NovelToon NovelToon

Deonall Argadewantara

Deonall Story

Langit sore di Jakarta mulai berubah jingga saat sebuah mobil sport hitam mengkilap berhenti tepat di depan sebuah pusat perbelanjaan mewah. Suara mesin yang menggelegar menarik perhatian beberapa orang di sekitarnya.

Dari dalam mobil, seorang pria muda melangkah keluar dengan gaya yang begitu percaya diri. Deonall Argadewantara, atau yang lebih sering dipanggil Deon, tersenyum miring sambil mengenakan kacamata hitamnya.

Dengan jaket kulit mahal, sepatu sneakers edisi terbatas, dan jam tangan mewah yang harganya setara dengan gaji tahunan kebanyakan orang, Deon tampak seperti ikon kemewahan berjalan. Tapi bukan itu yang membuatnya terkenal.

Bukan karena ketampanannya atau gaya hidupnya yang hedonistik. Bukan pula karena statusnya sebagai pewaris salah satu konglomerat terbesar di negeri ini.

Yang membuat Deon begitu dikenal adalah satu hal, sikap tengilnya yang luar biasa menyebalkan.

“Awas dong, jalan jangan di tengah, lo kira ini jalan nenek moyang lo,” ucapnya ketus saat seorang pria paruh baya yang berjalan sedikit lambat menghalangi jalannya.

Tanpa menunggu jawaban, Deon melangkah masuk ke dalam mal dengan gaya angkuh. Beberapa gadis remaja yang mengenalinya dari media sosial mulai berbisik-bisik sambil cekikikan, tapi Deon tak peduli.

Baginya, perhatian adalah sesuatu yang biasa. Dia tumbuh dengan itu.

Hidupnya sempurna. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Atau setidaknya, itulah yang ia pikirkan.

Namun, segalanya berubah ketika Deon dipanggil pulang ke rumah mewahnya malam itu. Ia masuk ke ruang keluarga dan menemukan ayahnya, Deandra Argadewantara, duduk dengan ekspresi dingin di wajahnya. Ibunya, yang biasanya selalu membela Deon, kali ini hanya diam di sisi suaminya.

“Kita sudah cukup sabar dengan kelakuan kamu, Deon,” suara berat sang ayah menggema di ruangan. “Tapi kamu makin lama makin tidak bisa diatur.”

Deon mendengus, menatap ayahnya dengan santai. “Ayah mau ceramah lagi? Bisa dipersingkat aja? Aku ada janji.”

“Janji dengan siapa?” kali ini ibunya yang bersuara, nadanya tak seperti biasanya. “Dengan teman-teman kamu yang hanya peduli pada uang kamu? Dengan gadis-gadis yang hanya ingin dekat karena harta kamu?”

Deon mengangkat bahu, tak mau ambil pusing. “Dan kalaupun iya, masalahnya di mana?”

Ayahnya menghela napas panjang, lalu memberikan satu amplop putih tebal kepada Deon. Dengan alis terangkat, Deon mengambilnya dan membuka isinya.

Mata coklatnya yang tajam membulat ketika membaca isinya.

Kontrak Magang.

“Apa ini?” tanya Deon dengan suara lebih tinggi.

“Kamu akan bekerja sebagai anak magang di perusahaan kita,” jawab ayahnya dengan nada yang tak terbantahkan. “Selama enam bulan. Tanpa ada yang tahu bahwa kamu anakku. Jika kamu menolak atau gagal, kartu kreditmu, akses ke rekening bankmu, dan semua fasilitas yang kamu nikmati akan dicabut.”

Deon terdiam. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa dunia runtuh. Kerja?

Dia, Deonall Argadewantara, yang terbiasa hidup dalam kemewahan, disuruh bekerja seperti orang biasa?

“Tunggu,” katanya, berusaha tertawa. “Ini becanda, kan?”

Tapi tidak ada yang tertawa. Tidak ibunya. Tidak ayahnya. Tidak pelayan yang berdiri di sudut ruangan. Bahkan udara di ruangan terasa lebih berat.

Dan saat itu, Deon tahu bahwa hidupnya yang sempurna baru saja berubah.

__

Pagi berikutnya, Deon berdiri di depan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan logo perusahaan keluarganya terpampang besar di atasnya.

Tapi kali ini, bukan sebagai pewaris atau anak bos.

Kali ini, ia hanya seorang anak magang.

Dan ini baru permulaan.

