Di sebuah Dunia yang bernama Loka Pralaya....
Pantai Sambutara, hari Simin kedua puluh, siklus Damamimer tahun 5152
Langit pantai yang semula tenang, senja itu nampak diliputi awan tebal berwarna hitam.
Dan tiba-tiba muncullah sebuah retakan bercahaya di angkasa, mengoyak ketenangannya, memancarkan energi yang begitu kuat hingga memekakkan telinga, suaranya menggelegar membelah angkasa ...
“ZHOOOOOMMM .... BHOOOM!......”
Terdengar suara dentuman beberapa kali.
Retakan itu melebar dengan cepat, membentuk sebuah portal—pusaran cahaya keperakan yang berdenyut-denyut, seolah jantung raksasa yang baru saja terbangun. Itulah Portal Marsamba, sebuah fenomena alam yang terjadi di dunia Loka Pralaya. Sebuah gerbang masuk antar dunia, yang menghubungkan Loka Pralaya dengan dunia yang lain.
Dari dalam pusaran itu, rentetan cahaya meluncur deras menuju bumi, meninggalkan jejak pijar yang membakar retina.
Cahaya-cahaya itu menghantam permukaan laut di dekat pantai dengan ledakan kecil yang memecah ketenangan senja diselingi teriakan-teriakan kesakitan yang mengiringinya.
“Aaaaaaaghh! ....”
Dan “bruk, bruuukkk!....”
Terdengar beberapa benturan keras menghantam bumi, membuat batu-batu yang ada di sekitar pantai berserakan berhamburan terkena hantamannya.
Beberapa sosok yang terlempar mendarat lebih jauh ke daratan, di antara bebatuan dan pasir.
Beberapa yang lain terlempar jauh entah ke mana. Namun saat sesuatu yang terlempar dari portal itu menyentuh bumi, teriakannya sudah sirna, hanya suara dentuman keras dari hantaman energi besar yang berasal dari portal itu.
Setelah memuntahkan isi perutnya, portal itu perlahan itu menutup kembali lenyap, menyisakan keheningan senja di pantai, dan langit yang mulai malam.
Sesosok manusia nampak tergeletak di pantai itu. Di sela bebatuan yang menutupi sebagian besar pantainya, terdampar tak berdaya - seorang gadis.
Gadis itu adalah Prita....
Lama sekali Prita tergeletak tak berdaya di pantai itu, hingga matahari benar-benar tenggelam di ufuk barat.
Dan malampun perlahan mulai merayapi langit, ...
Namun di tengah kegelapan, di atas pohon kelapa yang tinggi menjulang itu ....
Bertengger seekor burung Caladryus putih, seekor burung seukuran burung dara, bulu-bulunya putih berkilauan, ekornya panjang seperti ekor burung cendrawasih.
Burung Caladryus putih itu adalah jelmaan Tana’ Bulan, roh suci pelindung Loka Pralaya
Burung itu memandangi Prita...
Memperhatikan tubuh Prita yang tak bergerak sama sekali. Nampaknya ia masih menunggu momen yang tepat untuk bertindak.
Dan setelah semuanya kembali hening, burung itu meluncur ke bumi, melayang menghampiri tubuh yang pingsan itu. Dengan gerakannya yang cepat dan anggun, burung itu mendarat persis di sebelah tubuh Prita.
Dengan gerakan yang indah, burung itu melebarkan kedua sayapnya. Tak lama kemudian partikel cahaya kuning keemasan muncul di sekitar tubuh burung itu, cahayanya redup namun cukup jelas.
Dari kedua rentangan sayapnya itu, muncullah beberapa partikel cahaya lain yang berputar mengelilinginya. Dan sesaat kemudian rentangan sayap itu perlahan berubah menjadi sepasang lengan manusia, begitu juga dengan tubuhnya.
Perlahan terlihat sesosok wanita cantik berambut panjang keemasan, muncul bersamaan dengan hilangnya burung Caladyus tadi. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat kecil berwarna biru berkilauan. Ujungnya seperti tombak yang terbuat dari logam bercahaya.
Dialah Tana' Bulan...
Dengan gerakan anggun, Tana' Bulan lebih mendekat lagi ke tubuh Prita, menatapnya - seperti ingin memastikan bahwa Prita masih hidup – ia menunduk, memegang dada Prita, memastikan ada denyut nafas yang bergerak.
Ia membersihkan butiran-butiran pasir yang mengotori gaun gadis itu, dengan mengibaskan tongkat saktinya, dengan seketika gaun Prita kembali bersih seperti semula.
Masih dalam posisinya yang membungkuk, Tana’ Bulan meniupkan energi yang berwarna biru ke mulut Prita, pancaran partikel bercahaya biru itu serta merta melingkupi seluruh tubuhnya.
Setelah sekian menit berlalu, tubuh Prita mulai menunjukkan tanda-tanda pergerakan, Prita mengerang pelan, tangannya mulai bergerak, namun tenaganya masih lemah sehingga hanya gerakan itu saja yang dapat ia lakukan.
Tana’ Bulan kembali mengibaskan tongkatnya, kali ini dengan gerakan agak cepat, ia mengibaskan tongkat itu beberapa kali ke arah Prita, sehingga menciptakan kilatan cahaya biru yang menyilaukan.
Kilatan cahaya itu terus berputar mengelilingi tubuh Prita, hingga membuat tubuhnya tersentak terangkat, menyemburkan air dari mulutnya dan terbatuk beberapa kali.
