NovelToon NovelToon

Kehidupan Baru Sebagai Istri

Vienna!

"Vie, Vienna!"

Wanita yang dipanggil Vienna terlihat berlari dengan sedikit tergesa-gesa.

"Iya, Ma." Dia nampak ngos-ngosan.

Wanita paruh baya yang memanggilnya terlihat emosi. Matanya melotot dengan mimik yang tak bersahabat, panggil saja Dewi.

"Kamu itu dari mana aja? Dari tadi Mama panggil tidak nyahut-nyahut. Tuh lihat, cucian piring di dapur numpuk. Sana cepat kamu cuci piringnya." Seru Dewi.

"I-iya, Ma." Jawab Vienna menurut tanpa protes.

Vienna gegas masuk ke dapur dan mengerjakan tugasnya.

Tak lama terdengar namanya dipanggil kembali.

"Vienna! Cepat kemari. Vienna!" Teriak Dewi dari halaman depan rumah dengan nada yang begitu melengking, mungkin tetangga sebelah pun bisa sampai mendengar teriakannya.

Vienna baru saja selesai merapikan piring yang baru saja dicucinya ke dalam rak.

"Astaghfirullahalazim, ada apalagi?"

Gegas Vienna melangkahkan kakinya menuju halaman depan.

"Iya, Ma. Vievi baru selesai nyuci piringnya."

"Hallah, nyuci piring aja lama banget. Tuh liat halaman rumah masih kotor, kamu itu gimana sih? Kerjaan kamu ngapain aja, hah?" Seru Dewi menunjuk arah halaman yang masih sangat kotor dengan dedaunan kering yang jatuh dari pohon.

Vienna melihat arah telunjuk Dewi.

"Astaghfirullahalazim, kok bisa sekotor ini, barusan udah aku sapu dan aku buang ke tong sampah kok, Ma. Tapi, kok-" Belum sempat selesai berbicara, kalimat Vienna sudah dipotong oleh Dewi.

"Hallah, kebanyakan alasan terus kamu itu. Cepat kerjakan sana." Bentak Dewi memberi perintah.

"Iya, Ma."

Gegas Vienna mengambil sapu dan menyapu halaman depan kembali.

Dewi menarik sudut bibirnya tipis. "Dasar menantu bod0h."

*****

Dor! Dor! Dor!

"Vienna! Keluar kamu. Vienna" Teriak Dewi dari luar kamar. Dia menggedor pintu kamar Vienna dengan kencang. Dan gedoran tersebut berhasil membangunkannya.

"Eughh." Vienna menggeliat.

"Astaghfirullah, aku ketiduran." Celetuknya yang langsung tersadar.

"Iya, Ma. Sebentar." Sahut Vienna dari dalam.

Vienna bangun dan beranjak dari tempat tidurnya. Dengan cepat dia berlari dan membuka pintu. Bertepatan pintu terbuka, tangan Dewi yang berniat akan menggedor pintu malah mengenai dahi Vienna.

Tuk! Tuk!

"Aduh, Ma. Hentikan." Vienna meringis karena terkena ketukan tangan Dewi yang begitu kuat.

Terlihat Dewi mendengus. Melipat kedua tangannya didepan dada.

"Kamu itu ngapain aja? Buka pintu aja lama banget. Lihat ini jam berapa? Cepat masak."

"Hhah,," Vienna menghela nafas.

"Maaf, Ma. Setelah salat ashar, Vievi ketiduran tadi."

Dewi memutar bola matanya malas.

"Hallah alesan. Lagian kamu itu mau salat sama sujud-sujud sampai kakimu buyutan juga gak bakal merubah apapun. Sampai sekarang kamu juga belum hamil juga kan? Jangan-jangan kamu ini mandul lagi. Ah udahlah, kamu kan bod0h, jadi mau bahas beginian juga kamu gak akan paham. Cepat kerjakan perkerjaanmu. Lama-lama mama adukan kamu sama Rian. Biar tahu rasa."

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Dewi langsung melengos pergi meninggalkan Vienna tanpa mempedulikan menantunya.

