“Risaaaa.” Sang pemilik nama pun menoleh ke sumber suara dan menatapnya datar. Kali ini siapa yang akan temannya ceritakan padanya?
“Sumpah, si Dimas nyebelin angjayy. Masa dia ga peka banget.” Dan ia mulai bercerita tanpa henti. Risa? Ia hanya menyimak sesekali menanggapi ocehan temannya. Tak heran dengan kelakuan temannya yang memiliki banyak gebetan.
“Gue pergi dulu, Adi nyariin gue.” Begitulah Lala—teman Risa. Baru saja ia bercerita soal Dimas dan sekarang, sudah pergi dengan Adi.
Sepeninggalnya Lala, Risa kembali diam dan membaca buku yang sedari tadi berada di genggamnya. Risa memang terbilang introvert dan ekstrovert. Ia tidak banyak berbicara pada orang baru. Tetapi ia akan mulai berbicara banyak dengan orang yang sudah lama ia kenal.
Setelah menjalani aktivitasnya di sekolah. Kini Risa nampak sedang mengayuh sepedanya cepat. Sesampainya ia di sebuah cafe, Risa segera masuk dan menyapa partner kerjanya. Risa memang kerja paruh waktu. Di hari senin hingga sabtu, ia akan bekerja di cafe hingga cafe tutup. Dan di hari minggu, ia gunakan untuk melatih anak anak bela diri.
Risa memang pintar dalam bela diri karena sejak usianya yang ke 7 tahun, ia mulai ikut latihan bela diri. Tujuannya ikut bela diri untuk menjaga jaga bila ada seseorang yang menyakitinya. Itu bisa menjadi bekal untuknya. Dan dengan bela diri, Risa bisa menghasilkan uang. Meskipun ia tidak mencantumkan berapa harganya, namun Risa sangat senang bisa membagi ilmu pada anak anak se—usianya dulu.
Ia menyuruh anak anak itu membayar se—ikhlas mereka saja. Meskipun lelah, Risa tetap bersyukur akan hidupnya. Terkadang ia mengeluh sedikit. Mengeluh akan dirinya yang tak pernah merasakan kasih sayang ibu. Ya, ibu Risa telah lama meninggal waktu beliau melahirkan Risa. Kini, ia hanya tinggal bersama bapaknya.
“Ris.” Risa sadar akan lamunannya dan menatap Mbak Laras—partner kerjanya yang paling dekat dengannya.
“Eh, iya, Mbak.”
“Ngelamun aja to, kamu. Ada apa?”
“Nggak, Mbak. Cuma keinget ibu.” Mbak Laras pun diam. Ia mengerti bagaimana perasaan Risa. Tak pernah merasakan kasih sayang ibu memang se—sakit itu.
“Jangan sedih, ibu kamu pasti sedih di sana kalau lihat anaknya murung gini. Semangat yaa, Risa.” Senyum Risa kembali terukir kala mendengar ucapan mbak Laras.
Malam semakin larut, para pengunjung cafe kian pergi karena cafe akan tutup sebentar lagi. Risa segera membereskan pekerjaannya dan bergegas untuk pulang.
“Mbak, Risa pulang dulu ya.” Pamit Risa pada mbak Laras.
“Oh iya, hati hati kamu, Ris.” Risa mengacungkan jempolnya tanda jawaban. Ia segera menaiki sepedanya dan mulai mengayuhnya pelan. Ketika di jalan, tiba tiba ada segerombolan anak muda yang menghalangi jalannya.
Risa berdecak sebal, mereka pasti anak muda yang sering tawuran dan membegal orang yang tengah melintasi jalan ini.
“Kalian mau apa?”
“Serahin tas lo atau habis sama kita.” Risa hanya menatap mereka datar. Ia sama sekali tak takut dengan ancaman mereka yang terkesan klasik.
“Coba aja kalau berani,” sahut Risa dengan nada menantang. Dari belakang salah satu dari mereka melayangkan sebuah pukulan pada tubuh Risa. Dengan gesit Risa menangkisnya. Satu persatu Risa mulai membalas pukulan pukulan yang mereka berikan.