Dan ketika Tana’ Bulan yakin bawa energi yang ia berikan sudah cukup untuk membuat Prita sadar, dengan cepat ia berubah kembali ke wujudnya semula dan dengan gerakan yang cepat dan anggun ia kembali terbang ke puncak pohon kelapa di mana tadi ia bertengger di sana.
Diam dan kembali mengamati Prita, sebelum benar-benar pergi dari tempat itu.
Perlahan Prita tersadar, tubuhnya lemas. Kegelapan malam menyambut matanya yang terbuka. Angin pantai menusuk dingin, membuatnya gemetar. Ia berusaha bangkit, pakaiannya bersih dan kering, namun ingatannya kosong.
Di mana ia?
Kenapa ia di sini?
Udara dingin mencekam, sunyi terasa mengawasi. Prita takut. Ia berdiri dengan susah payah.
"Ini di mana?" gumamnya lirih. Pikirannya kosong, tak ada ingatan.
"Kenapa aku tidak mengingat apa-apa?" Ia memegangi kepalanya yang pusing, kembali terduduk di pasir.
Prita mencubit lengannya, merasakan sakit.
"Ini nyata." Gumamnya.
Tapi siapa dia? Bahkan namanya pun ia tak ingat.
Prita benar-benar kehilangan ingatannya.
Prita duduk diam, merasa seperti ada yang mengawasi....
Ia menoleh, hanya melihat pohon-pohon besar dengan bunga-bunga bercahaya kuning keemasan – pohon Sambutara.
"Indah sekali..." gumam Prita, mendekati salah satu bunga.
Aromanya menghiburnya sejenak. Namun, sunyi pantai kembali membuatnya merinding. Angin semakin dingin.
Prita bergegas meninggalkan pantai, pikirannya berkecamuk mencari jati diri. Keheningan memaksanya bergerak cepat menjauhi bibir pantai, berharap menemukan pertolongan.
Sesekali langkahnya tersandung di jalan setapak, tak peduli pada goresan semak. Ia hanya butuh pertolongan, hajya itu yang Prita pikirkan.
Prita terus berjalan sempoyongan dalam kegelapan, tak tahu apa yang dicarinya atau apa yang menantinya.
Dunia ini begitu asing ...
Dengan langkag gontai, Ia harus terus berjalan meninggalkan bibir pantai ...
Aku terus berjalan. Meninggalkan pantai yang terasa asing dan menakutkan itu. Setiap langkah terasa berat, tubuhku lelah luar biasa.
Aku beberapa kali berhenti, mencoba menarik napas yang terasa tercekat di tenggorokan. Keringat dingin terus membasahi keningku ...
Tempat ini sunyi. Terlalu sunyi hingga membuat bulu kudukku berdiri.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha meyakinkan diri bahwa tidak ada bahaya yang mengintai. Tapi rasa takut dan kebingungan ini… tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipiku.
Aku mengusapnya, tapi air mata itu seolah tak mau berhenti...
Setelah berjalan mungkin sekitar satu jam, aku mulai memperhatikan pepohonan di sepanjang jalan. Mereka aneh, bentuknya seperti cemara, tinggi sekitar dua meter atau lebih. Tapi daunnya… seperti daun kelapa, hanya lebih pendek - pohon Meditrana.
Yang paling aneh adalah daun-daun itu. Berwarna kuning cerah dan memancarkan cahaya! Cahaya itu cukup terang untuk menerangi jalan yang kulalui. Mataku terbelalak, terkesima oleh kilauan yang berasal dari pepohonan itu. Aku tersadar dari lamunanku yang panjang.
“Wah… indahnya…” gumamku pelan.
Aku berhenti sejenak, mendekati salah satu pohon yang bersinar itu. Ini sudah kedua kalinya aku mengalami hal aneh di dunia yang baru ini. Aku menyentuh daunnya, dan tanpa sadar memejamkan mata. Mungkin ini caraku untuk menenangkan diri, meskipun semua keanehan ini justru membuatku semakin takut.
Setelah beberapa saat menikmati aroma aneh dari daun Meditrana, aku kembali melanjutkan perjalanan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa keberanian dan tenaga. Dengan tekad yang lebih mantap, aku kembali melangkah.
Setelah berjalan cukup lama, dari kejauhan aku melihat sesuatu berdiri kokoh. Beberapa cahaya lentera terlihat dari arah sana. Meskipun masih kecil karena jaraknya jauh, mataku mulai berbinar penuh harap. Semoga saja itu pertanda baik. Semoga saja ada seseorang di sana yang bisa membantuku. Aku mempercepat langkahku menuju cahaya itu.
Semakin dekat, semakin jelas bahwa itu adalah sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tinggi seperti pagar. Di tengah pagar itu, ada pintu besar yang menghadap ke arah jalanku. Tidak ada siapa-siapa di sana. Pintu gerbang masuk atau keluar yang tampak lengang dan redup di bawah sinar lentera yang tergantung di atasnya. Aku semakin mempercepat langkahku, berharap segera sampai ke tempat itu…
Tiba-tiba, langkahku terhenti. Di tengah gerbang itu, aku melihat tiga orang yang berada di sebuah pondok kecil. Mereka menatapku dengan tatapan curiga. Aku membeku. Rasanya ingin berlari menjauh, tapi kemana? Aku tidak tahu tempat ini. Rasa takut dan frustrasi kembali menghantam dadaku. Nafasku tersengal, dadaku naik turun. Aku menatap balik ketiga orang itu dengan mata kosong.
