NovelToon NovelToon

Sweet Marriage Revenge

Derita Sydney

Sebuah vas bunga melayang dan mengenai kepala Sydney hingga mengeluarkan sedikit noda merah dari sela rambutnya.

"Anak tidak berguna!"

Sydney memejamkan mata mendengar perkataan itu dari mulut ibu tirinya sendiri. Setiap apa yang ia lakukan selalu salah di mata beliau.

"Apa begini saja hidangan yang bisa kau sediakan? Dasar pemalas!"

"Ibu, Sydney pasti lelah karena terus bekerja seharian. Harusnya Ibu berbaik hati dan memakluminya."

Mulut manis yang keluar dari bibir Manda Forest adalah pisau tajam. Kata-kata itu akan lebih membuat Sydney menderita.

"Makanan apa ini? Hanya sayuran yang diberi air." Anna Forest menarik mangkuk berisi sup panas itu. "Kemari!"

Sydney berjalan mendekat ke arah sang ibu. Anna langsung meraih lengan putri tirinya, lalu mencelupkan tangan Sydney ke dalam sup panas itu.

Sydney berteriak kesakitan. Manda Forest tertawa dengan senangnya, dan Anna tersenyum penuh kelicikan.

"Hentikan!" Sydney menarik tangannya. Ia segera meraih sapu tangan, lalu membalut tangan yang memerah itu.

Anna mendorongnya hingga terjatuh. "Itu hukuman untuk dirimu. Siapa suruh kau membuat kami kesal."

"Nyonya!" seorang pelayan wanita tergesa-gesa menghadap.

"Ada apa?" Anna menatap tajam pelayan yang menganggu kesenangannya ini.

"Tuan besar datang."

"Apa?" Anna lekas bangkit berdiri. Ia meraih mangkuk sup tadi, lalu membuangnya ke lantai.

Suara langkah sepatu terdengar mengarah ke dapur. Manda pun bangun dari duduknya, lalu mendekati Sydney.

"Kau harusnya hati-hati, Sydney." Anna bersikap lembut.

"Kakak, tanganmu jadi terluka begini. Kita harus segera ke rumah sakit." Manda ikut menambahkan.

Dua orang wanita yang sangat pandai berakting. Ini sudah biasa bagi Sydney. Jika ayahnya pulang, maka keduanya akan bersikap baik.

"Ada apa ini?" Andi Forest mengerutkan kening melihat ketiga wanita yang ia sayangi. Matanya membulat melihat Sydney. "Sayang, kau kenapa?" Ia bergegas menghampiri sang putri. "Tanganmu!"

"Sayang, aku sudah bilang pada Sydney untuk duduk dan diam saja. Tapi Sydney, tidak mau mendengarkan," ucap Anna.

"Benar, Ayah. Sydney bersikeras mau menyiapkan makan malam. Mungkin dia ingin berlatih agar bisa menjadi istri yang baik." Manda pun ikut bicara agar Andi percaya dengan perkataan sang ibu.

"Pelayan!" Andi begitu marah. "Kenapa diam saja? Cepat bawa obat kemari."

Pelayan wanita itu tergagap. "Baik, Tuan."

"Sydney, kau tidak harus menuruti perkataan ibu dan kakakmu. Kenapa kau begitu keras kepala?" Andi baru saja melihat luka di kening putrinya. "Kau terluka?"

Manda dan Anna kaget. Keduanya lupa pada luka di kening Sydney. Itu semua karena vas bunga.

"Ayah, mereka yang ...." Sydney terdiam ketika melihat tunangannya datang.

"Tuan Forest!"

Semua menoleh ke arah pria berambut merah yang saat ini tengah dalam keadaan marah. Andi bangkit berdiri dengan membawa putrinya, begitu juga Anna dan Manda.

"William, kau tidak bilang akan datang."

Pemuda itu meletakan sebuah amplop ke meja. "Aku ingin pertunangan ini batal!"

"Apa yang kau katakan? Bukankah kau dan Sydney saling mencintai?"

"Lihat sendiri kelakukan putrimu. Dia sudah mengkhianatiku dengan tidur bersama pria lain."

"Tidak mungkin!"

Anna meraih amplop itu, lalu mengambil foto-foto di dalam kertas cokelat tersebut. Mulutnya ternganga dan matanya melotot.

"Kemarikan foto itu." Andi mengambil alih potret dari tangan istri keduanya. Ia pun sama hal dan tidak percaya dengan apa yang dilihat. "Apa ini?" Andi beralih memandang Sydney. "Kau!"

