dion singkat, keningnya berkerut.
“Iya, kalau setiap menit kamu habiskan dengan merenung seperti lelaki yang baru saja patah hati atau ditinggal istri.”
Dion hanya menanggapi candaan wanita itu dengan senyum datar sambil memberikan tatapan kosong.
“Maaf ya, aku tidak bermaksud menyinggung. Jangan terlalu dipikirkan, nanti bebanmu malah bertambah,” lanjutnya, nada suaranya melembut.
“Aku tidak tersinggung. Kakak benar, hanya saja pikiranku memang sulit diajak kompromi,” Dion tak ingin Melati merasa bersalah, meski tak bisa sepenuhnya menyangkal beban yang ia rasakan.
“Jangan menyesali yang telah berlalu. Selamatkan saja apa yang masih bisa diperbaiki,” Melati memberi nasihat.
“Biarlah, Kak. Aku ingin menyesalinya sejenak. Seperti seekor anjing yang menjilati luka sendiri setelah kalah bertarung,” Dion tersenyum tipis, menyelipkan sedikit candaan dalam keterpurukannya.
“Waktu akan menyembuhkanmu. Kamu masih lebih beruntung dibanding mereka yang bahkan tak diberi kesempatan untuk menyembuhkan diri,” ujar Melati lirih.
“Biasanya butuh waktu berapa lama?” tanya Dion, pandangannya menerawang, mengikuti lalu lalang orang-orang di sekitarnya.
“Tidak ada patokan pasti. Setiap orang punya waktunya sendiri. Bisa sebulan, dua bulan, atau mungkin setahun, bahkan lebih,” jawab Melati dengan nada bijak.
“Aku pernah dipukuli hingga koma. Kaki dan tulang rusukku patah, wajahku penuh sayatan, otak dan lambung mengalami pendarahan. Tapi, seingatku rasanya tidak sesakit ini,” keluh Dion, matanya kembali menerawang jauh.
“Ah, itu pasti karena dokter memberimu obat penahan rasa sakit,” sanggah Melati cepat, disertai tawa kecil yang jernih.
“Oh! Benar juga. Kalau begitu, ada tidak obat penahan rasa sakit hati?” tanya Dion, mencoba mencairkan suasana dengan gurauan. Namun, perhatiannya tertuju pada Melati yang tiba-tiba menunduk, wajahnya memucat. Ia memejamkan mata, mengusap dahinya dengan telapak tangan.
“Kakak kenapa? Sakit?” tanya Dion dengan nada cemas.
“Pusing sekali. Aku pergi dulu, ya,” jawab Melati, suaranya terdengar lemah. Ia berdiri, lalu melangkah pergi tanpa sedikit pun menoleh ke arah Dion.
“Aku ada obat sakit kepala, Kak,” Dion buru-buru menawarkan bantuan, tapi Melati sudah menghilang ke dalam iringan para pejalan kaki.
Dion merasakan sesuatu yang aneh. Sesaat setelah Melati menyatu dengan kerumunan, suasana di lorong itu perlahan berubah. Keramaian mulai menyusut. Dalam hitungan menit, keramaian menguap begitu saja.
Tak ada lagi orang yang berlalu lalang.
Senyap.
Angin semilir berembus, membawa serta kantuk yang tiba-tiba menyerang Dion tanpa peringatan.
Tanpa berpikir panjang, ia merebahkan diri di atas bangku panjang dan membiarkan matanya terpejam, tenggelam dalam lelap tak terelakkan.
...***...
Dion terbangun dengan tenggorokan terasa kering. Namun, sesuatu terasa janggal. Ia mendapati dirinya sudah berada di dalam kamar, padahal ingat betul bahwa terakhir kali ia tertidur di bangku panjang di luar rumah. Lebih aneh lagi, ketika ia melirik ke jendela, hari sudah gelap.
Mengusir kebingungan yang menggelayut, ia beranjur menuju dapur untuk mengambil segelas air.
Langkahnya berat karena kepalanya masih dipenuhi sisa-sisa mimpi yang samar.
Di dapur, ia melihat Marini tengah sibuk memasak. Aroma bumbu yang ditumis menyebar di udara.
“Kok malam sekali masaknya, Kak?” tanya Dion heran. Biasanya, Marini sudah selesai memasak sejak sore.
“Maksudmu terlalu pagi?” Marini balas bertanya tanpa menoleh, tangannya cekatan mengaduk isi wajan. “Kok sudah bangun? Tidak bisa tidur?”
Dion mengernyit. “Pagi? Bukankah di luar gelap?” gumamnya dalam hati.
