Woooo!
Keluarkan!
Keluarkan yang paling cantik lagi!
Suara teriakan dan sorakan menggema di Vaganza Ternity, tempat pelelangan budak mewah yang terkenal. Kristal-kristal dari lampu gantung bertaburan memantulkan cahaya ke wajah-wajah serakah para hadirin.
Bau parfum mahal dan keringat bercampur aduk di udara menandakan ketegangan yang mencekam. Di antara kerumunan para pebisnis dan pengusaha kaya raya itu, ada Zico Archiven. Pria tampan berusia 35 tahun dengan setelan jas mahal, berdiri tegak.
Sorot matanya menyapu ruangan penuh dengan hasrat yang terselubung di balik senyum tipisnya. Dia datang untuk sebuah tujuan yaitu membeli seorang budak perempuan untuk memuaskan keinginannya.
“Siap-siap, Tuan-Tuan!” seru seorang lelaki paruh baya dengan suara lantang dari atas panggung.
Lelaki itu adalah sang pelelang, dia mengenakan jas yang tampak sedikit kusut. Senyumnya merekah lebar pada semua orang. Dia tampak bersemangat di sana. Di belakang pria itu ada sebuah tirai merah tua yang menutupi panggung.
Tirai itu perlahan-lahan ditarik dan memperlihatkan seorang gadis muda yang berdiri tertunduk di atas mimbar. Zico mengamati gadis itu dengan seksama. Rambutnya yang hitam panjang terurai, menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Tubuhnya kurus l, tetapi posturnya tegap menunjukkan sedikit sisa keberanian di tengah keputusasaan.
“Nomor 17,” kata sang pelelang dengan lantang. “Gadis muda yang cantik dan patuh. Harga pembuka 50.000 dolar!”
Beberapa pria langsung berseru, menawar dengan angka yang semakin tinggi. Zico masih mengamati gadis itu. Dia menilai dari setiap detail yang terlihat. Zico melihat ada seutas air mata yang mengalir di pipi gadis itu, tetapi gadis itu tetap tegar.
Tidak ada suara rintihan atau tangisan yang keluar dari bibirnya. Hanya diam menandakan keputusasaan yang dalam. Sorot matanya terlihat penuh dendam saat menatap lantai.
“Seratus ribu dolar!” teriak seorang pria berbadan besar dengan cincin berlian di jarinya. Pria itu dengan wajah sombongnya menawar gadis tersebut.
Zico mengerutkan kening, ia tidak terburu-buru. Dia ingin gadis itu, tetapi ia tidak akan terpancing oleh persaingan yang bodoh. Zico menunggu, mengamati, hingga harga tawaran mulai melambat. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk membuka harga.
“Seratus lima puluh ribu dolar!” tawar Zico dengan suaranya tenang dan tegas. Semua mata tertuju padanya.
Sang pelelang tersenyum lebar. “Seratus lima puluh ribu dolar! Ada yang menawar lebih tinggi?”
Hening. Tidak ada yang berani menyaingi tawaran Zico.
“Terjual!” seru sang pelelang.
Zico mengangguk tatapannya tetap tertuju pada gadis itu, yang kini tampak semakin putus asa. Dia tahu, gadis itu akan menjadi miliknya. Dan di balik senyum tipisnya, tersimpan rencana yang jauh lebih gelap daripada sekadar memuaskan hasrat. Zico akan memiliki gadis itu, tetapi dia juga akan menghancurkannya.
Zico turun dari tempat duduknya dengan langkah pasti dan tenang. Pesonanya memancar di bawah sorotan lampu, dan setiap langkahnya mengundang perhatian. Wajah tampan Zico dibingkai dengan rambut hitam yang disisir rapi, memancarkan aura dingin dan misterius.
Tidak ada yang mengenalnya di tempat itu. Sebuah fakta yang dia sukai dalam perjalanan bisnisnya. Akan tetapi, kunjungan singkat ke Vaganza Ternity telah menjadi prioritas. Dia membutuhkan seorang pelayan pribadi, dan gadis nomor 17 adalah pilihannya.
