NovelToon NovelToon

Kesempatan Kedua

01. Hati yang Terluka

"Apa yang kamu lakukan pada, Raina?" tanya Bram pada perempuan yang sudah dinikahinya selama satu tahun.

"Dia pantas mendapatkannya karena ingin merebutmu dariku. Kau pikir aku tidak tahu apa yang kalian lakukan?" jawab Cassandra dengan menaikkan alis.

Pernikahannya dengan Bramastya Nugroho memang merupakan keinginannya. Walaupun hingga setahun pernikahan, pria itu tidak kunjung mencintainya. Namun, semua cara sudah dilakukannya.

Termasuk menyingkirkan Raina yang merupakan duri dalam pernikahan mereka. Raina hadir ketika mereka telah bertunangan. Teman masa kecil Bram itu kerap kali melakukan tindakan yang membuat Cassandra atau yang biasa dipanggil Cassie murka.

"Bukankah kau sudah tahu, Cassie? Selamanya aku tidak akan mencintaimu. Perbuatanmu yang melukai Raina hingga membuatnya masuk rumah sakit membuatku sangat murka!" tukas Bram.

"Lalu, apa yang ingin kau lakukan? Tidak ada yang bisa mengubah apa pun. Kau adalah suamiku. Selamanya akan menjadi suamiku, dia adalah wanita yang hadir di tengah kita," balas Cassie penuh percaya diri.

"Aku tidak akan pernah mencintaimu, Cassie. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah mencintaimu," ujar Bram menatap tajam Cassie.

Pria itu ingin sekali membalas perbuatan Cassie yang menyebabkan wanita yang dicintainya terbaring lemah di rumah sakit. Namun, tidak mungkin dia dapat menyakiti Cassie.

Tidak di saat semua keluarganya menentang hubungannya dengan Raina. Hanya karena status sosial mereka yang berbeda, keluarganya mencegah ketika ingin memutuskan pertunangan dengan Cassie. Hasilnya adalah pernikahan yang tidak pernah diinginkannya.

"Tidak bisakah kamu mencintaiku, Bram? Lihat aku sekali saja. Kapan kamu bisa mencintaiku?" ujar Cassie dengan wajah memelas.

Semua cara telah dilakukan oleh Cassie. Bahkan, dia telah melakukan cara paling licik untuk membuat Bram jatuh ke pelukannya. Dia hanya bisa berharap kalau suatu saat pria yang berdiri dihadapannya itu akan mencintainya.

"Lebih baik, kau mati saja!"

Ucapan Bram membuat Cassie membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.

Namun, semua hanya khayalan dari Cassie Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya mencintai Raina. Tidak ada kesempatan bagi untuk mendapatkan hari Bram.

"Apa setelah kematianku, kau akan mencintaiku?" tanya Cassie dengan hati yang teriris.

"Mungkin. Bisa jadi aku akan mencintaimu ketika kamu sudah tidak lagi menjadi penghalang bagiku dan Raina untuk bersatu," jawab Bram tanpa mempedulikan raut wajah Cassie.

Cassie tertawa mendengar ucapan Bram. Pria itu pikir, dia akan menyerah begitu saja. Mati sama saja menyerahkan Bram pada wanita yang menjadi saingannya.

Tidak. Cassie tidak akan terpengaruh oleh kata-kata Bram yang hanya ingin menjatuhkan mentalnya.

Baik berpisah hidup atau mati. Selamanya, Bram akan menjadi miliknya. Tidak akan dia biarkan Raina dapat memiliki Bram.

Biarlah semua orang mengatainya bodoh karena begitu mencintai Bram. Akan tetapi, janin yang ada dalam kandungannya membutuhkan ayahnya.

"Aku tidak akan sebodoh itu melakukan hal yang hanya dapat merugikanku. Terserah apa katamu, Bram. Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Selamanya..."

Cassie kemudian pergi dari hadapan Bram. Tadinya, dia ke kantor pria itu karena ingin mengatakan tentang kehamilannya.

Namun, belum sempat dia mengabarkan tentang keadaannya. Pria itu marah karena dia melabrak Raina dan membuat wanita itu stress hingga masuk rumah sakit.