Tanpa diduga sama sekali, satu tamparan mendarat di pipi Sydney. Tidak cukup sampai disitu saja, Andy kembali melayangkan tamparan di pipi sebelahnya.

Sydney memegang pipinya. Ia merasakan rasa asin yang keluar dari bibir ketika tamparan itu mendarat di wajah. Lagi-lagi cairan merah ini keluar dari anggota tubuhnya.

"Begini kelakukanmu?" Andi melayangkan foto itu di hadapan Sydney.

Yang bisa dilakukan Sydney adalah menangis. Ia melihat foto dirinya bersama seorang pemuda tanpa busana. Itu bukan keinginannya, tetapi ia tidak sadar dengan kejadian tempo lalu.

Ini semua karena William dan Manda. Mereka yang sebenarnya berselingkuh. Ia hanya korban di sini. Mereka kejam dan Sydney tidak bisa berbuat apa-apa.

"Ayah harus percaya padaku. Ini semua tidak benar. Aku hanya dijebak oleh mereka," ucap Sydney dengan terisak.

"Kau masih bisa menyangkal, ini sudah bukti jelas kalau kau memang berselingkuh dariku!" William tidak mau kalau Sydney membela diri. Semua sudah terbukti lewat foto itu.

"Kau membuatku malu, Sydney!"

"Ayah, aku bersumpah demi mendiang ibuku. Ini semua adalah jebakan William dan Manda. Dia yang membuat kakak keluar dari rumah ini. Entah apa yang mereka lakukan di luar sana. Kakak pasti tersiksa."

"Sydney! Kau sudah salah, lalu kau malah membahas tentang David Forest di sini. Kakakmu sendiri yang ingin keluar," ucap Anna.

"Pergi dari sini, Sydney!"

Kalimat yang membuat Sydney mundur. Ia tidak menyangka kalau Andi bisa bertindak demikian. Sydney menggeleng, ia bahkan berlutut memohon maaf.

"Ayah, semua yang kukatakan adalah kebenarannya."

"Pergi dari sini!" Andi berteriak. "Kau sudah mengecewakan diriku."

Sydney menggeleng. "Tidak, Ayah!"

"Panggil penjaga dan usir dia dari sini!"

Anna memberi kode kepada Manda agar memanggil penjaga. Tidak lama penjaga rumah datang dan atas perintah dari Tuan besar kediaman Forest, Sydney dipaksa keluar rumah.

"Ayah!" teriak Sydney.

Pintu itu tertutup untuk selama-lamanya. Andi tidak ingin mendengar alasan apa pun lagi. Semua bukti sudah jelas kalau Sydney telah membuatnya kecewa.

"Keputusanmu sudah benar, Sayang," ucap Anna.

Andi tidak menggubrisnya. Ia melangkah gontai menuju anak tangga. Dengan kesedihannya, ia menaiki satu per satu anak tangga tanpa sadar ada minyak yang mengenang di salah satu undakan.

"Apa ini?" Andi tidak bisa menjaga keseimbangannya. Ia jatuh terguling, lalu pingsan.

Anna, Manda dan William tersenyum melihatnya. Ide ini baru saja mereka dapatkan dan dengan mudah dapat menyingkirkan Andi Forest.

"Sekarang kita adalah penguasa kekayaan Forest." William tertawa.

"Sayang, rencanamu berhasil." Manda langsung memeluk kekasihnya.

"Tentu saja. Ini demi dirimu. Sydney itu, dia lebih baik berada di luar sana."

"Tapi masih ada David Forest."

"Tenang saja, Nyonya. Aku sudah menyuruh orang untuk menjebaknya. Dia akan mati." William mengatakannya dengan enteng sekali seolah nyawa seseorang itu mainan untuknya.

Sydney berjalan keluar dari halaman kediaman Forest. Ia tidak tahu mau ke arah mana malam ini. Sang kakak juga tidak bisa dihubungi dari beberapa bulan lalu setelah beliau meninggalkan rumah.

Getaran ponsel dapat Sydney rasakan dari saku celana jeans. Syukurlah ia selalu membawa telepon karena Sydney berharap David meneleponnya.

"David!" Sydney segera mengangkat telepon itu. "Kak, kau di mana?"

"Sydney, tolong aku. Ada yang ingin membunuhku. Cepatlah kemari. Ada sesuatu yang ingin kuberikan. Anna, Manda, dan William dia bersekongkol untuk menghancurkan keluarga kita."