“Siapa dia?” gumam salah satu gadis.
“Kelihatannya bukan penduduk sini, Carla,” jawab seorang pemuda. Matanya menyipit, meneliti seluruh tubuhku.
“Iya… betul, Carla,” timpal gadis yang satunya lagi. “Gaun yang dipakainya bukan ciri penduduk sini.”
Mereka bertiga masih waspada, tidak bergerak dari tempat mereka duduk di sebuah pondok kecil di dalam benteng itu. Di samping pondok, terparkir sebuah sampan aneh dengan ornamen yang unik. Sepertinya itu kendaraan mereka. Di bagian bawahnya ada kaki-kaki seperti pada helikopter.
Pemuda itu, yang dipanggil Arka, menyuruh gadis bernama Vyn untuk mendekatiku. Tapi Vyn tampak keberatan. Dia takut aku adalah musuh yang menyusup. Arka membentaknya, menyuruhnya untuk tidak menjadi penakut. Vyn masih cemberut, tidak mau bergerak.
Gadis yang bernama Carla itu terus menatapku dengan intens. “Apa perlu kita panggil Bei Tama dulu?” katanya. Arka tampak ragu. Dia bilang belum perlu.
Akhirnya, Arka mengajak kedua temannya untuk menghampiriku bersama-sama. Melihat mereka berjalan mendekat, aku tanpa sadar mundur selangkah. Keraguan dan ketakutan semakin mencengkeramku. Tatapan mereka… penuh curiga.
Pemuda bernama Arka itu berjalan paling depan. Langkahnya hati-hati, seolah tak ingin menakutiku.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya pelan dan lembut. Dia maju satu langkah, tapi ketika aku refleks mundur, dia berhenti.
Aku semakin ketakutan. Aku menatapnya seperti hewan liar yang terperangkap.
“Jangan takut. Kami tidak akan menyakitimu,” kata Arka lagi.
Gadis bernama Carla, yang berdiri di belakang Arka, menatapku dengan tatapan menyelidik. Matanya menyipit, mencoba membaca gerak-gerikku.
“Siapa kau? Dan bagaimana kau bisa sampai di sini?” tanyanya langsung.
Aku terdiam sejenak, ragu untuk menjawab. Bibirku bergerak pelan, suaraku nyaris tak terdengar.
“Aku… aku tidak tahu,” kataku akhirnya. Suaraku serak dan bergetar.
Melihat ketakutanku, Arka memberi isyarat kepada Carla untuk berhenti bertanya. Dengan lembut, dia kembali bertanya padaku.
“Bagaimana kamu bisa sampai ke tempat ini? Kamu mau ke mana?” tanya Arka.
“A… aku tidak tahu,” jawabku lagi, kucoba untuk menahan tangisku.
Gadis bernama Vyn, yang sedari tadi memperhatikanku, tampak mulai merasa iba. Dia mendekatiku.
“Ayo, kita masuk dulu ke pondok, udara di sini dingin,” katanya.
Meskipun keraguan dan ketakutan masih menyelimuti pikiranku, melihat keramahan mereka, aku terpaksa menganggukkan kepala. Mereka bertiga menuntunku memasuki pondok. Aku hanya menurut, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Di dalam pondok, udara terasa sedikit hangat. Aku merasa sedikit lega. Dengan tatapan kosong, aku memperhatikan lentera-lentera yang tergantung di langit-langit pondok.
Mataku tertegun. Cahaya lentera itu tidak berasal dari minyak atau apapun yang biasa kukenal. Melainkan dari daun pohon Meditrana yang disusun membentuk bulatan lentera yang unik dan indah.
Aku tidak menyadari bahwa Carla masih menatapku dengan curiga. Matanya menyipit, memandangku dengan perasaan tidak suka. Dia menjaga jarak, memperhatikan luka-luka di kakiku yang tidak beralas.
Sikap Arka berbeda. Dia tampak kasihan melihat kondisiku. Aku bisa melihatnya ingin membantu, tapi tatapan Carla seolah menahannya.
Vyn memecah ketegangan dengan pertanyaan ringan. “Nama kamu siapa?” tanyanya, berusaha bersikap ramah.
Lagi-lagi aku menggeleng pelan. “Aku tidak tahu,” hanya kata itu yang bisa kuucapkan. Aku benar-benar kehilangan ingatanku. Tatapan mataku kosong.
Suasana kembali hening. Mereka bertiga saling bertukar pandang, seolah mengerti bahwa aku memang tidak tahu apa-apa, bahkan tidak ingat siapa diriku.
“Kamu pasti haus,” kata Arka dengan nada simpati.
Aku mengangguk pelan. “Iya…” suaraku serak dan pelan.
Melihat kecanggunganku, Arka meminta Vyn mengambilkan minuman dari sampan yang terparkir di samping pondok. Dia menyebutnya Lesung Orembai. Aku kembali terkesima melihat kendaraan itu. Sampan unik dengan kaki-kaki dan dua pintu di sisinya.
Tak lama kemudian, Vyn kembali membawa wadah minuman dari kulit dan memberikannya padaku.