Cassie sebenarnya sangat geram dengan wanita playing victim seperti Raina. Akan tetapi, mata Bram seolah buta, telinga pria itu seolah tuli. Dia tidak bisa membedakan wanita yang tulus mencintainya dan wanita yang hanya ingin hartanya saja.

Sementara itu, Bram menatap kepergian Cassie dengan wajah muram. Dia kesal dengan keadaan yang tidak henti-hentinya menekannya. Kedua orang tuanya tidak mungkin membiarkan Bram melayangkan gugatan cerai. Mereka sangat menyukai Cassie.

"Sial! Apa yang harus aku lakukan untuk menyingkirkan Cassie!" umpat Bram.

***

Cassie menatap perjalanan menuju rumahnya dengan melamun. Semua cara sudah dia lakukan untuk membuat Bram mencintainya. Raina telah dipindahkan ke kantor cabang perusahaan agar tidak bertemu dengan Bram setiap hari.

Namun, tetap saja Bram dengan bebas bertemu dengan Raina. Walaupun, keduanya tidak pernah melakukan hubungan yang melanggar batas. Akan tetapi, Cassie selalu diliputi rasa cemburu yang berlebihan bila berhadapan dengan Raina.

Tiba-tiba dia mengingat perkataan Bram yang menyuruhnya untuk mati.

"Lebih baik, kau mati saja!"

Bohong bila hati Cassie tidak sakit dengan ucapan Bram. Hatinya sangat Terluka mendengar ucapan tersebut. Akan tetapi, dia tidak ingin menunjukkan wajah sedih di hadapan pria itu.

"Apa benar bila aku mati kamu akan mencintaiku Bram?"

Air mata Cassie jatuh membasahi pipinya. Baru kali ini dia merasakan patah hati terdalam. Pria yang dicintainya menginginkan kematiannya.

Tanpa sadar wanita itu tidak memperhatikan rambu lalu lintas. Hingga klakson berbunyi membuatnya tersentak dan membanting stir.

"Tidak!!!!"

***

Bersambung...

Halo, jumpa lagi dengan novel baruku.

Novel ini tidak terkait dengan novel-novelku sebelumnya, ya.

Yuk, di subscribe, berikan like dan komentar dan baca setiap babnya dengan berurut. Rating bintang lima juga ya.

Untuk yang tidak berkenan membaca, harap skip dan jangan meninggalkan jejak ya. Apalagi mengajak pembaca lain berhenti membaca. Hehe (Banyak banget pembaca usil seperti ini...😈)

Terima kasih untuk yang sudah membaca. ❤️🥰

02. Di Ambang Kematian

Bram merenung setelah kepergian Cassie dari hadapannya. Dia tahu telah menodai pernikahan mereka dengan kehadiran Raina. Akan tetapi, dari dulu dia sudah menegaskan pada perempuan itu kalau tidak mungkin dia mencintai Cassie.

Teringat ucapannya yang sangat kasar, dia mengatakan kalau lebih baik Cassie mati saja. Wajah Cassie saat itu terlihat sangat terluka karena ucapannya.

"Ah, sudahlah. Tidak mungkin dia mati, kan? Perempuan itu pasti tidak akan membiarkanku hidup dengan tenang!" Bram menggelengkan kepalanya.

Namun, ketika sedang membaca beberapa laporan. Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya.

Bram mengernyit, melihat nomor asing yang tertera di layar ponselnya. Jantungnya tiba-tiba berdegup lebih cepat, namun dia mencoba menepis rasa cemas yang merayapi pikirannya. Dengan ragu, dia mengangkat panggilan itu.

"Halo?" suaranya terdengar datar, tetapi ada kegelisahan yang tersembunyi di baliknya.

"Pak Bramastya?" suara di seberang terdengar serius. "Kami dari Rumah Sakit Harapan. Kami ingin memberitahukan bahwa istri Anda, Cassandra Wijaya, mengalami kecelakaan dan saat ini sedang dalam kondisi kritis. Kami harap Anda bisa segera datang."

