NovelToon NovelToon

HAMIL ANAK JIN

Bab 1 Pemandian Air Panas Gunung Keramat

Malam itu di sebuah kamar kost mahasiswi...

"Gimana dong, Sit, Vano minta jatah, dia ngancem putus kalau gak diturutin," rengek Yuli. Matanya memerah seakan ingin menangis.

"Hah ?!! sumpeh lu ?" pekik Siti, seorang gadis asal Jakarta.

"Ssst sttt, jangan keras-keras !" bisik Yuli sambil menempelkan satu jari di mulutnya.

"Anjeeeng si Vano, putusin aja !" ucap Siti sambil menepuk-nepuk pahanya yang tertutup katok gemes.

"Ya jangan, Sit, aku gak mau putus, aku sayang sama dia," ucap wanita bucin setengah bodoh ini.

"Ya Allah Gusti, heh Yul, emang ape sih yang lu liat dari tuh cowok ? modal muke ganteng doang, motor juga masih supra," ucap Siti menepuk jidatnya kesel bingit.

"Vano janji bakal nikahin aku begitu lulus kuliah, Sit, dia udah ngerencanain semuanya," ucap Yuli.

Siti Khumairo menghela nafas beratnya bak naga api, batinnya meronta memaki-maki kawan bucinnya yang buta karena terlalu sayang kepada pacarnya, "napa temen gue gini amat sih, Ya Allah ? kasian banget orang tua nya, udah nguliahin jauh-jauh begini tapi anaknya masih bego aja."

"Kamu kenapa diem aja, Sit ?" tanya Yuli sambil memandangi wajah cantik temannya itu.

Siti melirik tajam sahabatnya, teman sekamar kost, sekelas pulak di kampus, "Yul, apa jaminannya dia bakal nepatin janji nikahin elu ? mikir lah, Yul, apa sih susahnya mutusin badjingan macam Vano ? buseeeet buseeet."

"Aku juga gak tau, Sit, namanya cinta ya gini, cinta emang butuh pengorbanan. Kamu belum pernah jatuh cinta makanya gak ngerti," ucap Yulianti sambil cemberut.

"Yah, malah nyalahin gue lu, ahhh bodoh amat lah, serah lu," ucap Siti sambil meringkuk di kasurnya yang ada di bagian atas.

"Aku gak nyalahin," kata Yuli yang tidur di bawah. Oke, kasur kedua anak ini tingkat.

"Bodo amat ! yang jelas gue udah ngingetin," pekik Siti tak mau tahu.

Namanya juga mengingatkan orang bucin, apapun saran kita, sebanyak apapun nasehat kita, gak bakalan mempan. Rasa cinta sudah meluluh lantakkan akal sehatnya, logika sudah tidak jalan, hanya bisa merangkak ngesot, meski hati nurani tak mau, tapi demi cinta apapun mau dengan penuh kerelaan sebagai bentuk perjuangan. Perjuangan memanglah perjuangan, tapi tidak semua pejuang itu pinter.

"Sit ! Sitii !" ucap Yuli memanggil-manggil.

Siti terus meringkuk di atas kasurnya membelakangi sahabatnya itu, ngambek. Pada akhirnya Yuli melepaskan dasternya dan mengganti pakaiannya dengan kaos lengan panjang dan celana jeans panjang, ia kenakan jilbab parisnya itu. Yuli memang berjilbab, sedangkan Siti tidak, tapi dalam kasus ini Siti jauh lebih bisa menjaga kehormatannya. Dalam hati Siti juga terus membatin, kok bisa wanita berjilbab gitu rela memberikan kehormatannya cuma-cuma begitu saja kepada... manusia kenthir.

Yuli pun mengalungkan tasnya di pundak, "aku pergi dulu, Sit."

Siti melirik ke belakang sebentar, "ke hotel mana lu ?" tanyanya.

"Ke... pemandian air panas Gunung Keramat," jawabnya.

Siti langsung bangkit kaget benar-benar sulit percaya, "anjaaay !! di tempat umum ? gilak lu, Yul, kalian berdua... lu sama cowok lu sarap, cowok lu punya otak nggak sih ? kira-kira dong milih tempat, gak modal banget."