“Terima kasih,” kataku pelan saat Vyn menyodorkan minuman itu. Aku membuka tutup wadah dan meminumnya dengan rakus. Aku sangat haus. Setelah beberapa teguk, aku mengembalikannya pada Vyn.
Aku masih merasa bingung. Pandanganku sayu dan lelah. Sesekali kurapikan rambut panjangku yang berantakan. Ada pertanyaan yang ingin kusampaikan, tapi aku ragu-ragu.
Arka, dengan suara ramah, menjelaskan bahwa mereka bertiga adalah penjaga untuk Negeri Londata, sebutan untuk negeri bagi Klan Lontara. Dia menjelaskan sedikit tentang negeri ini, ukurannya yang kecil, batas-batasnya dengan negeri lain, dan nama-nama klan yang tinggal di sana. Aku hanya mendengarkan, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkannya.
Tiba-tiba, Carla memanggil Arka dan memberi isyarat untuk mendekat. Vyn juga ikut merapat. Mereka bertiga tampak ingin berbicara serius.
“Aku pikir,” kata Carla dengan nada serius, “kita harus memberitahukan kedatangan gadis itu kepada Bei Tama.” Bei Tama? Siapa dia?
Arka tampak ragu. Vyn hanya tersenyum melihat kedua temannya, sesekali melirik ke arahku.
“Kita tidak bisa terus membiarkannya di pondok ini,” kata Carla, melirik ke arahku. Arka dan Vyn juga menoleh padaku dengan tatapan yang sulit kubaca.
Saat mereka bertiga berembuk tentangku, tanpa mereka sadari, gumpalan awan hitam perlahan terbentuk di atas benteng jaga itu. Awan itu semakin lama semakin tebal, berputar pelan seiring dengan rasa takut dan cemas yang kurasakan.
“Iya, aku setuju,” jawab Vyn tiba-tiba. Arka mengerutkan dahinya.
“Kalau begitu,” Arka berhenti sejenak, “tunggu apalagi?” katanya sambil tersenyum. Vyn melotot padanya, lalu membalikkan badan dengan sikap lucu.
Carla memotong pembicaraan. “Kamu di sini saja, Vyn,” katanya, “biar kami berdua saja yang melaporkan hal ini kepada Bei Tama.” Vyn tersenyum senang, sementara Arka tampak sedikit kesal.
“Iya…” jawab Vyn, “sebaiknya aku menunggu di sini, menjaga gadis ini. Kasihan kan kalau ditinggal sendiri.”
Aku merasa tidak nyaman menjadi bahan pembicaraan. Rasa takutku kembali muncul. Aku beringsut menjauh dari mereka bertiga. Aku merasa terancam, curiga dengan apa yang mereka bicarakan. Emosiku menjadi tidak stabil, keringat dingin membasahi dahiku. Tapi aku berusaha tetap tenang. Sementara awan hitam di atas bangunan itu semakin tebal, berputar semakin cepat membentuk pusaran.
Arka kemudian mendekatiku dan mengatakan bahwa mereka telah sepakat untuk melaporkan kedatanganku kepada Bei Tama.
“Bei Tama?” tanyaku.
“Iya,” jawab Arka. “Beliau adalah pimpinan kami, dan kami harap beliau bisa membantumu untuk sementara waktu, sebelum kamu memutuskan hendak pergi kemana. Setidaknya untuk saat ini, hanya itu yang bisa kami lakukan untuk membantumu.”
“Ayo, Carla,” kata Arka, “kita temui Bei Tama.”
Arka dan Carla bersiap pergi. Tapi langkah mereka terhenti. Gumpalan awan hitam telah membentang menutupi seluruh area benteng. Pusarannya semakin kuat, dan samar-samar terdengar bunyi gemuruh guntur di sela-sela awan itu.
Aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam diriku. Dadaku naik turun, rasa takut dan curiga semakin memuncak, seiring dengan semakin tebalnya awan hitam di atas benteng itu.
“Arka…,” bisik Carla sambil menunjuk ke atas. “Coba kamu perhatikan!”
Arka mendongak, dan dia terkejut.
Di atas mereka, tepat di atas pondok jaga, awan hitam tampak semakin pekat dan seolah hampir menyentuh pondok itu. Mereka bertiga segera keluar, meninggalkanku sendirian di sini.
Dan benar saja, awan hitam itu semakin tebal dan pekat. Angin bertiup kencang, membuat lentera di dalam pondok berguncang.
“Sepertinya akan ada badai,” kata Vyn. Mereka bertiga terus memperhatikan keadaan itu dengan waspada.
Awan hitam itu terus membesar, menggulung dan berputar menderu di atas mereka. Tak lama kemudian, angin bertiup kencang ke arah pondok, mengguncangkan lentera-lentera. Lalu, dari balik awan hitam itu, muncul kilatan petir dan suara gemuruh yang memekakkan telinga.
“JELEGERRRR!…”
Mereka panik dan berhamburan keluar pondok. Dentuman geledek semakin besar dan bertambah banyak, kilatan petir menyambar-nyambar. Tidak hanya di atas pondok, tapi mulai mengarah ke mereka, menyebabkan beberapa bagian atap pondok terbakar dan rusak.
“Awas, Vyn!” teriak Arka memperingatkan Vyn yang berdiri di sudut pondok yang tersambar petir.
Carla juga panik, melompat menghindari sambaran petir yang hampir mengenainya. Situasi menjadi kacau.
Aku semakin ketakutan, tidak tahu harus berbuat apa.