Ponsel nyaris terjatuh dari genggamannya. Mata Bram melebar, dan napasnya tercekat. "Apa? Tidak mungkin...!"

Tanpa berpikir panjang, dia langsung bangkit dari kursinya, meraih kunci mobil, dan melangkah cepat keluar dari kantornya. Dalam perjalanan ke rumah sakit, pikirannya dipenuhi dengan gambaran wajah Cassie—wajah yang selalu menampilkan sorot sedih setiap kali dia mengabaikannya. Rasa bersalah mulai menghantam dadanya. Benarkah dia yang telah mengutuk Cassie hingga perempuan itu kini berada di ambang kematian?

Begitu tiba di rumah sakit, Bram berlari menuju ruang gawat darurat. Matanya liar mencari sosok yang bisa memberinya kepastian.

"Di mana istri saya? Cassandra Wijaya!" suaranya hampir bergetar saat bertanya kepada perawat di meja informasi.

Perawat itu segera mengarahkan Bram ke ruang ICU. Langkahnya terasa berat ketika dia melangkah masuk. Di balik kaca besar yang memisahkan pasien dan pengunjung, dia melihat Cassie terbaring di ranjang rumah sakit.

Tubuhnya dipenuhi selang, wajahnya pucat, dan nyaris tidak bergerak. Alat-alat medis berbunyi monoton, menandakan bahwa kehidupan Cassie masih menggantung di ujung tanduk.

Tiba-tiba dokter dan petugas kesehatan berbondong-bondong menuju ruangan yang membuat Bram kebingungan. Dia berusaha bertanya tentang kondisi Cassie.

"Maaf, Pak. Kondisi pasien sedang kritis, kami harus segera melakukan tindakan," ujar salah satu petugas yang bisa ditanya. Kemudian, mereka membawa Cassie ke ruang operasi.

Bram menelan ludah. Hatinya mencelos melihat kondisi perempuan yang selama ini selalu dia abaikan. Ini nyata. Cassie benar-benar mengalami kecelakaan. Dia tidak mati seperti ucapannya, tetapi keadaan ini jauh lebih buruk dari yang bisa dia bayangkan.

Tiba-tiba, seseorang menyentuh bahunya. Dia menoleh dan melihat Raina berdiri di sana, matanya juga dipenuhi kecemasan. "Bram... aku baru tahu soal Cassie. Aku ikut prihatin."

Bram menatap Raina tanpa ekspresi. Dulu, kehadiran perempuan ini adalah pelariannya. Raina adalah orang yang selalu dia pilih untuk berada di sisinya, bukan Cassie. Tetapi sekarang, melihat Cassie yang tak berdaya di hadapannya, Bram menyadari sesuatu yang selama ini dia abaikan.

"Ini salahku," gumamnya pelan. "Seharusnya aku tidak pernah mengatakan hal itu padanya. Seharusnya aku tidak pernah..." Kalimatnya menggantung, rasa sesak menyerangnya begitu saja.

Raina menggenggam lengannya, berusaha menenangkan. "Bram, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Ini hanya kecelakaan—"

"Tidak," Bram memotong cepat. Tatapannya gelap dan penuh dengan rasa bersalah yang baru saja dia sadari. "Ini bukan hanya kecelakaan. Ini adalah akibat dari semua yang telah aku lakukan padanya."

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Bramastya merasakan ketakutan yang begitu nyata—ketakutan akan kehilangan seseorang yang mungkin selama ini lebih berarti daripada yang dia sadari.

"Jadi, kamu masih bersama dengan jalang ini!" ucap sebuah suara yang membuat kedua orang itu menoleh.

Jessica Wijaya, kakak dari Cassie menatap dengan sinis. Bram membalas tatapan mematikan itu, tetapi dia sadar diri kalau selama ini dialah yang memantik permusuhan di antara keluarga mereka.

"Dia bukan jalang! Jaga ucapanmu, Jessie!" tukas Bram yang masih membela Raina.

"Cih! Kalau kalian masih ingin berduaan di sini. Pergilah! Aku tidak ingin adikku sadar dan melihat kalian bersama, sampai kapan pun aku akan membenci kalian," balas Jessie.