Deon menarik napas panjang, melirik sekeliling. Kantor itu penuh dengan orang-orang berpakaian formal, berjalan cepat sambil membawa dokumen atau berbicara di telepon. Beda sekali dengan klub malam atau showroom mobil yang biasa ia datangi.

“Gila, ini neraka apa kantor sih?” gumamnya pelan.

Langkahnya terhenti saat seorang wanita dengan clipboard di tangan mendekatinya. Mata tajamnya menatap Deon dari atas ke bawah, seolah menilai apakah ia layak berada di sana.

“Kamu anak magang baru?” tanyanya ketus. “Nama?”

Deon mendengus, memasukkan tangannya ke saku celana. “Deon.”

Wanita itu menatapnya tajam. “Deon siapa?”

Deon tersenyum miring. “Deonall.”

“Deonall apa?”

Deon terdiam. Refleksnya hampir menyebutkan nama keluarganya, tapi ia sadar tidak boleh mengungkap identitas aslinya.

“Deonall... Wijaya,” ucapnya asal.

Wanita itu mengernyit. “Baik, Deonall Wijaya. Saya Nadine, supervisor divisi pemasaran. Mulai hari ini, kamu kerja di bawah saya.”

Deon tersenyum santai. “Oh, tenang aja, Mbak Nadine. Gue nggak bakal nyusahin lo kok.”

Nadine menyipitkan mata. “Panggil saya ‘Bu Nadine’. Dan satu hal lagi, anak magang itu nggak boleh songong.”

Senyuman Deon seketika menghilang.

Dan di saat itu, ia sadar... hidupnya benar-benar berubah jadi kacau.

Baru saja Deon mau masuk ke dalam ruangan, sebuah tumpukan map tebal mendarat di dadanya. Ia hampir tersungkur ke belakang.

“Nih, kerjaan pertama lo. Baca, catat, dan laporkan ke gue besok pagi,” kata Nadine santai sambil berjalan melewatinya.

Deon menatap map itu dengan horor. “Seriusan? Gue anak magang, bukan sapi perah.”

Nadine berbalik, menatapnya tajam. “Oh, lo pikir anak magang ngapain? Duduk santai sambil main HP?”

Deon mengerjap. “Ehm... iya?”

Nadine mendecak. “Salah. Selamat datang di dunia nyata, Wijaya. Dan mulai sekarang, gue jamin hidup lo nggak akan semudah itu.”

Deon menelan ludah. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar... kalah.

Deon masih menatap map tebal di tangannya seolah benda itu adalah kutukan abad ke-21. Ia menghela napas panjang dan menyeret kakinya ke meja kerja yang tampak kosong di pojokan. Begitu duduk, ia membuka halaman pertama dan langsung diserang oleh deretan angka, grafik, dan istilah bisnis yang bahkan tidak pernah ia dengar sebelumnya.

"Apa ini? Bahasa alien?" gumamnya.

Baru saja ia ingin menutup map itu dan mencari cara untuk kabur, seorang pria berkacamata dengan senyum penuh semangat muncul di sampingnya. "Hai, lo anak magang baru, ya? Gue Iwan, udah setahun magang di sini. Tenang aja, kalau butuh bantuan, lo bisa nanya ke gue."

Deon mengangkat alis. "Setahun magang? Kok masih magang? Lo salah jurusan atau gimana?"

"Ah, itu cerita panjang..." Iwan tertawa canggung. "Pokoknya, kalau mau bertahan di sini, lo harus nurut sama Bu Nadine. Percaya deh, dia galak tapi baik... kadang."

Deon mendengus. "Galak tapi baik? Itu kayak bilang minuman ini dingin tapi panas."

Iwan hanya mengangkat bahu dan kembali mengetik di komputernya. Sementara itu, Deon menatap kembali map tebal di hadapannya. Kali ini, ia mencoba membaca satu paragraf dengan serius. Lima detik kemudian, ia sudah menguap seperti singa kelaparan.

"Oke, kayaknya ini nggak bisa dikerjain sendiri. Saatnya menggunakan strategi andalan," katanya pelan sambil menyeringai.

Ia melirik ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada yang melihatnya, lalu dengan gesit mengeluarkan ponselnya. Jarinya langsung bergerak lincah mengetik pesan ke asistennya.

Deon: Lo bisa bantuin gue ngerjain laporan ini nggak? Gue bayar lo double.

Beberapa detik kemudian, balasan muncul.