"Kalau malem tempatnya sepi katanya," jawab Yuli.

"Biarpun sepi, Yuuuul Yul.. Mbak Yuuul," keluh Siti sambil menaboki gulingnya. Karena menaboki teman adalah haram hukumnya.

"Mau gimana lagi, aku berangkat ya, aku udah ditunggu depan gang ini," katanya.

Siti diam saja dengan hati berasa benaaar-benar gak enak melihat temannya itu berlalu. Mana temannya masih perawan, bahkan ia tak bisa membayangkan bagaimana jika ia di posisi Yuli malam ini. ingin menangis tapi ini bukan ujian hidupnya sendiri. Yang ia rasakan lebih ke prihatin dan miris sekali.

Yuli langsung tersenyum menjumpai Vano di depan sana bersama motor supranya, ia dan Vano memang sudah pacaran sejak semester satu. Sejak ospek Yuli terpikat dengan wajah tampan itu, wajah tampan tanpa noda, bahkan pori-pori gak keliatan sama sekali, glowing. Vano adalah definisi lelaki tampan tapi bajingan sejati.

"Ayo ! pake helmnya !" ujar Vano menyerahkan helm yang ia pinjam dari teman kosannya.

"Iya," jawab Yuli sambil duduk di boncengan dan mengenakan helm itu.

'Ngeeeng,' motor pun melaju ke arah pemandian air panas yang lumayan terkenal.

Hanya butuh waktu 1 jam saja untuk sampai ke pemandian itu dari area kampus swasta xxx. Saat masuk ke dalam area, semua pengunjung hanya wajib membayar parkir 5 ribu untuk kendaraan motor dan tiket 10 ribu untuk masuk dan mandi sepuasnya. Seperti yang Vano bilang, kalau malam tempat ini sepi sekali, bahkan di kolam hanya ada mereka berdua.

"Bawa baju ganti kan ? ganti yuk, Yang," ajak Vano sembari menggandeng salah satu lengan Yuli ke bagian tempat ganti baju.

"Iya, Van," jawab Yuli mesam-mesem tapi juga gugup. Mungkin si Yuli aslinya juga kebelet.

Yuli hanya pakai short ketat dan tanktop putih, sedangkan Vano bertelanjang dada dan hanya pakai kolor. Keduanya melihat-lihat dulu area pemandian, sejenak suasana ini... sunyi senyap ini, dan air yang bergolak agak keruh karena kandungan sulfur gunung itu terasa aneh sekali, membuat bulu kuduk merinding disko.

"Kok diem aja ? ayo ! aku bakal nikahin kamu kalau udah lulus, janji, aku pake pengaman nanti supaya kamu gak hamil," bisik Vano sambil merabai punggung dan pantat Yuli.

"Emmh... iya," jawab gadis itu.

Yuli masih merinding, rasanya seperti ada orang lain di sini, bukan hanya ia berdua, tapi ia tak bisa melihatnya. Setelah nyemplung ke dalam kolam, hangatnya mulai terasa memijat-mijat badan yang lelah. Vano tetap menjaga agar dekat dengan pacarnya. Sudah dari sebulan yang lalu Vano ditantang teman-temannya se geng untuk mendapatkan keprawanan pacarnya, dan ia tak mau dianggap cupu atau tak mampu, malam ini ia akan buktikan ia bisa, ini juga kali pertama Vano melakukannya.

Vano mulai menegang memeluk tubuh yang basah itu, Yuli kaget merasakan perutnya seperti disodok sesuatu. Saat Vano memasukkan tangannya menggerayangi apa yang ada di balik pakaian tipis itu, Yuli memejamkan matanya rapat, sudah gak bisa mikir apapun, ia hanya bisa pasrah mengikuti alurnya, hingga akhirnya singkat cerita.... pecah darah segar itu, menodai kolam pemandian air panas ini.

"Aaaah sakit Van, sakiit ! udah Van, hiks, udah," bisik Siti sembari terisak.

"Bentar lagi, bentar lagi, dikit lagi," jawab Vano terus bergerak.

Di kosan Siti semakin mumet mencak-mencak, berjalan mondar-mandir sendirian depan meja belajar sambil meremas rambutnya, "Yuli gobloook guobloook ! nyusain aja lu Yuuul !!!" ucapnya geram.