Wanita itu sudah memperingatkan beberapa kali pada Cassie kalau tidak mungkin Bram akan membalas cinta adiknya itu. Akan tetapi, Cassie tidak peduli.

Keinginan Cassie untuk mendapatkan Bram lebih besar dari apa pun. Cassie dengan licik mengatur perjodohan dua keluarga mereka. Tentu saja, kedua orang tuanya mendukung hal tersebut.

Namun, apa yang didapatkan oleh Cassie setelah menikah?

Cassie terus saja diabaikan, dia tidak mendapatkan kasih sayang sebagaimana mestinya. Hanya dijadikan bayang-bayang oleh Bram. Cassie adalah istri yang tidak pernah dianggap dan diakui.

"Bram, lebih baik aku pergi saja," ujar Raina dengan ucapan parau.

"Tidak kau di sini saja!" cegah Bram dengan menggenggam erat tangan Raina.

Jessie tidak lagi mempedulikan kedua orang yang duduk di sampingnya itu. Dia sedang menunggu keajaiban datang. Kedua orang tuanya berada di luar negeri untuk perjalanan bisnis. Dia harusnya bisa menjaga Cassie, tetapi sang adik malah mengalami kecelakaan.

Seorang dokter keluar dari kamar dengan raut wajah tidak bisa terbaca. Seketika, mereka semua menegang. Sebelum, Bram menanyakan kondisi Cassie, Jessie telah lebih dulu bertanya.

"Bagaimana kondisi Cassie? Bagaimana dengan adik saya? Dia selamat kan, Dok?" suara Jessie terdengar memohon, isak tangisnya tertahan.

Dokter di hadapan mereka menghela napas panjang sebelum menjawab dengan suara tenang namun penuh kehati-hatian. "Mohon maaf..."

***

Bersambung...

Terima kasih telah membaca. 🥰

03. Kehilangan

Bram berdiri kaku di depan ruang ICU, matanya terpaku pada sosok yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Cassie, istrinya, kini terbaring tanpa daya dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Napasnya terasa berat, dadanya sesak oleh rasa bersalah yang tak tertahankan.

Di sampingnya, seorang dokter berusaha menjelaskan kondisi Cassie kepada keluarga yang berkumpul. Wajah dokter itu tampak tegang, seakan enggan menyampaikan berita buruk yang akan menghancurkan mereka.

"Bagaimana kondisi Cassie? Bagaimana dengan adik saya? Dia selamat kan, Dok?" suara seorang perempuan terdengar memohon, isak tangisnya tertahan.

Dokter itu menghela napas panjang sebelum menjawab dengan suara tenang namun penuh kehati-hatian. "Mohon maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, pasien tidak dapat bertahan. Cassandra Wijaya telah meninggal dunia."

Bram terpaku. Kata-kata dokter menggema di kepalanya, tetapi otaknya menolak untuk menerimanya. Tanpa sadar, kakinya melangkah masuk ke dalam ruangan.

"Tidak... Tidak mungkin!" suaranya parau, dipenuhi ketidakpercayaan.

Cassie terbaring diam, wajahnya pucat, seakan sedang tidur. Tanpa peduli pada orang-orang di sekelilingnya, Bram jatuh berlutut di samping ranjang. Tangannya bergetar saat menyentuh wajah Cassie yang terasa begitu dingin.

"Cassie... bangun. Jangan main-main denganku..." bisiknya, matanya mulai memanas. "Kumohon, buka matamu. Aku tahu kau hanya ingin membuatku panik, kan?"

Namun, tak ada jawaban. Tak ada helaan napas yang terdengar. Tak ada gerakan sekecil apa pun. Yang ada hanyalah kesunyian menyakitkan.

Bram menggelengkan kepala, dadanya sesak. Air mata yang selama ini tertahan akhirnya jatuh. Ia memeluk tubuh Cassie erat, seakan dengan begitu dia bisa mengembalikan kehidupan perempuan itu. Isakan kecilnya terdengar di antara ruangan yang penuh duka.