"Kau di mana?" Sydney bertanya dengan nada khawatir.

"Aku di jembatan layang menuju kereta bawah tanah. Jalan Suez 345."

Sambungan itu terputus begitu saja. Sydney mencoba memanggil-manggil David, tetapi teleponnya tidak tersambung.

"David!"

Mengulang Waktu

David terus berlari karena orang yang mengejarnya sudah sangat dekat. Ia tidak berhenti, meski kaki ini sangat lelah.

"Kumohon!" seru David. Ia yakin jika ada seseorang yang mengincarnya, dan ia tahu siapa dalang dari semua ini. Tidak lain adalah ibu tirinya. Ia keluar dari rumah karena ingin menyelidiki tentang Anna dan Manda. Buktinya lebih dari itu. Tunangan adiknya, William juga terlibat.

Tanpa sengaja, David mendengar pembicaraan mereka saat berada di kamar hotel. Saat itu ia menjadi pelayan yang mengantar minuman. David juga melihat sisa-sisa dari hubungan terlarang Manda dan William karena ia yang disuruh membersihkan kamar.

Ketika keduanya tertawa dengan menyebut nama Andi dan Sydney, saat itulah David tahu kalau keluarganya dalam bahaya. Mereka mengincar kekayaan keluarga Forest.

Sesekali David menoleh ke belakang guna melihat sejauh mana jarak orang yang ingin menghabisinya. Tanpa sadar bahwa ada mobil yang melaju kencang ke arahnya. Klakson mobil berbunyi nyaring. David menoleh ke depan, ia kehilangan kendali, lalu menabrak.

"Kau tidak bisa menyetir."

Tubuh sopir itu tiba-tiba bergetar mendengar suara dari kursi belakang. "Maaf, Tuan. Saya sudah menepi, tetapi orang ini malah sembarangan lari. Biar saya periksa."

Sopir itu bergegas keluar. Saat ia ingin menghampiri David, dua pria telah lebih dulu datang dan memukuli korban.

"Apa yang kalian lakukan?" teriak si sopir.

"Jangan ikut campur!" salah satu dari pemuda itu mengacungkan senjata tajam.

Dari dalam mobil, seorang pria menyunggingkan sedikit bibirnya. Ia keluar dari mobil, dan dengan tatapan tajam berjalan ke arah pemuda yang tidak henti memukuli David.

"Kalian merusak pemandanganku." Pria itu mengacungkan senjata api, lalu melesatkan dua tembakan ke arah dua pria itu.

Seketika dua orang pemukul itu tergeletak tidak bernyawa. Si sopir menggigil melihat kejadian nahas di depan matanya.

"Kita lanjutkan perjalanan." Pria gagah itu memasukan senjata apinya ke saku jas dalam. Kemudian berjalan masuk ke mobil yang diikuti oleh sopir.

Bertepatan dengan tembakan itu, Sydney pun tiba di lokasi dan ia melihat saat tembakan meluncur ke arah dua pria.

Saat mobil itu pergi, Sydney bergegas menuju mereka yang tergeletak tidak bernyawa, dan ia menemukan sang kakak, David Forest yang terluka parah.

"David!" Sydney mengguncang tubuh kakaknya. Bangunlah!"

Sayangnya David tidak dapat bangun. Sydney menangis, ia mencoba memeriksa nadi sang kakak. Tapi, tidak ada tanda denyut di sana.

"Jangan tinggalkan aku, David!" Sydney kembali mengguncang tubuh David. Tapi hasilnya nihil. "David!" ia terisak. Sydney dihadapkan dengan tiga orang manusia yang tidak bernyawa, dan ia tidak tahu harus bagaimana sekarang.

Dua buah mobil hitam tiba-tiba berhenti di depan Sydney. Penumpang di dalamnya keluar dan membuat wanita itu kaget.

"Siapa kalian?" Sydney memeluk David sebagai pelindungnya.

"Kata Tuan hanya ada tiga orang. Siapa wanita ini?"

"Bereskan saja. Dia adalah saksi."

Sydney menggeleng. "Tidak! Aku tidak melihat apa pun. Dia kakakku dan ada orang yang menembaknya."

"Benar, dia saksi." Salah satu dari enam pria mengacungkan senjatanya. Lalu melesatkan satu tembakan yang mengenai jantung Sydney.

