Seorang wanita tampak kelelahan setelah membersihkan toilet wanita. Sesekali ia mengatur nafasnya sambil mengusap dadanya yang terasa sesak karena kelelahan.
Bola matanya tertuju ke sebuah toilet yang masih mengeluarkan suara air mengalir. Hanya tinggal satu toilet lagi yang belum ia bersihkan karena ada seseorang di dalamnya.
Sambil menunggu Mala pun duduk sejenak untuk menghilangkan penat.
Sebuah suara yang begitu familiar terdengar dari balik pintu toilet. Netranya seketika membulat menatap toilet yang masih tertutup. Karena suasana sepi suara itu terdengar begitu jelas di telinganya.
"Ayah, kenapa wanita itu tidak mati juga, aku sudah bosan hidup susah!"
Seketika jantung Mala berdetak cepat mendengar ucapan itu.
"Kau bilang ingin menghabisinya tapi sampai kini dia masih hidup, aku malu ayah. Apa aku sendiri yang harus menyingkirkannya!"
Senyuman sinis tersirat di wajah Mala. Wanita itu tampak miris mendengar ucapan seorang anak yang begitu membenci ibunya sampai ingin membunuhnya.
"Kasian sekali wanita yang menjadi ibunya, ia pasti sangat tersiksa memiliki anak sepertinya,"
Merasa wanita itu akan lama di toilet, Mala memilih merapikan alat-alat kebersihannya. Saat ia hendak pergi pintu toilet pun terbuka.
Rasanya jantung wanita itu hendak melompat keluar saat melihat sosok yang keluar dari dalam toilet.
"Vanessa??"
Seketika tubuhnya terasa lemas saat melihat putri semata wayangnya keluar dari toilet. Ia benar-benar tak mengira jika wanita yang begitu membenci ibunya adalah putrinya sendiri.
"Tidak mungkin," pekiknya dalam hati
Belum sempat ia menegurnya seorang pria tampak menghampiri Putrinya.
"Sayang, lama sekali, aku sudah tidak sabar," ucap pria itu sambil menciumi Vanesa.
Merasa jengah melihat putrinya diperlukan tidak senonoh oleh pria asing membuat Mala langsung mendorong pria itu.
"Jangan sentuh putriku!" pekiknya
Vanesa begitu kaget saat melihat ibunya tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Ibu!" seru Vanesa dengan mat terbelalak
"What??" lelaki itu terlihat begitu shock saat mendengar Vanesa memanggilnya Ibu.
"She is your mom (Dia ibumu) !" ucapnya memandang jijik kearah Mala
Vanesa seketika menutup bibirnya. Ia keceplosan menyebut Mala Ibu di depan kekasihnya. Ia begitu takut saat melihat ekspresi Devin yang tak menyukai ibunya. Wajar saja karena selama ini Vanesa selalu mengaku sebagai putri seorang manajer.
Tak mau pacarannya mengetahui jika Mala adalah Ibunya, Vanesa segera mendorong sang Ibu hingga jatuh ke lantai.
"Bukan dia bukan ibuku," serunya menyakinkan sang kekasih
Lelaki itu tersenyum senang mendengarnya.
"Syukurlah, aku kira ibumu seorang tukang bersih-bersih," celetuknya menatap sinis ke arah Mala yang tergolek di lantai
"Mana mungkin, ibuku itu seorang manajer hotel. Kamu sudah pernah bertemu dengannya di sekolah," jawab Vanesa
"Iya aku ingat sayang, ya sudah kalau begitu ayo kita pergi. Aku sudah tak sabar untuk party malam ini!" Pria itu merangkul Vanesa dan menciumnya
Tentu saja Mala merasa begitu sakit hati saat mendengar penuturan sang putri yang tak mengakuinya sebagai ibu kandungnya. Ia hanya menahan rasa sakit itu tanpa mengeluarkan air mata. Ia tak mau terlihat cengeng di depan putri semata wayangnya.
Namun bukannya berempati saat melihat ibunya terluka, Vanesa justru tersebut senang dan mengajak Devin untuk pergi dari tempat itu.
Saat keduanya hendak pergi, Mala segera bangun dan melarang Vanes untuk pergi.
"Mau kemana kamu, sekarang sudah malam ayo pulang!" seru Mala menarik Vanesa
"Apa-apaan sih kamu!" seru Vanesa memberontak
Ia berusaha melepaskan lengan sang Ibu dan mendorongnya hingga Mala kembali terjungkal ke lantai.
