LUSI!!!!!
LUSI !!!!!!
Samar, Lusi mendengar suara yang sedang memanggil namanya. Perlahan matanya terbuka dan tidak melihat siapapun disana.
"Lusi, kau bangun!" terdengar lagi suara yang mirip dengan suara ibunya. Lusi menoleh ke kiri dan melihat ibunya yang sedang menatap ke arahnya.
"Ibu! Apa yang terjadi?" tanyanya tidak mengerti.
Baru saja Lusi bersama ayah, ibu dan adiknya berbelanja di mall kota. Ketika pulang, mereka harus melewati sebuah terowongan yang menghubungkan kota Nado dan desa Nuli. Belum sampai setengah terowongan, muncul getaran hebat.
Beberapa kendaraan memilih untuk berhenti dan memeriksa apa yang sedang terjadi. Termasuk ayah Lusi. Terjadi gempa bumi yang cukup kuat tapi berakhir dengan cepat. Ayah Lusi kembali ke mobil dan mereka melanjutkan perjalanan pulang.
Tepat sebelum mencapai mulut terowongan, terjadi lagi gempa yang lebih kuat dari sebelumnya. Tiba-tiba dinding terowongan mengeluarkan suara keras. Menandakan adanya retakan pada terowongan dikarenakan gempa. Dan mendadak, sebuah beton besar menimpa mobil keluarga Lusi.
BRAKKK
Lusi yang masih sadar mencoba memanggil-manggil anggota keluarganya. Tapi tak ada jawaban. Ketika merasa putus asa, dia tak sadarkan diri.
"Nanti saja ibu cerita, yang terpenting sekarang kau keluar dari mobil"
Lusi mencoba menggerakkan seluruh bagian tubuhnya. Bisa digerakkan. Hal itu berarti dia baik-baik saja. Tapi pintu mobil tidak dapat dibuka. Sehingga ayahnya terpaksa memecahkan kaca mobil agar Lusi bisa keluar.
"Untunglah semua selamat" kata ayah Lusi yang memeluknya ketika berhasil keluar dari mobil.
Lusi melihat ke belakang dan merasa ngeri pada pemandangan yang ada di depan matanya. Debu beton yang hancur bercampur dengan udara yang mengalir ke dalam terowongan. Membuatnya bisa melihat begitu parah akibat gempa bumi pada terowongan ini.
Keluarga Lusi memutuskan untuk segera menjauh dari terowongan yang runtuh sebagian ketika ...
Tiba-tiba, lutut dan kepala sebelah kiri Lusi terasa seperti kesemutan. Lalu berubah menjadi sakit. Seperti dia yang mengalami luka di lutut dan kepalanya.
Setelah memeriksa lutut dan kepala sebelah kirinya, Lusi tidak menemukan luka apapun. Tapi kenapa terasa sangat sakit?
"Ada apa?" tanya ibunya yang menyadari keanehan pada Lusi.
"Sakit, tapi tidak ada luka" jawab Lusi.
"Apa?"
Ayah, ibu dan adiknya tidak mengerti pada perkataan Lusi. Dia sendiri juga tidak mengerti kenapa bisa merasakan sakit disaat tubuhnya tidak luka.
Lalu ...
"Tolong ... "
Lusi menoleh lagi ke terowongan yang ambruk. Kali ini, dia mendengar jelas sekali permintaan tolong dari seorang pria. Tapi ketika dia menoleh, yang terlihat hanya beberapa orang terluka keluar dari terowongan. Sama sekali tidak terdengar teriakan meminta tolong.
Apa telinganya ada masalah? Lusi memukul-mukul telinganya, memastikan tidak mendengar teriakan minta tolong itu lagi.
"Tolong aku ... "
Permintaan tolong itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas dan keras.
"Ada apa?" tanya ayah Lusi.
"Ada orang yang meminta tolong" jawab Lusi.
Ayahnya melempar pandangan ke seluruh terowongan dan tidak menemukan siapapun berteriak minta tolong.
"Tidak ada teriakan minta tolong" kata ayahnya membuat Lusi merasa ragu dengan pendengarannya lagi.
"Tolong, kakiku ... "
Teriakan itu terdengar lagi. Kali ini begitu jelas terdengar. Sakit di kepala kiri dan kakinya juga semakin menjadi-jadi.
"Ada yang terluka" kata Lusi tanpa berpikir panjang berlari ke arah terowongan.
"Lusi!!!!" teriak ibunya.