Tidak! Sydney tidak bisa menerima ia mati begitu saja. Ia belum membalas mereka yang menyakitinya. Ia belum bisa membuat hidupnya lebih baik. Ia ingin menentang langit. Menghalangi malaikat maut mencabut nyawanya, dan ingin mengulang waktu demi menyelamatkan keluarga Forest.

Mata itu terbuka, Sydney menarik napas panjang. Ia terengah-engah. Tunggu! Ada sesuatu yang menindihnya, menghunjamnya dengan keras. Ia menoleh, dan tanpa disangka seseorang meraih dagunya, lalu mendaratkan kecupan di bibir.

Sydney tidak tinggal diam. Ia meronta agar terlepas dari situasi ini. Apa ini? Bukannya ia sudah mati tertembak? Lalu, mengapa ia tiba-tiba ada di sebuah kamar dan pria ini, kenapa bisa berada di atasnya?

"Hentikan!" teriak Sydney.

"Apa kau bilang?" pria itu menarik diri, lalu membalik tubuh Sydney. "Kau yang lebih dulu datang padaku."

"Kau siapa? Aku tidak mengenalmu." Sydney melotot saat lehernya dicekik. Ia berusaha untuk melepaskan diri dengan memukul-mukul lengan kekar pria itu. Namun, yang terjadi adalah pria itu kembali menghunjam dirinya.

"Bukankah kau menjual dirimu? Aku sudah membayar mahal untuk seorang gadis perawan."

"Tidak! Aku bukan ...." Sydney menggigit bibit saat hentakan demi hentakan yang ia rasakan begitu keras. "Tolong, lepaskan aku."

Pria yang berada di atasnya sama sekali tidak menggubris. Pemuda itu terus saja menghunjam Sydney sampai ia menemukan kepuasan.

"Sial!" laki-laki itu bergeser ke sisi tempat tidur sebelahnya. "Aku benar-benar puas denganmu."

Sydney memalingkan wajahnya ke arah lain. Dari hentakan dan cekikkan pria ini, kejadian ini sama sekali bukan mimpi.

"Tanggal berapa ini?"

Pria itu mengerutkan kening. "Satu April tahun dua ribu dua puluh tiga."

Jantung Sydney berdetak kencang. Jika demikian, ia mengulang waktu ke tiga puluh hari sebelumnya. Ia masih bisa menyelamatkan David, dan malam ini juga Sydney ingat kalau harusnya ia bersama William. Karena tunangannya itu yang mengundangnya ke hotel.

Sydney beringsut bangun dari tempat tidur. Ia meringis merasakan perih pada tubuhnya. Lampu kamar ini temaram dan untuk melihat kondisinya, Sydney menghidupkan lampu utama yang membuat sang pria protes.

"Apa yang kau lakukan padaku?" Sydney dapat melihat sekujur tubuhnya memar. Ia menatap pria yang saat ini hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Sydney juga dapat menemukan ikat pinggang di tempat tidur dan pakaiannya yang sobek.

"Aneh sekali. Kau tadi mabuk, lalu sekarang malah seperti tidak meneguk minuman beralkohol."

Ingatan Sydney teralih pada kejadian dulu. Saat itu, ia memang baru sadar di pagi hari. Ia tidak tahu siapa yang menyentuh tubuhnya. Tapi, Wiliam dan Manda menemukannya di kasur tanpa busana. Ini berbeda dari yang dulu, meski ia sudah mengulang waktu.

"Dengar, aku bukan wanita panggilan. Kau salah orang." Sydney lantas meraih kemeja yang tergeletak di lantai, lalu segera memakainya.

"Itu pakaianku."

"Apa kau tidak punya belas kasihan? Pakaianku sudah robek."

"Dasar wanita penghibur." Pria itu mengambil dompet, mengeluarkan sejumlah uang tunai, lalu melemparnya ke hadapan Sydney. "Itu tips untukmu."

Sydney mencari keberadaan tas miliknya. Seingatnya, ia dulu membawa tas, dan di kehidupan kedua ini, ia pasti membawa barang-barangnya. Benar saja. Ransel itu ada di sofa.

"Aku tidak butuh uangmu." Sydney berjalan ke arah sofa, mengambil barang miliknya.

Tanpa sepatah kata lagi, Sydney keluar dari kamar hotel dengan meninggalkan kebingungan di wajah pria tersebut.

"Kenapa malah aku yang seperti dicampakkan?" gumam Ransom.

