Aleena mengendarai motor sportnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan ibukota yang mulai gelap, sementara amarah dan kekecewaan masih membara di dalam hatinya. Pertengkaran dengan ayahnya beberapa jam yang lalu masih terngiang di telinganya. El merasa seperti tidak ada tempat untuk berlari, tidak ada tempat untuk mencari perlindungan dari kekesalan dan kekecewaan yang menghantuinya. Bar adalah satu-satunya tempat yang bisa memberinya sedikit pelarian, walaupun hanya sementara.
Tidak membutuhkan waktu lama, Aleena sudah tiba di tempat tujuan. Dia pun memilih duduk di tempat yang ada di pojok. Sambil menunggu temannya datang, dia memesan beberapa botol minum keras. Ini bukan pertama kalinya dia mendatangi tempat seperti ini. Namun, ini sudah menjadi tempat pelariannya setelah Ayahnya menikah lagi.
"Al... Aleeeenaaaa....!" teriak Chika dengan suara cemprengnya. Sedangkan Aleena hanya tersenyum tipis melihat tingkahnya.
Chika tanpa basa-basi lansung merebut gelas yang di genggang Aleena dan meminumnya hinda tandas.
"Al, sebenarnya pakaian kamu ini, tidak layak ada disini." komplain Chika sambil memandangi penampilan Aleena yang mengenakan celana jeans hitam panjang dan kaos putih dibalut dengan jaket kulit hitam. "Lihatlah mereka berpakaian minim dan cantik begitu. Seharusnya kita seperti itu juga " tunjuknya pada pengunjung yang mengenakan dress dress body dengan lengan spaghetti.
"Chik, kita itu berbeda dengan mereka. Kita kesini memiliki tujuan yang berbeda." jawab Aleena dengan santai.
"Tapi, Al. Menurutku tidak ada salahnya. Kalau kita mempunyai tujuan yang sama dengan mereka." Chika memberi isyarat dengan ekor matanya menunjuk pada lelaki tampan yang berada di tidak jauh dari mereka.
"Maksud kamu? Kita juga bisa menggoda pria tampan dan kaya?" tanya Aleena memastikan.
"Na, itu kamu pintar."
"Dasar, otak udang," hina Aleena sambil terkekeh.
"Tidak ada salahnya kan? Kalau kamu mencari kebahagiaan dengan berpacaran dengan pria tampan yang dewasa. Pasti dia lebih penyayang, dompet tebal dan yang utama udah lihai di ranjang," canda Chika sambil terbahak-bahak.
"Kamu pikir aku ini apaan. Aku masih mau kuliah dan kerja tau. Bukan mau menjadi nyonya. Karna kita tidak selama bisa bergantung pada laki-laki. Sekalipun itu Ayah kandung kita sendiri." Aleena yang tadi udah ceria kini kembali sedih.
"Udah, Al. Tidak usah di pikirkan. Sekarang saatnya kamu. Eh maksudku kita. Saatnya kita berjuang mencari bukti kebusukan Ibu tiri kamu. Agar Ayah kamu bisa berpaling lagi sama kamu. Dan tidak di setir terus sama ular piton itu."
"Iya, kamu benar, Chik. Makasih, ya, Chik." ujar Aleena sambil memeluk sahabatnya.
"Na, saatnya malam ini kita bermain-main," seru Chika antusias. Membuat Aleena menautkan kedua alisnya bertanya.
"Gini, ya. Coba kamu lihat pria tampan yang ada di dalam ruangan itu. Dia tampaknya dingin tidak tersentuh wanita. Karna semua wanita yang ada di dalam ruangan itu di usir pas dia datang. Kalau kamu bisa menaklukan dia malam ini. Aku bisa mengakui jika kamu gadis sejati." jelas Chika dengan alis baik turun menggoda Aleena.
Aleena terkekeh menanggapi. "Dasar otak udang. Pikiranmu tidak pernah jauh dari sana." ledek Aleena.
"Aku serius, Aleena sayang. Kalau kamu bisa masuk dan tidak di usir di sana. Aku bakalan traktir kamu shoping di mall." Goda Chika.
Aleena yang memang pada dasarnya suka berfoya-foya. Tanpa memikirkan konsekuensinya, lansung meng'iyakan.
"Tapi, bagaimana kalau dia punya istri?" ragu Aleena.
"Kamu kan tidak mau ngapai-ngapain. Hanya masuk dan minum gratis."