"Kak!! Kamu mau apa??" sambung adiknya.
Tapi Lusi tidak mempedulikan keduanya dan tetap berlari ke dalam terowongan. Jelas-jelas dia mendengar teriakan minta tolong di telinganya. Pasti ada orang yang meminta tolong di dalam terowongan runtuh ini, pikirnya mulai memeriksa semua mobil dan kendaraan yang ada di bawah terowongan.
Orang itu pasti sangat terluka dan tidak bisa keluar dari terowongan sehingga memanggil lewat telepati. Dan kebetulan Lusi mendengarnya. Seperti itulah otak anak berusia 15 tahun yang suka dengan cerita fiksi ilmiah
Tapi kenapa tidak ada siapapun yang dia temukan? Semua orang sudah menyelamatkan diri. Membawa tubuh mereka keluar dari terowongan. Apa memang Lusi sedang berkhayal sekarang?
Tidak. Dia tidak mungkin berkhayal. Karena rasa sakit di kepala dan kakinya begitu nyata terasa. Lusi kembali mencari kendaraan dan orang yang mungkin tertinggal.
Hampir kehilangan harapan, Lusi melihat seberkas cahaya lampu dari dinding terowongan yang runtuh.
"Mobil" serunya lalu berlari kencang menuju cahaya itu.
Benar tebakannya. Ada mobil hitam di bawah puing dinding terowongan yang runtuh.
"Tolong, tolong aku ... Kumohon" ucap seseorang di kursi penumpang belakang.
Akhirnya, dia menemukan orang yang meminta tolong itu. Membuktikan kalau dia memang tidak sedang berkhayal.
"Tenang Tuan, saya akan menolong Anda" teriaknya mencoba menenangkan pria itu. Lusi mencoba membuka pintu dan berhasil. Tapi ... Kaki kiri pria itu terjepit kursi depan. Yang merupakan tempat duduk supir yang terlihat tak bergerak lagi.
"Tolong aku" kata pria itu lagi.
Melihat ukuran pria itu yang dua kali lebih besar darinya membuat nyali Lusi menciut. Dia tidak mungkin bisa menarik pria itu keluar. Dan seperti mengetahui kesulitannya, ayah Lusi muncul tepat dibelakangnya.
"Kenapa kau berlari masuk?!" tanya ayahnya.
"Ayah, Ada orang terjepit"
Melihat pria yang terjepit, ayahnya mulai berkeliling mobil. Mencari cara terbaik untuk mengeluarkan pria itu dari mobil.
"Ayah akan mencoba menariknya, kau harus memperhatikan dinding terowongan yang ada di atas mobil!" ucap ayahnya.
"Iya"
Lusi melihat ayahnya menarik pria itu. Walau kesulitan tapi akhirnya pria itu berhasil dikeluarkan dari mobil.
"Lusi, topang leher pria ini. Ayah akan memeriksa keadaan pria yang satunya"
"Baik"
Lusi segera menopang leher pria yang baru saja ditarik keluar. Dan dia segera terpukau dengan wajah pria itu yang ternyata sangat tampan. Dahi luas dengan alis tegas, jembatan hidung yang tinggi dan bibir kemerahan.
"Sayang sekali, pria satunya sudah meninggal" kata ayahnya setelah memeriksa pria yang tertinggal dalam mobil.
"Ayah tidak akan mengeluarkan pria yang meninggal itu?"
"Reruntuhan di atasnya terlalu berat, tubuhnya tidak bergeming meski ayah berusaha menarik dengan kuat"
Lusi mendesah karena menyesal. Seharusnya dia mempercayai instingnya dan cepat kembali ke dalam terowongan. Mungkin saja pria itu masih hidup.
"Lalu bagaimana ayah?" tanyanya.
"Kita harus membawa pria ini keluar dari terowongan. Kalau terjadi gempa lagi, kita tidak boleh berada disini!"
Mengangkat pria itu dengan ayahnya, Lusi merasa kesulitan. Tapi dia tetap berusaha melangkah. Dan ketika tanah bergetar lagi, ayahnya mempercepat langkah.
"Lusi, lari!!"
Lusi segera mengikuti langkah cepat ayahnya keluar dari terowongan. Tepat ketika mereka keluar, beberapa bagian terowongan kembali runtuh.
Beberapa menit kemudian ambulance dan petugas pemadam kebakaran berdatangan. Petugas medis memeriksa semua orang. Pria yang terluka itu bersama korban lain yang terluka segera dibawa ke rumah sakit.