Kali ini Vanesa mendorongnya lebih kencang hingga Mala terbentur ke westafel.
Mala merasa kepalanya begitu pusing hingga membuat pandangannya kabur.
Melihat wanita itu berusaha menghalang-halanginya pergi bersama sang kekasih, Devin pun menghampiri Mala dan menendangnya.
"Dasar orang miskin sialan, berani-beraninya kamu mengaku sebagai ibu kekasih ku!" gerutunya sambil menendangi Mala
Berkali-kali ia menendang tubuh ringkih Mala hingga membuat wanita itu merintih kesakitan.
Wanita itu berusaha menutupi wajahnya saat Pria itu berganti memukulinya.
Sebenarnya Vanesa merasa iba saat melihat Dev memukuli ibunya. Namun saat ia mengingat asuransi yang akan diterima jika ibunya meninggal rasa iba itupun seketika sirna.
"Mudah-mudahan saja ia cepat mati, agar aku bisa mendapatkan asuransi kematiannya!" ucapnya dalam hati
Setelah puas memukuli Mala, pria itu mengajak Vanesa pergi. Melihat Sang Ibu sekarat, Vanesa pun mendekati Ibunya.
"Aku harap kamu segera mati agar aku dan ayah tidak hidup miskin lagi!" ucap Vanesa dengan seringai di wajahnya
Betapa sakit hati Mala mendengar ucapan sang buah hati. Rasa sakit dan kesedihannya membuat asmanya kambuh hingga ia kesulitan bernafas.
Melihat ibunya kesulitan bernafas senyum Vanessa pun semakin mengembang. Ia merasa jika kematian ibunya sudah di ambang pintu.
"Tolong, ambilkan obat ibu di tas nak!" ucap Mala lirih
Vanesa pun menoleh kearah tas hitam yang tergeletak di atas westafel.
Ia pun beranjak mendekati tas tersebut. Diambilnya tas kecil milik sang ibu. Ia begitu bahagia saat melihat sebuah inhaler yang ada di dalamnya.
"Yes, tanpa inhaler ini, ibu pasti akan mati Karena kehabisan nafas!"
Vanesa merasa hari ini adalah hari keberuntungannya. Ia pun berjalan menghampiri sang ibu dan berjongkok di sampingnya.
"Kamu mau ini?" ucapnya sumringah
Mala seketika mengangguk, "Berikan itu pada ibu nak,_" ujarnya
"Ups, tidak semudah itu, aku justru akan membuat kamu terbebas dari penyakit mu untuk selamanya!"
Vanesa kemudian menginjak-injak inhaler tersebut hingga hancur.
Mala tak bisa berbuat apa-apa, tubuh lemasnya tak bisa menghentikan putrinya. Keringat dingin semakin deras membasahi wajahnya. Rasa sesak membuat pandangannya kabur.
"Ya Tuhan, kenapa aku bisa punya anak yang begitu jahat seperti dia, apa benar dia anakku. Jika tahu ia akan seperti ini padaku maka aku tidak mau melahirkannya ke dunia," ucapnya dalam hati
Seketika semua berubah menjadi gelap dan Mala pun terkulai di lantai. Vanesa pun buru-buru menghampirinya. Gadis itu segera memeriksa denyut nadi sang ibu untuk memastikan kondisinya.
"Yes, akhirnya dia mati juga, yeay akhirnya aku jadi orang kaya!!" seru Vanesa
Gadis itu kemudian menggandeng Devin dan mengajaknya pergi meninggalkan tempat itu.
Tiba-tiba Angin kencang berhembus membuat kedua sejoli itu terpental. Begitupun dengan mayat Mala yang terhempas keluar dari gedung.
*Dreett, dreett, dreett!!
Suara getar ponsel membangunkan Mala. Wanita itu terhenyak saat mendapati dirinya tertidur di samping westafel.
"Aku masih hidup???, yang benar saja, bukankah aku sudah mati karena Vanesa merusak inhaler ku," Mala menepuk-nepuk pipinya.
Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Malam
"Halo," ucapnya lirih
"Selamat pagi ibu, saya Rahmawati wali kelas Vanesa, hari ini putri anda membuat masalah di sekolah, jadi saya harap anda segera datang ke sekolah untuk menyelesaikan masalah putri anda,"
Mala bergegas menuju sekolah sang putri. Tanpa berganti pakaian ia segera menuju ke halte bus. Karena terburu-buru ia hampir saja tertabrak sebuah mobil sedan.
