NovelToon NovelToon

Dion (1)

Prolog

“Yang paling menyedihkan dari kesendirian bukanlah ketika menjalani hal berat seorang diri, tapi ketika tidak memiliki seseorang untuk merayakan hari bahagia. (Gideon Manasseh)”

Ruang sempit dan pengap ditambah cuaca panas membuat kucuran peluh semakin deras. Tapi Dion terlalu bersemangat memilah bahan bacaan di toko buku bekas langganannya. Meskipun sudah menetapkan pilihan, ia masih memeriksa tumpukan majalah. Takut kalau-kalau melewatkan sesuatu yang menarik.

Pandangan matanya lalu terhenti pada sebuah buletin atau majalah yang masih terbungkus plastik. Dion heran mengapa majalah baru berada di tumpukan itu. Sejenak ia mengusap matanya yang perih terkena tetesan peluh.

“Kalau yang ini berapa, Bang?” tanya Dion pada pria paruh baya penjaga sekaligus pemilik toko sembari menunjukkan buletin di tangannya.

Pria itu memperhatikan buletin di tangan Dion yang diterbitkan oleh salah satu bank swasta. Sebenarnya buletin itu dimaksudkan untuk kalangan terbatas, karyawan atau nasabah. Sebagai catatan, bank itu kemudian menjadi salah satu bank yang dilikuidasi pada tahun 1998 akibat krisis moneter.

“Pasti salah sortir. Majalah seperti itu tidak ada harganya. Ambil saja kalau mau, gratis,” jawab pria itu.

Tentu saja Dion tak menolak. Lagipula ia tertarik pada foto kecil wanita cantik di sudut kanan bawah sampul buletin yang mengisyaratkan terdapat artikel tentang wanita itu di dalamnya.

“Pasti banyak pula fotonya,” pikir Dion ketika membayar majalah-majalah bekas pilihannya kemudian pulang ke pemondokan.

Gideon, biasa dipanggil Dion, lahir dan besar di pedesaan pesisir timur Sumatera Utara, sekira 8 hingga 9 jam perjalanan dari Kota Medan.

Dianugerahi fisik jangkung dan wajah tampan tidak serta merta membuat hidupnya mudah. Ia selalu harus berjuang untuk mendapatkan hal sekecil apapun.

Keterbatasan ekonomi dan status yatim piatu membuatnya tumbuh sebagai pemuda penyendiri dan cenderung pemalu.

Di tahun 1997, Dion sudah duduk di kelas 3 sebuah SMK di Kota Medan. Ia memilih sekolah kejuruan karena ingin lekas mendapatkan pekerjaan.

Dion sangat suka membaca tapi kantong pas-pasan membuatnya hanya mampu membeli bahan bacaan bekas.

Tak butuh waktu lama bagi Dion untuk menghabiskan bahan bacaan yang ia beli. Maklum, tak banyak hiburan di indekosnya. Setelah satu minggu, yang tersisa hanyalah buletin yang masih terbungkus plastik.

Tak punya bahan bacaan lain, Dion pun membuka buletin itu lalu membolak-balik halamannya. Terdapat artikel-artikel profil pengusaha, tips-tips investasi dan lain-lainnya yang tidak menarik buatnya. Ia lebih menyukai tulisan budaya, traveling, teknologi, bahkan science-fiction, bukan penggemar isu politik apalagi ekonomi.

Dion terus saja membalik halaman buletin itu berusaha menemukan artikel tentang wanita cantik yang fotonya terpampang di sampul depan.

Akhirnya Dion sampai pada halaman yang dia inginkan. Terdapat tulisan yang tidak terlalu panjang bercerita tentang sang gadis. Artikel terbagi menjadi dua kolom yang mengapit foto separuh badan sang tokoh.

Tak banyak informasi yang Dion ingat dari risalah itu. Gadis itu biasa dipanggil Mel, seorang mahasiswi kedokteran kelahiran tahun 1975, atlet bola voli dan hobi berenang. Dengan tinggi 174 cm, Mel sangat jangkung untuk ukuran perempuan Indonesia.

Dion yang kemudian membuka halaman berikutnya menjadi kecewa karena cuma ada satu halaman membahas gadis itu.

Dion memperhatikan foto setengah badan Mel yang tersenyum manis memamerkan lesung pipi sambil melipat tangan di depan dada.

Mel tampil jelita, anggun memesona mengenakan blus lengan pendek warna merah tua bermotifkan bunga-bunga seperti Batik Sindu khas Klaten. Gadis itu memiliki mata indah, rambut hitam bergelombang melewati bahu, dagu yang sedikit terbelah bagai lebah bergantung.

Dan tatapan itu! Yah, tatapannya meneduhkan, feminin, keibuan yang menentramkan dan menyenangkan hati. Sekilas ia mirip artis terkenal kala itu, Dessy Ratnasari. Bedanya, Mel memiliki bentuk wajah lebih tirus dan bola mata kebiruan.