Asisten: Pak Deon, saya juga nggak ngerti laporan keuangan. Saya asisten pribadi, bukan dukun.

Deon mengerang pelan. "Sial, rencana A gagal. Oke, rencana B."

Ia lalu mencari aplikasi AI di ponselnya dan mencoba mengetikkan beberapa pertanyaan. Namun, baru saja ia ingin mengirimkan pertanyaan, suara Nadine terdengar dari belakangnya.

"Gue harap lo nggak main HP pas kerja, ya, Wijaya?"

Deon terlonjak seperti kucing kesiram air dan reflek menjatuhkan ponselnya ke lantai. Dengan wajah polos ia menoleh. "Hah? Main HP? Nggak, Bu Nadine. Saya cuma... eh... googling istilah bisnis."

Nadine menyipitkan mata. "Oh ya? Coba gue lihat."

Deon buru-buru memungut ponselnya dan menutup aplikasi secepat kilat. "Eh, tadi sih layarnya nge-lag, jadi keburu ke close. Maklum, HP gue udah tua."

Nadine mengangkat alis, jelas tidak percaya. "HP lo tua? Itu kan seri terbaru yang bahkan gue belum bisa beli."

Deon hanya bisa cengengesan. "Ehm, maksud gue, tua secara... spiritual."

Nadine mendengus. "Daripada lo cari jalan pintas, gue saranin lo mulai kerja. Kalau laporan lo jelek besok, siap-siap aja kena omelan di depan semua orang. Gue pengen lihat ekspresi lo pas diceramahin bos gede di depan banyak orang. Pasti seru."

Setelah berkata demikian, Nadine pergi dengan anggun tapi tetap menyeramkan. Deon menghela napas panjang dan menatap map itu dengan benci.

"Oke," katanya akhirnya. "Gue bisa ngerjain ini. Tinggal fokus... dan nggak tidur." Ia menepuk pipinya sendiri.

Lima menit kemudian, kepalanya sudah tergeletak di atas meja, tertidur dengan mulut sedikit terbuka sambil mendengkur halus.

Iwan, yang duduk di sebelahnya, hanya menggeleng-geleng. "Ya ampun, baru juga mulai... Udah kayak HP baterai 5%.”

Deonall Story

Hari pertama magang di perusahaan keluarganya sendiri terasa seperti mimpi buruk bagi Deon. Biasanya, hidupnya serba mudah semua beres tanpa perlu repot. Tapi kini, dia justru dilempar ke dunia kerja yang penuh tekanan.

Begitu menginjakkan kaki di kantor, dia langsung disambut dengan tumpukan tugas yang asing baginya. Seniornya? Bukan sosok ramah yang siap membimbing, melainkan seseorang yang nyaris tak memberi ruang untuk bernapas.

Setiap kesalahan kecil mendapat tatapan tajam, setiap gerakan diawasi seperti predator mengintai mangsa.

Hal-hal yang tak pernah terpikirkan olehnya kini jadi rutinitas. Dari sekadar melayani orang lain, sesuatu yang tak pernah dia lakukan sebelumnya hingga mengurus hal-hal administratif yang membingungkan.

Tangannya gemetar saat harus membuat kopi untuk seniornya, lalu panik saat menyadari bahwa dia bahkan tidak tahu cara menyalakan mesin fotokopi.

Setiap detik terasa seperti ujian mental. Deon yang dulu hidup santai kini harus menelan pil pahit dunia kerja. Dan ini baru hari pertama.

Baru setengah hari, Deon sudah ingin kabur. Kepalanya pening, punggungnya pegal, dan harga dirinya? Hancur lebur. Seniornya terus mengomel, seakan setiap napas yang Deon ambil pun salah.

“Deon, ini bukan rumah lo! Jangan berdiri bengong, kerja yang bener!” bentak seniornya.

Jantungnya berdebar, tangannya refleks bergerak, entah mengerjakan apa. Kertas berserakan, keyboard berisik, dan mesin fotokopi mengeluarkan bunyi mencurigakan, mungkin karena tadi dia salah pencet.

Tapi tidak ada waktu untuk panik.

Saat akhirnya ada waktu istirahat, Deon menghempaskan diri ke kursi pantry, menghela napas panjang. Tapi kedamaian itu hanya bertahan lima detik.

“Deon, tolong ambilin kopi!”