Beberapa kali Risa memberikan bogeman mentah pada mereka. Sedikit kuwalahan karena jumlah mereka lebih dari satu. Risa mendapatkan pukulan sedikit keras pada wajahnya yang mengakibatkan sudut bibirnya lebam. Namun, Risa tak se—lemah itu. Ia mulai membabi buta para baj*ngan di depannya.
Dengan tingkat bela dirinya yang lumayan, ia bisa mengalahkan mereka dengan mudah. Walaupun sempat mendapat pukulan.
“Masih mau lagi?” Para pemuda itu mulai berdiri dan mengendarai motornya dengan cepat. Risa menatapnya sebal, ia melirik jam tangannya yang di mana sudah menunjukkan pukul 10 malam.
Tanpa menunggu lama lagi, Risa segera bergegas pulang. Sesampainya, ia langsung memakirkan sepedanya dan tak lupa menutup pagar rumahnya. Risa masuk dengan langkah pelan.
Mata Risa menatap sendu sosok pria yang tengah mabuk seraya meracau tak jelas. Beliau Wijaya—bapak Risa. Wijaya yang sadar akan kepulangan Risa pun berjalan mendekatinya.
“Bapak minta uang.”
“Nggak ada,” jawab Risa dengan nada dingin. Ia mulai melangkahkan kakinya. Dan bersamaan dengan itu bapak mulai memecahkan botol kaca yang baru saja diminumnya. Risa tak mempedulikan tingkah bapaknya.
Dan tiba tiba, darah segar mulai mengalir dari pelipis kiri Risa. Seperti sudah biasa dengan itu semua, Risa tetap berjalan ke kamarnya. Ia yakin bapaknya akan mereda dengan sendirinya. Ketika sudah di dalam kamarnya, Risa segera merebahkan tubuhnya di kasur.
Ia menatap langit-langit kamarnya, buliran bening mulai jatuh dari pelupuk matanya. Mengapa Tuhan memberinya ujian se—berat ini? Hal manis apakah yang akan ia dapat dikemudian hari?
"Risa lelah Tuhan."
****
Annyeong yorobun, kenalin aku jodohnya hwang ming-hyun xixixi. Jika kalian membaca cerita ini, minta tolongnya untuk vote dan komen yaaaa.
Di part Risa berantem itu backsoundnya “Backpaker” yaa, HEHEHE😁😁 (author merasa keren)
HAPPY READING👀✨
Pagi ini mentari tak menunjukkan kehadirannya. Awan mendung nampak menutupi langit yang seharusnya cerah. Risa yang sedari tadi berdiri di depan cermin terlihat tak bergeming. Tangannya mulai mengambil obat yang berada di kotak P3K. Luka yang diakibatkan atas ulah bapaknya belum ia tutupi sama sekali. Ia hanya memberikan obat merah lalu membiarkan luka itu menganga dengan lebar.
Orang lain mungkin akan merintih kesakitan. Namun, Risa hanya diam dan terus mengobati lukanya. Baginya, luka di kepalanya saat ini tak sebanding dengan luka di hatinya. Luka yang ditorehkan oleh bapak. Tak mau berlama-lama larut dalam kesedihan, Risa segera membereskan semua lalu keluar dari kamarnya.
Saat menuruni anak tangga, Risa tak melihat keberadaan bapaknya. Mungkin semalam bapak pergi setelah mengamuk dan mengacak-acak rumah. Waktu masih menunjukkan pukul 6 kurang 20 menit. Risa menaruh tasnya di sofa yang tak jauh dari sana. Ia mulai membersihkan pecahan kaca yang berserakan.
Setelah semua dirasa sudah, ia segera bangkit lalu menuju ke dapur. Risa membersihkan jemarinya yang terkena serpihan kaca. Ia mulai melangkah keluar rumah dan mulai bergegas pergi menuju sekolahnya.
“Itu kayak Dio.” Gumam Risa yang seperti melihat Dio—anak yang ia ajar bela diri. Risa menghampiri Dio yang sepertinya sedang bertengkar dengan teman sebayanya.