Tersihir oleh kecantikan Mel, Dion memutuskan menggunting foto mengikuti postur tubuh untuk memisahkannya dari artikel. Dion berpikir akan menempelnya di suatu tempat agar selalu bisa memandanginya.

Merasa menghabiskan banyak waktu di meja kamarnya, Dion memutuskan menempel foto itu di sudut kiri atas permukaan meja.

Meja itu satu-satunya perabot bagus di kamar Dion. Terbuat dari kayu jati tebal, permukaan meja itu memiliki finishing halus. Kokoh dan berbobot, sepertinya meja itu dikerjakan oleh tukang kayu yang ahli. Laci-lacinya juga dihiasi ukiran khas, seperti yang terdapat pada meja-meja zaman kolonial.

Seorang penyewa kos menghibahkan meja itu pada Dion usai menamatkan kuliah dan memutuskan untuk mencoba peruntungan di Kota Batam. Penyewa itu merasa prihatin kepada Dion yang memiliki meja goyah meskipun sudah beberapa kali coba diperbaiki dengan palu dan paku. Maklum, meja Dion hanya terbuat dari kayu lapis yang dibeli dengan harga murah di pasar.

Kekaguman Dion akan gadis di foto guntingan majalah itu tak pernah habis. Sesekali ia usap foto itu dan berujar dalam hati dengan naif, khas ABG;

“Andai aku punya pacar sepertimu, aku akan selalu menjagamu.”

“Kalau kamu jadi istriku, aku akan selalu membahagiakanmu.”

Di waktu lain Dion berujar, “Kalau kamu jadi milikku, aku tak akan pernah membiarkanmu lepas dariku.”

Takut foto itu akan memudar atau kotor, Dion kemudian melapisi permukaan meja dengan plastik bening yang ia beli di pasar. Tindakan konyol itu membuat meja bagus tampak murahan.

Beberapa mahasiswa penghuni kos yang menyambangi kamar Dion sering meledeknya.

“Aku baru tahu kalau kamu fans beratnya Dessy Ratnasari,” celoteh Johnri, salah satu mahasiswa sesama penyewa kamar suatu ketika.

“Lihat baik-baik, Bang! Itu bukan Dessy Ratnasari,” sahut Dion.

“Eh, benar bukan Dessy Ratnasari. Cantik sekali! Siapa nih cewek?” tanya Jonri kemudian.

“Calon istriku,” jawab Dion singkat.

“Bah, anak kecil udah mikir kawin kau?” canda Johnri dengan logat khas Medan yang kental. Dion memang adalah penghuni termuda di indekosnya.

...***...

Setamatnya dari SMK, Dion tak menganggur lama. Agustus tahun 1997, ia diterima bekerja di sebuah hotel resort berbintang lima di Riau Kepulauan sebagai petugas room service.

Tahun 90-an merupakan era keemasan dunia pariwisata Indonesia. Kala itu hotel-hotel bertaraf internasional bermunculan di kota-kota besar dan daerah wisata, bak jamur di musim hujan.

“Aku akan kembali,” kata Dion kepada pemilik indekos ketika pamitan pagi itu. Dion sangat bersemangat menuju bandara. Itu adalah pengalaman pertamanya melakukan perjalanan dengan pesawat terbang. Tiketnya tentu saja dibayar oleh perusahaan yang merekrutnya.

Setahun berikut, 1998, masa keemasan pariwisata Indonesia runtuh dengan cepat. Krisis moneter, kerusuhan-kerusuhan dan demonstrasi besar-besaran menuntut pergantian rezim pemerintahan mengakibatkan ketidakstabilan politik dan keamanan. Turis-turis membatalkan rencana kunjungan, hotel-hotel pun mendadak sepi.

Tak terkecuali hotel tempat Dion bekerja. Imbasnya, tepat setelah setahun bekerja Dion harus kembali ke Kota Medan.

Sekembalinya di Medan, Dion harus merelakan karir pariwisatanya yang berumur sangat pendek. Ia menata ulang rencana masa depannya dengan beralih ke dunia informatika komputer dan memutuskan melanjutkan pendidikannya dengan mengambil kuliah D1 informatika.

Ia sengaja mengambil rentang pendidikan pendek. Selain ingin segera mendapat pekerjaan baru, ia khawatir tabungannya tak akan bertahan lebih dari setahun karena lonjakan harga gila-gilaan akibat krisis moneter waktu itu.

Kemudian ia pindah dari pemondokan lamanya dan mengontrak rumah secara urunan bersama suami-istri muda, dan sepasang kakak-beradik. Kontrakan itu terletak di sebuah lorong yang diberi nama Gang Mangga karena separuh dari gang praktis hanya kebun buah mangga.

Hari-hari Dion pun disibukkan dengan dunia barunya. Ia membeli satu unit komputer bekas dengan uang pesangon untuk mempercepat pembelajaran. Komputer itu kemudian ia letakkan di meja belajar.