Begitu juga Lusi dan keluarganya, pergi ke rumah sakit meski mengalami luka kecil.
Lusi dan keluarganya duduk di lorong rumah sakit setelah menerima pengobatan atas luka-luka kecil mereka. Sebagian korban runtuhnya terowongan juga telah ditangani sebaik mungkin. Tanpa terkecuali pria tampan yang Lusi dan ayahnya selamatkan.
Setelah melengkapi data korban, ayah Lusi mengajak keluarga pulang. Tapi mereka berdiri termangu di depan rumah sakit, bingung cara untuk pulang karena mobil hancur di terowongan.
"Mobilku!! Hancur sudah" sesal ayahnya tidak bisa mengendarai mobil lagi.
"Padahal cicilannya masih tiga tahun lagi" tambah ibunya.
"Aku lapar" kata adiknya mengeluh akan hal lain.
"Kita jalan saja bagaimana?" usul Lusi.
Suasana rumah sakit yang hiruk pikuk terpecah setelah kedatangan dua mobil hitam yang mengapit sebuah ambulance besar. Ketiganya berjejer tepat di depan rumah sakit.
"Pasti pejabat yang ingin menengok korban" kata ayah Lusi.
"Mobilnya terlalu mewah untuk seorang pejabat kota kecil" tambah ibunya.
"Horeee ada orang terkenal!" seru adiknya.
"Ayo kita pulang" ajak Lusi.
Beberapa pria berbadan besar dengan setelan serba hitam keluar dari mobil depan dan belakang. Mereka berlari ke arah rumah sakit dengan gerakan kompak.
Tak lama ada keributan disana. Para pria besar itu ternyata membawa seorang pasien yang masih berada di atas ranjang keluar, menuju mobil mereka. Disertai beberapa dokter dan perawat yang menyusul di belakangnya.
Ternyata pasien yang dibawa adalah pria yang Lusi dan ayahnya selamatkan. Sepertinya pria itu bukan orang biasa.
"Pasti orang kaya" tebak ayah Lusi.
"Pewaris konglomerat kaya" tambah ibunya
"Aku harus mengambil foto" kata adiknya yang siap mengambil foto dengan ponselnya.
"Itu bukan urusan kita, ayo pulang!" ajak Lusi.
Pria tampan itu dibawa masuk ambulance. Meski tidak pernah mengenal pria itu, Lusi merasa lega bisa menyelamatkannya. Dan akhirnya setelah beberapa lama, Lusi dapat mengajak keluarganya pulang.
Bayangan pulang ke rumah untuk berbaring di ranjangnya yang nyaman buyar sudah. Karena rumah yang telah ditinggali selama kurang lebih lima belas tahun itu hancur karena gempa.
"Hancur semuanya" kata ayah Lusi.
"Rumahku!!" ratap ibunya.
"Kapan aku bisa makan??" tanya adiknya.
" ... " Lusi tidak bisa berkata-kata dan segera pergi ke puing-puing rumah untuk menyelamatkan barang-barangnya.
Setelah berjuang menyelamatkan barang berharga mereka, keluarga Lusi terpaksa mengungsi di aula pertemuan desa. Mereka berkumpul dengan beberapa warga yang rumahnya ikut hancur dalam bencana gempa kali ini.
Pemerintah desa Nuli datang ke aula, mencoba untuk menenangkan warganya. Membawa makanan yang akhirnya bisa memenuhi rasa lapar adik Lusi yang sejak tadi merengek terus.
"Pemerintah desa Nuli sangat bersedih atas bencana gempa kali ini. Kami akan membantu pembangunan lagi rumah Anda. Tapi, tidak bisa memberikan banyak karena rumah yang hancur lebih banyak dari perkiraan. Kami mohon pengertian Anda semua"
Demikian pengumuman Kepala desa yang membuat keluarga Lusi kembali termangu. Mereka sedang berada dalam keadaan tidak baik. Ayah Lusi tidak bekerja selama enam bulan terakhir, membuat tabungan tergerus untuk membiayai sekolah dan kebutuhan sehari-hari.
Kalau sisa tabungan diambil semua untuk membangun rumah kembali, jumlahnya pasti tidak akan cukup. Malam itu ketika Lusi dan adiknya beristirahat, kedua orang tuanya berbincang sampai tengah malam. Dan paginya, mereka mengambil keputusan yang mengejutkan.
"Ayah dan ibu memutuskan menyewa rumah di kota Nado" kata ayahnya.