“Dio.” Panggil Risa yang membuat dua anak itu menghentikan aksi ributnya.
“Ada apa ini?”
“Dia kak, dia tadi nantang aku. Dia sombong karena belajar bela diri, aku nggak terima karena tadi dia ngejelekin kak Risa. Aku langsung hajar dia.” Risa tersenyum tipis mendengar penjelasan Dio. Ternyata ia bertengkar hanya untuk membelanya.
“Kamu, niat kamu belajar bela diri apa? Hanya untuk menunjukkan kesombongan?”
“Iyalah, apa lagi? Sudahlah, urusan kita belum selesai Dio.” Anak itu pergi begitu saja. Risa hanya menggelengkan kepalanya heran. Anak anak jaman sekarang terkadang salah menggunakan bela diri. Belajar bela diri hanya untuk membully seseorang dan menunjukkan kesombongan.
“Dio, jangan contoh anak itu ya? Bela diri bukan untuk ajang kesombongan melainkan untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu yang berbahaya. Dan membantu orang yang sedang kesusahan, seperti di jambret, di bully dan lain-lain. Mengerti?”
“Mengerti boss.” Risa tertawa kecil melihat tingkah Dio yang menggemaskan. Tanpa mereka sadari, sedari tadi ada seseorang yang menyaksikan interaksi mereka dari balik pohon tak jauh dari sana.
“Cantik.” Gumam seseorang tersebut. Risa berpamitan pada Dio untuk pergi lebih dulu karena waktu sudah hampir menunjukkan pukul 7.
********
“La, gue mau curhat, boleh?”
“Boleh, curhat aja.” Risa mengulum senyum tipis mendengar jawaban Lala. Ia ingin sekali bercerita, pada dasarnya pendengar juga butuh didengar.
“Gue kadang ngerasa capek sama hidup ini. Gue juga masih bingung, apa yang nyebabin bapak berubah? Gue pengen disayang kayak dulu sama bapak—”
Risa terdiam ketika ternyata Lala tak mendengarkan curhatannya. Ia malah asik membalas pesan pesan dari gebetannya. Ia mengurungkan niatnya untuk melanjutkan ucapannya. Risa memilih kembali diam, sepertinya memang ia disuruh untuk memendam semuanya sendiri.
“Loh, kenapa diem? Nggak jadi curhat?”
“Nggak.” Jawab Risa singkat seraya membaca bukunya kembali.
“Okelah, gue pergi dulu mau ketemu sama ayang.”
Selain disuruh sabar, apakah Tuhan menyuruhnya untuk memendam semuanya? Apa itu cerita? Pendam saja semua sendiri. Risa beranjak dari duduknya dan mulai melangkah keluar.
“Lo mau ke mana, Ris?” Tanya Lala yang saat itu berpapasan dengannya saat bersama pacarnya.
“Rooftop.” Lala mengernyit heran mendapat jawaban singkat dan sedikit dingin itu.
“Temen mu kenapa?”
“Nggak tahu, dia nyebelin banget.”
Di sini sekarang, rooftop menjadi tempat ternyaman dan teraman untuk Risa meluapkan emosinya. Matanya memandang jauh menerawang dunia.
Terlihat begitu menyedihkan. Risa menghela napasnya panjang. Se—berat inikah ujian hidupnya? Tak ada kakak ataupun adik yang bisa ia ajak berbagi. Risa harus memendam semuanya, tak ada siapapun yang bisa menjadi pendengar untuk Risa.
“Kenapa hidup gue gini amat ya?”
“Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untuk hidup kita.” Risa lantas berbalik kala terdengar seseorang yang datang.
“Jangan merasa jika Tuhan tidak adil, rencana Tuhan lebih baik daripada rencana kita, para umatnya.”
Risa diam mencerna semua ucapan laki laki di sampingnya itu. Memang benar, kita manusia hanya bisa berencana tanpa tahu bagaimana nanti takdirnya. Dan takdir Tuhan pasti yang terbaik.