Matanya membelalak. Ini ujian apa neraka? Yang dulu tinggal tunjuk, kini malah disuruh-suruh. Dengan langkah gontai, dia menuju mesin kopi, menatapnya seolah berharap mesin itu bisa memahami penderitaannya.

Ini baru hari pertama, tapi rasanya seperti setahun. Kalau begini terus, Deon serius mempertimbangkan untuk pura-pura amnesia besok pagi.

Deon menghela napas panjang, mencoba menata mentalnya yang sudah hampir rontok. Tapi baru juga dia pegang cangkir kopi, seniornya berteriak lagi.

"Buruan, Deon! Gue nggak minta lo bikin kopi sambil meditasi!"

Tangannya gemetar, hampir saja cangkir itu terlepas. Dengan langkah terburu-buru, dia membawa kopi itu ke meja seniornya dan di detik itu juga, tragedi terjadi.

Kakinya tersandung kabel, dan BRAK! kopi panas itu sukses tumpah ke meja kerja.

Satu ruangan langsung hening. Deon menelan ludah, menatap noda kopi yang mulai menyebar di antara tumpukan dokumen. Seniornya menatapnya dengan ekspresi horor, lalu beralih ke Deon dengan tatapan maut.

"DEON!!!"

Oh, ini sudah di luar batas. Jika bumi bisa membelah diri sekarang juga, dia rela masuk ke dalamnya. Atau kalau ada lowongan jadi batu di pinggir jalan, mungkin dia akan mempertimbangkannya.

Belum sempat berpikir lebih jauh, tiba-tiba telepon kantornya berbunyi nyaring. Seniornya masih sibuk mengelap meja, jadi mau tak mau Deon yang harus mengangkatnya.

Dengan jari gemetar, dia menekan tombol dan menjawab, “Halo, dengan De-eh, maksud saya, dengan PT-eh, hallo?”

Hening sejenak. Lalu suara di seberang berkata, “Ini Pak Direktur. Bisa sambungkan saya ke manajer?”

Wajah Deon langsung pucat. Itu suara ayahnya. Ayahnya sendiri. Direktur utama perusahaan ini.

Hari pertama magang dan dia sudah di ambang kehancuran total.

__

"Ayah benar-benar ingin membunuh aku?!" Deon menggeram, napasnya tersengal, emosinya sudah di ujung tanduk.

"Jaga ucapan kamu, Deon. Di kantor, ayah ini atasan kamu, bukan hanya ayah kamu." Suara sang ayah tenang, tapi penuh ketegasan.

Deon mendengus tak percaya. Tangannya bertolak pinggang, rahangnya mengeras. "Atasan? Ayah masih bisa bicara seperti itu? Sedangkan aku hampir mati karena mereka semua!"

BRUK!

Deon tersentak saat ayahnya menghantam meja.

"Seharusnya kamu bersyukur!" suara ayahnya tajam, menusuk langsung ke egonya. "Ayah masih berbaik hati menempatkan kamu di ruangan ber-AC, bukan di luar, kepanasan seperti karyawan lainnya!"

Deon tertawa sumbang, kepalanya mendongak seolah menertawakan takdirnya sendiri. "Bersyukur, Ayah bilang?" Dia menurunkan kepalanya perlahan, tatapannya tajam menusuk mata ayahnya. "Aku bukan anak magang! Aku lebih seperti pembantu! Apa ini yang Ayah maksud dengan magang?!"

Dia melangkah mendekat, berdiri tepat di depan meja besar berwarna coklat tua dengan nama sang ayah terukir megah di atasnya, simbol kekuasaan yang kini membuat darahnya mendidih.

"Dengarkan saya baik-baik, Pak Direktur yang terhormat!" suaranya meninggi, penuh tekanan.

"Karyawan anda tidak memperlakukan saya seperti anak magang. Mereka memperlakukan saya seperti pelayan pribadi mereka!!"

Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Dadanya naik turun, amarahnya membakar habis kesabaran yang tersisa. Kalau ini benar-benar magang, maka Deon sudah siap menulis surat pengunduran diri… dalam pikirannya saja, tentu saja.

Ruangan itu dipenuhi ketegangan yang nyaris bisa dipotong dengan pisau. Deon masih berdiri tegak di depan ayahnya, dadanya naik turun, sementara sang ayah menatapnya dengan mata tajam bak elang yang baru saja dihina di wilayah kekuasaannya sendiri.

Ayahnya menghela napas, mencoba menahan diri. “Kamu terlalu berlebihan, Deon.”