"Nanti setelah dibersihkan, tanah di desa akan dijual. Dan semoga saja bisa untuk membuka usaha kecil-kecilan di kota" tambah ibunya.
"Sekolahku juga pindah ke kota!! Hore!!" sorak adiknya senang atas keputusan orang tua mereka.
"Lusi menurut saja" ucap Lusi karena tahu orang tuanya pasti telah memikirkan segala kemungkinan dan akhirnya mengambil keputusan ini.
Akhirnya keluarga Lusi bekerja sama dengan pemerintah desa, membersihkan puing-puing rumah mereka. Menyisakan tanah kosong yang membuat sedih.
Sebulan kemudian, Lusi dan keluarganya resmi pindah ke kota. Dilepas oleh para tetangga yang sama-sama saling mendoakan.
"Kita harus berjuang di kota!" ucap ayahnya ragu.
"Tenang ayah. Kita akan mendukung ayah. Semua anggota keluarga juga ikut berjuang" tambah ibunya berusaha memberi semangat.
"Selamat tinggal desa kecil. Selamat datang kota besar!" kata adik Lusi begitu bangga pindah ke kota.
" ... " Lagi-lagi Lusi tidak bicara. Dia bingung akan keadaan baru yang akan segera dihadapi di kota.
Sesampainya di kota, Lusi dan keluarganya melihat rumah susun tinggi yang berada dalam lingkungan ramai. Rumah sewa mereka berada di lantai tiga. Dengan tiga kamar kecil dan ruang serbaguna, kamar mandi dan dapur sempit.
"Maaf sisa tabungan kita hanya bisa menyewa rumah seperti ini" kata ayahnya.
"Ini sudah bagus ayah" tambah ibunya.
"Sempit sekali!! Aku mau rumah yang lamaaa!!" ratap adiknya dengan kesedihan berlebihan.
"Mana kamarku?" tanya Lusi segera membawa masuk barang-barangnya.
Seminggu setelah pindah, tanah di desa terjual. Tapi dengan harga yang murah. Karena keadaan di desa cukup berat setelah gempa. Hasil penjualan tanah segera dibuat usaha oleh ayah dan ibu Lusi. Mereka membuka sebuah warung mie.
Di awal berjualan, Lusi harus membantu setelah sekolah. Demi menghemat biaya pegawai.
Perlahan tapi pasti, usaha keluarga Lusi dikenal dan ramai pengunjung. Tabungan mereka yang awalnya menipis, kini semakin menebal. Dan akhirnya dapat membeli rumah di kota Nado ini. Keempatnya begitu senang karena kehidupan mereka membaik setelah enam bulan pindah ke kota.
Dan Lusi tak perlu lagi membantu di warung mie mereka. Dia memiliki banyak waktu untuk belajar dan main.
Tapi, ada yang berubah dengan tubuhnya.
Pada suatu malam, ketika Lusi sedang tertidur. Dia mengalami sebuah sentuhan di bagian intimnya. Tentu saja Lusi tak mempedulikannya. Namun ketika menemukan celana dalamnya basah di pagi hari, Lusi merasa ada yang aneh sedang terjadi.
Ketika hal ini berulang selama tiga kali, Lusi mulai merasa ada yang salah dengan tubuhnya.
Pada suatu malam saat Lusi begadang untuk belajar, dia mengalami hal aneh itu lagi. Kali ini ketika dia terjaga.
Lusi benar-benar merasakan ada sesuatu yang menyentuh bagian intimnya. Menyentuh terus menerus sampai Lusi merasakan sesuatu yang intens di bagian bawah perutnya. Ketika semua selesai, Lusi merasa bahagia namun malu disaat yang sama.
Sungguh sebuah perasaan yang tak pernah dia alami sebelumnya.
Hal ini membuat Lusi sadar ada yang salah dengan dirinya. Dia harus membicarakan hal ini pada orang tuanya. Tapi karena kedua orang tuanya terlalu sibuk membangun usaha, Lusi tak bisa mengatakannya. Dan hanya bisa memendam hal itu dalam hati.
Lama kelamaan, Lusi mulai terbiasa dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Dan tidak pernah berpikir kalau hal itu adalah sesuatu yang aneh lagi. Malah menikmatinya ketika hal itu terjadi.
Lima tahun kemudian, Lusi yang baru saja lulus dari sekolah tinggi sedang membantu kedua orang tuanya menjadi kasir. Mengisi waktu sebelum bertarung dengan banyak pencari kerja lain. Sedangkan adiknya menjadi pelayan yang malas.