Mobil itu pun berhenti dan seorang pria keluar menghampiri Mala.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya seorang pria berjas hitam
"Hmm," jawab Mala mengangguk
Ia buru-buru membersihkan debu-debu yang menempel di pakaiannya. Tanpa disadari sadari pria di hadapannya terus memperhatikannya.
"Nirmala???"
Seketika Mala terhenyak mendengar seseorang memanggil nama panjangnya. Sudah lama ia tak mendengar panggilan itu, hingga membuatnya hampir lupa akan nama panjangnya.
"Kaka??"
Seketika tatapan mata wanita itu berubah sendu saat menyadari pria di hadapannya adalah kakak kandungnya yang sudah lama tak bertemu.
Lelaki itupun langsung memeluknya dan Mala pun menangis di pelukannya.
"Kenapa kamu jadi seperti ini dek, kurus kering tak terawat," ucap pria itu
Ia kemudian melepaskan pelukannya dan memperhatikan penampilannya kumal sang adik. Mala hanya tersenyum getir menyadari kemalangan nasibnya.
"Aku menyesal tak mendengarkan ucapan mu dulu kak, sekarang aku baru sadar kalau pilihanku salah," sesalnya
Belum sempat ia menjelaskan keadaannya tiba-tiba ponselnya kembali berdering.
"Halo ibu, kenapa belum datang ke sekolah, atau ibu mau putrinya kami keluarkan!" terdengar ancaman wali kelas Vanesa yang membuatnya harus meninggalkan sang kakak
"Maaf kakak, saya harus buru-buru ke sekolah karena putri saya membuat masalah," ucapnya
Lelaki itu pun menawarkan diri memberikan tumpangan menuju ke sekolah Vanessa. Suasana canggung pun membuat keduanya tak saling bercakap-cakap. Maklum saja 17 tahun meninggalkan keluarga besarnya membuat Mala benar-benar merasa bersalah dan minder terhadap sang kaka.
"Hubungi kaka, jika kamu ada masalah," ucap Mathew saat sang adik hendak turun
Mala pun menerima kartu nama sang kaka kemudian turun.
"Baik kak, terimakasih sudah mengantarku sampai sekolah,"
"Hmm," jawab Mathew
Lelaki itu menatap kepergian sang adik yang berlari tergopoh-gopoh menuju ke dalam sekolah.
"Selamat siang," sapa Mala dengan nafas tersengal-sengal
Wanita itu tampak mengatur nafasnya karena kelelahan menaiki tangga.
"Maaf anda siapa?" tanya sang wali kelas, yang terkejut melihat kedatangan Mala
Bukan hanya Mala, bahkan Vanesa pun kaget melihat kedatangan ibunya yang terlihat kumal dan lusuh.
"Saya Mala ibunya Vanessa??"
Wali kelas Vanesa begitu terkejut, begitu pun dengan Vanesa dan kedua temannya.
"Maaf, ku kira anda pembantunya soalnya selama ini Vanesa selalu bilang jika ibunya seorang manajer hotel,_" jawab sang wali kelas
Mala pun tersenyum getir sambil menatap sang putri yang begitu malu mendengar pengakuannya.
"Beneran di ibu kamu Nes, bukannya ibu kamu itu manajer ya?" cibir salah seorang teman Vanessa
"Iya, kalau ibumu itu seorang pembantu tamatlah riwayat kita!" celetuk teman satunya
Seketika wajah Vanesa berubah memerah. Ia tampak panik dan malu mendengar pengakuan sang ibu.
"Bukan, dia bukan ibu aku, dia hanya pembantu ku!" seru Vanesa
Seketika bayangan perlakuan Vanesa dan kekasihnya yang merisaknya hingga ia tewas membuat Mala begitu benci terhadap gadis itu.
Ia aku langsung melayangkan sebuah tamparan keras ke wajah Putri semata wayangnya itu.
Semua orang di tempat itu terkesiap melihat perlakuan Mala terhadap Vanessa.
"Dasar anak tidak tahu diri beraninya kau menyebut ibumu sebagai pembantu," ucapnya dengan nada kesal
Vanessa begitu shock saat melihat sikap ibunya yang berubah kasar. Apalagi selama ini ia selalu dimanjakan olehnya.