"Tapi, biar dia punya istri sekalipun. Tidak jadi masalah."
"Kamu ini,"
"Ayo, tunggu apalagi." seru Chika mendorong tubuh Aleena.
Sedangkan di dalam ruangan. Axel dan temannya sedang serius mengobrol hal serius. Namun, Asisten Axel yang bernama Marcel melihat Aleena dan Chika yang sedang ber'argumen dan terus menatap ke arah mereka. Ya, ruangan yang mereka tempati hanya di batasi dinding kaca yang transparan.
Marcel yang melihatnya tentu saja melapor pada tuannya. Namun, Axel tidak menanggapi.
Krek!
Pintu terbuka. Masuklah Aleena tanpa di persilahkan. Dengan melangkah percaya diri tidak merasa takut sedikitpun. Meskipun Salah seorang dari mereka yang ada di dalam ruangan. Menatap tajam padanya. Semua yang ada di dalam ruangan. Menatap aneh Aleena. Mau apa gadis itu pikir mereka. Terlebih lagi pakaian yang di kenakan Aleena yang berbeda dari wanita kebanyakan yang berkunjung ke Bar itu.
"Halo, Om," sapa Aleena dengan mesra pada Axel yang duduk di tengah-tengah antara Marcel dan Rey. Aleena pun lansung duduk di samping kanan Axel. Membuat Marcel terpaksa bergeser memberi ruang.
Aleena duduk dengan bergelut manja di lengan Axel. Membuat teman dan asistennya bertanya-tanya. Siapa gadis ini yang berani seperti itu. Apakah keluarga Axel yang mereka tidak ketahui.
Rey memberi kode pada Marcel untuk bertanya. Namun, Marcel hanya acuh tak acuh.
"Om, mau saya temani minum?" tawar Aleena sambil menuang wine pada gelas yang ada di depan Axel. Sedangkan Axel tidak menjawab. Aleena pun ber'inisiatif duduk di pangkuannya. Namun Axel, tidak menolak semua perlakuan Aleena.
Axel menatap intens Aleena mulai dari wajah hingga pakaian yang dia kenakan. Membuat Rey dan Marcel saling memberi isyarat tidak jelas. Tidak biasanya Axel mau meladeni wanita. Bahkan tidak ingin dekat-dekat. Tapi, ini apa. Gadis ini bahkan berani duduk di pangkuannya.
'Gadis ini sungguh pemberani,' gumam Marcel.
"Nona, berapa dia bayar? Hmm," tanya Axel menunjuk Chika yang ada di balik kaca. Sedangkan Axel dan Marcel hanya melongo.
"Dia?" tunjuk Aleena pada Chika. Ingin memastikan.
"Hmm," sahut Axel.
Hehehe, Aleena terkekeh. "Dia mau mentraktirku shoping di mall," Aleena berterus terang. Tanpa rasa takut atau malu sedikitpun.
"Pergi! Dan bilang padanya misi'mu berhasil," titah Axel dengan tegas. Namun, Aleena tidak bergerak.
"Nona, sebaiknya anda pergi sendiri. Sebelum kami menyeretmu," saran Marcel, takut Axel akan bertindak yang tidak seharusnya.
"Om tampan ke-dua. Tidak perlu repot-repot mengantarku. Aku masuk kesini kan membawa diri. Tidak perlu di kawal bagai putri. Meskipun saya memang paling cantik diantara kita." ujarnya lalu terkekeh.
"Nona bisa aja." sahut Rey.
Bught! Axel meletakkan tubuh Aleena secara kasar di sampingnya. "Auw," ringis Aleena spontan. Bibirnya mengerucut karna kesal.
"Nona, bolehkan kita berkenalan? Nama Nona siapa?" tanya Rey dengan ramah.
"Om, mau tau nama saya siapa? Memangnya Om tertarik padaku? Hmm, bo...."
"Keluar," bisik Axel di telinga Aleena.
"Lah, Om. Kenapa cemburu. Dia kan hanya ingin kenalan denganku." Aleena kembali berbisik pada Axel. Namun, masih bisa di dengar dua orang lain di antara mereka. Sedangkan Axel melotot'kan mata. Sungguh percaya diri Nona ini menurutnya.
Aleena pun menemani mereka minum hingga beberapa saat. Setelah mendapatkan panggilan telpon, dia baru meninggalkan ruangan itu.
"Aku berhasil!" seru Aleena membanggakan diri.