Sebenarnya ia ingin melepas foto gadis yang tertempel di permukaan meja, tapi mustahil tanpa merusaknya. Foto itu kemudian tertutupi oleh lapisan karpet hijau dan kaca yang melingkupi permukaan meja. Mel pun terlupakan!

Kemampuan Dion mengetik dengan cepat, sistem 10 jari atau blind typing, menarik perhatian seorang dosen yang juga bekerja sebagai staf teknisi komputer di sebuah kantor berita.

“Perusahaan kami membutuhkan tukang ketik berita atau copywriter shift malam. Apa kamu tertarik?” tawar Pak Heri sang dosen yang tentu saja diterima oleh Dion tanpa pikir panjang.

Bab 1: Cinta pada Pandangan Pertama

Tahun 1999, reformasi pemerintahan yang dicanangkan setahun sebelumnya mulai berjalan. Salah satu produknya adalah kebebasan pers yang mengakibatkan menjamurnya perusahaan surat kabar baru di Indonesia.

Beberapa desainer di kantor Dion memilih hijrah ke perusahaan baru yang menawarkan gaji lebih besar. Dion pun dipromosi mengisi posisi lowong karena ia cukup fasih menggunakan aplikasi desain publikasi.

Meskipun lelah membagi waktu antara kuliah dan bekerja, Dion melewati hari-harinya dengan semangat.

Ia kini sudah hampir menyelesaikan studi D1-nya. Tugas akhir, yakni membangun aplikasi menggunakan bahasa pemrograman ‘Clipper’ telah ia selesaikan. Hanya menunggu jadwal presentasi di depan para dosen penilai.

Jum’at, 7 Mei 1999.

Sore itu, Dion mengisi day off dengan menemui Hendrik, seorang teman kuliah yang berkali-kali minta bertemu. Teman dekat Dion itu bekerja sebagai penjaga usaha rental komputer milik kakaknya di sekitar kampus salah satu universitas swasta.

Di sela-sela kegiatan melayani para penyewa, Hendrik meminta bantuan Dion untuk memeriksa kesalahan dari kode-kode pemrograman yang sedang ia kerjakan untuk tugas akhirnya.

Kumandang azan magrib sudah lewat dan hari mulai gelap ketika Dion menyelesaikan perbaikan pada program yang dibangun oleh Hendrik. Keduanya lalu berbincang disertai canda-canda ringan.

Perhatian mereka kemudian tertuju pada dua gadis yang panik karena komputer gagal membuka file yang tersimpan di disket mereka. Tampaknya keduanya adalah mahasiswi yang sedang mengerjakan tugas kampus di rental komputer itu.

Hendrik menghampiri mereka dan terlibat pembicaraan yang tak begitu menarik perhatian Dion. Ia justru asyik memandangi gadis berkaus merah berkulit cerah. Rambut hitam sang gadis dikuncir-kuda memamerkan leher jenjang dan memperkuat profil wajah cantik khas oriental tapi dengan mata bulat besar.

Pembicaraan ketiganya berubah menjadi perdebatan. Mahasiswi yang mengenakan kacamata tampil sebagai juru debat. Ia menuduh disk drive atau pembaca disket rental telah merusak disket. Hendrik membela diri dengan mengatakan semua disk drive di rental selalu terawat karena dibersihkan secara rutin setiap hari.

Kepanikan semakin melanda kedua mahasiswi itu ketika Hendrik menyimpulkan bahwa disket yang menyimpan file telah mengalami kerusakan fisik.

“Mustahil untuk membukanya,” ujar Hendrik sembari menunjukkan goresan di permukaan disket.

“Duh bagaimana ini? Laporan itu harus diserahkan Senin, kalau tidak kami akan gagal dalam mata kuliah,” keluh gadis berkacamata dan bertubuh mungil. Sementara itu gadis berkaus merah hanya diam saja, tapi kekhawatiran terpampang jelas di wajahnya yang memerah seperti hendak menangis.

Dion sebenarnya tidak suka mencampuri urusan orang lain. Tapi melihat wajah gadis yang ia taksir tampak memerah, ia menjadi iba.

Dion mulai mencari tahu masalah mereka dengan menyimak perdebatan itu. Setelah mengetahui masalahnya, ia pun mengajukan diri untuk berusaha membantu.

“Tugasnya tadi diketik di rental ini?” tanya Dion melibatkan diri dalam pembicaraan.

“Abang ini bagaimana? Dari tadi kami di sini. Apa Abang nggak lihat?” ketus gadis berkacamata.

Dion memalingkan tatapan pada gadis berkulit cerah. “Di komputer yang mana? Pakai WordStar atau Microsoft Word?” tanyanya, berharap gadis itu yang menjawab karena si kacamata sangat konfrontatif dan terus saja menyalahkan rental atas rusaknya disket mereka.

Pertanyaan Dion direspons gadis berkulit cerah itu.