“Gue Jeff, anak 12 C2.” Tak ada jawaban apapun dari mulut Risa. Ia tetap diam dan menatap lurus ke depan.
“Risa.”
“Udah tahu.” Risa mengangkat sebelah alisnya. Darimana Jeff bisa tahu namanya? Risa merasa tak mengenal laki laki ini.
“Adek gue kan ikut bela diri yang diajarin sama lo, Dio.” Ahh, rupanya begitu. Ternyata Dio memiliki abang, Risa baru tahu. Risa mengangguk sebagai jawaban. Langkahnya beranjak pergi dari sana.
Jeff memandang kepergian Risa. Baginya, Risa itu sangat tertutup. Bahkan ia hanya mengeluarkan satu kata saat berbicara dengannya. Dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Lalu, kenapa dia banyak bicara dan bahkan tertawa saat bersama Dio—adiknya?
Ia juga sempat menyadari terdapat luka di pelipis kirinya. Ingin bertanya, namun ia sungkan takut menyinggung Risa dan membuatnya tidak nyaman.
“Gue harus cari tahu tentang dia lebih banyak.”
*****
“95, 96, 97…” Batin Risa yang tengah menghitung hingga selesai. Ketika hitungan ke-100, Risa berhenti membatin dan beralih menatap bapak.
“Bapak benci kamu.” Hanya 3 kata namun mampu menusuk relung jiwa. Risa terjatuh saat kakinya terasa tak bisa lagi menopang berat tubuhnya.
Tangannya meraih rak yang terdapat tepat di depannya. Ia mengambil kotak P3K dan mengeluarkan sebuah obat. Risa mulai mengoleskan sebuah salep pada lututnya yang terluka akibat cambukan bapak.
Bahkan bekas cambukan bapak yang minggu lalu saja baru saja kering. Air mata yang sedari tadi ia bendung kini lolos begitu saja. Bukan, Risa menangis bukan karena luka di lututnya. Melainkan, luka di hatinya semakin dalam.
Ia menangis dengan posisi memeluk lututnya. Hujan tiba tiba turun dengan deras. Seakan mengerti keadaan Risa, suara tangisnya tak terdengar bercampur dengan rintikan hujan. Petir mulai menyambar dengan hebat.
“Ibu, Risa rindu ibu.” Suara Risa nampak parau. Mulutnya berapa kali menyebut ibunya. Di saat-saat seperti ini, Risa sangat membutuhkan pelukan hangat. Risa mengambil headphone yang berada di dalam tasnya. Ia lantas memakainya, Risa sangat membenci hujan. Karena pada saat hujan pula, bapak mulai berubah.
Memeluk dirinya sendiri, menenangkan dirinya sendiri. Sungguh mandiri bukan? Tetapi, seburuk apapun perlakuan bapak pada Risa. Ia sama sekali tidak bisa membenci bapak.
“Risa sayang bapak.”
*****
haiii ketemu lagi sama aku, jika kalian suka sama cerita ini minta tolong like vote and komennya yaa teman teman. jika ada kritik dan saran bisa langsung komen yaa gaiss💐
HAPPY READING 👀✨
Minggu ini, Risa gunakan untuk mengajar anak anak bela diri. Terlihat ia sudah bersiap sedari tadi. Sebenarnya kakinya masih sedikit sakit, tapi Risa mengabaikan itu semua. Lagipula ini sudah menjadi tanggung jawabnya. Tak mungkin ia tidak datang begitu saja hanya karena sakit yang menjalar di area kakinya.
Risa menuruni tangga dengan langkah pelan. Matanya melirik pada bapak yang masih terlelap. Jika seperti ini, bapak terlihat lebih tenang dan tidak menakutkan. Jika boleh jujur, setiap bapak mengamuk Risa sedikit ketakutan. Suara bapak yang menggema seakan menyerap oksigennya. Ia akan menjadi kesulitan bernapas dan terkadang tak sadarkan diri.