Pada akhirnya karena rasa khawatir teramat sangat, Siti ganti pakaiannya dengan cepat, ia pakai kaos, berlapis jaket dan celana panjang jeans. Ia langsung pesan gojek menuju ke tempat pemandian air panas Gunung Keramat yang dikatakan tadi.

'Ngeeeeng,' motor Kang Ojek melaju lancar di jalanan nanjak.

"Bisa lebih cepat nggak, Bang ?" ucap Siti sambil memegangi erat pundak si Bang Ojek.

"Ia sabar, Neng," jawabnya.

Sesampainya di depan pintu pemandian, Siti langsung berlari masuk ke dalam, tak lupa ia bayar tiket pada bapak-bapak berbaju serba hitam yang punya tatapan tajam itu. Sebelum melangkah masuk tiba-tiba si bapak petugas di loket itu memanggil, "whoii Mbak ! sini dulu deh ! sini !"

"Ada apa, Pak ?! saya buru-buru ini," ucap Siti berbalik sebentar kembali ke depan loket.

"Kamu kuliah di kampus swasta sini toh, Mbak ?" tanya pria itu seakan bisa membaca identitas seseorang hanya dengan sekali tatap.

"Iya, Pak, kenapa ?" tanya Siti.

"Selagi masih ada waktu, mending kamu pulang kampung sana ! pulang saja, kemasi semua barang, keburu telat," katanya menasehati.

"Telat apa ?" tanya Siti gak mudeng.

"Ada yang mengundang balak (bencana) di tempat ini, ulo topo wes murko (ular pertapa sudah murka)," ucapnya dengan mata melotot-melotot, mana nada bicaranya setengah berteriak begitu dengan suara serak.

Bab 2 Kerasukan

Siti tahu apa yang dimaksud oleh penjaga loket tersebut. Masyarakat Indonesia percaya bahwa yang namanya bencana alam terjadi karena ulah tangan manusia itu sendiri, manusia yang membuang 'sampah' sembarangan, manusia yang bermaksiyat di suatu tempat, tentu akan mengundang kemurkaan makhluk gaib, bukan hanya makhluk yang murka, tapi juga sang Khaliq.

Siti menggeleng, "saya gak ikut-ikutan, Pak, sumpah, saya juga udah ngingetin temen saya, dia gak mau denger."

Pria yang sebenarnya sempat mengintip adegan hangat tadi menghela nafas lelah, "Bapak tahu, Nak, Bapak tahu, tapi bencana tidak akan menimpa orang yang melakukan saja," ucapnya.

Siti angguk-angguk, "makasih nasehatnya, Pak...."

"Dori, panggil saya Pak Dori," katanya.

Siti mendongak, alisnya rada mengerut, "kayak temannya Nemo ikan badut," ucapnya lirih.

"Heh !! nama lengkapnya Ahmad Khudori," kata si penjaga loket tak mau dikata temannya ikan badut.

Siti nyengir, "hehe hehe, baik Pak Dori, saya ke sana dulu," katanya pamit.

Siti langsung melangkah cepat masuk ke area pemandian, pemandian air panas ini terdiri dari bentukan kolam-kolam kecil seperti jacuzzi dan 1 kolam besar mirip swimming pool pada umumnya, Siti celingukan dulu dan berlarian mengecek satu per satu bilik demi bilik.

"Yuli !! Yuuul !" pekik mahasiswa cantik ini mencari, tapi ia tak mendapati temannya ada di sana.

Siti pun duduk di tepian, sendirian dengan bibir melengkung ke bawah, "udah telat, dia udah pergi. Semua udah terjadi, Yuli goblok ! suatu saat kalo dia nyesel gua toyor palanya," ucapnya kesal.

Tiba-tiba angin aneh berhembus, menerbangkan uap hangat dari kolam air panas itu, Siti merapatkan jaketnya dan melihat sekelilingnya, tempat ini sejatinya masih hutan, kanan kiri pohon pinus perhutani. Kemudian sesuatu seakan-akan beriak dari dalam kolam, tepat di tengah-tengah sana.

Siti bangkit lagi dan berjalan mendekat, penasaran, "apaan tuh ?"