Dering ponsel berbunyi. Ransom berdecak, kemudian mengangkat panggilan dari sahabatnya.

"Katakan!"

"Kau di mana? Gadis itu sudah menunggumu dari tadi."

"Siapa? Aku sudah bersama gadis perawan itu."

"Apa yang kau katakan, Ransom? Gadisnya sedang mengadu padaku saat ini."

Kilas Balik

Setahu Ransom ia sudah berada di kamar yang benar. Saat ia tiba, wanita yang ia beli telah terbaring di tempat tidur dalam keadaan setengah sadar. Ini bukan salahnya, dan mungkin sahabatnya itu yang keliru.

Ketukan pintu terdengar. Ransom bergegas turun dari tempat tidur, berjalan ke depan dan segera menarik gagang kunci. Yang ditunggu-tunggu sudah berada di hadapannya, dan itu bersama seorang wanita.

Leo langsung saja masuk membawa gadis itu bersamanya. Ia menatap Ransom dengan kesal. "Kau salah ambil kartu kunci. Ini kamarku."

"Lalu, wanita itu siapa? Kenapa ada di tempat tidur? Kau menyewa wanita juga?"

"Kita juga salah wanita. Harusnya kau bersama dia, dan aku bersama wanita itu. Sekarang mana gadis untukku?"

Ransom menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. "Dia sudah pergi. Siapa pun wanitanya, toh sama saja. Mereka perawan."

"Wanita itu bukan perawan. Aku sembarangan saja memesannya lewat Miss Celli."

"Gadis itu baru pertama kali berhubungan dengan pria. Kau tahu sendiri kalau aku hanya mau berhubungan dengan wanita yang bersih." Ransom juga melihat, bahkan jejak dari pembuktian itu menempel di atas seprai putih.

"Sudahlah. Jadi, bagaimana?" tanya Leo.

"Ya, kau tinggal pakai saja wanita bersamamu itu berikut dengan kamarnya. Karena malam ini terjadi kekacauan, biar aku saja yang bayar."

Mendengar itu, Leo tersenyum senang. "Baiklah. Tidak masalah kalau kali ini kita bertukar pasangan. Asal jangan sampai, bertukar istri." Leo tertawa mengatakannya.

"Pikiranmu malah sangat jauh. Sekarang keluar dari kamarku."

"Baik, selamat beristirahat kalau begitu." Leo langsung keluar dari kamar dengan membawa serta gadisnya.

Ransom menutup pintu. Ia menyugar rambutnya ke belakang sembari mengembuskan napas panjang. Ia tidak salah. Wanita itu rupanya seorang penghibur yang berlagak tidak bersalah.

"Wanita sama saja rupanya," gumam Ransom.

Di lain sisi, Sydney ingat kejadian di mana ia dijebak. Malam ini, pasti Manda dan William tengah bersenang-senang. Kenapa ia harus mengulang waktu di hari ini? Di saat ia bersama seorang pria tidak dikenal. Takdir memang aneh. Tapi, Sydney bersyukur ia dapat kesempatan untuk balas dendam.

Kejadian di mana ia bersikap bodoh, tidak akan terulang lagi. Mumpung masih berada di hotel ini, Sydney ingin memberi mereka pelajaran yang berharga.

Pertama dimulai dengan memberi kabar kalau Manda dan William tengah berada di kamar yang sama lewat media sosial. Sydney sengaja berjalan menuju lantai tempat keduanya menginap, lalu memotret kamarnya. Jika ia tidak salah atau urutan waktu ini benar, mungkin kakak serta tunangannya itu akan keluar setelah selesai bermain. Tapi, bisa jadi keduanya tetap berada di kamar sampai pagi menjelang. Sydney tidak tahu kejadian berikutnya. Ia hanya bisa bertaruh untuk masalah ini.

Sydney mengulurkan tangan ke atas, lalu mengetuk pintu. Dalam keadaan begini, ia tetap menyalakan kamera ponselnya. Sydney mengetuk pintu dengan keras, lalu ia lari bersembunyi di sudut kamar lain.

Pintu itu terbuka. William muncul dari dalam dengan keadaan setengah polos. Handuk itu hanya menutupi bagian bawah saja.

"Siapa, Will?" Manda ikut keluar untuk melihat keadaan sekitar.

"Entahlah. Pasti ada pelayan atau orang iseng. Kita kembali masuk saja."