“Risa pergi dulu.” Pamit Risa dalam batinnya dan pergi meninggalkan rumah. Ia membuka pagar rumahnya dan mulai berjalan ke tempat di mana ia biasa mengajar anak anak. Sebenarnya Risa bisa saja menaiki sepedanya. Tetapi, jarak antara rumah dan tempat biasa mengajar anak anak tak terlalu jauh. Jadi ia lebih memilih untuk berjalan kaki.
“Hai, ketemu lagi.” Risa menoleh ke samping. Ia mengerutkan keningnya mencoba mengingat siapa laki laki yang menyapanya itu.
“Jeff, masa lupa?” Ahh, Risa ingat sekarang. Tapi darimana Jeff datang? Ia seperti hantu yang muncul tiba tiba.
“Pasti mau ngajar anak anak bela diri.”
“Iya,” jawab Risa dengan singkat. Risa paling malas harus berinteraksi dengan orang yang baru ia kenal. Terlebih lagi pada lawan jenis.
“Nih cewek bener bener introvert ya? Singkat banget balesnya.” Batin Jeff seraya mengaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia bingung harus memulai pembicaraan seperti apa.
“Em, lo umur berapa?” Risa menatapnya aneh. Buru buru ia berjalan cepat dan meninggalkan Jefff yang masih mematung. Ia merutuki kebodohannya.
“Duh, bodoh banget sih lo Jeff. Kenapa malah nanya itu sih?”
*****
“Hai anak anak,” sapa Risa dengan senyumnya yang manis.
“Kak Risa.” Anak anak berhamburan menyambut kedatangan Risa. Dengan senyumnya yang manis ia menerima pelukan yang diberikan oleh mereka.
“Sama mereka aja hisa senyum manis giliran sama gue cuek.” Gumam seseorang yang tak jauh dari sana. Ia berdecak sebal dengan menghentakkan kakinya seperti anak kecil yang merajuk jika tak dituruti keinginannya. Ia sampai tak menyadari jika sudah ada banyak semut yang mengerubunginya.
“Aduh, apa nih.” Tangannya menyingkirkan para semut yang mulai menggigit kulitnya. Ia sibuk dengan para semut yang mengakibatkan suara gaduh. Tanpa sadar orang itu muncul dari persembunyiannya.
“Bang Jeff.” Risa menoleh kala Dio menyebut nama seseorang yang tak begitu asing. Ya, orang itu adalah Jeff. Ia memang berniat untuk mengikuti Risa.
“Bang.” Jeff lantas menghentikan aksinya. Matanya bertemu dengan mata coklat Risa. Ia menyengir kuda menahan rasa malunya. Hancur sudah image—nya di depan Risa.
“Abang ngapain di situ?”
“Anu itu, nangkep serangga tadi. Yauda, semangat ya latihannya.” Jeff segera pergi begitu saja. Risa masih menatapnya heran, konyol sekali orang itu. Pikir Risa.
“Abang mu lucu.”
“Memang begitu, kak, rada sengklek otaknya.” Risa hanya terkekeh pelan mendengar tuturan Dio. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Risa segera memulai latihannya.
“Oke, kita pemanasan dulu ya. Siapa yang mau mimpin?”
“Aku kak, ini waktunya aku yang mimpin” jawab Dio yang langsung menunjuk diri. Risa memang lebih suka untuk menawari terlebih dahulu. Jika tidak ada yang mau, Risa akan menunjuk asal. Tujuannya agar mereka bisa belajar untuk memimpin. Dan untungnya setiap minggu mereka akan bergantian untuk memimpin.
“Kalian bikin jadwal ya?”
“Iya kak, biar kita bisa merasakan memimpin.” Jawab Bella—salah satu anak didikan Risa.
“Bagus, ya sudah Dio mulai sekarang.”
Dio langsung menurut akan titah Risa dan mulai memimpin pemanasan. Kurang lebih 10 menit pemanasan selesai. Di sambung dengan latihan inti. Risa mulai mengajari mereka satu persatu gerakan bela diri.