Dengan gerakan cepat, ketiga orang itu menarik sabuk di pinggang mereka. Ternyata itu adalah cambuk. Mereka mengayunkan cambuk itu untuk menangkis sambaran petir yang semakin ganas.
“CETARRRR!…”
Suara lecutan cambuk itu sama kerasnya dengan suara petir. Sepertinya itu senjata andalan mereka.
Gerakan mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang terlatih. Tapi sambaran petir dari awan hitam itu bukannya mereda, justru semakin masif dan mematikan. Carla terjungkal terkena salah satu sambaran.
“GEDEBUKKK!…” Dia terpentar dan jatuh.
“Arka! Tolong aku!” teriak Carla saat petir mengenai pundaknya. Dia tersungkur jatuh, cambuknya terlepas, dan sebagian bajunya robek terbakar. Dia mengerang kesakitan.
“Aaaagh!…”
Mendengar jeritan Carla, Arka segera berlari menolongnya. Tapi tindakannya itu justru membuatnya terancam. Belum sempat dia bergerak, sambaran dahsyat melemparkannya jauh ke belakang.
“GEDUBRAAAKKK!…”
Dia terjerembab dan jatuh terpental.
“Aaagh!…” Kakinya terkena sambaran petir.
Kondisi Vyn juga tidak kalah menyedihkan. Tubuhnya terpelanting lebih jauh.
“Aaaaauuugghh!…” Dia terguling-guling, tubuhnya terasa remuk.
Aku semakin ketakutan dan berteriak minta tolong.
“Tolong aku…!” Aku menangis, menutupi wajahku dengan kedua tangan. Aku terduduk di sisi pondok, memeluk erat lututku.
Tapi anehnya… meskipun petir menyambar-nyambar liar ke segala arah, tidak satupun mengarah padaku. Seolah-olah sambaran itu sengaja menghindariku. Tapi aku tidak menyadarinya karena ketakutan yang melumpuhkan.
Tepat saat kilatan dan sambaran petir semakin menggila, menyebabkan sebagian bangunan pondok hancur, sekelebat bayangan melesat cepat ke arah pondok. Gerakannya sigap dan tangkas menangkis semua serangan petir. Dengan cepat, bayangan itu menyambar tubuh ketiga penjaga yang tergeletak tak berdaya dan membawanya menjauhi area pondok.
Kemudian, bayangan itu berdiri tegak, merapatkan kedua tangannya di depan dada, merapalkan mantra. Seketika, muncul perisai cahaya berwarna kuning kemerahan yang membentuk kubah, melindungi area itu dari ganasnya sambaran petir. Sesaat situasi tampak terkendali. Ketiga penjaga itu berusaha bangun.
“Bei Tama!” panggil Arka kepada sosok lelaki tinggi besar yang baru saja menyelamatkan mereka.
“Kau datang tepat waktu,” sambungnya. Carla dan Vyn mencoba mendekat pada Arka dan lelaki itu.
“Gadis itu…,” Carla mencoba mencari dengan matanya. “Di mana dia?” teriaknya.
Gemuruh guntur dari awan hitam terdengar semakin kencang. Tapi berkat perisai kubah Bei Tama, sambaran petir terpantul kembali ke angkasa.
Di bawah perlindungan kubah, Bei Tama membantu Carla dan Vyn berdiri. Mereka terengah-engah dan goyah. Arka berdiri merapat di dekat lelaki itu.
“Tenanglah, kalian aman sekarang,” kata Bei Tama. “Apa yang terjadi?”
Carla kembali bertanya, “Gadis itu, di mana gadis itu?”
“Gadis?” tanya Bei Tama heran. “Gadis yang mana?” Dia tampak bingung.
“Dia di sana!” teriak Vyn sambil menunjuk ke arah sudut pondok.
Dari kejauhan, aku meringkuk ketakutan, memeluk erat lututku, menyembunyikan wajahku.
Bei Tama menyuruh ketiga penjaga itu berjalan ke arahku, sementara dia sendiri mempertahankan perisai kubahnya. Dia menambah kekuatan perisai itu hingga melindungi seluruh area, sehingga mereka aman saat mendekatiku.
“Kau tak apa-apa?” tanya Vyn padaku.
Aku mengangkat kepalaku dan menatap mereka dengan tatapan penuh ketakutan. Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.
“Ayo, kita pergi dari sini, di sini tidak aman,” kata Arka. Dari jauh, Bei Tama masih mempertahankan perisainya.
“Cepat naik ke Lesung Orembai!” teriak Bei Tama dari kejauhan. “Bawa gadis itu pergi dari sini!”
“Tapi…” Arka membalas dengan nada ragu.
“Bagaimana denganmu?! Sebaiknya engkau ikut kami, Bei Tama! Di sini tidak aman,” lanjutnya.
“Tenang saja!” jawab Bei Tama mantap.
“Aku bisa mengatasi keadaan ini. Kalian pergilah dulu, bawa gadis itu menjauh dari sini.”
Akhirnya, Arka dan teman-temannya membawaku menaiki Lesung Orembai. Setelah kami naik, Carla yang duduk di bangku depan menempelkan tangannya ke sebuah panel di dashboard. Seketika, Lesung itu terangkat ke udara dan melesat pergi, meninggalkan pondok jaga dan Bei Tama yang sedang berjuang melawan badai.