"Iya, de. Kamu berhasil," jawab Chika dengan lesu. Dia tidak pernah membayangkan Aleena akan diterima di ruangan itu.
"Jangan lesu gitu, dong! Chika sayang, nanti cantiknya ilang, loh!" goda Aleena dengan menampilkan senyum lebarnya.
Chika pun tersenyum dipaksakan. "Aku tidak lesu, kok,"
"Ingat janji ya. Besok kita ketemu di mall," kata Aleena dengan semangat.
"Iya, iya," jawab Chika dengan nada yang masih lesu.
Mereka pun memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing, mengingat sudah larut malam dan udara mulai terasa dingin. Saat berjalan, Aleena masih tersenyum lebar, sementara Chika terlihat lebih tenang, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aleena tiba di rumah saat tengah malam. Dimana rumahnya sudah gelap, itu menandakan kedua orang tuanya sudah tidur. Dia pun membuka pintu dengan sangat hati-hati, takut membangunkan sang Ayah. Lebih tepatnya takut ketahuan.
Krek!
Ceklek!
Pintu terbuka bersamaan dengan lampu menyala di ruang tamu. Membuat Aleena memegangi dadanya karna kaget.
"Bagus, ya. Anak gadis pulang tengah malam. Dari mana saja kamu?" bentak Rudi sang Ayah. Tidak menyangka anak gadis semata wayangnya berprilaku seperti ini. Dia merasa gagal menjadi Ayah. Padahal sebelum Ibunya meninggal, Aleena anak yang penurut dan tidak pulang malam seperti ini. Bahkan saat ingin keluar, pasti selalu izin pada Ibu atau Ayahnya.
"Main, Yah," jawab Aleena dengan acuh tak acuh. Membuat emosi Rudi semakin memuncak.
"Main seperti apa yang kamu maksud, sampai tengah malam begini. Yang ada permainan tidak benar." marah Rudi tidak habis pikir. Putrinya bermain di luaran sana hingga larut malam begini.
"Kamu harus berjanji pada Ayah. Ini yang terakhir kamu pulang selarut ini, tidak akan ada lagi di kemudian hari." Rudi ingin Aleena berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Tidak tau saja dia, Aleena memang sering pulang larut malam begini.
"Al tidak bisa, Yah." tolak Aleena dan melangkah menjauh dari sana.
"Aleena Putri!" teriak Rudi. Namun, di hiraukan oleh Aleena.
"Ayah, sudah." lerai Hani ibu sambung Aleena. Dia pun memegangi punggung sang suami sambil mengelusnya memberinya energi positif, agar suami nya bisa bersabar menghadapi Aleena.
Sedangkan Aleena yang melangkah di anak tangga, tersenyum sinis. Dia pun melangkah tanpa menoleh. Dia merasa Ibu tirinya ini pandai sekali merebut hati Ayahnya. Hingga dia tidak ada artinya lagi. Lagi-lagi di dalam hatinya bergejolak antara kekecewaan, kesedihan, dan sakit hati. Sungguh hidup yang tidak pernah Aleena bayangkan sebelumnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Bulan kembali digantikan oleh mentari pagi yang cerah. Bayang-bayang malam yang gelap perlahan memudar, dan cahaya emas pagi menyebar perlahan, membasuh wajah bumi dengan kelembutan. Angin pagi yang sejuk berhembus lembut, membawa bisikan harapan dan kesempatan baru untuk setiap jiwa. Kicauan burung yang merdu memenuhi udara, menyambut pagi dengan irama yang riang dan bahagia.
Aleena mengendarai motor sport kesayangannya membelah jalanan ibu kota di pagi hari. Dia sengaja berangkat lebih pagi, agar tidak terlalu macet. Dan tidak membutuhkan waktu lama, dia tiba di tempat tujuan. Yaitu warung kecil yang ada di pinggir jalan. Dia ingin sarapan terlebih dahulu sebelum menemui sahabatnya Chika.
Setelah menghabiskan sarapannya, Aleena berangkat menuju mall yang ada di pusat kota. Kebetulan sekali. Motornya bersebelahan dengan mobil milik Axel. Pandangan Axel terus tertuju pada Aleena yang mengendarai motornya. Sebenarnya Axel tidak mengetahui siapa yang ada di balik helm itu. Namun, dia kagum dengan kelincahan sang pengendara menyalip kendaraanya.