Di belakang panggung suasana jauh lebih suram daripada keramaian di ruang pelelangan. Bau apek dan lembap memenuhi udara, bercampur dengan aroma keringat dan ketakutan. Gadis itu berdiri di sudut ruangan, tubuhnya gemetar dengan pandangan kosong. Zico mendekatinya, mengamati lebih dekat kecantikan gadis itu di bawah cahaya redup.
Kulitnya putih bersih, kontras dengan gaun tipis yang dikenakannya. Matanya yang indah, besar dan gelap, berkaca-kaca menahan air mata. Hidungnya mancung, bibirnya merah alami seperti buah ceri yang ranum.
Zico tertegun sejenak, mengakui dalam hati bahwa pilihannya memang tepat. Kecantikan gadis itu memikat, tetapi di balik itu, Zico melihat ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah kesedihan yang tak terucapkan.
"Siapa namamu?" tanya Zico, suaranya tenang dan berwibawa. Gadis itu hanya tertunduk, tak berani menatap mata Zico.
"Jawab aku!" perintah Zico, suaranya sedikit lebih keras.
Gadis itu tersentak, dan dengan suara gemetar, dia menjawab, "A-Aurora..."
Zico mengangguk pelan. "Aurora," ulangnya, seperti menguji nama itu di lidahnya. "Mulai hari ini, kau akan menjadi pelayan pribadiku. Patuhi setiap perintahku, dan kau akan aman."
Ancaman tersirat dalam kata-kata Zico membuat Aurora mengerti. Dia tidak berani membantah dan hanya mengangguk patuh. Zico melihat ketakutan yang terpancar dari mata Aurora, tetapi dia juga melihat sesuatu yang lain. Sesuatu itulah yang membuat Zico semakin tertarik.
Setelah menyelesaikan pembayaran dan menandatangani beberapa dokumen, Zico membawa Aurora keluar dari Vaganza Ternity. Aurora berjalan mengekor di belakangnya.
Udara malam terasa dingin di kulit. Aurora langsung melipat kedua tangan untuk menutupi lengannya yang terekspos. Zico membuka jasnya dan diberikan pada gadis tersebut.
"Masuk ke mobil, kita ke hotel," ucap Zico tegas.
Aurora hanya mengangguk patuh. Mobil berjalan meninggalkan tempat itu. Sepanjang perjalanan, Zico tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aurora juga diam sambil melihat jalanan yang sepi.
Keheningan di antara mereka terasa berat dan dipenuhi dengan ketegangan. Aurora tidak tahu apa yang menantikannya di masa depan, tetapi dia bisa merasakan bahwa masa depannya akan sangat berbeda dari apa yang pernah dia bayangkan.
Aurora tidak bisa mengingat apa pun. Dia tidak tahu dirinya itu siapa? Hingga dirinya berakhir tragis di tempat pelelangan itu. Aurora menggenggam erat roknya. Jari-jarinya memutih karena tegang. Dia sesekali melirik Zico dari sudut matanya, mencoba untuk memahami pria yang telah membelinya ini.
"Apa yang ada di balik tatapan dingin dan misterius itu? Apakah aku akan baik-baik saja setelah ini? Apa dia akan memperlakukan ku dengan baik? Tuhan, semoga dia menjadi malaikat yang bisa menyelamatkanku," gumam Aurora dalam hati.
Beberapa menit berjalan, mobil berhenti di depan sebuah hotel mewah. Zico keluar lebih dulu. Dia memberikan perintah pada asistennya untuk mengurus Aurora.
Aurora keluar dari mobil, dia melangkah dengan hati-hati ke dalam lobi hotel yang megah. Bau parfum mahal memenuhi udara. Semuanya terasa asing dan menakutkan baginya.
"Nona mari ikut saya!" ajak Fedric asisten kepercayaan Zico.
Aurora mengangguk, dia berjalan mengikuti Fedric. Mereka sampai di tempat spa. Fedric meminta pelayan untuk memberikan perawatan terhadap Aurora.
"Nona, silakan ikut mereka. Anda harus tampil bersih jika ingin bertemu dengan Tuan. Saya akan ke sini lagi setelah Anda selesai." Fedric mengangguk sopan, dia meninggalkan Aurora sendiri.
