PROLOG
Bayangan gelap itu terus mengikuti, bahkan dalam tidurku.
Langkahnya senyap, suaranya tak terdengar, namun keberadaannya begitu nyata.
"Pangeran..." katanya, memanggilku dengan nada dingin yang menusuk jiwaku.
Aku hanya seorang anak panti asuhan, bukan siapa-siapa. Tapi mengapa suara itu selalu membawaku kembali ke sosok yang tak kukenal? Seorang pria berdiri dalam bayangan, wajahnya tampak akrab, namun sorot matanya seperti menantangku untuk mengingat sesuatu yang telah lama hilang.
"Kau tahu siapa yang mengkhianatimu..."
Mimpi-mimpi aneh mulai menghantuiku. Tentang seorang pangeran yang berdiri sendirian di medan perang, dikelilingi oleh orang-orang yang pernah dia percayai. Salah satu dari mereka berdiri paling dekat, dengan mata tajam yang menusuk punggungnya, seolah berkata, "Kau tidak akan pernah menang."
Siapa dia? Mengapa aku merasa bahwa pengkhianatan itu ada hubungannya denganku?
Dan sekarang, aku di sini, memegang kunci menuju rahasia yang tidak seharusnya kuungkap. Aku, Rohan, bersama kedua sahabatku, Ratih dan Riki, terjebak di antara waktu yang terhenti dan takdir yang menunggu untuk diluruskan.
Namun, satu hal yang pasti, ketika kita memutuskan untuk menggali masa lalu, kita tidak hanya menemukan kebenaran.
Kita juga membangunkan pengkhianatan yang tak pernah dimaafkan.
***
Sejarah kuno perlahan tenggelam bersama berjalannya waktu. Bekas reruntuhan kerajaan hanya menyisakan puing-puing misteri yang memancing perdebatan di antara para peneliti dan masyarakat. Namun, ada sesuatu yang tidak banyak diketahui misteri itu sebenarnya disimpan rapi oleh penduduk sekitar. Kisahnya diceritakan turun-temurun, disamarkan sebagai dongeng pengantar tidur untuk anak-anak.
Cerita itu bermula dari sebuah kerajaan kuno yang megah. Di sana, seorang raja yang bijaksana dan dicintai rakyatnya memerintah dengan adil. Namun, kebahagiaan itu direnggut oleh peperangan besar antar kerajaan. Kesengsaraan dan jerit tangis rakyatnya memaksa sang pangeran, pewaris kerajaan, untuk turun ke medan perang. Pangeran bertarung dengan gagah berani, hingga akhirnya peperangan usai. Namun, setelah kemenangan diraih, sang pangeran menghilang tanpa jejak dan tak pernah ditemukan kembali.
Waktu berlalu, dan kisah tentang pangeran yang hilang itu perlahan memudar. Namun, suatu ketika, sebuah ramalan muncul, dibawa oleh seekor burung gagak yang misterius:
"Disaat semua cahaya hilang di abad penuh kejayaan, sang pangeran akan kembali dengan perang yang telah disiapkan oleh takdir."
Ramalan itu menyebar di antara penduduk, menjadi simbol harapan sekaligus ketakutan. Namun, seiring waktu, keyakinan terhadap ramalan mulai pudar. Banyak yang menganggapnya hanya mitos belaka. Akhirnya, ramalan tersebut hanya menjadi dongeng pengantar tidur di daerah tersebut.
****
Abad 21
Kota Jakarta, adalah kota tersibuk ketika mentari mulai menampakan diri hingga menjelang malam. Bunyi klakson berbagai macam kendaraan terdengar. Suara rel kereta yang melintas dan orang-orang yang berjualan dipinggir jalan yang menwarkan dagangannya.
Di salah satu sudut kota terdapat salah satu gedung penunjang pendidikan yaitu SMA Karya 01. Disana terdapat seorang siswa dengan keunikan warna matanya yang berwarna kuning keemasan. Siswa itu bernama Rohan.
***
Sore hari, latihan kepramukaan hari itu berjalan lancar walaupun terlihat sepi lantaran banyak siswa yang membolos. Tentunya yang hadir pada saat itu terkena hukuman karena tidak saling mengingatkan atau mengajak temannya hadir. Kebetulan hari itu memang dipimpin langsung oleh tentara sehingga hari itu penuh dengan keluh kesah.
"Menyebalkan latihan ini," keluh seorang siswa paling belakang. Hal itu wajar saja, bahkan teman-teman disekelilingnya merespon ucapan itu hingga seorang tentara datang memarahi dan menghukum satu barisan dengan push up. Rohan yang berdiri paling depan hanya terdiam lalu mengikuti instruksi.
Rohan berdiri setelah selesai push up. Jack yang ada di barisan sebelah menahan tawa melihat sahabatnya dihukum walaupun bukan kesalahannya.
"Sehat?" tanya Jack dengan menahan suara tawanya yang hampi meledak. Rohan hanya melirik tipis ke arah temannya itu.