Deon tertawa pendek, sarkastik. “Berlebihan? Ayah pikir aku sedang drama?” Dia menunjuk dirinya sendiri. “Sejak kapan anak magang harus jadi tukang antar kopi, tukang fotokopi, tukang angkat berkas, bahkan sampai jadi pesuruh buat beli makan? Dan bukan cuma satu orang tetapi... SEMUA ORANG!”

Dia melangkah mundur, tangannya terangkat seolah mencari logika dalam semua ini. “Kalau ini namanya magang, aku nggak kebayang mereka perlakukan pegawai kontrak seperti apa! Mungkin disuruh cuci mobil sekalian? Atau pijitin kaki bos?”

Ayahnya kembali menatapnya tajam. “Itu bagian dari proses belajar, Deon. Ayah juga melewati itu semua dulu.”

Deon mencibir, kepalanya sedikit miring. “Oh, jadi Ayah dulu juga pernah disuruh ngelap sepatu senior? Dipaksa ambilin makanan setiap jam makan siang? Pernah nggak Ayah dihina, diremehkan, disuruh ini-itu seakan-akan aku ini budak mereka? Pernah, hah?!”

"Jaga mulut kamu, Deon!" suara ayahnya menggema di seluruh ruangan. Tapi Deon tidak peduli.

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya bertumpu di meja ayahnya. “Kalau ini yang Ayah sebut sebagai kerja keras, maka aku harus tanya satu hal…” Matanya menatap lurus ke mata ayahnya, penuh pemberontakan.

“Apa Ayah menempatkan aku di sini untuk belajar… atau untuk dihancurkan?”

Ruangan itu semakin panas meski AC berembus kencang. Deon tidak peduli. Amarahnya sudah naik ke ubun-ubun, dan dia tidak akan mundur.

Ayahnya menghela napas, berusaha tetap tenang. "Deon, ini bukan tentang menghancurkan kamu. Ini tentang mengajarkan kamu arti kerja keras."

Deon tertawa, kali ini lebih kencang, lebih sarkastik. "Kerja keras? AYAH MENYEBUT INI KERJA KERAS?!" Dia menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi tidak percaya. "Ayah pikir aku ini idiot? Jangan bicara seolah aku tidak tahu perbedaan antara kerja keras dan perbudakan terselubung!"

Dia melangkah maju lagi, semakin dekat, menatap sang ayah tanpa gentar. "Kalau Ayah benar-benar ingin aku belajar, kenapa aku tidak diberi tugas yang masuk akal? Kenapa aku tidak diajari sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaanku? Kenapa yang aku lakukan malah jadi tukang antar kopi dan budak suruhan senior yang bahkan tidak bisa menyebut namaku dengan benar?!"

Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, tubuhnya gemetar menahan emosi. "Jangan bicara soal proses belajar kalau Ayah sendiri menutup mata dengan apa yang terjadi! Ini bukan tentang mengajarkan aku cara bekerja dengan baik, tapi ini tentang menjatuhkan aku! Tentang menunjukkan bahwa aku tidak lebih dari anak bos yang pantas diinjak-injak!"

Matanya menyala penuh amarah. "Aku tahu aku manja! Aku tahu aku tidak pernah bekerja sebelumnya! Tapi kalau Ayah pikir aku akan diam dan menerima ini begitu saja, Ayah salah besar!"

Dia mendekat, suaranya merendah namun menusuk. "Jadi, katakan pada saya, Pak Direktur... Apa anda sebagai Ayah saya menempatkan saya di sini untuk belajar, atau memang sengaja membiarkan mereka menghancurkan saya?"

Ayahnya menatapnya tajam, rahangnya mengeras. Tapi Deon tidak takut. Tidak kali ini.

"Kamu pikir dunia ini mudah, Deon?" suara ayahnya rendah, tapi penuh tekanan. "Kamu pikir semua orang akan memperlakukan kamu istimewa hanya karena kamu anak bos?"

Deon mendengus, matanya berkilat. "Oh, jadi ini ujian mental, ya? Ayah sengaja biarin aku diinjak-injak biar aku belajar?" Dia menunjuk dirinya sendiri dengan jari gemetar karena emosi. "Kalau memang begitu, kenapa Ayah nggak sekalian aja suruh mereka melempar aku ke jalan?! Biar aku benar-benar tahu rasanya dihina habis-habisan!"