"Astaghfirullahalazim, sabar-sabar." Vienna mengelus dadanya yang terasa sesak. Bagaimana tidak? Hatinya terasa sakit ketika dirinya dibilang mandul. Air matanya tiba-tiba menetes mengalir membasahi kedua pipinya.

Mau bagaimana pun, Vienna tak bisa berkomentar ataupun melawan. Saking cintanya dengan Rian, dirinya rela melakukan apapun demi bisa hidup bersama Rian, meski dirinya diinjak-injak sekalipun.

Singkat cerita malam pun tiba. Kini semua sudah berada di meja makan. Yang tidak ada hanya Refan suami Tika.

"Rian, bukankah hari ini kamu gajian? Kok mama belum dikasih?" Tiba-tiba Dewi membuka obrolan dengan menanyakan gaji anaknya.

Vienna yang baru mengambilkan nasi untuk suaminya melirik Dewi sebentar. Setelah isi piring suaminya terisi, Misha memberikannya pada Rian.

"Ini, Mas."

Tak ada anggukan ataupun kata terimakasih dari Rian. Vienna memaksa menarik sudut bibirnya, hal seperti itu sudah biasa.

"Nanti ya, Ma. Setelah selesai makan, Rian kasih." Jawab Rian.

"Mbak juga ya, Rian." Ucap Tika sambil mengerlingkan mata dan memberikan senyum manisnya.

Rian nampak tersenyum. "Iya, Mbak. Nanti Mbak Tika juga Rian kasih. Sekarang lebih baik kita makan dulu."

"Apa kali ini aku juga gak akan diberi nafkah lagi?" Batin Vienna sambil melirik mereka bertiga secara bergantian.

Mereka pun menikmati makan malam dalam hening.

Setelah makan malam selesai. Vienna membereskan piring kotor bekas makan lalu dibawanya ke dapur untuk langsung dia cuci.

Setelah selesai Vienna mencari suaminya, ternyata suaminya berada di dalam kamar.

"Em, Mas Rian. Vievi mau bicara."

Rian yang sedang tersenyum melihat layar ponselnya merasa terganggu dengan kehadiran istrinya. Rian langsung melirik dengan perasaan yang sangat kesal.

"Mau bicara apa? Jangan lama-lama aku sedang sibuk."

"Em, itu Mas." Vienna merasa gugup untuk bertanya.

"Itu apa? Yang jelas kalau ngomong. Aku gak ada waktu buat ngladenin kamu."

Vienna yang mendengarnya mencengkeram rok dasternya. Memberanikan bertanya kepada suaminya tersebut.

"Mas, Vievi mau tanya, kalau mama sama Mbak Tika dapat jatah dari Mas Rian. Apa Vievi juga dapat?"

Setelah mengucapkan apa yang sedari tadi mengganjal di hatinya, Vienna langsung menggigit bibir bawahnya.

"Gak ada. Lagian kamu punya uang sendiri, uangmu mau buat apa?"

"Tapi kan, Mas." Vienna mendongak menatap Rian ingin membantah. Namun belum juga memberi protes Rian sudah angkat bicara duluan.

"Hais sudah lah. Gak ada tapi tapian. Kamu kalau aku kasih nanti tambah boros. Ingat ya Vie, jangan pernah sekali-kali menuntut nafkah sama aku. Udah aku mau keluar. Ganggu aja." Jawab Rian lalu beranjak pergi melewati Vienna dengan begitu saja.

Vienna pun lemas, tubuhnya ambruk ditepian ranjang, air matanya tak dapat dia bendung lagi dan akhirnya dia terisak. Sudah sembilan bulan ini dia menikah dengan Rian, tak pernah mendapat nafkah lahir maupun batin. Bukannya Vienna orang tak mampu tapi, namanya seorang istri pasti akan mengharapkan nafkah dari seorang suami.

Bukan karna dirinya tak menarik tapi, suaminya selalu bilang kalau dirinya lebih suka istri yang polos dan tidak neko-neko. Bahkan sebenarnya rumah yang mereka tinggali adalah rumah Vienna, rumah peninggalan dari mendiang kedua orang tuanya.