"Aku belum sempat meminta maaf... Aku belum sempat memperbaiki semuanya... Cassie, jangan tinggalkan aku seperti ini!"

Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.

"Kau tidak berhak menangisinya!" suara Jessie, kakak Cassie, terdengar penuh amarah. Mata gadis itu memerah, menatap Bram dengan kebencian yang membara.

Sejak awal, dia tidak menyetujui pernikahan Cassie dan Bram. Jessie melihat sendiri betapa sang adik hanya cinta sendirian. Hal yang membuatnya bertahun-tahun merana menikah dengan Bram.

Bram terdiam, masih memeluk tubuh Cassie. Napasnya tersengal, dan perih di pipinya tak seberapa dibandingkan dengan sakit di dadanya.

Pria itu tidak menduga sama sekali, ucapan kejamnya menjadi kenyataan. Cassie yang dianggapnya menghalangi penyatuan dengan wanita yang cintainya menyerah begitu saja.

"Ini semua salahmu, Bram! Kalau saja kau tidak mempermainkan kakakku! Kalau saja kau tidak mengabaikannya, dia tidak akan berakhir seperti ini!"

Bram hanya bisa menunduk. Jessie benar. Semua ini salahnya.

Dan kini, dia harus menanggung penyesalan yang tidak akan pernah bisa diperbaiki.

Jessie masih menatapnya dengan kebencian. Matanya berkilat penuh amarah. "Pergi dari sini! Aku tidak mau melihat wajahmu! Kakakku sudah cukup menderita karena dirimu."

Namun, Bram menggeleng. "Aku tidak bisa. Aku tidak bisa meninggalkannya, Jessie... Kumohon, biarkan aku di sini..."

"Kau pikir aku akan membiarkanmu?" suara Jessie meninggi. "Setelah semua yang kau lakukan padanya? Aku muak melihatmu berpura-pura menyesal sekarang! Pergi!"

Perawat yang ada di ruangan itu menunduk, tak berani mencampuri pertengkaran mereka. Bram tetap bertahan, kedua tangannya menggenggam tangan dingin Cassie seolah masih berharap ada keajaiban yang akan terjadi.

"Cassie... maafkan aku... Kumohon, bangun..." bisiknya berulang kali, seakan berharap Cassie akan membuka matanya.

Jessie mendekat, meraih bahunya, lalu mendorongnya menjauh dari ranjang. "Jangan sentuh dia lagi! Kau sudah cukup menyakitinya saat dia masih hidup, jangan kau ganggu dia bahkan setelah dia pergi!"

Bram terhuyung ke belakang, hampir jatuh. Air matanya terus mengalir, dadanya terasa seperti dihantam ribuan batu. "Aku hanya ingin bersamanya..."

"Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan!" Jessie berteriak. "Kau sudah kehilangan dia! Dan aku tidak akan membiarkanmu ada di dekatnya lagi!"

Bram menggeleng lemah. Dia tidak bisa menerima ini. Semua terasa seperti mimpi buruk yang tidak berkesudahan. Dia ingin bangun dan menemukan Cassie masih hidup, tersenyum padanya seperti dulu. Namun, kenyataan terlalu kejam.

Jessie menatapnya dengan napas tersengal, tangannya mengepal. Lalu, tiba-tiba pintu ruangan terbuka lebar.

Semua orang menoleh. Seorang wanita paruh baya menangis tersedu-sedu, hampir jatuh jika tidak ditopang oleh seorang pria di sampingnya. Wajah mereka dipenuhi kesedihan yang tak terlukiskan.

"Cassie... anakku..."

Orang tua Cassie akhirnya tiba. Bram masih tidak membiarkan seorang pun memisahkannya dari tubuh Cassie yang telah dingin. Dia masih tidak percaya kalau Cassie meninggalkannya.

"Hentikan bersandiwara seperti itu, Bram. Aku tidak ingin kamu berpura-pura lagi. Pergilah! Cassie sudah cukup menderita bersamamu!" Jessie berusaha sekuat tenaga memisahkan Bram dari istrinya.

***

bersambung...

terima kasih telah membaca ❤️🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!