What, sekarang ibu sudah berani menamparku. Apa dia gila??
Vanessa benar-benar tak mengira jika ibunya akan menamparnya di depan teman-temannya. Padahal selama ini Mala begitu menyayanginya hingga tak pernah menyentuhnya meskipun ia selalu membuat masalah.
"Dasar pembantu sialan beraninya kamu menampar ku!" seru Vanesa berusaha membalas tamparan Mala
Namun dengan cepat Mala menahan lengan gadis itu. Geram melihat perangai buruk putrinya ia pun kembali menamparnya. Kali ini tamparannya begitu keras hingga membuat wajah Vanesa memerah.
"Cukup Ibu, jadi sebenarnya ibu ini siapa, ibunya atau pembantunya?" tanya wali kelas Vanesa
Mala pun menatap lekat wajah pria dihadapannya.
"Tentu saja saya ibunya, jika tidak. Untuk apa saya datang," Mala mengambil ponselnya dan menunjukkan bukti panggilan dari sang wali kelas
"Wanita yang selama ini datang ke sekolah untuk menggantikan saya adalah teman saya bukan ibu kandung Vanesa," imbuh Mala
Wali kelas pun mulai percaya dengan Mala. Ia kemudian menunjukkan seorang siswa perempuan dengan luka babak belur yang duduk di sudut ruangan.
"Putri anda sudah menganiaya seorang siswa hingga babak belur, jadi kami ingin anda bertanggung jawab atas hal ini. Bukan itu saja, karena Vanesa sudah sering melakukan hal serupa maka saya sebagai wali kelas akan memberikan hukuman berupa skors selama satu minggu, dan jika tidak ada perubahan maka pihak sekolah akan mengeluarkan Vanessa," tutur sang wali kelas
Mala pun memandang sendu seorang siswa perempuan yang tampak babak belur. Ia melihat lengan sang anak yang tampak diperban.
"Maafkan anakku ya nak, jangan khawatir tante akan mengobati luka kamu sampai sembuh," ucap Mala kemudian mengusap wajah gadis itu
"Ibu Guru, lakukan saja yang terbaik untuk putri saya, saya akan mendukung apapun keputusan sekolah. Saya juga minta maaf atas perilaku putri saya. Saya berjanji akan mendidiknya dengan benar mulai sekarang," ucap Mala membuat bola mata Vanesa seketika membulat
Gadis itu begitu marah saat mendengar ucapat sang wali kelas, begitu pun dengan ibunya yang tiba-tiba saja menerima keputusannya tanpa membelanya seperti dulu.
"Apa, aku mau di skors yang benar saja, Ibu tidak bisa berbicara seperti itu. Sekarang kita lihat saja, apa bisa Ibu menghukum ku, karena ku akan menghubungi ibuku yang asli!" tantang Vanesa
Gadis itu segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
Mala hanya tersenyum sinis mendengar sang putri menghubungi sahabatnya.
Hanya berselang lima belas menit seorang wanita cantik dengan blazer warna maron memasuki ruang guru. Ia berjalan begitu anggun dengan menenteng tas branded yang dibandrol ratusan juta. Vanessa tampak sumringah melihat kedatangan wanita itu dan langsung berlari memeluknya.
"Momy!" serunya membuat kedua sahabatnya ikut merasa lega karena sebentar lagi mereka akan terbebas dari hukuman.
"Syukurlah, ibu asli Vanesa datang!" ucap salah seorang dari mereka begitu lega.
Mala tak memperdulikan kehadiran wanita itu, ia justru sibuk membujuk siswa korban bully putrinya untuk bertobat.
"Maaf anda siapa?" tanya wali kelas Vanesa
"Saya Shela Ibu dari Vanessa," jawab wanita itu begitu angkuh
"Tapi ibu kandungnya sudah datang," ucap sang wali kelas menunjuk kearah Mala
Shela melepaskan kacamata hitamnya dan tersenyum sinis menatap Mala.
"Dia itu cuma pembantu saya, sayalah ibu kandungnya. Kalau tidak percaya tanya saja padanya," jawab Shela dengan entengnya
Seketika Mala pun menoleh kearahnya dengan senyuman sinis nya.
Tanpa banyak bicara, Ia membuka ponselnya dan menunjukkan kartu keluarga kepada sang wali kelas.