“Hati-hati, Bei Tama!” teriak Arka sebelum kami benar-benar meninggalkan tempat itu. Tapi sepertinya teriakannya tidak terdengar. Kendaraan yang kami naiki terus melesat meninggalkan pondok itu.
Lelaki bernama Bei Tama itu masih bertarung dengan badai petir yang mengerikan di belakang sana.
Sementara kami berempat melesat di atas pepohonan dengan sampan terbang ini. Cahaya redup seperti sihir tertinggal di belakang kami. Aku duduk di bangku belakang, di samping gadis bernama Vyn. Arka dan Carla di depan, mereka seperti pengemudi Lesung Orembai ini.
Angin malam terasa dingin menusuk tulang. Tubuhku masih gemetar, menggigil ketakutan. Kupeluk diriku sendiri, mencoba mengurangi dingin yang semakin terasa karena laju sampan yang semakin cepat menjauhi pondok jaga.
Dari atas sini, aku terus memandang ke bawah. Hamparan pohon Meditrana masih berkilauan, memancarkan cahaya yang menenangkan. Andai saja situasinya tidak genting seperti ini, pemandangan ini pasti sangat indah. Aku hanya bisa menghela napas panjang.
Apa yang sebenarnya terjadi?
“Sebentar lagi kita akan memasuki pusat kota negeri Londata, negeri tempat kami tinggal,” kata Vyn, membuyarkan lamunanku.
“Lihat!” tangan Vyn menunjuk ke depan.
Dari kejauhan, tampak sebuah pemukiman yang memancarkan cahaya terang. Sangat terang hingga dari jauh cahaya itu seolah menembus langit.
“Itu negeri kami,” kata Vyn sambil tersenyum. Aku membalas senyumnya dengan anggukan pelan.
Dari ketinggian ini, pusat kota Klan Lontara yang disebut negeri Londata terlihat memancarkan sinar terang yang menembus langit.
Aku merasakan getaran energi yang menenangkan dari aura pemukiman itu. Semakin dekat, aku bisa melihat hamparan pohon-pohon Meditrana yang bersinar berkilauan.
“Itu pohon Meditrana,” Vyn mencoba menjelaskan setelah melihat kekagumanku.
Aku hanya mengangguk pelan dan terus memandangi pohon-pohon bercahaya di bawah sana.
Kami terus terbang menembus awan malam, melewati beberapa rumah penduduk yang tampak berkilauan dari atas. Jalan-jalan yang membentang di sepanjang perkampungan itu sangat indah. Di kiri dan kanan jalan tumbuh pohon-pohon Meditrana yang daunnya memancarkan cahaya sebagai penerangan jalan.
Setelah terbang cukup lama, Arka dan Carla mulai mengurangi kecepatan Lesung Orembai.
Kami terbang merendah, menyusuri jalan-jalan di tengah perkampungan itu. Beberapa orang tampak berjalan dengan kesibukan masing-masing. Sesekali kami berpapasan dengan Lesung Orembai lain, dan mereka saling menyapa atau melambaikan tangan.
“Sebentar lagi kita akan sampai di Gubuk Manah,” kata Vyn, membuyarkan lamunanku yang terpesona oleh keindahan kota (atau lebih tepatnya, kampung) ini.
“Gubuk Manah?” tanyaku. Aku merasa sudah mulai bisa beradaptasi dengan teman baruku, Vyn.
“Iya, kita akan ke sana, menemui Nyi Lirah,” jawab Vyn singkat.
Mungkin aku membayangkan Gubuk Manah itu bangunan kecil yang sederhana. Tapi bayangan itu langsung berubah ketika Lesung Orembai yang kami naiki tiba-tiba turun di halaman sebuah bangunan yang lebih pantas disebut istana daripada gubuk. Aku semakin heran dan menatap Vyn dengan tatapan bertanya.
“Kenapa kita ke sini?” tanyaku.
“Iya, kita sudah sampai, itulah Gubuk Manah!” jawab Vyn sambil tersenyum dan menunjuk bangunan besar yang mirip istana itu. Aku hanya bisa melongo, mengamati bangunan megah di hadapanku.
Setelah Lesung Orembai benar-benar mendarat, kami berempat turun dan berjalan menuju bangunan besar itu. Beberapa penjaga menghampiri kami. Arka memberikan laporan singkat dan meminta izin bertemu dengan tetua mereka, Nyi Lirah.
Tak lama kemudian, kami diizinkan masuk, diiringi oleh beberapa penjaga di depan kami.
Setelah memasuki halaman pendopo Gubuk Manah, kami dipersilakan duduk untuk menunggu kedatangan Nyi Lirah. Beberapa menit kemudian, dari dalam ruangan muncul seorang wanita yang tampak sudah sangat tua, mungkin sekitar delapan puluh tahunan.
Tubuhnya agak membungkuk saat berjalan dengan tongkat. Rambut putihnya tertutup kerudung besar yang menjulur hingga punggung. Jubahnya panjang dan sederhana, memberikan kesan bahwa wanita itu sangat bersahaja.
Ia melambaikan tangan, memberi isyarat agar kami duduk kembali setelah kami berdiri menyambutnya sebagai tanda hormat. Setelah semua duduk, seorang penjaga memberikan laporan tentang kedatangan kami. Nyi Lirah menyapukan pandangannya pada kami berempat. Tapi saat tatapannya bertemu dengan mataku, ada sedikit perubahan di wajahnya, seperti sedang mencoba menebak atau merasakan sesuatu.