"Bos yakin mau pergi ke mall?" tanya Marcel memastikan. Dia ragu akan ucapan bosnya tadi pagi yang memintanya mengantar dirinya pergi ke mall. Tidak biasanya seorang Axel mau pergi ke mall hanya untuk berbelanja ataupun sekedar jalan-jalan. Karna dia anti banget dengan keramaian yang tidak jelas.
"Kamu pikun atau tuli?" bukannya menjawab. Axel malah memojokkan sang Asisten. Membuat Marcel hanya mendesah pelan.
Sedangkan Aleena kini sudah tiba di parkiran mall. Namun, dia masih nangkring di atas motornya. Bahkan, helmnya masih betah bertender di kepalanya. Dia hanya membuka kaca pelindungnya. Setelah mengirim WhatsApp pada Chika; mengabari dirinya sudah sampai. Dia pun perlahan membuka helmnya. Bertepatan masuknya mobil Axel terparkir tidak jauh darinya.
"Dia wanita," gumam Axel yang masih bisa di dengar oleh Marcel.
"Iya, Bos." sahut Marcel yang di abaikan oleh Axel.
Axel tidak bisa melihat wajah wanita yang mengendarai motor sport hitam itu. Karna dia memang membelakanginya. Meskipun dia penasaran. Namun, dia menepis semua rasa penasaran itu.
Sedangkan Aleena sudah bertemu Chika dan mereka kini sudah masuk di dalam mall. Tujuan utama mereka yaitu zona game. Ya, mereka memang suka menghabiskan waktu untuk bermain-main di sana.
Sedangkan Axel bersama Marcel sudah beberapa berkeliling tidak jelas. Sebenarnya Marcel sudah mulai dengan kelakuan bosnya yang tidak jelas. Terlebih lagi dia merasa malu di lihatin orang-orang sekitar. Dia takut akan di anggap sedang berkencan. Hehehe.
"Bos, sebenarnya kita mau apa? Atau mencari apa? Beri saya kepastian. Agar langkah kita ini, tidak sia-sia." protes Marcel yang sudah mulai lelah.
"Diam! Kalau tidak mau di pecat," kata-kata Axel memang selalu terasa pedas. Namun, Marcel sudah biasa dengan itu.
Mata Axel terus menelisik seluruh penjuru mall. Namun, dia belum menemukan apa yang dia cari. Sebenarnya dia mengabaikan tujuan utamanya ke mall itu. Kini dia sedang mencari wanita yang mengendarai motor sport hitam tadi. Karna gengsi dia tidak ingin memberitahukan Marcel tentang itu.
Aleena dan Chika yang baru keluar dari zona game tidak sengaja melihat mereka yang sedang berdiri seperti seorang yang kehilangan arah. Dimana Axel dengan mata yang terus menelisik sedangkan Marcel menatap aneh pada bosnya.
"Al, itu kan Om yang kemarin," tunjuk Chika pada Axel.
"Iya, kamu benar." Aleena ikut membenarkan. Lalu menarik lengan Chika menghampiri Axel dan Marcel.
"Halo, Om-om tampan," sapa Aleena antusias. sedangkan Chika hanya cengir malu-malu kucing.
Sapaan Aleena berhasil membuat Axel menautkan kedua alisnya berfikir keras. Siapa gadis ini menyapanya dengan akrab. Bahkan memanggilnya dengan sebutan Om. Sekilas terlintas di ingatannya semalam saat pandangan mata mereka bertemu. Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih kencang saat menatap mata indah milik Aleena. Spontan dia memegangi dadanya yang berkecamuk.
"Bos sakit?" tanya Marcel yang melihat Bosnya seperti menahan beban yang berat.
"Hmm," gumam Axel.
Aleena masih diam menyimak. Tidak menyangka bisa bertemu dengan Om tampaknya di mall ini. Sebenarnya Aleena cukup terpesona dengan ke tampanan Axel.
"Gadis liar, ngapain disini?" Axel kembali melontarkan kata-kata pedasnya. Sebenarnya dia tidak ingin mengucapkan itu. Namun, entah kenapa dia malah melontarkan kata itu.
"Namanya juga gadis liar. Jadi, tidak perlu di tanyakan lagi. Kenapa aku bisa ada disini. Kan aku memang selalu berkeliaran di mana saja yang aku suka." pengakuan Aleena membuat Axel mengulur senyum tipis.