Ayahnya menghela napas panjang, tapi Deon tidak memberi kesempatan. Dia menunjuk meja besar di hadapan mereka, simbol kekuasaan sang ayah.

"Aku kira magang di perusahaan keluarga akan membuat aku belajar sesuatu tentang bisnis. Tapi ternyata, satu-satunya yang aku pelajari di sini adalah betapa mudahnya Ayah membuang harga diri anak Ayah sendiri ke lantai!"

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap langsung ke mata ayahnya. "Ayah tidak menempatkan aku di sini untuk belajar. Ayah menempatkan aku di sini untuk dihancurkan. Dan yang lebih parah, Ayah membiarkan itu terjadi tanpa peduli!"

Deon menggertakkan giginya, matanya berkaca-kaca karena marah. "Kalau begini caranya, aku lebih baik keluar sekarang juga!"

Tangannya sudah siap meraih ID card di lehernya, siap untuk melepasnya dan melemparnya ke meja. Tapi di detik itu juga, suara ayahnya menghentikannya.

"Coba saja, Deon."

Suara itu pelan, tapi tajam seperti pisau. Deon menahan napas. Ayahnya menyandarkan diri ke kursi, menatapnya dengan ekspresi dingin.

"Kalau kamu keluar dari sini sekarang, jangan pernah berpikir untuk kembali."

Deonall Story

Di atas atap lantai 36 gedung pencakar langit itu, Deon akhirnya bisa bernapas. Jauh dari ruang kantor yang menyesakkan, jauh dari senior menyebalkan, dan terutama jauh dari ayahnya.

Di sini, dia bebas. Bebas mengumpat, berteriak sekuat tenaga, bahkan menendang angin seolah itu bisa menghantam semua orang yang membuat harinya berantakan.

Angin kencang menerpa tubuhnya, tapi Deon tak peduli. Dengan tangan gemetar, dia merogoh saku celana, mengeluarkan sebungkus rokok dan pemantik.

Api menyala, asap pertama dihisap dalam-dalam sebelum dihembuskannya bersama segala kekesalan yang mengendap di dadanya.

Hening.

Setidaknya sampai tiba-tiba…

SREK!

Sebuah tangan tiba-tiba merebut rokok dari jarinya lalu melemparkannya ke lantai, sebelum dengan santai menginjaknya sampai padam.

Deon menoleh, matanya membelalak. “Lo apaan sih?!” bentaknya, tak terima rokoknya diperlakukan seperti sampah.

Di hadapannya, seorang perempuan berdiri santai. Rambutnya tergerai tertiup angin, tangan kanannya memegang segelas kopi.

Dia menyesap minumannya tanpa rasa bersalah sedikit pun sebelum akhirnya melirik Deon dengan tatapan malas.

“Mereka bakal lebih menyiksa lo kalau tahu lo merokok,” ucapnya santai.

Deon menyipitkan mata. “Maksud lo?”

Perempuan itu mengangkat bahu acuh. “Anak magang dilarang merokok di kantor ini.”

“What?! Peraturan siapa kek gitu?!” Deon hampir tertawa. Ini kantor atau sekolah?

Perempuan itu hanya kembali menyeruput kopinya tanpa menjawab.

Deon menatapnya penuh selidik. “Lo siapa sih? Datang-datang berani banget matiin rokok gue.”

Perempuan itu menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi seakan pertanyaan Deon tidak penting.

“Gue? Gue bukan siapa-siapa. Sama kayak lo, cuma anak magang.”

Deon mengernyit, makin penasaran. “Terus ngapain lo di sini?”

Perempuan itu akhirnya menatap Deon, senyum tipis terukir di wajahnya. “Mungkin... sama kayak lo. Melampiaskan amarah.”

Deon melirik perempuan di sebelahnya dengan mata menyipit. Angin kencang menerpa rambutnya, tapi dia tetap berdiri santai, menyeruput kopinya seakan dunia tidak ada urusannya dengan dia.

Sikapnya itu membuat Deon sedikit terganggu. “Lo nggak ada kerjaan, ya?” tanyanya akhirnya.

Perempuan itu melirik sekilas, lalu mengangkat bahu. “Harusnya gue tanya lo balik. Anak magang bolos kerja di atap gedung, bukan ide cerdas.”

Deon mendengus. “Ya, karena kerja gue cuma disuruh ini-itu kayak pesuruh. Jadi, apa salahnya gue kabur sebentar?”