Dengan suara berat dan berwibawa, Nyi Lirah membuka pembicaraan. “Ada hal penting apa yang membuat kalian menghadapku malam-malam begini, Arka?”
Dengan hormat, Arka menjelaskan alasannya datang malam itu bersama teman-temannya – yang seharusnya berada di pos penjagaan utara. Dia menceritakan semua kejadian yang baru saja terjadi, terutama tentang kedatanganku. Nyi Lirah mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk mengerti. Setelah Arka selesai, Nyi Lirah mendekatiku.
“Namamu siapa, Nak?” tanya Nyi Lirah dengan penuh kehangatan.
Aku tergagap. Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba. Aku belum siap. Aku mencoba menenangkan diri, dan setelah merasa lebih baik, aku memberanikan diri menjawab.
“Saya… tidak tahu, Nyi…” Aku menundukkan wajahku, menatap kakiku sendiri.
Nampaknya Nyi Lirah mengerti kebingunganku dan tidak memaksaku dengan pertanyaan lain. Dia tampak sudah cukup mengerti dengan jawabanku yang singkat. Firasatnya yang tajam seolah bisa menangkap kejujuran dari kata-kataku.
“Arka,” panggil Nyi Lirah.
“Aku sudah merasakan firasat yang mencurigakan malam ini,” lanjut Nyi Lirah.
“Sore tadi, sebelum matahari tenggelam, aku merasakan ada getaran energi besar yang memasuki negeri Londata. Aku tidak yakin getaran energi semacam apakah itu.” Nyi Lirah berhenti sejenak.
“Tapi menurutku, getaran energi itu tidak begitu asing. Seingatku, aku pernah merasakan getaran energi seperti itu sebelumnya, tapi aku tidak bisa mengingatnya dengan pasti.”
Semua yang hadir mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah menghela napas beberapa kali, Nyi Lirah melanjutkan,
“Aku merasa yakin bahwa getaran energi itu ada kaitannya dengan gadis ini,” katanya sambil menatapku. Aku menjadi gugup dan tidak tenang. Wajahku mungkin menunjukkan rasa bersalah dan tidak nyaman.
“Aku tidak menyalahkanmu, Nak,” kata Nyi Lirah, mencoba meyakinkanku bahwa ucapannya bukan tuduhan.
“Iya, Nyi, terima kasih,” jawabku dengan hormat.
“Dan malam ini,” Nyi Lirah melanjutkan, “saat awan hitam itu muncul di pondok jaga kalian,” matanya beralih ke Arka, Carla, dan Vyn. “Kami semua di sini menyaksikan dengan jelas perubahan warna yang terjadi pada pohon-pohon Meditrana di sekitar Gubuk Manah.”
“Aku yakin semua penduduk kampung ini juga menyaksikannya,” kata Nyi Lirah, kembali memandang jajaran pohon Meditrana di halaman. Arka dan teman-temannya saling pandang, tampak tidak tahu menahu tentang hal itu.
“Oleh karena itu, aku segera memerintahkan Bei Tama, pimpinan kalian, untuk menyusul kalian ke pondok jaga utara,” kata Nyi Lirah. “Karena aku khawatir terjadi sesuatu yang membahayakan.” Dia mengambil napas sebentar. “Untunglah Bei Tama datang tepat waktu, seperti yang sudah kau ceritakan padaku, Arka.”
“Iya, Nyi, untung saja Bei Tama datang tepat waktu. Jika tidak…” Carla menimpali. “Kami tak tahu apa yang akan menimpa kami selanjutnya.”
“Benar, Nyi,” Vyn yang sedari tadi diam mendengarkan ikut menambahkan.
Nyi Lirah hanya tersenyum mendengar ucapan mereka, tapi tidak menanggapi. Dia bangkit dari duduknya, bertumpu pada tongkatnya. Sejurus kemudian, dia memejamkan mata, tampak berkonsentrasi. Tangan kanannya diangkat di depan dada, dan sesaat kemudian dari telapak tangannya muncul sebersit bayangan seperti hologram yang menghasilkan citra gambar. Awalnya samar-samar, tapi tak lama kemudian citra itu terlihat jelas.
Citra itu menunjukkan tempat Arka dan teman-temannya berjaga, pondok utara. Suasana di sekitar pondok masih porak-poranda akibat petir. Suara gemuruh petir juga terdengar dari citra itu, dan Bei Tama akhirnya terlihat sedang membentengi dirinya dari serangan badai petir.
“Bagaimana kondisimu, Bei Tama?” suara Nyi Lirah agak keras, berbicara pada Bei Tama di dalam citra itu. Rupanya Bei Tama bisa mendengarnya.
“Tidak perlu khawatir, Nyi, aku dapat mengatasi hal ini!” seru Bei Tama dari sana, masih dalam posisi kuda-kuda penuh menangkis serangan di dalam perisai kubahnya.
“Tetap waspada, Bei Tama, kami mengandalkan dirimu,” kata Nyi Lirah.
“Siap, Nyi, aku akan berusaha yang terbaik,” jawab Bei Tama, tampak berkeringat kelelahan.
“Segera kabari kami jika terjadi sesuatu,” Nyi Lirah berhenti sebentar. “Apakah perlu aku panggilkan bantuan untukmu, Bei Tama?”