"Hmm," Axel hanya menanggapi dengan deheman membuat Aleena jadi emosi.
"Om sengaja menguji kesabaran ku, ya?" suara Aleena kini tidak lagi lembut. Axel ini menguji kesabarannya. Aleena memperlihatkan ketangguhannya, sengaja membusungkan dada di hadapan Axel. Namun, Axel tidak gentar sedikitpun.
"Nona, bukan begitu maksud Tuan. Dia hanya ingin menghiburmu," Marcel mencoba melerai. Sebelum Axel berbuat sesuatu yang tidak di inginkan. Karna dia saat merasa di rugikan, dia tidak akan memberi ampun pada orang itu. Meskipun, wanita tidak menjadi pengecualian baginya.
"Kamu! Mencoba membelanya?" Aleena berbalik memarahi Marcel.
"Tidak, Nona." elak Marcel. Tidak menyangka jika dirinya akan di seret juga.
"Kamu, ikut aku," Axel menarik lengan Aleena untuk ikut serta dengannya. Membuat Aleena memberontak. Karna kekuatan yang di miliki Axel lebih kuat. Membuat Aleena kewalahan untuk melepaskan diri.
"Om, mau membawaku kemana? Jangan bilang kalau Om mau membawaku ke hotel yang ada di seberang sana. Janganlah Om. Aku bukan gadis liar yang melampaui batas. Aku hanya sekedar mencari hiburan, kok. Udah gitu aja. Bukannya mau aneh-aneh. Kalau Om mau berbuat aneh-aneh, Aku bisa kok mencarikan Om wanita cantik, seksi dan yang pasti berpengalaman di bidang itu." ocehan Aleena terhenti saat Axel berhenti.
"Om, memang baik, de. Okey... Sesuai janjiku akan aku carikan yang sesuai keinginanmu,"
"Masuklah," titah Axel yang kini mempersilahkan Aleena masuk di dalam sebuah toko tas yang ada di mall itu.
"Om, serius mau mencarinya disini. Tidak salah si, disini juga ada pelanggan wanita yang cantik, dan semoga tidak punya suami, ya." celotehnya membuat Axel menautkan kedua alisnya bingung.
"Atau Om mau pegawainya saja. Aku bisa kok membujuk mereka." Pernyataan terakhir Aleena kini baru membuat Axel tersadar. Apa Aleena maksud dari tadi.
Dia pun mengulas senyum tipis. "Aku maunya kamu," bisiknya di telinga belakang telinga Aleena. Membuat Aleena merasakan sesuatu yang berbeda. Namun, tidak bisa di jelaskan dengan kata.
"Om, jangan cabul, de." teriak Aleena kelepasan. Axel pun menutup mulut Aleena. sungguh memalukan.
"Bisa ngak, suaranya di kecilin." Axel menarik tubuh Aleena mengikis jarak diantara mereka.
Marcel dan Chika yang ada di luar pintu toko tidak jadi masuk melihat pemandangan langkah yang ada di hadapannya. Dimana Aleena yang tidak pernah sedekat itu dengan seorang laki-laki. Begitupun dengan Axel yang anti wanita. Akhirnya, Marcel mengajak Chika menjauh dari sana. Memberikan mereka ruang untuk berdua.
"Om apaan, si." Aleena mencoba melepaskan diri.
"Otak kecil ini, sungguh luar biasa," ledek Axel sambil mengusap-usap rambut Aleena panjang Aleena yang tergerai indah. Membuat Aleena membulatkan kedua bola matanya sambil memonyongkan kedua bibirnya. Alhasil, Axel jadi gemas melihatnya.
"Aku kesini mau minta kamu memilih satu tas untuk...."
"Untukku, aduh. Om baik banget, si." sela Aleena antusias.
"Otak kecil ini, memang cerdas," lagi-lagi Axel mengusap rambut Aleena. "Sebenarnya, tadi aku hanya ingin kamu membantuku memilih tas untuk Mommy. Tapi, tidak apalah buat kamu juga,"
Hehehe, Aleena cengengesan. " Om tampan banget, si." Aleena menyempatkan diri memegangi pipi Axel dengan kedua tangannya sebelum berlalu untuk memilih tas yang cocok untuk dirinya dan Mommy dari Axel. Sedangkan Axel memegangi wajahnya sambil tersenyum.