Vienna bertahan selama ini karena sangat mencintai Rian. Meski dijadikan babu di rumahnya sendiri oleh keluarga suaminya dia tetap bertahan.

Huah, cinta memang mampu membutakan mata dan hati.

Karena lelah menangis, tak terasa Vienna sampai tertidur.

"Eugh,," Vienna terbangun dari tidurnya. Dia menatap jam pada dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 23.20 WIB, namun dia tidak menemukan suaminya.

Vienna melirik botol yang berada di atas meja kecil samping tempat tidurnya. dia mengambilnya karena dia merasa haus.

"Yah, kosong." Vienna menghela nafas karena botolnya ternyata kosong.

Terjadinya

Vienna berniat ke dapur, dia keluar kamar membawa botol untuk diisi. Saat keluar dari kamarnya dan melewati kamar kakak iparnya, sayup-sayup dia mendengar suara yang membuatnya bergidik ngeri. Suara khas sepasang kekasih yang sedang menggayuh sepeda dilautan asmara. Yang lebih membuatnya penasaran ketika ada suara laki-laki dalam kamar kakak iparnya tersebut mirip dengan suara suaminya.

"Rian. Kapan kamu mau menceraikan istri bodohmu itu?"

Degh!

Seketika tubuh Vienna menegang. "Astaghfirullahalazim, apa yang hamba dengar ini benar?" Ucapnya dalam hati.

Tangan kanan Vienna menyentuh dadanya yang kini mendadak terasa sesak. Tubuhnya bergetar hebat. Sedang tangan kirinya saat ini mengepal dengan sempurna. Hatinya begitu bergemuruh.

Vienna memejamkan kedua matanya untuk menguatkan hatinya dan memberanikan diri untuk membuka pintu kamar kakak iparnya.

Ceklek.

Pintu telah terbuka, kedua mata Vienna membola, kedua tangannya langsung membekap mulutnya. Vienna benar-benar tak percaya dengan apa yang dia lihat. Di dalam sana kakak iparnya sedang bermain latto-latto bersama suaminya.

Vienna menggelengkan kepala. Laki-laki yang dia cintai dengan segenap hati dan jiwa ternyata tega mengkhianatinya.

"Astaghfirullahalazim, Mas Rian, Mbak Tika. Apa yang kalian lakukan?"

Sontak dua insan yang sedang dimabuk asmara pun terkejut dan menghentikan kegiatan mereka.

"Vienna, apa-apaan kamu?"

"Heh, jal4ng. Beraninya kamu membuka pintu kamarku?" Ucap Tika yang emosi langsung menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos.

Sementara Rian langsung berdiri mengambil celananya dan memakainya.

"Mas, apa yang Mas lakuin sama Mbak Tika? Itu dosa Mas."

Rian tak menggubris Vienna.

"Sayang, aku tinggal dulu. Nanti kita lanjut lagi. Sepertinya ada yang harus diberi pelajaran." Ucap Rian pada Tika.

Tika pun mengangguk.

Rian langsung menatap Vienna dengan sorot mata tajam. Rian merasa begitu emosi, dia mendekati istrinya, tanpa rasa bersalah ataupun kasihan, Rian menjambak rambut Vienna dan menyeretnya masuk ke dalam kamar mereka.

"Agghh, Mas sakit. Lepasin Mas. Kamu menyakitiku."

Rian hanya abai seolah menulikan telinganya dari rintihan Vienna.

"Mas, ampun. Ampun, Mas."

Sampai di dalam kamar, Rian langsung mendorong Vienna. Vienna yang tak siap terbanting dan kepalanya terbentur tepian tempat tidur.

Dugh.

"Akh,, "

Karena kuatnya benturan seketika Vienna terkulai lemas. Pandangannya mulai kabur. Tapi, sayup-sayup dia mendengar suaminya berbicara.