Kegiatan akhirnya selesai. Semua siswa menuju ke parkiran mengambil kendaraan masing-masing. Ketika semua sibuk mengantri didepan gerbang sekolah, Rohan hanya berjalan melewati mereka dan berhasil lolos. Jarak antara panti ke sekolah cukup dekat sehingga dia memutuskan berjalan kaki saja.
Suasana sore itu sangat damai. Langit sore dengan warna jingga kemerahan serta terlihat burung-burung terbang ke arah utara. Rohan berjalan di pinggir jalan. Sore itu jalanan sepi tidak seperti biasanya. Tatapan Rohan tertuju pada sebuah bintang yang muncul di awal malam. Cahaya bintang itu sangat terang seperti memanggilnya.
"Rohan..." Suara dari arah belakang. Rohan seketika membalikkan tubuhnya mencari sumber suara itu. Namun, tidak ada siapapun.
"Mungkin aku salah dengar," ucapnya yakin. Ketika Rohan berbalik lagi, ada seseorang yang memakai masker, rambut putih kebiruan dan jaket biru berdiri tepat dihadapannya. Sorot matanya begitu tajam namun tidak mengancam.
Rohan yang sempat takut, memberanikan diri bertanya, "Ada yang bisa saya bantu?"
Orang itu tidak menjawab dan langsung berbalik lalu pergi. Rohan menatap orang itu hingga tubuhnya menghilang di belokan gang. "Sepertinya aku sering melihat orang itu. Tapi, dimana?"
***
Pukul 22.00, Rohan mengakhiri belajar malam dan menyuruh adik-adiknya itu untuk tidur. Ibu Darmi, pemilik panti sekaligus ibu angkat Rohan, merasa senang melihat putranya itu membantunya mengurusi kegiatan belajar anak-anak panti.
"Terima kasih ya, Rohan mau membantu anak-anak itu belajar," ucap Ibu Darmi membelai kepala Rohan dengan lembut.
Rohan tersenyum, "Bagaimanapun juga, orang-orang yang tinggal disini adalah keluargaku. Mungkin saat ini aku hanya bisa membantu ini saja."
"Jangan seolah-olah berbalas budi gitu dong. Ibu ini adalah ibu kamu sekarang. Dan Rohan adalah anak ibu. Kita semua keluarga," ujar Ibu Darmi dengan memeluk Rohan seperti anak kandungnya sendiri.
"Tetap fokus dengan sekolahmu, Nak. Pendidikan itu penting untuk mengasah kemampuan berpikir. Ayahmu dulu lulusan S1 pertanian, dan ilmunya cukup membantu memajukan kampung halaman. Ya, meskipun pekerjaan utamanya sekarang jadi guru SMP,” kata Ibu sambil tersenyum lembut, tangannya merapikan buku-buku meja belajar.
“Iya, Bu. Rohan akan rajin belajar. Jangankan S1, Rohan ingin mengejar beasiswa sampai S3 nantinya. Kalau bisa, di Belanda!” jawab Rohan penuh semangat, matanya berbinar membayangkan masa depan.
Ibu tersenyum, menepuk bahu Rohan dengan penuh kasih. “Ibu selalu doakan yang terbaik untukmu. Apa pun keinginan dan cita-citamu, Ayah dan Ibu akan selalu mendukung. Jangan pernah ragu, ya.”
Percakapan itu diakhiri dengan tawa hangat yang memenuhi ruangan kecil mereka. Malam itu, Rohan merasa dikelilingi cinta dan harapan yang tulus.
***
Keesokan harinya, Rohan pergi ke sekolah seperti biasa. Kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Ada suatu firasat buruk tiba-tiba datang menghampirinya ketika bangun dari mimpi yang aneh. Di mimpinya, dia menerima sebuah benda misterius dari seorang yang berpakaian seperti pangeran. Namun, dia tidak ingat terlalu jelas.
Sesampainya didepan gerbang sekolah, Rohan merasa ada yang mengikutinya. Dia menoleh kebelakang, tapi sosok itu hilang entah kemana. Tanpa pikir panjang, dia langsung masuk ke dalam sekolah menuju kelas.
"Siapa tadi? Apa hanya firasatku saja?"
Rohan segera menuju lokernya. Ketika membuka pintunya, ada sebuah surat dan kotak kecil, "HBD, bro. Dari kawan kecil... Jack." Rohan memegang hadiah itu lalu mencari sosok yang memberikannya di loker seberang. Dengan kode tangan, Jack membalas "Oke."
Hari menjelang siang, siswa-siswi semakin banyak yang memasuki ruangan. Bunyi bel terdengar dan seorang guru mulai berdatangan memasuki kelas yang dituju.
Semua siswa memberi salam. Melihat guru membawa sebuah kertas, sepertinya ada sebuah pengumuman yang akan diberitahukan.
"Anak-anak, karena akan ada rapat besar mengenai pendidikan nasional, sekolah kita akan menjadi tuan rumah. Oleh karena itu, kalian akan diliburkan selama tiga hari. Gunakan waktu ini dengan baik untuk mempersiapkan perkemahan mendatang," ujar guru dengan nada santai.