Sesuatu yang panjang, warnanya putih tulang, gerakannya seperti gerakan arus air kolam yang besar ini. Siti semakin mendekat dan bahkan sampai ke pinggiran, ia berjongkok seakan tak takut makhluk apapun itu, ia melihat pakaian, seperti selendang di sana, warnanya putih tulang memang, dan ada yang memakainya, rambutnya panjang hitam, lurus tidak krebo.

"Perempuan, maaf, permisi ? Buk ? Mbak ?" ucap Siti mengira itu manusia biasa.

Makhluk itu akhirnya sampai berenang tepat ke tepian, ia mecungul dari dalam air, wajahnya basah, bibirnya merona, tepat di hadapan Siti, sekilas biasa saja seperti manusia, tapi agak lain auranya, aromanya juga rada bau-bau melati.

"Mbak ? lihat teman saya nggak di sini tadi ?" tanya Siti mundur selangkah ke belakang dengan posisi masih jongkok.

Wanita itu menyeringai, tak menjawab pertanyaan malah balik tanya, "siapa namamu ?"

Siti kedip-kedip melihat seperti ada dua taring panjang di sana, "emmmm... Siti," jawabnya mengulurkan tangan untuk salaman seperti adat orang Indonesia.

Makhluk itu mengulurkan tangannya, Siti menjerit melihat kuku-kuku panjang mencuat dari jari-jari itu, "aaaaaahhhh !!! siapa kamu ?!!" jeritnya.

Makhluk itu langsung menyergap, menarik Siti masuk ke dalam air, 'byuuur !!!'

'Bleb bleb bleb bleebeb,' Siti pandai berenang, di Jakarta ia sering diajak Babenya rekreasi ke kolam renang, akan tetapi makhluk ini lebih lincah lagi berenang, ia mencengkeram erat tubuh Siti, tak membiarkannya menghirup udara di permukaan air. Siti mencak-mencak, sesak, air sulfur ini sebagian masuk ke dalam mulutnya.

'Zleeeeb !' hingga akhirnya makhluk itu melekatkan badannya bagian depan ke arah punggung Siti, mendesak Roh Siti lepas paksa dari tubuhnya. Mata Siti membelalak, ia langsung hilang kesadaran, semua jadi gelap, ia tak bisa merasakan sakit, sesak, hangat, panas dan dingin, ia tak bisa merasakan apapun lagi.

'Byuuur... tap tap tap tap,' tubuh Siti melangkah naik ke tepian kolam, badannya basah kuyup, senyuman yang tak pernah Siti ukir seumur hidupnya tersungging di sana.

"Akhirnya... aku bebas, yeaaaay !! akhirnya aku bebaaaaas !!" pekik bibir indah Siti penuh kegembiraan.

Makhluk yang kini berhasil merebut tubuh Siti itu mengecek bagian-bagian tubuh yang ia tumpangi dengan seksama, melihat kuku-kuku jari terpotong rapi, rambut panjang yang lembut, wajah yang bebas jerawat, kaki yang jenjang di balik celana, dan perut yang berisi makanan.

"Hihih, gadis ini cantik sekali, masih muda dan segar, tubuhnya sangat enak, emmm... tapi...," ucap Saraswati, nama Siluman Ular Pertapa itu sembari merabai tubuh Siti.

"Tapi dadanya rada trepes, ah gak papa," ucapnya mensyukuri apa yang ada, yang penting ia bisa bebas berkelana sekarang.

Saras melangkah meluar dari pemandian air panas itu. Pak Dori yang memang memiliki mata batin kuat bersembunyi di bawah meja loketnya, sekujur tubuhnya gemetar ketakutan. Saras celingukan sebentar, merasa semuanya aman, ia pun langsung melanjutkan langkah ke jalan raya.

"Ojek ojek ! Mbak, ojek, Mbak ?" ucap Kang Ojek terdekat menawarkan gadis yang basah kuyup itu.

Saras menoleh melihat lelaki itu, sudah bapak-bapak, "bapak bisa antar saya pulang ?" tanyanya.

"Ya bisa, makanya saya nawarin, hehe. Ini Mbak yang tadi kan ? yang saya anter ke sini ? langsung order aja, Mbak, di hp," katanya.