"Kamu wanita gak tahu diuntung. Asal kamu tahu saja. Aku gak pernah mencintai kamu. Untuk menyentuhmu pun aku juga jijik. Aku mau menikah denganmu karna hartamu. Kamu itu wanita bod0h. Kalau bisa m4ti saja kamu sekalian. Biar semua hartamu bisa menjadi milikku sepenuhnya. Merepotkan saja."

Begitulah yang Vienna dengar.

"Mas, kamu tega." Air mata Vienna menetes tanpa sengaja dan dia pun tak sadarkan diri.

Sementara di tempat lain ada seorang gadis bernama Misha Rizky Amelia (20) biasa dipanggil Misha sedang melakukan pekerjaannya. Dia asli orang Jawa. Dia hidup sebatang kara, dia sudah tidak memiliki orang tua karena kedua orang tuanya mengalami kecelakaan disaat dirinya masih duduk di bangku SMP.

Karna tuntutan agar dirinya bisa menghidupi diri dan menjalan hidup. Dia terpaksa sekolah sambil bekerja.

Misha tidak tahu ini berkah atau musibah, karena semenjak kedua orang tuanya telah tiada,diai bisa menjadi pribadi yang mandiri. Sampai sekarang, sampai dirinya kuliah pun dia sambangi dengan bekerja paruh waktu.

Misha kerja disebuah rumah makan. Dia malam ini dapat jatah shift malam. Sekarang jam menunjukkan pukul 22.00 WIB tanda waktunya dia pulang.

"Hai, Dik, Pan. Gue pulang duluan ya." Seru Misha pamit pulang lebih dulu pada rekan kerjanya.

"Oh, iya Ma. Ati-ati loe." Jawab Topan.

"Sip" Misha mengacungkan jari jempolnya.

Malam ini terlihat langit begitu gelap, sepertinya akan segera turun hujan. Misha langsung tancap gas.

Oh ya, Misha tidak tinggal di kampung dimana rumahnya berada. Karena Misha kuliah di Kota, dia terpaksa ngontrak.

Misha mengendarai motor bebeknya. Kontrakannya jauh dari keramaian. Dia harus melewati bentangan sawah yang luas agar sampai di kontrakan. Jalanan jam segini sudah begitu sepi.

Hampir sampai di gang kontrakannya, Misha melihat orang sedang menjadi korban aksi pembeg4lan. Memang karena jalanan yang begitu sepi dan sunyi, jadi di jalanan tersebut begitu rawan begal.

Misha baru pertama kali ini mendapati secara langsung aksi begal.

Setelah lebih dekat, dia langsung menghentikan dan memarkirkan motornya.

"Woy, loe mau begal loe?" Misha langsung berteriak pada 3 orang laki-laki yang sedang menarik paksa tas milik seorang wanita.

Misha melihat kekasih wanita tersebut sudah terkapar, merintih kesakitan karna dihajar habis-habisan oleh ketiga laki-laki pemb3gal tersebut.

Mereka bertiga langsung menoleh kearah Misha berada.

"Bac0t. Siapa kamu?" Tanya Andok yang merasa terganggu dan langsung mengacungkan clur1tnya.

"Gak usah ganggu, kalau mau hidup kamu selamat." Imbuh Bonang.

"Hallah, mbelgedhes." Jawab Misha memonyongkan bibirnya. Dia langsung turun dari motornya.

"Woy Mbak. Cepet tolongin pacar loe keburu ko-it dan segeralah pergi dari sini." Ucap Misha pada wanita yang sedang menangis.

Wanita tersebut mengangguk dan membantu kekasihnya untuk bangun. Mereka langsung masuk kedalam mobil dan berlalu pergi.

"Loe, loe, loe beraninya keroyokan. Sini maju atu-atu." Misha menantang mereka dan mengambil posisi.

"Wih, berani juga nih cewek. Nyalinya gede. Hajar bro." Ucap Cecep.

Ketiga pemb3gal tersebut maju satu persatu melawan Misha.

Syat bugh!

Syat bugh!

Mereka satu persatu tumbang.

"Kurang4jar." Ucap Bonang.