Perempuan itu terkekeh kecil. “Oh, jadi lo korban juga?”

Deon menoleh cepat. “Korban?”

Perempuan itu menyesap kopinya lagi sebelum menjawab. “Anak magang di sini cuma punya dua pilihan, kerja rodi atau jadi sasaran empuk senior-senior sok kuasa.” Dia melirik Deon dengan ekspresi datar. “Tebak, lo masuk kategori yang mana?”

Deon mengangkat alis. “Kalau gue bisa, gue milih kategori keluar dari sini sekarang juga.”

Perempuan itu terkekeh, kali ini lebih lama. “Sayangnya, itu bukan opsi.”

Deon memperhatikan perempuan itu lebih lama. Caranya bicara santai, seakan dia sudah tahu semua neraka yang ada di tempat ini. “Lo udah berapa lama magang di sini?” tanyanya akhirnya.

Perempuan itu menatap langit sebentar, berpikir. “Cukup lama sampai tahu kalau lo bakal balik ke bawah dengan lebih banyak masalah setelah ini.”

Deon mendengus. “Lo meramal, sekarang?”

“Nggak perlu. Senior lo pasti lagi cari-cari lo di bawah. Percaya sama gue.”

Deon mendesah, kepalanya menengadah ke langit. “Ya Tuhan, kenapa gue harus ada di tempat ini…”

Perempuan itu menepuk pundaknya ringan sebelum beranjak pergi. “Tanya aja ke yang nyuruh lo magang di sini.”

Deon menoleh, nyaris memanggilnya lagi, tapi perempuan itu sudah berjalan santai menuju pintu atap.

Sebelum masuk, dia melirik ke belakang dan menyeringai. “Oh ya, kalau lo butuh tempat kabur, atap ini tempat aman… asal jangan ketahuan.”

Dan dengan itu, dia menghilang.

Deon mengerutkan kening, lalu terkekeh sendiri. “Gue bahkan nggak tahu nama lo, tapi lo lebih masuk akal daripada semua senior gue di bawah.”

Sial.

Sepertinya dia baru saja menemukan satu-satunya orang waras di tempat ini.

__

Deon masih berdiri di tempatnya, menatap pintu atap yang baru saja tertutup di belakang perempuan itu. Angin menerpa wajahnya, tapi pikirannya masih sibuk memproses obrolan tadi.

Siapa sebenarnya cewek itu?

Dia menghela napas panjang, menendang kecil ujung sepatunya ke lantai. “Gue bahkan nggak tahu namanya…” gumamnya sendiri.

Tapi sebelum dia bisa merenung lebih jauh..

BREEETTT!!

Pintu atap mendadak terbuka kasar.

"DEON!!!”

Deon nyaris lompat karena teriakan itu. Di ambang pintu, seorang seniornya berdiri dengan wajah merah padam, seperti siap mencabik-cabiknya hidup-hidup.

“LO NGAPAIN DI SINI?! KABUR DARI KERJAAN, HAH?!”

Deon mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya tersenyum miring. “Yaelah, Bang. Gue cuma cari angin.”

Seniornya menggeram, wajahnya makin berkerut karena emosi. “LO GUE SURUH AMBIL DOKUMEN, MALAH KABUR KE SINI BUAT NGEROKOK?!”

Deon mengangkat tangan. “Tenang, tenang… tuh rokok aja udah mati.”

Seniornya melirik ke lantai, melihat puntung rokok yang sudah diinjak habis. Matanya menyipit. “Siapa yang matiin?”

Deon tersenyum kecil, mengingat kejadian barusan. “Malaikat penjaga anak magang,” jawabnya santai.

Seniornya makin bingung, tapi jelas tidak punya waktu untuk membahas hal itu. “GUE KASIH WAKTU LIMA DETIK BUAT LO TURUN, KALAU NGGAK-”

“Ya, ya, ya… gue ngerti,” potong Deon dengan malas. Dia melangkah santai menuju pintu, melewati seniornya yang masih mengomel keras.

Saat menuruni tangga darurat, pikirannya masih kembali ke perempuan tadi.

Anak magang yang kabur ke atap buat ngopi dan seenaknya sendiri nginjek rokok orang lain?

Senyum kecil terukir di wajahnya.

Sepertinya kantor neraka ini baru saja jadi sedikit lebih menarik.

Begitu kembali ke lantai tempatnya bekerja, Deon langsung disambut tatapan tajam dari para senior.