"Cepat layani tamu!!" teriak ayah Lusi memerintah adiknya. Dengan ogah-ogahan, adik Lusi pergi melayani tamu. Sedangkan Lusi tetap berada di balik meja kasir.
Malam semakin larut dan tibalah saatnya untuk menutup warung. Berempat mereka lelah ketika sampai di rumah. Lusi segera masuk ke dalam kamar dan berbaring di atas ranjangnya yang empuk.
Mendadak, hal itu datang. Padahal dia sudah lelah sekali. Seperti biasanya, hal itu tak bisa dia hentikan dengan keinginan kuat sekalipun. Dia hanya bisa menerima kenikmatan yang datang beberapa saat setelah hal itu terjadi.
Lusi mengerang pelan menahan rasa nikmat yang malam ini terasa begitu jelas. Lalu adiknya membuka pintu kamar. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dan melihat bagaimana Lusi mengerang di atas ranjang juga mendengar desahannya.
"Apa yang kakak lakukan?"
Lusi yang terkejut segera duduk di atas ranjang dan marah kepada adiknya yang tak sopan sama sekali.
"Kenapa kau tidak mengetuk pintu?!" teriaknya kesal.
"Memangnya kenapa kalau aku tidak mengetuk pintu? Memangnya apa yang tak boleh aku lihat?" ucap adiknya lalu berubah ekspresi wajah. Sepertinya baru mengerti apa yang sedang Lusi rasakan baru saja.
Tiba-tiba saja adiknya berlari keluar kamar. Menyerbu ke kamar orang tua mereka dan mengatakan pengamatan singkatnya. Membuat Lusi menutup dan mengunci pintunya. Dia merasa malu, karena sesuatu yang tak pernah dia lakukan namun merasakannya dengan jelas.
Keesokan paginya, Lusi sengaja bangun lebih siang dari semua anggota keluarganya. Tak menyangka ibunya masih berada di rumah. Menyiapkan sarapan untuknya.
Lusi duduk di meja makan dan ibunya menoleh. Mereka saling tatap selama beberapa detik lalu melanjutkan kegiatan masing-masing.
Tidak bisa menahan rasa ingin tahu, ibu Lusi duduk di hadapannya dan mulai bertanya,
"Apa yang kau lakukan di kamar? Apa benar kata adikmu, kalau kau ... Melakukan sesuatu untuk memuaskan diri sendiri?"
Lusi menutup matanya sebentar lalu membuka matanya lagi. Siap untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya.
"Hal ini dimulai sejak setelah gempa saat itu. Ada sesuatu yang terjadi pada tubuhku. Tapi aku tidak melakukan apa-apa, Bu"
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak melakukan apapun Bu. Tapi merasakannya"
Ibunya tampak bingung dengan penjelasan Lusi. Karena memang sulit untuk memahami apa yang terjadi padanya.
"Kau tidak melakukan upaya memuaskan diri sendiri?"
"Tidak"
"Tapi kau merasakannya?"
"Iya. Tiba-tiba saja bagian itu terasa seperti sedang dimasuki sesuatu. Dan membuat Lusi seperti itu"
"Apa??"
Ibunya mendadak mengambil garam lalu pergi ke kamar Lusi. Lalu mulai menaburkan garam di sekitar pintu dan jendela kamar.
"Apa yang ibu lakukan?" tanya Lusi tidak mengerti kelakuan ibunya.
"Kalau kau memang benar tidak melakukan tapi merasakan. Itu artinya ada makhluk jahat yang melakukannya. Pasti makhluk jahat itu bersarang di kamarmu. Apa makhluk jahat itu adalah kiriman orang jahat untuk menghancurkan warung mie kita?"
Lusi terpaksa menghentikan ibunya dari pemikiran yang tak benar.
"Tidak ada Bu. Tidak ada apa-apa di kamarku. Itu terjadi tidak setiap hari. Hanya beberapa kali saja selama lima tahun ini. Hanya saja semalam hal itu muncul dan adik menemukannya"
"Benar?"
"Iya"
"Meskipun jarang terjadi, bagaimana kalau kita ke dokter saja? Setidaknya harus ada penjelasan kenapa hal itu terjadi padamu" saran ibunya dan Lusi menerima. Sebenarnya beberapa kali dia ingin melakukannya. Pergi ke dokter dan mencari jawaban kenapa hal ini terjadi padanya. Tapi dia merasa terlalu malu.