Salah satu dari pemb3gal mengambil clur1tnya lalu mengarahkan kibasannya kearah Misha.

Syat!

Misha berhasil menghindar.

Bugh!

Misha memberi tonjokan dan tendangan diperut dan pemb3gal tersebut jatuh terjungkal.

Kedua temannya tak terima dan kembali berdiri membawa senj4ta mereka masing-masing.

Syat syat!

Bugh!

Lagi-lagi keduanya terkapar. Namun, Misha tak menyadari jika di belakangnya ada musuh.

"Woy."

Misha berbalik.

Dor!

Dor!

Misha terkena tembakan di perutnya. Ternyata salah satu dari mereka membawa pistol.

Misha merasakan benda yang bersarang di perutnya. Begitu panas dan ngilu.

"Loe, dasar pengecut. Beraninya pake senjata. Kalo gue m4ti, gue sumpahin loe ikutan m4ti nyungsep masuk kelubang sumur." Ucap Misha dengan mengeratkan giginya menahan nyeri.

Mereka bertiga tertawa.

"Gusti, apa gue bakal m4ti sekarang? Lihat, gue diketawain bagong-bagong itu, sebercanda ini? Ternyata rasanya semenyakitkan ini! Harusnya gue jadi pahlawan kesiangan aja bukan kemaleman begini. Duh Gusti, cicilan motor gue belum lunas. Gue gak terima mati sekonyol ini, kalo boleh dan diberi kesempatan kedua, gue bakal balas tuh bagong-bagong. Gusti, wis ora kuat iki. M4ti tenan iki."

Misha memegangi perutnya, dia merasakan tubuhnya semakin lemah karena darah yang terus keluar dari perutnya. Seketika keringat membasahi tubuhnya. Dia mendadak menjadi kedinginan dan menggigil. Tak lama dia benar-benar menutup matanya.

"Haha, makanya jadi orang gak usah sok. M4mpus kau."

Mereka bertiga tertawa tanpa merasa kasihan sedikitpun.

"Ayo pergi, biarkan saja dia m4ti disini. Keburu ada patroli."

Mereka pun pergi meninggalkan Misha yang terkapar. Tiba-tiba hujan turun dengan begitu derasnya, mengguyur tubuh Misha yang tergeletak tak berdaya di pinggir jalan.

Tubuh baru

"Huaaaa." Misha tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Dia berteriak tidak jelas karena terbawa oleh suasana dalam mimpinya.

"Huah, ternyata cuma mimpi. Bagus bagus. Eh eh eh. Tapi, kok."

Dia menyadari kalau dirinya sedang berada di sebuah kamar dan dia merasa itu bukan kamar kontrakannya karena ruangan tersebut lebih luas. Dia menatap sekeliling ruangan, terlihat asing. Dia mengerjapkan matanya. Tak ada yang berubah, lalu dia mengucek mata. Tetap saja, yang dia lihat tak berubah.

Misha mencoba memahami situasinya. Dia masih terdiam, mencoba mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Seingatnya dia telah terkena luka tembak di perutnya tapi, disaat dirinya meraba-raba perutnya, dia tak merasakan sesuatu.

"Ini gue dimana? Kamar siapa ini?"

Lagi-lagi dia menatap sekeliling ruangan tersebut.

Tiba-tiba pintu terbuka. Dewi masuk bersama dengan Tika.

"Heh, Vienna. Setelah pingsan selama dua hari akhirnya sadar juga kamu! Teriakan kamu sampai ke ruang tamu tahu gak? Tapi, bagus kalau kamu sudah sadar, jadi kita gak akan kerepotan lagi. Cepetan bangun dan kerjakan tugasmu."

Misha menatap keduanya dengan bengong.

'Dia manggil gue siapa? Vienna?' Batin Misha.

"Wah, Ma. Sepertinya dia sedikit linglung. Wajar sih, mungkin nyawanya juga belum ngumpul, apalagi dia kan emang O0n." Imbuh Tika.

Misha mengerutkan kening.

"Heh, loe ngatain gue apa? Oon? Siapa loe berani ngatain gue Oon?" Tanya Misha sewot.