Pemberitahuan itu langsung disambut dengan sorak-sorai kegirangan. Beberapa siswa bahkan melompat dari kursi mereka dengan semangat. Guru hanya tersenyum kecil, melihat tingkah laku anak-anak yang begitu antusias.
Namun, di tengah riuhnya suasana kelas, Rohan tetap duduk diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri, merenungkan kejadian aneh yang dialaminya tadi pagi.
***
Sepulang sekolah, Rohan berjalan sendiri dengan melamun. Saat melewati bangku taman pinggi jalan, Rohan baru mengingat jika orang yang berdiri dihadapannya kemarin sering duduk di bangku itu setiap sore menunggu bus.
Rohan menepuk dahinya lalu mengusap kasar wajahnya. "Aduh, mungkin kemarin orang itu ingin bertanya soal bus. Seharusnya aku mengatakan jika rute bus berubah dari hari rabu kemarin," ujarnya menyalahkan diri sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara motor mendekat. Terlihat motor dengan model CB berhenti tepat di samping Rohan. "Oi, ke pasar malam sekarang, yok!" ajak Jack sambil membuka helm.
Pasar malam yang identik dengan lampu kerlap-kerlip yang menghiasi setiap ujungnya. Terdengar musik yang saling bersautan, suara tawa anak-anak kecil yang bermain serta aroma makanan lezat terutama aroma manis dari gula kapas.
Jack menunjuk salah satu tenda besar di tengah. "Kita kesana! Aku dengar ada teater yang bagus." Jack berjalan menuju tenda itu diikuti Rohan dibelakangnya.
"Aku baru tau kalau kau suka teater," ucap Rohan dengan menatap poster disamping loket pembelian. Jack menatapnya setelah menerima tiket dari kasir. "Kau pasti juga suka. Aku dengar teater ini berasal dari legenda sebuah desa dekat Bukit Sena yang akan dijadikan tempat perkemahan pramuka nantinya."
"Jadi, tempatnya sudah ditentukan." Rohan dan Jack berjalan masuk ke dalam tenda menuju salah kursi dengan nomor yang sudah ditentukan.
"Iyalah, kau tau jika Bukit Sena adalah tempat yang menarik."
"Apa yang menarik?" tanya Rohan penasaran.
"Banyak hal mistis diluar logika," jawab Jack dengan menatap penuh misteri.
Mereka berdua duduk, menatap ke arah panggung. Terlihat cukup ramai orang yang memenuhi kursi. Jack menyodorkan makanan dan minuman ke Rohan. "Makan! teater ini cukup lama. Jangan sampai kelaparan," ujar Jack yang kembali fokus ke arah panggung.
"Aku juga bawa makanan dari luar tadi, Jack."
"Udah...udah teaternya mulai tuh!"
Suara musik menggema keras. Kabut putih muncul diatas panggung lalu muncul seorang wanita dengan pakaian serba putih dan rambut panjang berhias bulan sabit berwarna biru.
"Malam ini adalah malam dimana bulan menjadi saksi bisu hancurnya sebuah peradaban kuno di atas Bukit Sena...." suara narator itu begitu nyaring dan dalam membuat kalimat pertama yang terucap terasa mendebarkan penuh misteri.
Muncul seorang pria dengan pakaian pangeran berwarna hitam dengan jubah berwarna merah.
"Pangeran Arashi, putra mahkota Kerajaan Roulis. Nama julukan yang tak pernah ia inginkan dari orang-orang yang takut padanya. Sihir anugerah yang dia terima, menjadi sebuah kutukan untuk kerajaan. Sikap dinginnya penuh rahasia..."
Lalu, muncul pria dan wanita dengan warna rambut perak dengan pakaian khas bangsawan.
"Sang saudara kembar, terlahir dengan kemurnian sihir dibawah bayang-bayang sihir sang kakak. Pangeran Chandra dan Putri Citrea..."
Pemeran Chandra maju ke depan dengan membawa tongkat. "Aku, Chandra, akan melindungi semua yang aku cintai." Semua lampu panggung memusat ke arah pemeran Chandra membuat seluruh penonton terpukau, termasuk Rohan.
\~\~\~
Setelah tirai ditutup, para penonton mulai beranjak keluar. Wajah-wajah mereka tampak sendu, sebagian bahkan menyeka air mata. Cerita yang baru saja mereka saksikan memiliki akhir yang menghantam perasaan kisah pengorbanan, pengkhianatan, dan kehilangan.
Di antara kerumunan, Rohan dan Jack berjalan beriringan menuju pintu keluar. Jack berjalan sedikit tertunduk, sibuk mengusap matanya dengan tisu.
“Jack, kau menangis?” Rohan menyenggol lengannya, dengan senyum penuh godaan.
“Enggak,” jawab Jack cepat. “Tadi cuma kelilipan bumbu cabai.”
Rohan tak bisa menahan tawa. “Kelilipan bumbu cabai? Itu alasan terbaik yang bisa kau buat?”