Hari berganti hari, waktu terus berjalan berlalu dengan cepatnya. Aleena dan Axel tidak pernah bertemu lagi setelah pertemuan mereka di mall hari itu. Namun, kenangan tentang pertemuan singkat mereka tetap terukir dalam ingatan masing-masing.
Aleena seringkali teringat pada tatapan Axel yang tajam. Namun, penuh makna didalamnya. Dia bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Axel sekarang, dan apakah mereka akan pernah bertemu lagi. Sementara itu, Axel juga teringat pada Aleena. Tapi, berusaha dia tepis. Namun, ada kenyataannya dia berharap bisa bertemu lagi dengan Aleena dan mengetahui lebih banyak tentang dirinya.
Waktu terus berjalan, dan kehidupan masing-masing membawa mereka ke arah yang berbeda. Namun, kenangan tentang pertemuan mereka tetap menjadi bagian dari cerita hidup masing-masing, menjadi pengingat tentang kemungkinan cinta yang bisa tumbuh dari pertemuan singkat.
Seperti saat ini, Aleena sedang berada di bar dan melamun sambil memegangi gelas yang berisi wine di tangannya. Pikirannya menerawang jauh, entah apa yang sedang dia pikirkan. Tiba-tiba wajah Axel-lah yang terbayang di pikirannya. Membuatnya berusaha menepis semuanya dengan geleng-geleng kepala. Alhasil, Chika menatap aneh kepada dirinya.
"Kamu, aneh banget, si. Kepalamu sakit, ya?"
"Apa si, Chik."
"Halo, Nona. Boleh gabung ngak?" seseorang menghampiri mereka.
Sedangkan Aleena dan Chika hanya saling melirik, tanpa menjawab. Sebenarnya mereka malas meladeni orang asing, apalagi mabuk seperti itu. Tidak penting banget menurut mereka.
Laki-laki itu tanpa di persilahkan ataupun di izinkan, dia lansung duduk di samping Aleena lalu menuang wine di gelas bekas Chika.
"Nona, apakah kamu mau berkencan denganku malam ini?" tawarnya dengan senyum menyeringai. Sedangkan Aleena masih diam dan mengabaikannya.
Aleena tidak menghiraukan laki-laki itu, dia terus melamun dan menatap ke dalam gelas wine-nya. Chika yang melihat situasi itu hanya menggelengkan kepala dan memberikan isyarat kepada Aleena untuk tidak peduli.
Meskipun Aleena tidak menghiraukan laki-laki itu, tapi dia terus mengganggu dan mencoba mendapatkan perhatian Aleena. Chika yang melihat situasi itu semakin tidak nyaman dan berusaha untuk menengahi, tapi laki-laki itu terus memaksa.
Aleena yang merasa kesal dan tidak sabar akhirnya berdiri dan menghadapi laki-laki itu. "Aku sudah bilang aku tidak tertarik denganmu, apa yang tidak kamu mengerti?" marah Aleena dengan nada tegas.
Suara Aleena yang cukup keras membuat seluruh pengunjung bar menoleh kepada mereka termasuk Axel dan teman-temannya, dia melihat kejadian itu. Karna memang musiknya berhenti saat itu. Meskipun, Axel belum bisa melihat wajah Aleena yang membelakangi mereka. Namun, suaranya terdengar familiar.
"Waw, galak juga. Saya suka," bukannya takut. Dia malah tertantang untuk mendekati Aleena.
Laki-laki itu tersenyum menyeringai dan mencoba untuk menyentuh Aleena, tapi Aleena dengan cepat menangkis tangannya. "Jangan sentuh aku," katanya dengan nada dingin.
Chika yang melihat Aleena bisa melawan dengan baik hanya tersenyum, terlihat lebih semangat dari Aleena.
Kini Axel dan teman-temannya bisa melihat jelas wajah Chika yang berbinar melihat sahabatnya bersitegang dengan orang lain. Tapi, dia bagaikan mendapatkan mainan baru. Sungguh aneh si.
"Dia kan temanya si kelinci kecil," gumam Axel.
"Dia kan," seru Marcel.
"Siapa?" tanya Daniel yang ikut penasaran.
"Dia temannya gadis yang pernah masuk kesini." jawab Marcel. "Dan kemungkinan besar gadis yang di ganggu itu adalah gadis yang pernah masuk kesini," pengakuan Marcel membuat Axel gelisah. Dia pun berdiri ingin memastikan. Ketiga rekannya melihat Axel berdiri. Mereka pun ikut berdiri, meskipun tidak tau dimana Axel akan melangkah.