Selama 30 menit mereka berlatih, Risa meminta untuk berhenti terlebih dahulu. Ia menyuruh mereka untuk beristirahat sejenak. Dio memperhatikan Risa yang seperti menahan rasa sakit. Sedari tadi ia terus melihat Risa tengah memegangi kakinya. Dio pun berinisiatif untuk menghampiri Risa.
“Kakak kenapa? Aku liatin dari tadi kok kayak nahan sakit gitu?”
“Kakak nggak papa kok, ini cuma agak pegel aja dikit.” Jawab Risa bohong agar Dio tak menaruh curiga sama sekali. Tak mungkin ia bercerita yang sebenarnya pada Dio.
“Kak Risa kalau sakit bilang aja ya sama kita. Nggak papa kok kalau kita harus libur latihan dulu, asal kak Risa sehat sehat aja.” Ujar Dio dengan suara sendu.
“Kak Risa sakit ya?”
“Hah? serius kak? Kakak sakit apa?”
Risa tertegun kala anak anak mulai mengerubunginya. Mereka begitu khawatir akan keadaannya. Inilah yang membuat Risa semangat mengajar mereka. Rasa peduli mereka sangat tinggi terhadap sekitar. Risa seperti memiliki rumah. Rumah yang selama ini Risa harapkan.
“Kak Risa jangan sakit, aku sedih liat kak Risa sakit.” Risa terkejut melihat Bella yang menangis.
“Hey, kakak nggak sakit, sayang. Kakak sehat sehat aja kok, udah ya jangan pada sedih gini.” Ucap Risa yang menenangkan Bella yang kian terisak. Ia pun memberikan pelukan hangat pada anak anak itu. Dengan senang hati mereka membalas pelukan Risa.
“Terima kasih, Tuhan. Engkau telah mempertemukan hamba dengan anak anak baik hati ini.” Batin Risa yang bersyukur karena Tuhan mempertemukan mereka.
Ternyata benar, takdir Tuhan selalu yang terbaik. Mungkin Tuhan memberinya cobaan dengan bapak yang membencinya. Tak apa, setidaknya Risa masih punya anak anak ini yang selalu ada untuknya. Entah didikan seperti apa yang orang tua mereka berikan. Tetapi, mereka berhasil mendidik anak anaknya.
“Gimana kalau kak Risa traktir ice cream? Mau?”
“Mau!!” Jawab mereka dengan serentak.
“Let’s go.”
*****
Setelah mentraktir anak anak didiknya, Risa berjalan menuju rumahnya. Ketika ia asik berjalan dengan langkah pelan, matanya memicing melihat sesuatu. Ada segerombolan pemuda yang sepertinya tengah melakukan aksi begal. Ia heran hari masih menunjukkan petang, kenapa sudah ada pembegalan. Dengan cepat ia menghampiri segerombolan pemuda itu.
“Berhenti.” Para pemuda itu menatap Risa dengan tatapan takut. Risa pun mengernyit heran, apakah ia setan hingga membuat mereka ketakutan? Ia lupa jika para pemuda itu adalah pemuda yang waktu itu ingin membegal dirinya. Baru saja ingin melangkah, mereka sudah lari terbirit-birit. Persis seperti melihat setan.
Risa berjalan menghampiri orang itu. Ia memungut ponsel serta dompet yang berserakan. Risa mengulurkan tangannya membantu laki laki itu untuk berdiri.
“Mas nggak papa? Ini dompet sama ponselnya.” Risa terkejut ternyata orang yang ia tolong adalah Jeff—si orang aneh.
“Lo?”
“Hehe, kayaknya kita jodoh deh. Ketemu terus nih buktinya.” Risa memutar bola matanya malas. Ia kembali memasang wajahnya datar. Jeff ini memang orang aneh, tidak jelas dan konyol. Dengan segera Risa meninggalkan Jeff seorang diri. Baru kali ini ia merasa menyesal telah menolong orang.
“Hm, menarik.”
*****
Jangan bosen bosen buat baca yaa teman teman, dan terima kasih sudah mau berkenan membaca🥺💐
HAPPY READING👀✨
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!