Jack mendengus, “Sudahlah, aku lapar sekarang. Jangan bahas itu lagi.”
Rohan terkekeh dan melangkah lebih dulu. “Ayo, kita makan bakso di sana. Kau pasti butuh energi untuk memulihkan harga dirimu.”
Mereka tiba di warung bakso pinggir jalan yang masih ramai pengunjung meskipun malam sudah mulai larut. Meja kayu sederhana dan aroma kuah kaldu mengisi udara. Rohan memesan dua mangkuk, lalu duduk bersama Jack di salah satu meja.
Jack masih sibuk mengusap matanya, meskipun sekarang wajahnya sedikit lebih rileks.
“Cerita tadi,” ucap Rohan tiba-tiba, “berakhir di luar perkiraan, ya. Aku tidak menyangka semua tokohnya mati melawan musuh dalam selimut.”
Jack mengangguk pelan. “Iya, apalagi Citrea. Padahal Chandra sudah memberi peringatan agar dia menjaga Alisa di istana. Tapi dia tetap pergi. Sungguh, pengorbanannya sia-sia.”
Rohan mengaduk kuah baksonya sambil merenung. “Chandra benar-benar kakak yang baik. Dia melindungi semuanya sendirian sampai akhir. Pasti berat baginya.”
Jack tak menanggapi. Dia sibuk menyendok bakso panas ke mulutnya dengan lahap, seperti ingin melupakan akhir tragis cerita tadi.
“Kau nanti tersedak kalau makannya kayak orang dikejar-kejar,” tegur Rohan sambil terkekeh.
Jack hanya mengangkat bahu, menandaskan setengah isi mangkuknya dalam sekejap. Sambil memakan baksonya, dia mendadak teringat sesuatu.
“Oh ya, Rohan,” katanya setelah meneguk minumannya. “Minggu depan aku ada acara keluarga ke luar kota. Sekitar dua minggu.”
Rohan menatapnya sekilas. “Baiklah. Kalau begitu, aku akan membuatkan catatan pelajaran untukmu nanti.”
Jack tersenyum kecil. “Terima kasih, kau memang teman terbaik.” Dia terdiam sejenak, seperti memikirkan sesuatu yang penting. “Dan satu lagi, aku menitip pesan untukmu.”
Rohan mengangkat alis. “Pesan apa?”
Jack menatapnya dengan serius. “Percayalah pada dirimu sendiri. Dan jika kau tersesat, lihat bintang utara.”
Rohan tertegun. Pesan itu terasa aneh dan mendalam, seolah-olah memiliki arti yang lebih besar.
“Jack, pesan itu untuk apa?” tanyanya sambil menyipitkan mata, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik ucapan temannya.
Jack tertawa ringan, mencoba mencairkan suasana. “Untukmu, tentu saja. Kita akan kemah nanti, kan? Kalau tersesat, kau tahu harus bagaimana.”
Rohan tersenyum kecil, tapi dalam hati dia masih memikirkan pesan itu. Ada sesuatu dalam nada bicara Jack yang membuatnya terasa lebih dari sekadar lelucon. Mungkin, hanya mungkin, Jack tahu lebih banyak daripada yang dia tunjukkan.
Mereka melanjutkan makan malam dengan canda tawa, meskipun satu pesan itu tetap menggema di benak Rohan. “Jika kau tersesat, lihat bintang utara.”
***
Malam harinya, Rohan duduk di dekat jendela kamarnya, mengambil selembar kertas dan pena dari meja kecil di sampingnya. Dia mulai menuliskan pengalaman menonton teater pertama kalinya. Setiap detail kecil dia catat, dari gelak tawa hingga bagian menegangkan. Namun, perhatian Rohan kemudian tertuju pada sebuah kertas lama yang terlipat rapi di antara buku-bukunya.
Kertas itu adalah kenangan dari masa kecilnya, saat pertama kali dia bertemu Jack di taman. Saat itu, Rohan berusia sekitar tujuh tahun, duduk sendiri di ayunan, melamun tentang seseorang yang telah lama menghilang dari hidupnya, orang yang bahkan dia tahu tidak akan pernah bisa dia temui lagi.
Tiba-tiba, seorang anak lain menghampirinya, mengajaknya bermain. Penampilannya menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga kaya. Merasa dirinya tidak pantas bermain dengan anak itu, Rohan menjauh, tetapi anak tersebut terus mendekatinya dan memperkenalkan dirinya. Bahkan, dia mengenalkan kedua orang tuanya yang ternyata ramah dan penuh perhatian.
Sejak hari itu, anak itu yang tak lain adalah Jack, selalu menemani dan bermain bersamanya. Keluarga Jack sering membantu panti asuhan tempat Rohan tinggal, memberikan dukungan baik secara moral maupun finansial.
Rohan menyadari bahwa memiliki sahabat seperti Jack adalah anugerah yang langka. Jack tidak pernah memandang status, nama keluarga, atau harta. Dia selalu ada untuk menghibur dan menemani, meskipun terkadang mereka bertengkar kecil, yang tak lebih dari sekadar bumbu persahabatan. Bagi Rohan, Jack lebih dari sekadar sahabat, dia seperti seorang kakak baginya.