Saras tak mengerti apa yang tukang ojek itu ucapkan, "maksudnya, Pak ? gimana caranya ?" tanyanya.

"Ya kan Mbak bawa hp tadi, kayak order ojol biasa Mbak," katanya.

"Hp ?! makanan apa sih yang bapak ini bicarakan ?" batin Saras yang sudah terkurung ratusan tahun di alamnya.

Saras mengobrak-abrik isi tas yang dibawa gadis yang sudah ia rampas badannya itu, ia menemukan hanya ada 2 benda, dompet dan hp, ia yakini benda kotak itu yang dimaksud dengan hp, "ini kah yang namanya hp ?" tanyanya.

"Iya bener, hehe," jawab Kang Ojol meraih hp itu dan menunjukkan bagaimana cara memesan ojek lewat hp.

Saras adalah jin yang cukup cerdik, ia memperhatikan sekali dan langsung nyambung, "oooh jadi begitu, jadi kalau begini ini Bapak bisa memberi saya tumpangan pulang ?" tanyanya.

"Iya," jawab Kang Ojol memendam perasaan aneh.

"Manusia benar-benar makhluk rumit, hehe," kata Saras sambil tersenyum.

"Mari Mbak Siti, ini pakai helmnya," kata Kang Ojol. Untungnya tukang ojek itu tahu dimana Siti ngekost, ia langsung mengantar Siti pulang ke kosan.

Di jalan tukang ojek itu sempat bertanya, "kok Mbak Siti basah semua ? apa gak bawa baju ganti tadi pas berendam ?"

"Memang enggak, Pak, hehe," jawab Saras sembari memeluk erat si tukang ojek di bagian belakang. Ini juga kali pertama ia naik motor, ia takut jatuh, mirip bule yang baru pertama naik motor, tapi laju kendaraan lumayan sepi malam ini, perjalanan pun lancar.

Sementara itu, nasib roh Siti yang asli kini memprihatinkan, ia telah ditukar paksa tanpa persetujuan, ia meringkuk di sebuah sangkar raksasa di tengah jurang di alam jin, masih tak sadarkan diri, dan tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Semriwing angin jurang membelai-belai bulu-bulu halus di tubuhnya, ia sedikit membuka mulutnya yang mungil, ngiler, kebiasaan dari kecil memang begitu, begitu terlelap pasti ngiler. Burung-burung pipit di hutan bertengger di sarang raksasa itu dan memandanginya.

Bab 3 Bhre Rakha

"Citcit cuuuit !" burung-burung bermata 3 atau 4 di atas sana bersiul-siul mencoba membangunkan Siti, tapi Siti tak bangun juga.

'Ketoplak ketoplak ketoplak,' suara lari tapak kaki kuda terdengar tak lama kemudian, burung-burung itu mabur kembali ke angkasa raya yang terlihat tanpa matahari.

Suasana di alam jin memang beda, di alam manusia tampak matahari dan rembulan, di alam jin tidak, ada cahaya tapi tanpa sumbernya yang pasti, suasana tampak singup (singup itu seperti keadaan hari yang cerah tapi sedikit berawan), senja dan subuh tampak keunguan di langit, udara yang berhembus juga tak sesegar di alam manusia, malam di alam manusia artinya siang di alam jin, dan sebaliknya. Jika ini bagian wilayah kerajaan jin jahat, udara terasa seperti saat kemarau, jika di wilayah kerajaan jin baik, udara dingin semriwing.

"Ya Salam, sangkar ini rusak parah, kok bisa semua ini terjadi ?" ucap seorang lelaki gagah di atas pelana kuda jantan putih.

"Pasti telah terjadi sesuatu, Pangeran, sangkar ini sudah dimantrai oleh para empu yang puasa 100 hari," kata Pati Wirajaya.

Pangeran Rakha turun dari kudanya dan berjalan ke tepian, melihat semua kekacauan ini, ia berjongkok kemudian berpikir keras, "mantra ? apa yang bisa membuat mantra para empu padam ?" tanyanya.

Patih Wira pun mendekati dan ikut berjongkok di samping Pangeran Rakha, "saya juga tidak mengerti, Pangeran."