Sedangkan Laki-laki itu tidak mau menyerah, dia terus berusaha mendekati Aleena meskipun harus dengan paksaan. Dia tidak gentar sedikitpun di beri peringatan. Dia kembali mendekat dan mencoba merangkul bokong Aleena, membuat Aleena tidak bisa menahan lagi emosinya.
Bught! Dengan satu kali tangkisan tubuh laki-laki itu terpental ke lantai. Membuat seluruh pengunjung bar melongo atas apa yang dia lihat. Sedangkan Axel dan temannya sudah bisa melihat wajah Aleena dengan jelas.
Laki-laki yang jatuh tadi, tidak terimah di perlakukan seperti itu oleh Aleena. Sudah sakit di tambah malu. Siapa yang akan menerima itu semua dengan percuma. Walaupun, kegaduhannya memang di awali oleh diri sendiri. "Dasar jalang! Beraninya menyerang'ku," marah laki-laki itu ingin menampar Aleena. Namun, berhasil Aleena tepis.
"Jangan pernah berani menggangguku lagi," Aleena memberi peringatan dengan nada tegas dan dingin. Tidak lagi seperti Aleena yang centil seperti yang Axel kenal. Dia pun berbalik hendak menarik lengan Chika untuk ikut dengannya meninggalkan bar itu. Moodnya kini udah benar-benar buruk. Namun, dia tidak sengaja melihat Axel yang berdiri tidak jauh darinya.
Mereka saling menatap seakan dunia milik berdua. Dari pandangan mereka, tersirat berbagai makna yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata. Ada rindu terpendam, cinta yang tidak tergapai, dan harapan yang masih membara. Pandangan mereka berbicara lebih dari apa yang bisa diucapkan, membawa mereka kembali ke kenangan pertemuan singkat di mall itu.
Dalam sekejap, waktu seakan berhenti. Aleena dan Axel merasa seperti berada di dalam gelembung waktu yang hanya milik mereka berdua. Mereka tidak perlu berbicara, karena pandangan mereka sudah cukup untuk mengerti apa yang sedang terjadi di dalam hati masing-masing. Keheningan yang penuh makna antara Aleena dan Axel, seakan-akan mereka sedang menikmati keindahan cinta yang tidak terucapkan.
Chika, yang berdiri di samping Aleena, merasa seperti sedang menyaksikan sesuatu yang sangat intim dan pribadi. Dia tidak ingin mengganggu momen mereka, jadi dia hanya tersenyum dan membiarkan mereka menikmati kehangatan pandangan masing-masing. Sedangkan sahabat Axel hanya melongo tidak percaya, bisa menyaksikan Axel menatap gadis itu dengan penuh makna. Semua bisa melihat dari tatapan mata Axel yang dingin dan tajam, tapi ada cinta yang membara di dalamnya.
Laki-laki yang mengganggu Aleena tadi, tidak mau menyerah. Dia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk melawan ada Aleena. Dia tidak terimah di permalukan oleh gadis itu. Tanpa pertimbangan, dia ingin memukul Aleena dari belakang. Axel yang melihat itu dengan sigap menendang orang itu, alhasil dia pun terjatuh. Dengan emosi membara, Axel menghajar orang itu tanpa ampun.
Sedangkan Aleena masih kaget akan kejadiannya yang tidak terduga itu. Lain halnya dengan Chika yang terlihat semangat. Membuat Marcel dan sahabat Axel yang lain geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.
Setelah kejadian itu, Aleena dan Chika memutuskan untuk pulang. Karna memang sudah larut malam. Mereka menyempatkan diri berterima kasih sekaligus berpamitan pada Axel sebelum pulang. Sebenarnya Axel sudah menawarkan untuk mengantar mereka untuk pulang. Namun, mereka menolak.
Aleena kini sudah tiba dirumah. Seperti biasa, saat pulang di larut malam seperti ini. Dia akan masuk mengendap-endap bagai maling. Dengan langkah pelan, dia menaiki anak tangga.
Ceklek! Lampu utama di nyalakan. Membuat langkah Aleena terhenti. "Waduh, gawat. Aku ketahuan Ayah," sesal Aleena yang ketahuan.
"Aleena!" teriak Rudi yang melihat Aleena masih membelakanginya.
Aleena menarik nafas sebelum menjawab. "Iya, Yah." jawabnya tanpa menoleh.