“Kami buka file-nya di situ dengan Word. Kami sudah mengetik beberapa halaman dan menyimpannya di disket,” ujarnya sambil menunjuk komputer paling sudut. Suaranya lirih seperti mulai merelakan kehilangan file itu.

Dion lalu meminta izin untuk memeriksa komputer dimaksud yang direspons Hendrik dengan anggukan setuju.

“Fitur autosave memang berguna sekali untuk menghindari kehilangan file ketika komputer hang atau crash, tapi kalau menggunakan floppy disk atau disket justru jadi riskan. Apalagi digunakan berjam-jam karena tiap menit software menyimpan berulang-ulang ke disket,” kata Dion sambil menggerak-gerakkan mouse dan menatap layar komputer jenis CRT yang umum digunakan kala itu.

Hendrik sempat tersudut merasa lega. Ia membiarkan Dion mengambil-alih diskusi.

“Disket itu dimaksudkan untuk portabilitas bukan sebagai penyimpanan utama. Lain kali salin file-nya ke hard drive komputer, kalau sudah selesai baru salin ulang file yang ter-update ke floppy disk,” jelas Dion seperti seorang ahli yang sedang memberi kuliah.

“Disket itu sangat rentan alias sensitif. Gampang rusak,” lanjut Dion tanpa memalingkan matanya dari monitor.

“Tapi…,” kalimat Dion terputus entah karena apa.

Kata “tapi” yang diucapkan Dion memberikan harapan baru bagi kedua mahasiswi itu.

Keduanya kini menatap dan menyimak Dion dengan serius.

“Mungkin masih bisa diselamatkan. Ini mungkin ya, aku nggak bisa janji,” ujar Dion sejenak memalingkan wajah menghadap kedua gadis yang sudah berada di belakang punggungnya.

Sebenarnya Dion sudah menemukan solusi atas masalah itu tapi ia ingin mengulur waktu karena ketertarikannya pada gadis cantik berkaus merah.

Dion kembali bermain-main dengan DOS prompt menampilkan teks-teks aneh yang tak dimengerti oleh orang awam.

“Selain menyimpan file secara berkala, software juga membuat file sementara sebagai cadangan di sistem secara tersembunyi. Memang agak susah menemukannya.”

Dion melanjutkan kuliahnya sambil mengetikkan perintah-perintah DOS yang direspons komputer dengan gulungan-gulungan teks lainnya.

Sejenak Dion menoleh ke arah gadis berkaus merah yang berharap cemas. Gadis itu meremas tangannya berulang-ulang hingga ujung jari-jari halusnya tampak memerah juga.

Merasa menguasai keadaan dan didorong oleh ketertarikan pada gadis itu, Dion semakin berani jahil dengan terus mengulur-ulur waktu.

Sementara itu, Hendrik merasa heran dengan sikap Dion yang berbeda dari biasanya. Tapi ia segera maklum dan menduga tindakannya didorong oleh rasa penasaran pada gadis berkaus merah.

“Ah, sudah waktunya makan malam nih. Nggak lapar, Dion?” tanya Hendrik yang sebenarnya dimaksudkan untuk memancing respons kedua gadis agar mau ngobrol, tidak diam saja.

“Lapar sih, tapi lagi tanggung,” sahut Dion masih berpura-pura, seolah-olah sedang berusaha keras menyelamatkan file itu.

“Kalau file-nya selamat, Abang berdua kami traktir makan malam, deh,” respons gadis berkacamata yang berubah ramah disertai anggukan gadis berkulit cerah.

Hati Dion bersorak karena maksudnya kesampaian. Kini ia punya kesempatan berkenalan dengan gadis yang memikatnya. Ia kembali sibuk memainkan jari-jari lincahnya di atas keyboard.

Dalam hati, Dion merasa keheranan sendiri. Ia tak pernah sekonyol itu mendekati perempuan sampai-sampai menciptakan sandiwara situasional. Mungkin Dion tak kuasa melawan kodratnya sebagai pria. Makhluk yang sejatinya agresif, termasuk dalam hal mencari pasangan.

Dion sengaja pamer kemampuan kecilnya mengetikkan perintah dengan jari-jari yang sangat cepat. Perintah teks itu memungkinkan aplikasi pengolah kata membuka file tertentu, mirip seorang hacker profesional yang sering muncul di film Hollywood. Padahal trik itu ia dapatkan dari sebuah majalah komputer beberapa bulan lalu.

“Semoga berhasil!” seru Dion bersemangat.

Dion menggosok-gosok kedua telapak tangan seolah-olah mengundang keberuntungan lalu menekan tombol ‘enter’ lebih keras dari biasanya, mendramatisir momen itu.

Layar hitam komputer tiba-tiba berubah ke mode window berlatar putih lalu menjalankan aplikasi pengolah kata. Sedetik kemudian, terpampang lah dokumen laporan yang sedang dikerjakan oleh kedua mahasiswi itu.

“Benar ini file-nya?” tanya Dion.

Kedua mahasiswi itu tampak girang melihat dokumen laporan mereka terbuka di layar monitor.