Dan sekarang, atas desakan ibunya dia datang ke dokter kandungan.
Setelah pemeriksaan, dokter tidak menemukan keanehan dan menyarankan Lusi pergi ke psikolog. Mungkin saja dia akan mendapatkan jawaban yang lebih tepat disana.
Bersama ibunya, Lusi datang ke psikolog. Sesudah pemeriksaan menyeluruh, dokter juga tidak menemukan keanehan pada tubuh Lusi.
"Ini adalah sesuatu yang aneh sekaligus menakjubkan. Apa hanya hal itu saja yang terjadi? Apakah tidak ada hal lain terjadi?"
Lusi ragu bicara namun tatapan ibunya yang penuh kekhawatiran membuatnya tak bisa menyembunyikan hal ini lagi.
"Sejak lima tahun lalu, saya juga mengalami sesuatu."
"Apa yang kau rasakan?" tanya dokter antusias.
"Saya merasakan sakit di berbagai bagian tubuh. Padahal tidak jatuh atau terbentur"
"Jadi kau hanya merasakan sakit begitu saja? Tanpa sebab?"
"Iya. Saya tidak terbentur atau jatuh, tiba-tiba kaki saya sakit. Tangan saya serasa seperti teriris. Tapi anehnya, kalau saya sedang terbentur atau jatuh. Saya tidak merasa sakit sama sekali"
"Sungguh aneh"
Bahkan dokter menganggap apa yang terjadi pada Lisa adalah sesuatu yang aneh. Itu berarti belum ada kasus sepertinya yang pernah terjadi.
"Sebelum berusia 15 tahun, saya selalu mengalami sakit pra menstruasi. Tapi sekarang, tidak ada rasa sakit menjelang menstruasi"
Dokter tampak bingung, menyenderkan punggungnya ke belakang dan mulai berpikir. Tapi kelihatannya tidak mendapatkan jawaban apapun. Malah menyarankan Lusi untuk scan otak dan menjalani konseling. Pasti dokter berpikir ini adalah cerita karangannya saja. Sama seperti teman yang mendengar ceritanya.
Sesuai arahan dokter, Lusi menjalani semua pemeriksaan. Dan hasilnya, Lusi tidak memiliki kelainan di otak dan pikirannya. Dia benar-benar normal kecuali mengalami suatu keanehan yang tak dirasakan orang lain.
"Saya akan terus mencari sebab dari apa yang kau alami. Tapi saya tidak tahu akan menghabiskan waktu berapa lama. Apa kau bisa menahannya? Atau kau membutuhkan obat?" tanya dokter seakan percaya pada apa yang Lusi katakan.
"Bisa. Saya bisa menahannya"
"Baiklah. Seperti itu saja. Semoga saja saat kita bertemu untuk yang kedua kalinya. Saya sudah menemukan penyebab apa yang kau alami"
Lusi merasakan harapan dari kata-kata dokter. Dia merasa dipercaya meski mengatakan sesuatu yang aneh dan hal itu membuatnya senang sekali.
Lusi dan ibunya keluar dari ruang dokter untuk pulang.
Sedangkan dokter membuka brankas, mengambil sebuah berkas dan membacanya dengan seksama.
"Dua orang. Berbeda kelamin. Berbeda usia. Keduanya tidak terlihat memiliki hubungan keluarga. Satunya berasal dari keluarga konglomerat. Dan satunya berasal dari keluarga biasa. Tapi keduanya merasakan gejala yang sama. Merasakan sakit ketika tidak terjatuh atau terbentur. Dan tidak merasa sakit ketika benar-benar terluka. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana hal ini bisa terjadi?" tanya dokter pada ruangan kosong.
Dokter kembali mengamati berkas kedua orang itu dan menggeleng-gelengkan kepala. Ini adalah sebuah anomali yang menarik untuk diteliti.
Lalu sebuah pikiran aneh muncul di kepala dokter itu.
"Apa keduanya terhubung? Apa ketika wanita ini kesakitan, pria itu yang merasakannya? Atau sebaliknya?"
Mendadak dokter merasa tertantang untuk menyelidiki hal ini. Dia harus membuat tim peneliti yang bisa mengamati keduanya secara diam-diam.
Dokter menghubungi beberapa orang dan membentuk tim. Bertugas menyelidiki apakah keduanya benar-benar terhubung atau hanya mengalami gejala yang sama saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!