"Aleena!" bentak Rudi dengan suara yang lebih keras.
"Iya, Yah," jawab Aleena terpaksa berbalik dan menghampiri Rudi yang berdiri di dekat tangga.
"Aleena, bukannya kamu sudah Ayah peringatkan. Kenapa kamu mengulang kesalahan yang sama? Apa kamu memang sudah tidak mau mendengarkan Ayah? Kamu ini anak gadis, tidak baik keluyuran tidak jelas begitu." marah Rudi.
"Ayah, aku sudah dewasa dan bisa menjaga diri sendiri," kata Aleena dengan nada tegas, mencoba untuk menenangkan situasi.
"Tapi, Ayah tidak melihatnya seperti itu, Aleena. Ayah melihat kamu seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa tentang kehidupan," balas Rudi dengan nada yang semakin meninggi.
"Ayah, Aleena sudah bukan anak kecil lagi. Aleena bisa membuat keputusan sendiri dan tidak perlu diawasi terus-menerus," kata Aleena dengan nada yang sedikit lebih keras.
"Apa kamu ingin menjadi gadis liar di luar sana? Tidak punya tujuan, tidak punya arah? Apa itu yang kamu inginkan, Aleena?" Rudi memotong dengan nada yang penuh kekhawatiran.
"Aleena tidak ingin menjadi gadis liar, Ayah. Aleena hanya ingin memiliki kebebasan untuk membuat pilihan sendiri dan menjalani hidupku sesuai dengan keinginan ku," kata Aleena dengan nada yang tetap tegas.
Rudi menghela napas dalam-dalam, merasa tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi di dalam pikiran Aleena. "Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu, Aleena. Ayah tidak ingin kamu terluka atau mengalami kesulitan," katanya dengan nada yang sedikit lebih lembut.
"Jika Ayah ingin yang terbaik untukku. Kenapa Ayah menikah dia di saat Ibu menghembuskan nafas terakhirnya? Kenapa, Yah? Apa karna kepergian Ibu memang rencana kalian?" teriak Aleena yang penuh emosi.
"Aleena tidak peduli siapa yang bersalah atau tidak! Yang Aleena tahu adalah Ayah menikahinya di saat Ibu masih hangat di rumah sakit! Apa Ayah tidak punya hati? Apa Ayah tidak tahu bahwa Aleena masih berduka atas kepergian Ibu?" Aleena teriak lagi, air matanya mengalir deras.
Rudi menghela napas dalam-dalam, merasa seperti sedang dihantam kembali oleh kenangan pahit itu. "Aleena, semua itu tidak seperti apa yang ada dalam pikiranmu."
"Tapi, dia bukan Ibu! Ibu kandungku tidak akan pernah digantikan oleh siapa pun! Dan Ayah tidak punya hak untuk menggantikan Ibu dengan dia!" Aleena teriak lagi, rasa sakit dan kecewa masih terasa sangat kuat. Sedangkan Hani ibu sambung Aleena mendengarkan semuanya. Namun, dia tidak ingin ikut campur, takut Aleena akan lebih membencinya lagi.
"Cukup!" bentak Rudi. "Setalah melakukan kesalahan kamu kembali memojokkan Ibumu?"
"Ayah, dia sudah mencuci otakmu, hingga anakmu sendiri di abaikan." teriak Aleena yang tidak mau kalah.
"Cukup! Aleena. Keluar dari rumah ini! Sekarang juga! Ayah kecewa sama kamu." Rudi berteriak, amarahnya memuncak.
Aleena terkejut, tapi dia tidak takut. Dia berdiri tegak, menatap Rudi dengan mata yang penuh dengan air mata. "Baiklah, Aleena akan pergi, jika itu keinginan Ayah. Tapi, Aleena tidak akan pernah kembali lagi ke rumah ini!" katanya dengan nada yang tegas.
Rudi tidak menjawab, dia hanya menunjuk ke arah pintu, menunjukkan bahwa Aleena harus pergi sekarang juga. Aleena mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu, tanpa menoleh ke belakang. "Aleena tidak butuh Ayah lagi!" katanya sebelum keluar dari rumah.
Rudi berdiri di sana, mendengar suara pintu yang tertutup dengan keras. Dia merasa lega, tapi juga merasa sedih karena kehilangan anaknya. Tapi, dia tidak bisa mengubah keputusannya, dia merasa bahwa Aleena harus belajar untuk hidup mandiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!