Ia meneguk air dari gelasnya, mencoba menjernihkan pikirannya yang terasa kabur.
“Memangnya sekarang jam berapa, Kak? Rasanya tadi aku baru saja tertidur di bangku depan,” katanya, masih berusaha mencerna situasi.
“Masih subuh,” jawab Marini.
“Kakak tadi kaget pas bangun lihat pintu rumah terbuka. Ternyata Dion ketiduran di luar. Kakak suruh abangmu buat bangunin agar pindah ke kamar. Tapi baru sepuluh menit sudah bangun lagi.”
Dion tertegun. Seingatnya, ia tertidur di luar. Tapi kalau benar hari masih subuh, berarti cuma tidur beberapa saat.
“Kak, aku pasti tadi mimpi aneh. Jadi tadi aku benar-benar pindah ke kamar?” tanyanya masih tak percaya.
“Ya iyalah,” Marini meliriknya sekilas. “Mana mungkin abangmu menggendong kamu ke dalam? Mimpi apa memangnya?”
Dion menghela napas, lalu menatap kosong ke arah meja dapur. “Pulang-pulang sudah ada di kamar. Aku bangun karena mendengar suara ramai, kaget karena hari sudah siang.”
“Aku keluar melihat keramaian itu. Di sana bertemu seseorang dan bercerita dengannya. Habis itu aku tertidur di bangku depan, eh, bangun-bangun sudah di kamar lagi,” tuturnya pelan.
Marini menghentikan gerakan tangannya sejenak, lalu menatap Dion dengan alis bertaut.
“Ha? Jadi Dion nggak sadar kalau keluar rumah tadi malam? Abangmu pas mau ke toilet sempat lihat kamu buka pintu depan. Sehabis dari toilet, dia lihat kamu duduk di luar. Dia sempat nanya, tapi kamu diam saja, melamun. Ya sudah, dia biarin saja dan balik tidur,” jelasnya.
Dion semakin terdiam. Pikirannya berkecamuk, mencoba mencocokkan potongan-potongan kejadian yang tak masuk akal.
“Nah, pas Kakak bangun pagi, Dion sudah tertidur di bangku itu. Makanya Kakak suruh Abangmu membangunkan Dion agar pindah ke kamar,” lanjut Marini sambil menuang masakannya ke dalam piring saji.
Dion mengusap wajahnya, mencoba memastikan dirinya masih terjaga sepenuhnya. “Berarti tadi aku cuma bermimpi?” gumamnya lebih kepada dirinya sendiri.
Marini menatapnya sejenak, senyumnya mengembang samar, sebelum kembali sibuk dengan persiapan sarapan pagi.
Dion kembali ke kamarnya, duduk di tepi ranjang dengan perasaan tak menentu. Ia belum pernah mengalami mimpi yang terasa sehidup itu. Seingatnya, ia juga tak pernah mengalami sleepwalking sebelumnya.
Pikirannya kembali tertuju pada sosok dalam mimpinya.
“Selamatkan apa yang masih tersisa,” gumamnya, mengulang kalimat yang diucapkan Melati dalam mimpinya.
Meskipun tak terlalu yakin dengan apa yang ia lakukan, Jumat pagi itu Dion mengikuti kuliah.
Karena masih merasa kantuk, sehabis kuliah Dion kembali ke kontrakannya dan langsung merebahkan diri. Tapi pikirannya kembali dipenuhi kenangannya bersama Wina membuat rasa kantuknya hilang.
Celakanya, rasa kantuk tak juga muncul hingga hari gelap. Ia kembali mencoba tidur setelah makan malam, tapi hingga fajar menyingsing rasa kantuk tak juga muncul. Beruntung hari itu Sabtu, kampusnya libur.
Sepanjang Sabtu, ia mengurung diri di kamar. Bermain game di komputer hingga merasa lelah. Rebahan tapi tak juga bisa tidur. Lalu kembali menyibukkan diri dengan bermain game.
Hingga malam menjelang, ia masih terjebak dalam lingkaran yang sama. Berulang kali ia berpindah tempat, dari kamar ke bangku panjang di luar rumah, ke sofa ruang tamu, ke meja komputer, hingga ke meja makan di dapur.
Sial bagi Dion. Meskipun badannya terasa lemah sekali karena sejak Rabu hanya tidur beberapa jam, tapi rasa kantuk tak kunjung datang.
Ia kemudian menghabiskan waktu berjam-jam bermain game hingga Minggu tengah hari. Ia hanya berhenti untuk makan siang karena perutnya keroncongan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!