Gadis itu diajak masuk oleh pelayan hotel. Dalam hatinya masih bertanya-tanya. Apa tugasnya sehingga diperlakukan seperti ini.
"Apa Tuan itu hanya membutuhkan tubuhku? Apa arti pelayan pribadi? Kenapa aku merasa takut dengan semua ini?" tanya Aurora dalam hati.
Pintu ruang perawatan spa terbuka perlahan, mempersilakan Aurora masuk. Aroma terapi yang menenangkan, campuran lavender dan chamomile, langsung menyambutnya. Ruangan itu tampak elegan, dengan pencahayaan redup yang menciptakan suasana damai.
Beberapa terapis berdiri tegak, menyambutnya dengan senyum ramah dan sangat profesional. Salah seorang terapis wanita paruh baya dengan mengulurkan tangannya. "Selamat datang, Nona. Silakan ikuti saya."
Aurora mengangguk, dia mengikuti terapis itu menuju sebuah ruangan yang lebih kecil, di mana sebuah bak mandi besar berdiri megah di tengah ruangan. "Nona, silakan bersihkan tubuh Anda terlebih dahulu. Kami sudah menyiapkan air hangat yang telah dicampur dengan aroma terapi untuk membantu Anda rileks."
Aurora menurut, dia menanggalkan pakaiannya dengan hati-hati dan merasa sedikit canggung. Gadis itu membersihkan tubuhnya dengan perlahan, membiarkan aroma terapi harum memenuhi ruangan
Dalam bak mandi yang dipenuhi busa dan juga air hangat, Aurora terus menggosok kulitnya. Gadis itu memejamkan mata dan membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang menenangkan.
Seorang terapis lain datang, bersiap untuk mencuci rambut Aurora. Sentuhan lembut jari-jari terapis itu di kulit membuat Aurora merasa nyaman. Dia menikmati setiap sentuhan, setiap buih sabun yang membersihkan rambutnya.
"Bagaimana, Nona? Apakah Anda merasa nyaman?" tanya terapis yang memijit lembut kepalanya
Aurora membuka matanya, tersenyum tipis."Sangat nyaman. Terima kasih."
Untuk sesaat, pikiran-pikiran buruk tentang apa yang terjadi sirna untuk sementara. Dia hanya fokus pada sensasi menenangkan yang diberikan perawatan spa. Aurora membiarkan dirinya terhanyut dalam kedamaian, melupakan sejenak beban hidup yang menimpanya.
Dua jam berlalu, Aurora terbaring di ranjang perawatan. Tubuhnya masih terasa nyeri. Perlahan ia membuka mata dan menatap langit-langit kamar yang asing. Bau parfum mewah dan aroma bunga-bunga mahal memenuhi ruangan.
Perawatannya telah selesai. Sentuhan-sentuhan lembut para terapis masih terasa di kulitnya. Suara langkah kaki yang pelan mendekat memecah kesunyian. Ia melihat bayangan beberapa wanita memasuki ruangan, membawa kotak-kotak make up dan berbagai perlengkapan kecantikan.
Mereka adalah para penata rias, dan Aurora tahu, ini semua atas perintah Zico. Pria yang membelinya dari tempat pelelangan itu. Dia merasakan sesak di dadanya. "Cantik dan sempurna? Untuk apa?" gumamnya dalam hati.
Salah seorang penata rias mendekat. "Nona, mari ikut kami. Anda harus ber makeup."
Aurora hanya diam, matanya menatap kosong ke arah mereka. Meski ada keraguan, tetap saja dia harus patuh. Tangan-tangan terampil itu mulai bekerja, merias wajahnya dengan bedak dan lipstik.
"Silakan Anda pakai dress ini, Nona," kata penata rias lainnya, sambil mengangkat sebuah dress satin berwarna coklat muda yang berkilauan.
Dress itu tampak mahal dan elegan. Aurora segera memakainya. Rambut panjangnya yang berkilau dibiarkan tergerai. Kecantikan alami yang dimilikinya memang tak bisa dipungkiri, namun kecantikan itu terasa seperti kutukan baginya saat ini.