Rakha menatap orang yang seumuran dengannya itu dengan senyuman, yang ikut mumet dengan masalah ini, "sudah berapa kali aku bilang padamu, Patih, panggil aku Bhre saja, aku sekarang diperintahkan Ayah memimpin wilayah Jawa bagian Timur, aku tidak lagi tinggal di istana," katanya.

"Tetap saja, Bhre, kau adalah keturunan satu-satunya Paduka Raja, kelak kau akan menggantikannya dan tidak lagi memimpin wilayah ini, semua wilayah Jawa akan tunduk padamu," kata Wira dengan senyuman.

"Kau sembunyikan dulu berita rusaknya sangkar ini dari masyarakat ya, jika rakyat jin tahu siluman ular ini kabur, mereka pasti akan segera mengungsi ketakutan, dan jika Ayahku tahu... habislah aku," kata Pangeran Rakha bisik-bisik.

"Baik, Bhre," jawabnya.

"Kita harus temukan ular itu sebelum ia mengobrak-abrik alam kita dan juga alam manusia, kalau dia berubah jadi monster, longsor dan banjir bandang akan terjadi, kemudian kita juga harus perbaiki sangkar ini, ayo kita datangi para empu," ucap Rakha sembari berdiri lagi.

Rakha sudah berbalik mau menunggangi kudanya hingga Wira memekik, "Bhre, tunggu dulu ! lihat itu ! sepertinya ada seseorang di sana," katanya menunjuk.

Pria yang bertelanjang dada dengan dua cuping telinga emas itu turun lagi dari kuda kemudian berlari melongok, ia sipitkan matanya, "iya, jangan-jangan siluman itu, ayo kita turun !" ajaknya.

Dengan seutas tali, kedua pria berbadan sixpack ini menuruni jurang yang sangat dalam tempat dimana sangkar raksasa diletakkan untuk mengurung sang siluman selama ratusan tahun lamanya. Rakha turun duluan, sapit urang bermotif batik yang menyelimuti celana pendeknya sedikit menyulitkan dan harus diikat sedikit, setelah sampai di dasar jurang, ia melangkah ke pintu kurungan dan membukanya.

"Perempuan, Bhre !! perempuan bugil itu," pekik Wira sedikit melotot.

"Kau benar," ucap Rakha sembari berlari mendekati Siti.

Rakha dan Wira mengamati tubuh Siti dari belakang, melihat lekukannya yang indah, "mulus sekali, dan dia bukan siluman itu," ucap Rakha.

"Dia pingsan sepertinya, atau tertidur, tapi aromanya lain dengan aroma bangsa jin, saya jadi curiga, Bhre," ucap Wira.

Mata Rakha membulat, hidungnya mekar-mekar membaui badan Siti, "jangan-jangan, dia... manusia," bisiknya.

"Sepertinya sih, tapi bagaimana dia bisa di sini ?" ucap Wira tak habis thingking.

Rakha mengulurkan satu jarinya, ia toel-toel pundak Siti, "hei ! perempuan, hei !! bangunlah !" ucapnya.

Siti tak juga bergerak, Rakha pelan-pelan sekali mulai menyentuh kepala dan tubuh itu, jantungnya berdebar-debar tak karuan, "siapapun kau... apes sekali nasibmu bisa ada di alam ini, hai perempuan," ucapnya.

Begitu Siti ditelentangkan dan rambutnya disibak, wajah Rakha berubah melongo seperti orang dongo, pipinya memerah dan matanya tak bisa kedip sama sekali, "Ya Allah.... cantik sekali," gumamnya.

Burung-burung berhenti berkicau memandangi semua itu, awan pun tampak berhenti berjalan di langit sana, angin pun tak berhembus, dan hati Rakha seperti berhenti berdetak, bunga-bunga yang mekar di seluruh taman istana tak mampu mengalahkan keindahan ini. Sang Pangeran memandangi lagi tubuh itu, dari ujung kuku kakinya hingga ujung rambut kepala, ini adalah ciptaan Allah yang paling indah pernah ia jumpai, ia tak akan pernah berhenti memikirkannya nanti malam, mungkin ia tak akan bisa tidur. Bibir Rakha mengembangkan senyuman saat memandangi bibir yang agak menganga itu.

"Biarpun ngiler kau tetap sangat cantik," ucap Rakha.