Namun, di balik kebersamaan itu, ada satu hal yang terus membuat Rohan bertanya-tanya, siapa sebenarnya dirinya? Ibu panti, yang juga ibu angkatnya, hanya mengatakan bahwa kedua orang tuanya meninggal karena penyakit. Selain itu, tak ada yang tahu tentang asal-usulnya. Rohan diantar ke panti oleh seorang warga yang menemukannya terlantar dan tidak tahu harus membawanya ke mana. Tak ada petunjuk tentang kerabat atau saudara yang mungkin dia miliki.
Semakin hari, rasa penasaran itu semakin membesar. Rohan merasa sudah cukup dewasa dan mandiri untuk mencari tahu sendiri tentang asal-usulnya. Dia memberanikan diri meminta alamat tempat kelahirannya kepada Ibu Darmi. Dengan berat hati, Ibu Darmi memberikan secarik kertas kecil berisi nama sebuah desa.
Desa itu bernama Talakrimbun, sebuah tempat jauh dari hiruk-pikuk Jakarta. Rohan memutuskan untuk mengunjunginya. Untuk pertama kalinya, dia akan menjejakkan kaki di tanah kelahirannya, mencari jawaban atas misteri masa lalunya.
Pusat kota Jakarta cukup ramai pagi itu. Meski awan hitam menggantung di langit, orang-orang tetap beraktivitas, sibuk menuju tujuan masing-masing. Di antara keramaian itu, Rohan berdiri di halte bus dengan pandangan tertuju pada secarik kertas yang diberikan oleh ibu angkatnya. Kertas itu berisi alamat dan nama seseorang yang harus dia cari di Desa Talakrimbun.
Ketika bus tiba, para penumpang mulai naik satu per satu. Rohan mengambil tempat duduk di pojok belakang, memilih untuk menyendiri. Dia menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang bersama pemandangan kota yang perlahan berubah. Sesekali, matanya tertuju pada seorang ibu dan anak kecil di kursi sebelahnya. Mereka bercanda dan tertawa kecil, menikmati kebersamaan mereka. Pemandangan itu membuat Rohan bertanya-tanya dalam hati, Seperti apa rupa ibu kandungku? Jika nanti ada foto, apakah aku bisa mengenali wajahnya?
Dalam perjalanan menuju Desa Talakrimbun, pemandangan semakin berubah. Gedung-gedung tinggi berganti dengan perbukitan dan hamparan sawah. Rohan terus memandangi luar jendela, mengamati setiap detail di sepanjang jalan. Hingga akhirnya, sebuah jalur yang sepi dan sunyi menarik perhatiannya.
Tak lama kemudian, pandangannya tertuju pada sebuah bukit yang terlihat dari kejauhan, dikelilingi oleh kabut tebal. Lalu bus melewati sebuah papan yang bertuliskan "Bukit Sena". Bukit itu... Bukit Sena? pikirnya. Bukit yang misterinya pernah diceritakan Jack tiba-tiba membuat pikirannya penuh tanda tanya.
Bus berhenti di halte kecil bertuliskan Talakrimbun 2. Rohan turun dengan hati-hati, melirik sekeliling yang tampak sunyi. Dari halte itu, dia mulai berjalan mengikuti petunjuk yang ada di kertasnya. Desa Talakrimbun tampak sederhana dan terpencil. Jalan menuju desa itu dikelilingi kebun dan hutan kecil yang menghijau.
Namun, untuk benar-benar mencapai desa, Rohan harus berjalan kaki melewati jalan setapak di tengah kebun dan menaiki bukit yang semakin tinggi. Semakin jauh dia melangkah, suasana menjadi lebih tenang, hanya ditemani suara burung dan angin yang berhembus pelan. Desa Talakrimbun terasa seperti tempat yang terputus dari hiruk-pikuk dunia luar, sebuah wilayah yang menyimpan cerita tersendiri.
Rohan menggenggam kertas itu erat, merasa langkahnya semakin dekat pada jawaban yang telah lama dia cari.
Tidak terasa perjalanan Rohan sudah lebih satu jam lamanya. Terlihat beberapa rumah penduduk yang tersembunyi dibalik pepohonan. Rohan menghampiri salah satu warga yang sedang berada di pinggiran sawah.
"Permisi, Pak. Apakah Bapak tahu alamat ini?" tanya Rohan sambil menunjukkan kertas di tangannya.
Bapak itu sedang memikul tumpukan padi, memandangi Rohan dengan tatapan ragu. "Sepertinya saya belum pernah melihat Anda sebelumnya. Mengapa Anda mencari alamat ini? Apa hubungan Anda dengan keluarga ini?"
Rohan tersenyum kecil sebelum menjawab. "Nama saya Rohan, Pak. Saya berasal dari panti asuhan di pusat Kota Jakarta. Saya ingin mencari tahu tentang orang tua kandung saya. Ibu angkat saya memberikan alamat ini, katanya seseorang dari desa ini yang membawa saya ke panti."