Dewi dan Tika terkejut, mereka berdua saling pandang.

"Ma, kenapa dia berubah begitu? Apa kepalanya kemarin terbentur dengan sangat keras ya?" Bisik Tika.

Dewi hanya menggelengkan kepalanya.

"Loe berdua, keluar sana. Ganggu aja." Ucap Misha yang merasa terganggu karena kehadiran dua wanita yang tidak dia kenal lalu dia pun mengusirnya.

"Tuh kan, Ma. Dia aneh." Bisik Tika merasa aneh dengan sikap Vienna.

Mereka menatap Vienna sinis.

"Tanpa kamu usir, kita juga akan keluar. Ya kan, Ma?"

Dewi mengangguk dan mereka berdua pun keluar dari kamar.

Misha beranjak dari tempat tidur dan menutup pintu kamar dengan kuat sehingga menimbulkan suara yang keras.

Jegler.

Dewi dan Tika yang belum jauh dari kamar Vienna terlonjak kaget.

"Astaga, sepertinya dia kesurupan, Ma."

"Kita laporin ke Rian. Biar tahu rasa dia."

Tika mengangguk.

Sementara Misha tiba-tiba merasa pandangannya berputar, kepalanya terasa begitu sakit, dia memegangi kepalanya yang hampir mau pecah. Disaat itu muncul sekelebat ingatan yang menurutnya begitu asing.

*Kamu wanita gak tahu diuntung. Asal kamu tahu saja. Aku gak pernah mencintai kamu. Untuk menyentuhmu pun aku juga jijik. Aku mau menikah denganmu karna hartamu. Kamu itu wanita bod0h. Kalau bisa m4ti saja kamu sekalian. Biar semua hartamu bisa menjadi milikku sepenuhnya. Merepotkan saja.*

Misha merasa lemas, hatinya begitu sakit melihat sekelebat memori yang barusan muncul. Dia memegangi dadanya dan mulai mengatur nafasnya.

Dia mendekati cermin. Dia mematung sesaat begitu melihat pantulan bayangannya di cermin.

Terlihat dengan jelas, wajah seorang wanita cantik dan manis sehingga tidak akan merasa bosan untuk dipandang, bibirnya merah muda natural.

"Wheladhalah, ini siapa? Kenapa muka gue berubah? In-ini juga bukan tubuh gue?"

Misha bolak balik membolak balikkan wajahnya didepan cermin. Menyentuh wajah yang begitu asing baginya.

"Sik sik. Jam berapa ini?" Misha menatap jam yang menempel di dinding kamar menunjukkan pukul 11.45 WIB.

"Wallah, masih siang. Jangan-jangan mimpi tadi itu?" Misha mencoba mengingat mimpinya.

Flashback On

"Gusti, ini gue dimana kok gelap banget?" Misha nampak kebingungan karena berada di tempat yang begitu gelap dan sunyi.

"Misha."

Terdengar seseorang memanggil namanya. Misha membalikkan badan dan melihat siapa yang telah memanggilnya.

Matanya menyipit menatap wanita cantik yang berada di depannya.

"Mbak, kenal sama gue?" Tanya Misha.

"Namamu Misha kan? Entah kenapa aku tiba-tiba memanggil nama itu."

"Embak iki sapa? Kita ini ada dimana?" Tanya Misha yang merasa tak mengenal siapa wanita yang ada dihadapannya serta bingung dengan keberadaannya.

"Namaku Vienna. Kita seumuran. Kita sedang di alam bawah sadar. Aku kesini hanya ingin menitip pesan. Kamu sekarang akan hidup menjadi diriku. Tolong jaga diriku. Balaskan dendamku. Aku sudah begitu lelah dengan semua ini. Dan tolong jaga hartaku dari orang-orang serakah itu. Setelah ini, bukalah lukisan yang berada disamping almari, kodenya tanggal lahir kita. Aku percayakan semuanya sama kamu."

"Hah, sik sik. Gue gak paham ini. Ini maksudnya gimana?" Misha tak mengerti dengan maksud Vienna.