“Benar, Bang. Terima kasih, ya!” seru gadis berkaus merah dengan senyum lebar memamerkan deretan rapi gigi putih bak mutiara sambil menepuk pundak Dion.

Dion tak bisa menentukan hal apa yang lebih membahagiakannya; ucapan terima kasih, tepukan di pundak, atau senyum manis sang gadis.

Dada Dion berdegup melihat paras cantik yang dekat sekali dengannya. Ia ingin berlama-lama menikmati wajah itu tapi dehaman Hendrik menyadarkannya. Ia pun membiarkan kedua gadis itu mengambil alih komputer.

Dion sudah kembali larut dalam obrolan dengan Hendrik ketika suara ajakan gadis berkacamata terdengar. “Ayolah Bang, kita traktir makan!” ajaknya sambil tersenyum ke arah Hendrik.

“Wah, aku kan harus menjaga rental. Kalian bertiga lah,” sahut Hendrik tapi lalu menambahkan, “Tapi aku dibungkusin, ya!”

Mendengar itu Dion jadi gugup. Kenyataannya ia harus menghadapi kedua gadis itu sendirian. Tapi kegugupan itu ternyata masih kalah oleh hasrat kuat untuk berkenalan dengan gadis berkaus merah.

“Ayo Bang! Pasti sudah lapar kan?” ajak gadis berkaus merah pada Dion.

“Yuk!” sahut Dion singkat.

Ia pun beranjak mengikuti langkah kedua gadis itu dengan rasa bimbang. Jelas ia tak berpengalaman dengan situasi seperti itu.

Bab 2: Panggil Aku Dion, Pakai “i”

Dion mengedarkan pandangan ke seantero ruangan rumah makan yang tak begitu ramai dan tak jauh dari usaha rental komputer Hendrik. Tak ada yang luar biasa di sana. Ia melakukannya karena ingin menyembunyikan rasa gugup dari dua gadis yang duduk di seberang meja.

“Abang pilih menu dulu deh,” ujar gadis berkaus merah pada Dion.

Setelah mencatatkan menu dan menyerahkannya pada pelayan, Dion memberanikan diri memulai percakapan untuk mengurangi rasa canggung di antara mereka. “Jangan panggil Abang lah! Aku tak yakin lebih tua dari kalian.”

Kalimat Dion ditanggapi kedua gadis itu dengan saling menatap, mengisyaratkan ketidakpercayaan mereka pada pernyataan pemuda itu.

“Kalian kuliahnya sekarang semester berapa, coba?” tanya Dion.

“Semester 6,” jawab gadis berkacamata singkat.

“Lha, aku cuma semester 2,” kata Dion.

“Tahun stambuk kan hanya bisa memperkirakan usia minimal, bukan maksimal. Bisa saja si Abang masuk kuliahnya ketika berusia 30 tahun. Iya toh?”Gadis berkaus merah protes menggunakan logat berbeda dari kebanyakan masyarakat Kota Medan.

“Iya sih,” sahut Dion malu-malu menyetujui argumen itu.

“Aku masih 19 tahun. Muka tuaku ini adalah konsekuensi dari beratnya beban hidup,” lanjut Dion setengah bercanda sambil menunjuk wajahnya sendiri.

“Masa sih?” tanya gadis berkacamata masih tak percaya.

“Buktikan lah usiamu masih 19. Tunjukin KTP-mu!” lanjutnya menantang.

“Boleh, tapi semua tunjukin KTP, ya!” Dion mengajukan syarat yang lalu disetujui kedua gadis dengan merogoh tas masing-masing.

Dion mengeluarkan sebuah kartu kuning berlaminating dari dompet dan menyodorkannya pada kedua gadis itu lalu buru-buru meraih dua KTP milik mereka.

“Lamtiur Uli Mariati, lahir 10 Juni 1977 di Pematang Siantar. Bagus namamu, Ito!” Dion membaca KTP pertama yang ternyata milik gadis berkacamata.

Ito adalah panggilan persaudaraan kepada lawan jenis dalam bahasa Tapanuli Utara.

“Biasa dipanggil Atik,” kata gadis itu menimpali seolah-olah tak ingin dipanggil dengan nama “Tiur” atau “Uli”, yang merupakan nama lazim di kalangan perempuan Tapanuli.

Dion lalu melanjutkan pembacaan pada KTP kedua, yang pastinya milik gadis targetnya.

“Wynna Pingkan Arina, lahir 16 Desember 1977 di Sydney. Wah, lahirnya jauh sekali. Di Australia! Tapi kok tak kelihatan seperti bule?” ujar Dion bercanda sambil menatap dan memeriksa wajah si gadis. Tatapan Dion dibalas dengan pelototan sang gadis memperlihatkan mata besar indahnya.

Sejenak Dion menyesali tindakannya. Ia tak sanggup membalas pelototan gadis itu. Jantungnya berdebar keras, gugup. Dion pun menyodorkan kembali kedua KTP itu ke depan kedua gadis dengan wajah sedikit tertunduk malu.