Bapak itu mengangguk perlahan, lalu menunjuk ke arah sebuah gubuk kecil di dekat sawah. "Tunggu di sana sebentar. Setelah pekerjaan saya selesai, saya akan mengantar Anda."
Rohan merasa lega. Harapannya untuk mengetahui kebenaran tentang keluarganya tampak semakin dekat.
Setelah sekitar 15 menit, Bapak tadi menghampiri Rohan. Dengan senyuman hangat, dia mengajak Rohan pergi. "Mari saya antarkan. Oh ya, Nak. Nama saya Agus," ucapnya sambil memikul tumpukan padi.
"Terima kasih, Pak Agus," balas Rohan dengan sopan.
Di sepanjang perjalanan menuju alamat yang tertera di kertas, Rohan melihat suasana desa yang begitu berbeda dari kota. Penduduk desa menyapa dengan ramah, dan anak-anak kecil berlarian, sesekali mencoba mengajaknya bermain. Sayangnya, Rohan harus melanjutkan perjalanannya.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah rumah besar yang bersih dan rapi. Pak Agus meminta Rohan menunggu sementara dia menemui seseorang di halaman rumah. Tak lama kemudian, seorang pria berpakaian batik dan berpeci hitam berjalan mendekati Rohan bersama Pak Agus.
"Selamat pagi, Nak Rohan. Perkenalkan, nama saya Badrul, saya Kepala Desa Talakrimbun," ucap pria itu sambil mengulurkan tangan.
Rohan menyambut uluran tangannya. "Nama saya Rohan, Pak," jawabnya singkat.
"Kata Pak Agus, Nak Rohan ingin mencari tahu tentang orang tua kandungnya. Siapa yang memberikan alamat ini?" tanya Pak Badrul dengan nada lembut.
"Ibu angkat saya, Pak. Karena saya merasa sudah cukup umur untuk bepergian sendiri, saya memutuskan untuk datang ke sini," jawab Rohan, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Pak Badrul mengangguk paham. "Ayo, kita bicara di dalam. Tidak enak berbincang di luar seperti ini," ajaknya sambil tersenyum.
Pak Agus berpamitan sebentar. "Bapak Kepala Desa, silakan berbincang dulu dengan Nak Rohan. Saya akan carikan minuman dingin," katanya sambil berjalan ke arah warung terdekat.
Rohan merasa sedikit tidak enak telah merepotkan Pak Agus, tetapi dia hanya bisa diam sambil mengikuti Pak Badrul masuk ke dalam rumah.
Di ruang tamu, Pak Badrul memulai percakapan dengan hati-hati. "Nak Rohan, bolehkah saya bertanya sesuatu lagi? Hanya untuk memastikan saja."
"Silakan, Pak. Saya akan menjawab sebisa saya," jawab Rohan, masih gugup.
"Baiklah. Kalau boleh tahu, siapa yang mengantar Nak Rohan ke panti asuhan dulu?" tanya Kepala Desa sambil memperhatikan wajah Rohan.
Rohan mencoba mengingat cerita yang sering dia dengar. "Ibu Dwi, Pak. Kata ibu angkat saya, Ibu Dwi adalah warga sekitar sini yang merasa kasihan pada saya. Beliau membawa saya yang masih bayi ke panti untuk mendapatkan perawatan dan bantuan."
Kepala Desa tampak berpikir sejenak. Keningnya berkerut, matanya menatap ke atas seolah mencari sesuatu dalam ingatannya. "Nak Rohan," katanya pelan, "Ibu Dwi bukan warga sekitar sini. Beliau adalah adik dari Ibu Sarah, yang merupakan ibu kandung Anda."
Penjelasan itu membuat Rohan terdiam. Wajahnya menunjukkan kebingungan yang dalam. Bagaimana bisa seseorang yang dianggap warga biasa ternyata memiliki hubungan darah dengannya?
Melihat Rohan mulai kelelahan setelah perjalanan panjang, Pak Badrul memutuskan untuk menghentikan pembicaraan sementara. "Nak Rohan, Anda terlihat lelah. Istirahatlah dulu. Di lantai dua ada kamar kosong, Anda bisa menggunakannya," ujar Pak Badrul dengan nada ramah.
Rohan mengucapkan terima kasih sebelum naik ke kamar. Di dalam, dia duduk di tepi ranjang, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Jika Ibu Dwi adalah adik dari ibu kandungnya, mengapa tidak ada yang pernah memberitahunya sebelumnya?
Berusaha mencari jawaban dalam pikirannya sendiri, Rohan akhirnya terbaring di tempat tidur. Namun, semua pertanyaan itu terasa semakin membingungkan. Perlahan, kelelahan menguasai tubuhnya, dan dia pun tertidur dengan pikiran yang masih penuh tanda tanya.
Sore harinya ada seseorang yang datang. Dengan kerudung dan baju daster serta badan yang berisi berlarian kecil menuju kamar Rohan. Dia terlihat senang manatap Rohan dan langsung memeluknya.