"Perlahan kamu akan tahu. Waktuku tidak banyak. Yang terpenting, selamatkan lah hartaku terlebih dahulu."

Misha menunduk nampak berfikir.

"Har-ta?" Baru saja ingin bertanya, Vienna sudah menghilang.

"Woy, Mbak. Loe pergi kemana? Aduhh. Cepat sekali dia menghilang."

Tiba-tiba dari arah samping ada sinar putih yang membuat matanya silau.

Flashback Off

"Jadi, gue nyasar ketubuh Mbaknya tadi? Terus yang gue rasakan tadi itu secuil ingatannya, Mbaknya. Terus tubuh gue?" Lagi-lagi Misha berfikir.

Dia kembali menatap cermin. Dia berulang kali melihat wajah yang terlihat baru disana, memastikan kalau apa yang dia lihat tidak salah.

"Wuah, ini namanya musibah atau berkah ya? Gue fiks m4ti nih ini namanya musibah, huaaa astaga diri gue beneran udah tiada, cuma berkahnya utang gue jadi lunas. Berkah lagi gue nyasar ke tubuh Mbaknya yang ayu manis begini. Cuma kok agak kurang terawat gini ya? Mana tubuhnya krempeng begini, wis jan kaya orang kurang gizi. Aduh Mbaknya ini gimana sih? Rugi banget."

Misha nampak melihat meja rias Vienna. Tak ada satu pun peralatan kecantikan.

"Wah, Mbaknya payah banget ini. Masak bedak atau lipstik aja gak punya. Wis jan." Misha menepuk dahinya dan geleng-geleng kepala.

Dia melangkah menuju almari disamping meja rias, membuka satu persatu laci yang ada di almari.

Dia menemukan beberapa surat. Dia membukanya satu persatu dan menelitinya.

"Emb, bukan ini yang gue cari."

Lalu mata Misha menatap lukisan yang berada di samping almari. Ingatannya kembali pada mimpinya. Dia membuka lukisan tersebut dan mengingat kode dan hal itu begitu mudah baginya.

"Nah, ini nih yang gue cari, sertifikat tanah dan rumah. Kudu tak amankan. Wah kaya sekali Mbaknya ini."

Misha membuka lembaran kertas.

"Nah, ini kartu keluarga. Rian Aji ini berarti suaminya Mbaknya. Welleh, umur 34 tahun, tua banget. Terus nama Mbaknya Cantika Rumaisha Vienna. Astaga." Misha membekap mulutnya tak percaya. "Tanggal bulan tahun bener-bener sama persis sama gue. Kebukti sih dari membuka kode aja udah bener tadi, kebetulan sekali. Woalah Mbak, masih muda kok ya mau-maunya nikah muda, sama laki-laki tuaan pula. Gue aja masih ribet ngurusin utang." Misha sibuk sendiri mengomentari Vienna.

"Oke, mulai sekarang, gue akan menjadi mbaknya dan nama panggilan gue sepertinya gak usah diubah, lagian disini nama Mbaknya ada Rumaisha, bisa juga dipanggil Misha. Ah Misha lama, selamat tinggal. Gue pasti akan merindukan lo."

Misha akan beradaptasi dengan keadaan ini, hidup sebagai Misha yang baru.

Misha pun gegas merapikan semuanya, dia mengambil yang dia perlukan saja lalu menyimpannya ditempat yang sekiranya aman. Nanti dia akan pergi ke Bank untuk mengamankan harta milik Misha yang asli.

Merasa tubuhnya bau asem dan lengket, Misha berniat untuk mandi. Dia pun membuka almari untuk mencari pakaian untuk ganti.

"Lha lha lha, isinya kok daster semua. Gak ada yang lain apa ya, yang lebih modern gitu? Gusti, apa ya gue harus pake daster begini. Aduh. Ya wis lah yang penting gue gak tel4njang."

Akhirnya Misha pun mengambil salah satu daster dengan potongan pendek bercorak polkadot dan masuk ke dalam kamar mandi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!