"Apa ini cukup untuk menjadi bukti jika aku adalah ibu kandungnya??" ucapnya dengan santai
"Maaf anda siapa?" tanya wali kelas Vanesa
"Saya Shela Ibu dari Vanessa," jawab wanita itu begitu angkuh
"Tapi ibu kandungnya sudah datang," ucap sang wali kelas menunjuk kearah Mala
Shela melepaskan kacamata hitamnya dan tersenyum sinis menatap Mala.
"Dia itu cuma pembantu saya, sayalah ibu kandungnya. Kalau tidak percaya tanya saja padanya," jawab Shela dengan entengnya
Seketika Mala pun menoleh kearahnya dengan senyuman sinis nya.
Tanpa banyak bicara, Ia membuka ponselnya dan menunjukkan kartu keluarga kepada sang wali kelas.
"Apa ini cukup untuk menjadi bukti jika aku adalah ibu kandungnya??" ucapnya dengan santai
"Apa ini cukup untuk menjadi bukti jika aku adalah ibu kandungnya??" ucapnya dengan santai
Shela dan Vanesa tak percaya melihat apa yang dilakukan oleh Mala.
"Bagaimana si upik abu ini berani mengancam ku!" ucap Shela dalam hati
Ia benar-benar merasa kesal melihat tingkah Mala saat itu. Ia yang biasanya selalu memintanya untuk pura-pura menjadi ibu Vanesa kini justru tak ingin ia menjadi ibu putrinya.
"Sebenarnya apa yang kamu pikirkan Mala??"
Shela pun segera menarik lengan Mala.
"Apa-apaan sih Mal, kamu harusnya membiarkan aku menjadi ibu Nesa agar dia tidak malu. Jika sudah seperti ini bukan hanya malu yang akan Nesa dapatkan tapi dia juga akan dihukum dan mungkin dia juga bisa dikeluarkan dari Sekolah, apa kamu mau dia dihukum??" ucap Shela
"Biarkan saja, karen ia sudah melakukan perbuatan yang berbahaya dan nyaris membunuh orang, jadi wajar jika di hukum dan tidak masalah jika di harus di skors dari sekolah, wajar kan kalau dia di hukum!" jawab Mala
Vanesa yang geram dengan sikap aneh sang Ibu langsung menyiram Mala dengan air dari botol minumnya.
"Dasar babu sialan, lo pikir lo siapa hah!" hardiknya
Mala mengepalkan tangannya saat mendapatkan perlakuan kasar sang putri.
Ia pun langsung menampar wajah gadis itu berkali-kali hingga membuat Shela langsung memegangi lengannya.
"Jangan lakukan itu Mala!" seru Shela
"Kenapa, kamu tidak setuju aku memberi pelajaran terhadap putriku?"
"Cukup babu, kamu itu hanya babu jadi jangan ngelunjak!" seru Shela dengan nada emosi
Mala pun menepis lengan sahabatnya itu dan mendorongnya hingga Shela nyaris jatuh ke lantai.
"Cukup Shela, kamu itu bukan siapa-siapa Vanesa jadi berhentilah bersikap seolah ibunya. Selama ini saya terlalu bodoh mengizinkan mu untuk berpura-pura jadi ibu Nesa, tapi sekarang tidak lagi!" jawab Mala
Melihat pertengkaran antara ketiganya, wali kelas Vanesa berusaha m melerai mereka
"Cukup ya ibu-ibu!" seru wali kelas Vanesa berusaha melerainya
"Maaf Bu guru," ucap Mala
"Baiklah jadi saya tegaskan sekali lagi, jika Nesa harus meminta maaf terhadap Putri. Karena kelakuannya kali ini benar-benar keterlaluan pihak sekolah memberinya hukuman skors seminggu," tandas sang wali kelas
Mendengar ucapan wali kelasnya Vanesa pun menghampiri Shela dan merengek kepada wanita itu untuk membebaskan dirinya dari hukuman sekolah.
"Momy, aku tidak mau di hukum, tolong bantu aku!" ucap Vanesa
"Tenang saja sayang momy akan bilang kepada kepala sekolah untuk memecat guru ini dan membebaskan mu dari hukuman," jawab Shela dengan sombong
Ia segera mengambil ponselnya dan menelpon kepala sekolah. Vanesa tampak begitu senang saat melihat ekspresi datar Mala. Tak jauh berbeda kedua temannya pun merasa senang saat tahu Shela menghubungi kepala sekolah untuk membela mereka.