"Ternyata ini toh putra Pak Budi. Bagusmen wajahe," ucap orang itu dengan senyuman gembira.
Mereka berdua duduk, "Anu, simbok ki mbiyen akrab karo bapak ibumu. Saiki putrane wes gede. Mbiyen simbok seng rawat Nak Rohan nganti umur setahun."
Rohan tersenyum tidak menyangka kalau dulu dirawat oleh seseorang yang akan tatap muka langsung dengannya. Percakapan yang menggunakan bahasa daerah sekitar membuat Rohan tidak terlalu paham. Itu sebabnya Rohan menjawab dengan bahasa Indonesia.
"Baiklah, simbok..?"
"Simbok Tri. Tapi, Nak Rohan manggil simbok mawon."
"Gih."
Melihat ada kesempatan mengetahui orang tuanya dulu Rohan langsung bertanya, "Simbok, Rohan mau tanya boleh?"
"Tanya apa?"
"Dulu orang tua Rohan seperti apa?"
Simbok terdiam seperti mengingat masa lalu dimana orang tua Rohan masih hidup. Simbok tersenyum membuat Rohan memiliki firasat yang baik.
"Pak Budi, perwira bangsa gagah, gede, dhuwur lan wajahe bagus seperti Nak Rohan. Sifat becik lan seneng tetulung. Dari iku, warga senantiasa resik-resik omah iki. Mung niki seng iso gawe kenang-kenangan. Oh yo, kayane ono fotone. Sek ya, simbok golekke," Simbok pergi ke kamar sebelah dan mengambil sebuah foto album tersembunyi.
"Iki, album foto keluarga Pak Budi. Iki ibumu rupane ayu koyo kembang melati. Ibumu jenenge Bu Ani Sarah." Simbok memberikan foto itu ke Rohan. Rohan menatap lama foto itu, ternyata wajahnya tidak jauh beda dengan ayah kandung itu.
Setelah lama membahas foto album. Simbok mengajak Rohan berkeliling desa. Simbok tau kalau Rohan kesepian di rumah besar tanpa ditemani siapapun.
Menyusuri jalan kecil yang masih beralas tanah dengan pepohonan yang masih rindang. Tempat yang jauh dari kota bahkan mungkin tidak terlihat di map GPS.
Sepertinya Desa Talakrimbun belum dialiri arus listrik sama sekali. Tidak terlihat kabel apapun yang menggantung dari rumah ke rumah. Rohan merasa prihatin dari hal itu, seandainya ada sedikit bantuan yang datang, desa itu akan lebih mudah mendapat arus listrik.
Anak-anak yang tadi menyambut Rohan berkerumun dan mengajaknya bermain. Para warga tidak heran karena jarang ada orang kota yang datang, selain itu Rohan memiliki rupa tampan menawan hidung mancung dan berkulit putih seperti ayahnya kata simbok, yang menarik perhatian anak-anak.
"Kakak main *sepak sikong* bareng kami ya\," Ajak salah satu anak perempuan yang berkerumun.
Rohan tidak tau permainan apa itu, namun dia tetap ikut ke dalamnya. Karena Rohan baru ikut, anak-anak itu memilih Rohan sebagai penjaga sandal yang telah disusun.
"Kakak jaga ini? Tunggu ya, jelaskan dulu permainannya biar kakak paham," tanyanya dengan jongkok didepan gadis kecil itu.
Salah satu anak merangkulnya dari belakang, "Permainannya mudah, kakak jaga sandal itu saja. Lalu nanti kami sembunyi dan kakak mencari kami tapi masih harus menjaga sandal itu tetap tertumpuk. Jika kami berhasil merobohkannya, kakak kalah."
"Oke cukup menarik. Kalau begitu kalian cepat sembunyi." Rohan menutup matanya dan menunggu anak-anak siap pada tempat persembunyian mereka.
"Satu...dua...tiga.......selesai! Siap tidak aku cari!"
Rohan mencari mereka. Walaupun menemukan salah satu anak, anak-anak yang lain berhasil merobohkan sandal yang disusun itu sehingga Rohan yang selalu kalah.
Rohan duduk dengan melihat anak-anak itu berlari. Salah satu anak menghampiri, "Kakak nyerah?" Tanya anak itu.
"Iya, kalian bekerja sama kan buat ngalahin kakak," anak itu hanya tertawa kecil dan memanggil teman-temannya.
"Wah kakak kelelahan, berati kita menang" sorak mereka.
"Kakak ganteng, kakak kan dari kota, kota itu seperti apa?" tanya seorang anak perempuan disampingnya.
"Kota itu banyak gedung tinggi dan kendaraan lalu lalang serta banyak kabel dijalanan," penjelasan singkat Rohan.
"Apa kabel itu dialiri listrik, kak?" tanya salah satu anak.
"Iya, kabel itu dialiri listrik membuat lampu-lampu menyala terang. Selain untuk lampu, bisa untuk alat-alat lain seperti kompor, kipas angin, televisi dan masih banyak lagi," penjelasan singkat Rohan.