Dia hanya boneka yang dipamerkan, sebuah barang mahal yang akan menghibur pemiliknya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi ia berusaha menahannya.
Setengah jam kemudian, Aurora akhirnya siap. Ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Gadis cantik dalam balutan dress satin itu bukanlah dirinya yang sebenarnya. Aurora menghela napas panjang, lalu berkata lirih,"Semua ini sia-sia ...."
Langkah kaki pelan terdengar dari balik pintu. Pintu terbuka, memperlihatkan Fedric asisten kepercayaan Zico berdiri tegap di ambang pintu. Pria itu memanggil Aurora. “Nona waktu telah habis, mari ikut saya ke tempat Tuan.”
Wajah Fedric datar tanpa ekspresi. Hanya sorot mata yang tajam dengan postur tubuh yang tinggi dan tegap. Aurora ingin bertanya sesuatu, tetapi dia bingung memulainya dari mana.
"Nona," panggil Fedric, suaranya rendah dan berat, tanpa sedikitpun nada ramah. "Tuan Zico sedang menunggu Anda."
Aurora menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. Ia tak berani menatap mata Fedric terlalu lama. Pandangannya kembali tertuju ke arah lain sambil mengangguk pelan, sebagai jawaban atas perintah yang tak bisa ia tolak.
"Silakan," kata Fedric, tanpa basa-basi. Ia mengulurkan tangannya, bukan sebagai isyarat bantuan, melainkan sebagai tanda perintah.
Langkah Aurora mengikuti langkah Fedric yang berjalan di depannya. Udara terasa begitu berat menekan dadanya hingga sesak. Dia menarik napas panjang berkali-kali mencoba menetralisir kegugupan yang mendera.
Aroma khas hotel dengan campuran parfum tak mampu mengalihkan fokusnya. Di depannya, pintu kamar hotel yang menjadi saksi bisu pertemuan itu. Fedric mengetuk pintu dengan pelan. Bunyi ketukan itu terdengar nyaring di telinga Aurora dan semakin memperkuat debaran jantungnya.
Setelah beberapa saat, pintu terbuka. Fedric memberi isyarat kepada Aurora untuk masuk lebih dulu, "Silakan masuk, Nona."
Aurora melangkah masuk, tubuhnya menegang. Ruangan itu terasa sunyi, hanya diiringi suara samar dari luar. Di atas ranjang, Zico duduk dengan tenang, tatapannya tertuju pada Aurora. Pria itu tampak lebih tampan dari yang dia ingat. Keheningan yang mencekam itu membuat Aurora semakin gugup.
Zico tersenyum tipis, sebuah senyum yang tak mampu menyembunyikan aura misterius yang melekat padanya
Suaranya, rendah dan sensual, memecah keheningan,"Apa yang kau lakukan di sana? Aku sudah menunggu lama, hingga membuatku hampir mat."
Zico berdiri dari ranjang, dia mendekati Aurora dengan langkah yang pelan namun pasti. Aurora terpaku di tempat, matanya tak mampu lepas dari tatapan Zico. Dia merasakan jantungnya berdebar semakin kencang, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Tuan, maafkan saya. Saya tidak tahu harus bagaimana?" seru Aurora memohon.
Ketegangan pun memuncak membuat Aurora semakin takut. Zico semakin dekat dan jarak mereka hanya beberapa sentimeter. Bau parfum Zico memenuhi indra penciuman Aurora
Hal itu semakin menambah kegugupan dan ketegangannya.
“Tenanglah,” bisik Zico, suaranya terdengar lembut.
Tanpa menunggu jawaban, Zico merengkuh tubuh Aurora dalam pelukannya. Pelukan yang awalnya terasa hangat, segera berubah menjadi jerat yang mencekik. Aurora merasakan tubuhnya diangkat dengan mudahnya oleh Zico
Aurora seperti boneka tanpa daya, dia terhuyung dan mengalungkan kedua tangannya di leher Zico. Hingga, pria itu meletakkan Aurora dengan lembut di atas ranjang.
Zico menatap Auroraz pandangannya tak lepas dari wajah gadis itu. Mata Zico yang gelap seakan mampu menembus jiwa Aurora. "Kau... sangat cantik," gumam Zico.