Tidak lama seorang pria memasuki ruangan tersebut.
Pria itu langsung tersenyum simpul dan menyapa Shela dengan penuh hormat. Ia menyalami wanita itu sambil membungkuk.
"Selamat Siang Ibu Shela, maaf saya tidak bisa menyambut anda dengan layak karena tidak tahu anda datang," ucapnya begitu ramah
"It's ok Pak Haryo, tapi saya ada satu permintaan," jawab Shela menatap sinis kearah wali kelas
"Katakan saja Bu, apapun permintaan Ibu pasti saya akan kabulkan," sahut Haryo
"Bapak tolong pecat guru ini, dia sudah menuduh putri saya melakukan kekerasan dan hendak menskorsnya," jawab Shela menunjuk ke wali kelas
"Oh tenang saja Ibu, aku bisa membereskan semuanya," jawab sang kepala sekolah dengan enteng
Pria itu kemudian menghampiri Rini wali kelas Vanesa.
"Miss Rini, apakah anda tahu siapa Ibu Shela??" tanya Haryo
Wali kelas pun menggelengkan kepalanya.
"Dia adalah Donatur tetap sekolah kita, sebagai seorang donatur tetap tentu saja ia mendapatkan hak istimewa di sekolah ini. Apapun yang dilakukan oleh putrinya sudah selayaknya kita bisa memakluminya. Mungkin saja Nesa tidak sengaja melakukannya atau dia terprovokasi oleh korban sehingga ia membela diri untuk membalasnya," terang Haryo
"Tapi pak, Ibu Shela ini bukan ibu kandung Vanessa, jadi dia tidak berhak untuk ikut campur dalam masalah ini." Rini kemudian menunjukkan bukti kartu keluarga Mala kepada sang kepala sekolah.
Haryo menatap sinis kearah Mala. Pria itu menatapnya intens dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Jangan mudah percaya dengan bukti palsu seperti ini. Di era Ai seperti sekarang sangat mudah untuk membuat kartu keluarga palsu seperti ini. Dari wajahnya saja sudah tidak mirip, bagaimana bisa dia mengaku sebagai ibunya," tutur Haryo seolah merendahkan Mala
"Tapi pak Nesa juga sudah berulang kali melakukan hal ini kepada Putri. Bapak bisa lihat sendiri kondisinya, ini sudah masuk ranah kriminal karena hampir membunuhnya,"
"Cukup Miss Rini, karena anda selalu saja menyalahkan Nesa maka dengan berat hati saya akan memecat anda," jawab Haryo membuat Rini begitu kaget mendengarnya
Bukan hanya Rini, Mala juga tampak kaget mendengar keputusan kepala sekolah yang begitu membela Shela.
Sementara itu Vanesa begitu sumringah mendengar keputusan kepala sekolah. Apalagi saat pria itu meminta Miss Rini meminta maaf padanya. Bukan cuma Miss Rini, kepala sekolah juga meminta Putri untuk meminta maaf kepada Vanesa agar ia bisa tetap bersekolah di sana.
"Sebagai siswa penerima beasiswa sudah seharusnya kamu menghormati Nesa, karena bagaimanapun juga beasiswa ia diberikan oleh para donatur sekolah yaitu Ibunya Nesa, jadi kamu harusnya berterima kasih kepada beliau karena bisa bersekolah gratis di sini. Bukan malah membuat onar seperti ini!" ucap Haryo memarahi Putri
Tentu saja Mala tak terima dengan keputusan ini. Ia pun diam-diam mengambil ponselnya dan menghubungi sang kaka untuk meminta bantuannya.
"Tidak bisa begitu bapak, sebagai kepala sekolah harusnya anda bersikap adil bukan malah membela salah satu pihak," ucap Mala
Wanita itu segera menarik lengan putri saat gadis itu hendak meminta maaf kepada Vanesa.
"Sebagai Ibu kandung Vanesa saya meminta maaf atas perlakuan putri saya, dan saya berjanji akan membiayai semua pengobatan mu," tandasnya
Ia kemudian menatap sinis kearah kepala sekolah.
"Dan bapak kepala sekolah, sebaiknya anda segera membereskan semua barang-barang anda, karena mulai detik ini anda di pecat sebagai kepala sekolah!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!