“Ioh! Waktu itu mami ikut papi melanjutkan studi sambil bekerja di Australia, jadi bukan bule noh,” terang Wina menjawab rasa penasaran Dion kembali dengan logat aneh sambil menerima sodoran KTP milik Dion dari Atik.

“Gideon Manasseh, lahir 17 Desember 1979 di Panai Hilir,” baca Wina perlahan karena tidak terbiasa dengan nama tengah Dion, tanpa membacakan marga atau nama belakangnya.

“Kok beda satu hari, ya?” gumam Wina menyadari kemiripan tanggal lahir mereka.

“Di mana tuh Panai Hilir?” Wina menambah pertanyaannya karena tidak pernah mendengar tempat kelahiran Dion.

“Daerah terpencil di pesisir timur, berbatasan dengan Riau. Jadi aku ini orang kampung, lho,” jawab Dion merendah.

“Lahirnya curi start satu hari dariku,” Dion mengomentari perbedaan tipis tanggal lahir itu.

“Maksudnya 2 tahun 1 hari, toh? Tanggal dan bulan memang beda tipis tapi tahunnya berjarak 2 poin,” ledek Wina sambil sedikit memiringkan wajah lalu tertawa kecil.

Atik sedikit kecewa. Sebenarnya tadi ia mulai terpikat pada pemuda bertubuh jangkung yang duduk di hadapannya. Kini Atik harus melupakan perasaan itu sebelum bertumbuh karena tak mau memiliki kekasih yang lebih muda.

“Kita biasa dipanggil Wina atau Win. Kamu biasa dipanggil apa?” tanya Wina.

“Dion. Pake huruf ‘i’, ya Kak!” sahut Dion sengaja menambahkan panggilan kakak sebagai pengakuan bahwa ia memang berusia lebih muda.

“Ya! Kamu bisa panggil kita Kak Wina. Nah, yang di samping ini Kak Atik,” kata Wina menunjuk dirinya lalu Atik sambil tertawa.

Ketiganya sedang menghadapi makan malam masing-masing ketika Dion membuka pembicaraan baru karena penasaran dengan logat Wina.

“Kakak dari Indonesia bagian timur, ya?” tanya Dion pada Wina.

“Iyoh. Papi Minahasa tapi mami Tapanuli, jadi orang Tapanuli juga lho,” sahut gadis itu.

“Adoh, kawanua kotek. Pantas kakak pe logat rupa-rupa laeng,” kata Dion menggunakan dialek Melayu-Manado.

Wina yang sontak kaget senang menurunkan kembali sendok yang sudah mendekati mulut. Ia jelas tak menduga logat itu keluar dari mulut Dion. Wina memang menghabiskan masa SMP-nya di Kota Manado bersama opa dan omanya.

“Aih, kiapa ngana bole babahasa? So perna pi Manado, kah?” tanya Wina heran.

“Nyanda, Kak. Kita ada tamang kawanua seasrama waktu kerja di Kepulauan Riau. Dorang ja babahasa, kita ta iko noh biar sasadiki,” terang Dion.

“Bole jo! Kong, so ada maitua Manado ngana?” tanya Wina bergurau.

“Belum, Kak. Ini ada usaha cari, mar tu cewe ternyata lebe tua tare’en,” keluh Dion disambut tawa renyah Wina yang merasa senang bisa bicara dialek Manado di Medan.

“Kalian bicara apa, sih?” protes Atik yang merasa tersisih karena Wina dan Dion menggunakan dialek yang tak sepenuhnya ia mengerti.

“Maaf ito, itu tadi logat Manado,” jelas Dion yang lalu melanjutkan santap malamnya.

Begitulah perkenalan Dion dan Wina bermula. Walau sedikit kecewa Wina lebih tua darinya, setidaknya ia bisa menggunakan hal itu untuk mengusir kegugupannya. Bebannya seolah terangkat dan ia kini dengan santai terlibat obrolan dengan kedua mahasiswi di hadapannya.

“Bilangin saja!” kata Wina pada Atik sesaat setelah memisahkan jepitan bibirnya pada sedotan plastik yang digunakan untuk meminum jus buah. Mereka bertiga sudah menyelesaikan santap malam dan kini sedang menikmati minuman masing-masing.

“Kau lah yang ngomong,” Ati membalas permintaan Wina.

Merasa kedua perempuan itu membicarakan dirinya, Dion lalu bertanya, “Ada apa yah?”

“Hmm, boleh minta tolong, nggak?” tanya Wina.

“Dion siap! Demi kakak-kakak cantik. Tapi tolong apaan dulu?” Dion balik bertanya.

“Dion kan ngetiknya cepat, trus ahli komputer. Bantu kami menyelesaikan laporan yah! Masih ada bahan tambahan. Sebenarnya tinggal sedikit tapi kalau kami yang mengetik, mungkin lewat tengah malam baru kelar. Itu juga kalau tidak ada masalah seperti tadi,” pinta Wina lalu merogoh tasnya berusaha mengeluarkan sesuatu.