"Dia sangat mempersona, tapi dia tetaplah bukan bangsa kita, Bhre," ucap Patih Wira.

Rakha langsung tersadar dari kehanyutannya dan menoleh orang kepercayaannya itu, "kenapa kau diam saja, Wir ? jangan dilihat !! lepaskan sapit urangmu sekarang !"

"Ampun, Bhre, ampun," ucap Wira terburu-buru berpaling badan dan melepaskan sembong jarik yang ia kenakan.

Rakha menjabarkan kain jarik itu dan menutupkannya pada tubuh Siti, "apes nasibmu terdampar di sini, wahai Perempuan, tapi keapesanmu ini juga keberuntungan bagiku, hehehe," ucapnya sembari menggendong Siti dengan kedua lengan kekarnya.

"Sekarang bagaimana caranya kita naik ke atas, Bhre ?" ucap Wira bingung.

Bhre Rakha mengatur posisi agar Siti bisa digendong di salah satu pundaknya, "gak papa, aku bisa naik dengan satu tangan," katanya.

"Nanti kau jatuh, bagaimana kalau aku naik dulu, aku bawakan tali lain untuk menarik perempuan ini ?" ujar Wira menawarkan.

"Tidak usah, tidak usah, aku bisa kok, santai saja," jawab Rakha.

"Ni Pangeran tukang ngeyel dari dulu," batin Wira mendaki duluan.

Dengan susah payah Rakha membawa Siti ke atas bukit, di atas bukit sana memang ada sebuah gubuk kecil tempat penjaga sangkar tinggal dulu, tapi penjaganya sudah lama mati karena usia, sejak saat itu tak ada seorangpun yang menjadi penjaga. Rakha membaringkan Siti di atas amben jelek, ia bersihkan sedikit perkakas di dalam gubuk itu dan membuka jendelanya agar udara segar bisa masuk ke dalam.

"Bhre, saya tidak bisa menunggu perempuan ini sampai sadar, saya mau cari empu untuk memperbaiki sangkar ini sesegera mungkin dulu," kata Wira izin.

"Baiklah, pergilah, bersamaku perempuan ini akan aman sentosa," ucap Rakha sambil menyunggingkan senyuman lebar sekali.

Wira hendak pergi keluar dari pintu gubuk, tapi ia kok jadi ragu melihat senyuman itu, ia berbalik badan lagi, "emmm... Bhre, anu... Bhre tidak akan melakukan hal-hal yang... anu kan pada perempuan ini ?" tanyanya.

"Kau pikir aku pria macam apa ? jika aku semacam itu, sudah tak perjaka aku sekarang, buktinya aku masih perjaka tingting, aku ini kuat iman, jangan meremehkanku !" ucap Rakha cemberut.

"Okeh... okelah kalau begitu, Bhre, saya pergi dulu," ucap Wira dengan seringai.

'Ketoplak ketoplak ketoplak,' kuda coklat itu pun berlari menuruni bukit, dan senyuman kembali menghiasi wajah Bhre Rakha.

Rakha kembali memandangi wajah Siti, ia elus-elus pipinya yang seempuk jemblem, "kau telah menyentuh satu benda kecil nan usang dalam dadaku ini, rasa cintaku, kau hidupkan benda usang itu kembali, aku sama sekali tidak tertarik pada wanita sejak kematian ibundaku, maaf curhat, hehe, kuharap kau tidak kaget setelah sadar nanti, hai perempuan," ucap Rakha mendadak jadi puitis.

Rakha memutar-mutar jarinya, mengucap mantra, tubuh Siti bercahaya, ia tiba-tiba jadi berpakaian, memakai kemben, jarik, stagen berwarna merah lengkap dengan selendang merah yang berani, dua cuping emas menghiasi telinganya, membuatnya seperti dewi yang baru turun dari kayangan. Ini adalah mantra memakai busana praktis ala bangsa jin.

Rakha menyipitkan matanya, "ada 1 lagi yang masih kurang," gumamnya memutar lagi jarinya di dekat bibir Siti, bibir itu jadi merona pinky bak dipulas lipstik alami terbuat dari sari buah naga.

"Sempurna," ucap Rakha sumringah melihatnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!