Beberapa melipat tangan di dada, sementara yang lain hanya menatapnya dengan seringai puas, seperti baru saja menangkap buronan yang kabur dari penjara.

"Magang baru kok udah berani hilang tanpa izin?" salah satu senior bersuara dengan nada mengejek.

Deon mengangkat bahu santai. "Gue cuma cari udara segar, Bang. Gak ada aturan magang dilarang bernapas, kan?"

Tawa kecil terdengar dari sudut ruangan, tapi langsung teredam saat senior yang lain melangkah maju dan menghantamkan setumpuk dokumen ke mejanya.

"Nih, kerjaan lo. Beresin sebelum jam makan siang."

Deon melirik tumpukan itu dengan ekspresi malas. "Gue magang jadi pegawai administrasi atau pesuruh, sih?"

"Lo magang jadi apa aja yang kami suruh."

Deon mendengus, menjatuhkan diri ke kursi, lalu mengambil dokumen pertama. Tapi belum sempat dia membalik halaman, seseorang tiba-tiba menepuk keras meja di depannya.

BRAK!

"JANGAN BANYAK PROTES, BOCAH! DI SINI LO KERJA, BUKAN LIBURAN!"

Ruangan mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada Deon.

Tapi alih-alih ketakutan, Deon hanya tersenyum miring. "Tenang aja, Bang. Gue kerja kok."

Tangannya mulai menandai beberapa dokumen, pura-pura serius membaca. Lalu, dengan nada santai, dia menambahkan.

"Tapi kalau ada satu aja yang nyuruh gue beli makan atau mijitin pundak lagi… jangan salahin gue kalau ada dokumen penting yang tiba-tiba ‘hilang’ dari meja atasan."

Keheningan memenuhi ruangan. Beberapa senior saling pandang, sementara yang lain mulai mengetik lebih pelan.

Deon menyeringai kecil, lalu kembali fokus ke dokumen di tangannya.

Sejak hari itu Deon sadar, kalau dia mau bertahan di kantor ini tanpa jadi budak, dia harus main cerdik. Dan itu berarti… waktunya balas dendam dengan cara yang lebih menyenangkan.

Hari pertama misinya dimulai dengan sesuatu yang sederhana.

Ketika salah satu seniornya meninggalkan meja untuk ke toilet, Deon dengan santai mengambil mouse-nya dan menempelkan selembar kecil selotip di bawah sensor. Hasilnya? Saat senior itu kembali dan mencoba menggerakkan kursor… mouse-nya mati total.

"Loh? Kok nggak gerak?" Senior itu mulai mengguncang-guncangkan mouse, menekan tombol dengan panik.

Deon pura-pura fokus mengetik, menahan tawa saat senior itu mengumpat dan akhirnya memanggil IT support. Butuh waktu 30 menit sebelum mereka sadar masalahnya hanya sepotong selotip kecil.

Satu poin untuk Deon.

Keesokan harinya, Deon naik level.

Dia mengganti shortcut desktop salah satu senior dengan link ke video tutorial tari tradisional. Jadi setiap kali senior itu mengklik file kerjaannya… muncullah penari-penari yang dengan semangat mengajarkan gerakan tangan gemulai.

Reaksi seniornya? “ANJIR APAAN INI?! KENAPA FILE GUE JADI BEGINI?!”

Sementara yang lain menahan tawa, Deon hanya pura-pura menatap layar dengan polos. “Mungkin komputer abang pengen lo lebih fleksibel dalam bekerja.”

Dua poin untuk Deon.

Tapi puncak kejahilannya terjadi saat makan siang.

Salah satu senior yang paling sering menyuruhnya beli kopi meletakkan gelasnya di meja, seperti biasa.

Tanpa ragu, Deon merogoh sakunya, mengeluarkan satu sachet garam, lalu menuangkan sedikit ke dalam kopi senior itu saat dia lengah.

Beberapa menit kemudian...

"PTUUHH!! APAAN NIH? KOPI RASA AIR LAUT?!"

Ruangan langsung pecah oleh tawa.

Deon hanya menyandarkan punggung ke kursinya, tersenyum puas. Tiga poin.

Senior-seniornya mulai curiga, tapi tak ada yang bisa membuktikan bahwa Deon-lah dalangnya.

Satu hal yang pasti, mereka mungkin bisa memperlakukannya seperti pesuruh, tapi mereka tidak akan pernah menang mudah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!