“Tidak perlu, Nyi, aku masih sanggup menahannya sendiri di sini!” jawab Bei Tama singkat.
“Jaga dirimu baik-baik, Bei Tama, aku yakin kepadamu,” kata Nyi Lirah.
“Baik, Nyi!” jawab Bei Tama.
Setelah mengetahui keadaan Bei Tama dan berbicara dengannya dalam citra itu, Nyi Lirah menutup telapak tangan kanannya. Seketika, citra itu lenyap.
“Itu namanya Mayaru!…” bisik Vyn yang duduk di dekatku.
“Oh…” Aku hanya melongo melihat keajaiban yang baru saja ditampilkan Nyi Lirah.
“Mari kita berharap agar Bei Tama dapat berhasil mengatasi situasi ini dan kembali dengan selamat,” kata Nyi Lirah.
“Untuk sementara, malam ini biarlah gadis ini menginap di Gubuk Manah. Nanti aku akan menyuruh seseorang menunjukkan kamarnya.”
Kemudian Nyi Lirah menoleh padaku. “Lebih baik kalian temani gadis ini. Aku yakin dia belum makan apa-apa dari tadi sore,” katanya pada Carla.
“Baik, Nyi,” jawab Carla.
Nyi Lirah bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan ruang pertemuan itu, diikuti seorang penjaga. Sementara itu, Carla dan teman-temannya saling pandang, seperti berbicara dalam bahasa isyarat. Arka hanya mengangkat bahunya, sedangkan Vyn diam saja.
Tak lama kemudian, seorang pelayan menghampiri kami. Namanya Wulan. “Ayo, kita ke ruang makan dulu!…” Senyum Wulan sangat ramah, mengisyaratkan agar aku bangkit.
Arka, Carla, dan Vyn ikut bangkit mengikuti Wulan dan aku menuju ruang makan.
Setelah makan malam, Arka, Carla, dan Vyn berpamitan. Wulan hanya tersenyum melihat keakraban kami. Aku merasa sedikit kehangatan dan keakraban dari mereka. Setelah mereka pergi, Wulan mengajakku ke kamar yang sudah disediakan.
Aku mengikuti Wulan menyusuri lorong-lorong bangunan itu hingga kami sampai di sebuah kamar yang tampak memang disiapkan untuk tamu. Setelah membuka pintu, aku masuk mengikuti Wulan.
Dia menuju lemari besar di dalam kamar.
“Hmm, kayaknya kamu perlu ganti pakaianmu itu. Ayo pilih sendiri ya?” kata Wulan dengan senyum cerah.
“Iya… iya,” jawabku merasa tidak enak hati, “tapi….” Aku tidak meneruskan ucapanku.
“Ah, jangan sungkan, pilih saja sendiri,” ucap Wulan sambil menunjukkan koleksi pakaian di dalam lemari.
Aku memandangi pakaian-pakaian itu, mencoba memilih yang cocok. Sesekali aku melihat diriku sendiri, seolah mengukur badanku dengan pakaian yang akan kupilih.
“Kamu tahu tidak?” tanya Wulan, membuatku penasaran.
“Apa?” tanyaku.
“Pakaian yang kamu kenakan saat ini,” ucap Wulan.
“Kenapa dengan pakaianku?” tanyaku. Tapi saat aku mencermati gaun yang kupakai, aku baru sadar bahwa modelnya sangat berbeda dengan pakaian semua orang di sini.
“Itu bukan jenis pakaian yang biasa kami kenakan. Kalau kamu terus memakainya, pasti akan menimbulkan perhatian, betul kan?” jawab Wulan sambil tersenyum ramah.
“Eh, iya,” jawabku sambil tersipu malu.
Setelah memilih pakaian yang cocok, aku memakainya. Wulan mempersilakanku bercermin.
Ada cermin besar di sudut ruangan. Aku berdiri lama di depan cermin, memperhatikan bayanganku. Aku menghela napas dalam, entah apa yang ada di pikiranku.
Sementara Wulan dengan seksama memperhatikan setiap gerakanku.
“Aku rasa pakaian itu cocok dengan ukuran tubuhmu,” kata Wulan, membuyarkan lamunanku.
Dengan tersipu malu, aku hanya mengangguk dan kembali melihat diriku di cermin.
“Baiklah, sekarang kamu harus istirahat dulu,” kata Wulan, beranjak menuju pintu.
“Terima kasih ya…,” kataku terhenti. Ada kata yang hilang.
“Namaku Wulan,” kata Wulan sambil tersenyum, seolah mengerti pertanyaanku yang belum selesai.
“Eh… iya, terima kasih, Wulan,” kataku merasa lega.
“Sama-sama, istirahat yang tenang ya…” kata Wulan sambil menutup pintu kamar.
Suara langkah kakinya terdengar menjauh.
Setelah Wulan pergi, suasana kembali hening.
Aku merebahkan diri di tempat tidur, tapi mataku tetap terbuka. Kejadian hari ini terus berputar di kepalaku. Ingatanku kembali pada sore hari di pantai itu.
Sampai sekarang, aku belum bisa mengingat apapun tentang diriku. Aku mencoba mengingat setiap detik sejak tersadar di pantai, pertemuanku dengan Arka dan teman-temannya, awan hitam, Bei Tama, hingga semua hal mengesankan yang kulihat di kampung Londata ini.
Tapi semuanya terasa seperti mimpi yang kabur.
Siapa sebenarnya aku?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!