“Ahli apaan? Aku ini mahasiswa informatika jadi masih belajar. Cuma diploma satu pula,” sahut Dion.

Wina lalu menunjukkan setumpuk kertas yang dilipat dua. “Ini aku sudah tulis tangan, jadi tinggal diketik saja.”

“Sadiki jo, Kak!” protes Dion kembali menggunakan logat Manado. Sebenarnya hati Dion bersorak gembira karena bakal memiliki banyak waktu tambahan untuk berdekatan dengan Wina.

“Bole kwa! Biar dapa liat tabal, mar depe isi cuma sadiki. Na pa lia!” bujuk Wina sambil memperlihatkan isi kertas-kertas draft laporannya.

“Bantu pa na pe Kakak, neh!”

“Iya deh, Kak. Manjo dang! Atau sadiki ley?”

“Ioh, skarang, jo. Biar pulangnya nggak terlalu telat”

Sesampainya kembali di rental komputer, mereka bertiga disambut Hendrik yang sedikit heran karena ketiganya sudah tampak akrab.

Malam itu Dion membantu menyelesaikan tugas kuliah Wina dan Atik. Rental komputer Hendrik sepi karena keesokan harinya adalah Sabtu, tidak ada kegiatan di kampus Wina dan Atik.

“Dion bisa perbaiki komputer?” tanya Wina membuka pembicaraan ketika Dion meminta beristirahat sejenak setelah dua jam mengetik non-stop mengikuti dikte Wina membacakan tulisannya sendiri.

“Komputer Kakak kenapa?” tanya Dion.

“Komputernya bisa menyala. Tapi kalau buka aplikasi, langsung mati. Makanya tugas laporan diketik di sini,” Wina menerangkan keadaan komputernya.

“Aku harus lihat dulu kondisinya, tapi sepertinya kerusakannya tidak berat tuh,” ujar Dion sembari melirik ke arah Hendrik yang tengah asyik ngobrol dengan Atik.

Keduanya tampak saling tersenyum, berbeda dengan keadaan beberapa jam lalu. Atik dan Hendrik malah tak menyadari kalau Dion dan Wina sedang memperhatikan mereka.

“Besok sore kamu ada waktu ke rumahku buat perbaiki komputer?” tanya Wina kemudian.

“Wah, kalau besok sore aku harus kerja. Tapi kalau siangan aku pasti bisa,” jawab Dion.

“Duh, besok pagi sampai siang kita ada janji menemani nenek mengunjungi saudara,” ujar Wina sedikit menyesal. "Oh, kamu kuliah sambil kerja, ya?”

“Begitulah, Kak. Namanya juga krismon. Begini saja, kalau sudah ada waktu yang pas, kakak hubungi aku saja lewat telepon kantor,” Dion tak ingin mengecewakan gadis itu.

Wina mengeluarkan buku telepon kecil serta pulpen dari tasnya lalu mencatat nomor telepon kantor Dion.

“Aku bisa dihubungi di nomor itu mulai dari jam lima sore hingga tengah malam. Kecuali kalau day off,” jelas Dion

“Kamu kerja apa? Kok malam-malam?” tanya Wina penasaran.

“Jaga kamar jenazah,” jawab Dion datar.

Wina heran setengah ngeri mendengar jawaban itu. “Ha?! Kamu nggak takut kerja di sana?”

Memandang mimik wajah Wina yang terbelalak keheranan, hati Dion berbunga-bunga tapi juga berdegub kencang.

Wina memang memiliki sejuta pesona. Wajahnya cantik serba simetris dengan bentuk oval bulat telur. Hidungnya bangir dan sedikit runcing. Bibir merah mudanya senantiasa tersenyum.

Mata Wina yang bulat besar dihiasi alis hitam tebal dan bulu mata yang lentik alami. Bola matanya bening bersih menawarkan keramahan, menatap seperti gadis kecil tanpa dosa tapi juga terkesan usil.

Belum lagi gaya bicara Wina yang berbeda dari kebanyakan perempuan di kota Dion, terdengar merdu. Tawanya renyah, enak di telinga Dion.

“Celaka! Aku tak pernah merasa seperti ini. Apa mungkin aku sedang jatuh cinta?” batin Dion mengomentari perasaan aneh yang menyelimuti hati dan pikirannya.

“Nggak kok. Aku bekerja di kantor redaksi surat kabar. Jadi kerjanya malam hari,” jelas Dion.

“Wartawan, toh?” tebak Wina.

“Bukan, page designer. Itu lho, yang mengatur dan menata letak berita-berita di halaman surat kabar,” jelas Dion yang dibalas anggukan-anggukan kecil Wina.

“Tadi kan Dion bilang pernah kerja di Riau. Kerja apalagi tuh?” Wina melanjutkan obrolan karena Atik dan Henrik masih tak berhenti dari aktivitas bisik-bisik mereka.