"Nanti kalau kami besar mau pergi ke kota saja. Disana banyak listrik mengalir, jadi gak usah pake lilin." sahut salah satu anak. Ucapan anak itu membuat Rohan menjadi prihatin.
Simbok mengajak Rohan pulang karena hari mulai gelap. Anak-anak yang tadi bermain di sekitar rumah pun mulai kembali ke rumah masing-masing.
“Hei, cepat pulang sebelum bayangan gelap itu datang!” seru salah satu anak dengan nada bercanda, meskipun matanya sekilas melirik ke arah hutan yang mulai tampak gelap.
“Tidak apa-apa! Nanti Pangeran Arashi dan adiknya, Chandra, pasti akan melindungi kita!” balas anak lainnya sambil tertawa, membuat semuanya terbahak dan berlarian lebih cepat.
Rohan yang mendengar itu menghentikan langkahnya sejenak. Kata-kata mereka terasa aneh di telinganya, seperti memanggil sesuatu dari dalam dirinya yang tak bisa dia pahami. Saat dia dan Simbok berjalan pulang, rasa penasaran itu tak tertahankan.
“Simbok,” panggil Rohan pelan. “Legenda tentang pangeran yang hilang itu… apa benar berasal dari desa ini?”
Simbok menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Wajahnya yang keriput tersenyum lembut, meskipun matanya tampak menyimpan sesuatu yang lebih dalam.
“Iya, Nak Rohan. Memangnya Nak Rohan tahu dari mana cerita itu?” tanya Simbok sambil berjalan perlahan.
Rohan menunduk sebentar sebelum menjawab. “Dari teater di pasar malam, Simbok. Tapi…di teater, ceritanya berakhir cukup tragis. Katanya keluarga Roulis tewas semua saat melawan kerajaan Afandi karena sihir gelap itu.”
Simbok menghentikan langkahnya, menatap Rohan dengan sorot yang sulit diartikan. Ada keheningan sesaat sebelum dia berkata, “Setahu Simbok, tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana nasib mereka sebenarnya.”
Rohan mengerutkan kening. “Tidak ada yang tahu nasib mereka?”
Simbok mengangguk pelan. “Iya, Nak. Waktu itu, pas peradaban hancur karena sihir gelap, memang banyak yang mengira keluarga itu tewas. Tapi tidak ada bukti. Tidak ada yang tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi.”
Rohan mengingat kembali cerita dari teater malam itu, bagaimana pangeran Arashi dan Chandra bertarung mati-matian melawan kekuatan gelap. Tapi, apa benar itu hanya cerita?
“Simbok,” tanya Rohan dengan hati-hati, “apa tidak ada yang tahu apa pun setelah kehancuran itu?”
Simbok menatap langit yang mulai memerah di ufuk barat. Angin bertiup pelan, menggerakkan daun-daun kering di sekitar mereka. “Ono, Nak. Ada sebuah ramalan yang turun setelah itu. Orang-orang tua di sini sering membicarakannya dulu.”
Rohan semakin tertarik. “Ramalan apa, Simbok?”
Simbok menarik napas panjang, seolah mencoba mengingat sesuatu dari masa yang jauh. “Ramalan itu berbunyi begini, ‘Di abad penuh kejayaan, sang pangeran akan kembali dengan perang yang telah disiapkan.’ Yen nggak salah, koyo ngunu munine.”
Rohan terdiam. Kata-kata itu seperti membangkitkan sesuatu yang asing namun familiar dalam dirinya. Dia mengingat kembali cerita di teater, tidak ada satu pun adegan yang menyebutkan ramalan itu. Jika begitu, ceritanya jelas berbeda.
“Simbok, kalau begitu, ramalan itu… masih dipercaya oleh orang-orang di sini?” tanya Rohan, mencoba menekan rasa penasaran yang mulai menguasainya.
Simbok hanya tersenyum tipis. “Mungkin iya, mungkin tidak. Tapi yang jelas, setiap ramalan pasti ada artinya, Nak. Tapi, itu cuma legenda. Jadi, Nak Rohan tidak usah terlalu khawatir.”
Malam semakin larut, dan langkah mereka tiba di depan rumah. Rohan tidak bisa menghilangkan kata-kata Simbok dari pikirannya. Ramalan itu, cerita yang tidak tercatat di teater, dan perasaan aneh yang selalu muncul setiap kali mendengar nama Arashi dan Chandra.
Apakah mungkin ada lebih banyak hal yang tersembunyi dalam legenda itu? Dan yang lebih penting, kenapa rasanya semua itu terasa sangat dekat dengan dirinya?
Rohan memutuskan untuk menginap semalam di rumah besar itu, ditemani oleh Simbok dan suaminya, Pak Agus, yang telah mengantarnya tadi siang. Rumah itu ternyata adalah rumah peninggalan orang tua kandung Rohan, menyimpan banyak kenangan yang kini perlahan menghubungkan masa lalunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!