"Oh, ya, bagaimana kabar tunanganmu itu? Apa dia juga bersenang-senang dengan pria asing?" Manda tertawa mengatakan itu. Ia rela membayar mucikari agar bisa membuat Sydney menghabiskan malam bersama pria asing.

Sebenarnya William tidak menyukai ide Manda. Harusnya ia yang meniduri Sydney karena gadis itu masih suci. Tapi karena Manda, dan demi tujuannya, ia terpaksa menyetujui itu.

"Aku tidak peduli dengannya. Lebih baik kita lanjut bermain saja." William meraih dagu Manda, lalu mengecupnya.

Moment itu yang paling Sydney tunggu. Tidak disangka kalau Manda dan William malah bermesraan di depan pintu kamar hotel. Bukannya ini akan menguntungkan dirinya? Sydney dapat merekam mereka sepuasnya, lalu menyebarkan hubungan terlarang mereka ke hadapan publik.

"Lihat saja, Kakakku tersayang. Semua penderitaanku, akan aku balas satu per satu." Sydney bergegas pergi dari sana sebelum ketahuan. Banyak sekali masalah yang harus diselesaikan termasuk mencari keberadaan David. Bagaimanapun, Sydney harus mencegah kematian sang kakak.

Dengan menumpang taksi, Sydney tiba di kediaman keluarga Forest. Ia teringat jika hari ini ayahnya tidak ada karena sedang melakukan perjalanan bisnis.

"Nona Sydney. Anda pulang malam dan berpakaian seperti ini. Sedang melakukan apa di luar sana?"

Sungguh sangat gila. Sydney menyadari betapa bodohnya ia dulu. Bahkan pelayan saja tidak hormat kepadanya. Hanya ada satu pelayan tetap di rumah ini, sedangkan yang lain diganti oleh Anna. Mereka semua adalah pendukung wanita itu.

Satu tamparan mendarat di pipi penjaga gerbang. Sydney menatapnya tajam dan sangat marah atas ucapan dan tatapan melecehkan itu.

"Sudah berapa lama kau bekerja di sini, hah? Apa kau lupa siapa Nona utama dari keluarga Forest?"

"Maaf, Nona."

"Sekali lagi kau bertindak tidak sopan, kau akan tahu akibatnya." Setelah mengatakan hal itu, Sydney berlalu.

Sepi ketika Sydney sudah berada dalam rumah. Anna pasti sudah tidur dan pelayan juga. Lagi pula sudah larut malam, wajar saja kalau mereka semua terlelap.

"Kau sudah kembali?"

Sydney menoleh. Ah, kepala pelayan rumah Forest. Dia ini sama saja dengan Anna dan Manda. Bersikap baik hanya bila ada Andy di rumah.

"Mulutmu itu tidak bisa bicara dengan benar rupanya."

Wanita itu kaget atas jawaban Sydney. Aneh! Biasanya tidak begini. Sydney akan takut bila ia menampilkan wajah masam.

"Bereskan pekerjaanmu. Nyonya Anna ingin memakai gaun untuk pesta lusa. Kau harus menyetrika pakaian itu. Setelahnya, kau harus membereskan gudang. Jika semua belum beres, jangan harap kau bisa tidur."

Sydney bertepuk tangan, lalu tertawa. "Kau ini bicara dengan siapa? Apa aku pantas mengerjakan semua pekerjaan itu? Siapa yang membayar gajimu? Ayahku, bukan? Lalu kau ingin aku mengerjakan pekerjaan rumah tangga, apa kau gila?" Sydney menarik rambut dari wanita itu. "Katakan, apa aku pantas?"

"Tolong lepaskan saya, Nona."

Sydney melepas cengkeramannya. "Besok pagi, kumpulkan semua pelayan. Aku ingin memberi pengarahan. Ingat! Semuanya harus berkumpul tepat waktu."

Wanita paruh baya itu lekas mengangguk. "Baik, Nona."

"Bagus!" Sydney lekas naik ke lantai atas menuju kamar tidurnya.

Kepala pelayan merasakan perubahan pada sikap Sydney. Anak tiri majikannya itu adalah gadis yang penurut dan penakut. Sydney tidak akan melawan saat ia ditindas oleh Anna maupun Manda. Bahkan sang kakak yang tidak tahan dengan keluarga ini, memutuskan untuk keluar dari rumah. Jika bukan karena konspirasi keduanya, David mungkin masih berada di rumah ini.

"Apa Nona Sydney kesurupan? Dia tampak sangat berbeda."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!