“Oh, dulu aku kerja di perhotelan. Tapi kondisi sekarang membuat wisatawan asing takut. Hotel-hotel jadi sepi dan terpaksa melakukan PHK. Nah, aku ini salah satu korbannya,” papar Dion.

“Jadi ceritanya nih tamat SMA Dion langsung bekerja?”

“Gak tamat SMA pun.”

“Lha, gimana caranya bisa kuliah kalau nggak tamat SMA?”

“Iyalah, kan dulu aku sekolah SMK bukan SMA,” jawab Dion tertawa.

Menyadari Dion bercanda, Wina pun ikut tertawa. “Aih, bakusedo toh. Beking bingo pa kita.”

“So, you do speak English, right?” tanya gadis itu menggunakan Bahasa Inggris.

“Let’s say I clearly understand when a BBC news anchor reads the news but still struggle when someone with a strong accent talks very fast,” Dion pamer kemampuan Bahasa Inggrisnya.

“Nice! Which accent troubling you so much by the way?” tanya Wina masih berbahasa Inggris.

“G’day mate! Yeah, good to have you down here and finally find everything alright, mate!” Dion coba menirukan aksen Australia dengan kalimat cepat.

“Nyindir yah?” tanya Wina sambil tertawa mendengar Dion.

“Bit of a day for you. Couple of longest in the afternoon. Never went Astray, mate? How was he out in the free day? Showing your hands. Good lad!” lanjut Dion dengan tempo lebih cepat dan lafal ‘a’ yang kental, khas negeri kanguru itu.

Wina pun tertawa keras. Tangan kanannya menunjuk-nunjuk pada Dion sementara tangan kiri memegangi perutnya, lama ia tertawa.

“You got me good!” katanya.

Mendengar tawa itu, bisik-bisik antara Hendrik dan Atik terhenti sejenak untuk memperhatikan Dion dan Wina. Tapi sekejap kemudian mereka sudah kembali larut dalam obrolan.

“Begitu kan kalau kalian orang Australia bicara? Super-cepat, susah dimengerti kecuali satu kata, ‘mate’, selalu jelas terdengar!” kata Dion yang ikutan tertawa. Wina yang mulai mengendalikan tawanya menjadi tertawa panjang lagi.

“Adoh, saki ta pe puru,” ujar Wina yang mulai berhenti tertawa tapi masih mengusap perutnya.

“Tapi kita asli Indonesia lho. Dulu tinggal di Australia sampai kelas 2 elementary. Makanya aku nggak bisa aksen mereka. Tapi aku familiar banget dengan logat seperti itu,” kata Wina lagi.

“Oh iya, kita ngerti lho yang kamu bilang tadi. Apakah itu ungkapan hatimu yang menyindir?” tanya Wina setengah meledek.

“Nauwr,” elak Dion menirukan orang-orang Australia mengatakan ‘no’ membuat Wina kembali tertawa keras.

“Awas, ya! Kamu terus-terusan ledekin tanah kelahiranku,” katanya setelah puas tertawa.

“Tau nggak? Orang Australia itu kalau diajak ngomong malah nggak mau berhenti, bisa ngalor-ngidul, merembet ke mana-mana,” imbuh gadis itu lagi.

“Persis temanku, Kak! Aku ingat waktu pertama kali ketemu di asrama. Aku sapa dia, cuma mau kenalan sambil basa basi gitu. ‘How’s it going?’ tanyaku. Kakak tau gimana jawabnya?”

“Gimana?” Wina penasaran dan mencondongkan tubuhnya ke arah Dion.

“Oh, hey! Yeah. Good! Um.. it’s been a bit of a tough day. You know, been at work. Uh, had a fight with the misses but you know, we’ll patch things up later but Yeah… pretty.. pretty.. well.., pretty well,” Dion kembali menirukan aksen Australia sambil mengarahkan pandangannya pada Hendrik. Ia memang sedang menggambarkan hari sahabatnya itu.

“Exactly. Hows it goin’, then they’ll tell the whole life story, for hours,” timpal Wina yang lalu kembali tertawa bahagia memandangi Dion.

Merasa gugup dipandangi, Dion mengalihkan pembicaraan dengan berkata, “Kita lanjut ngetiknya deh, Kak. Tinggal dikit kan?”

Giliran Wina yang sedikit gugup karena tertangkap melamun. “Eh, iya. Yuk mulai lagi,” sahutnya.

Sudah Hampir tengah malam ketika laporan itu selesai dikerjakan dan sudah dicetak printer.

“Besok pagi saja dijilid. Kalau sekarang toko fotokopi sudah pada tutup,” ujar Hendrik sambil menyerahkan kertas-kertas hasil cetakan mesin printer pada Atik.

Malam itu, Wina pulang dengan taksi. Atik dijemput oleh kakaknya. Sementara Dion pulang diantar dengan sepeda motor oleh Hendrik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!