“Tuan, apa tugas saya sebagai seorang pelayan? Saya masih belum bisa mengerti?” tanya Aurora terbata-bata
Zico tersenyum tipis, dia mencengkeram kedua pipi Aurora. "Jangan seperti gadis bodoh. Tentu kau akan menjadi pelayan pribadiku. Paling penting adalah sekarang ini. Aku ingin kau memuaskanku sebagai partner ranjangku."
"Tapi, Tuan. Saya belum pernah melakukan hal itu! Mungkin saya akan sering salah. Mohon ajari saya dengan baik!" kata Aurora dengan mata sayu.
Zico tersenyum smirk, dia berdiri dan membuka kemejanya di depan Aurora. "Kau lihatlah, aku akan mengajarimu secara perlahan. Kau hanya perlu mengingatnya, karena aku akan mengajarimu sekali saja. Jadi, simaklah baik-baik.”
Di ruangan mewah itu, Zico berdiri di hadapan Aurora. Kemeja dan celana jeansnya telah terlepas hanya menyisakan boxer longgar. Aurora dengan tatapan gugup dan pasrah menatap pemandangan di hadapannya. Tubuhnya gemetar, mencerminkan ketakutan dan kepasrahan seorang gadis yang baru saja dibeli dari pelelangan budak. Dia tak punya pilihan selain mematuhi pria yang kini menjadi tuannya.
“Jangan takut, Aurora," bisik Zico, suaranya berat dan rendah, mencoba menenangkan gadis itu. Namun, nada suaranya tetap mendominasi.
Zico mendekat membelai lembut pipi gadis itu. Kulitnya erasa halus seperti sutra. Aurora hanya bisa memejamkan mata, air mata menggenang di sudut matanya. Aroma harum khas parfum, memenuhi indra penciuman Zico. Aroma itu memabukkan, membuatnya semakin tergoda dan berg4irah.
Dengan hati-hati, Zico mulai membelai tubuh mulus Aurora. Sentuhannya lembut di awal, tapi perlahan semakin berani. Aurora menggeliat, tubuhnya menegang saat Zico menyentuh area sensitifnya. Rasa malu dan takut bercampur aduk dalam dirinya.
Namun, ia tak mampu melawan. Tangisnya tertahan di tenggorokan menjadi isak lirih yang hanya bisa didengar oleh Zico.
“Tuan saya ...." Aurora mencoba berbicara, tapi hanya mampu mengeluarkan suara terbata-bata, diselingi isakan.
Zico berhenti sejenak, menatap wajah Aurora yang penuh air mata. Ia melihat ketakutan yang terpancar dari sorot mata gadis itu.
"Apa yang kau takutkan? Kau hanya perlu patuh dan menurut saja. Simpan air matamu itu, karena aku tidak suka melihat gadis cengeng!” seru Zico kasar membuat Aurora tersentak.
"Nikmati dan pelajari apa yang kulakukan padamu. Kedepannya aku tidak akan bersikap lembut. Jika kau melakukan kesalahan, aku tidak akan segan memberikan hukuman padamu. Sebaiknya kau sadar akan posisimu sendiri." Zico melanjutkan sentuhannya. Hingga perlahan-lahan menggapai tubuh Aurora yang masih gemetar.
Meskipun Aurora ketakutan, Zico tetap melanjutkan aksinya. Dengan penuh keyakinan ia melepaskan dress yang dikenakan Aurora dan membuangnya ke lantai. Zico tertegun sejenak, saat melihat tubuh Aurora yang sebelumnya tersembunyi di balik kain sutra itu terpapar jelas di hadapannya.
Kecantikan gadis itu yang tertutup oleh rasa takut, kini memancarkan aura yang memikat. Zico terpesona. Dia tak mampu menahan diri lagi. Dengan gerakan cepat dan hati-hati ia menyergap Aurora
Pria itu menikmati pemandangan indah yang membuatnya terlena.
Sentuhan kasarnya terus menj4mah tubuh ringkih itu. Dia ingin merasakan sensasi yang berbeda. Karena biasanya dia hanya melakukannya itu secara sendirian meski banyak wanita yang merayunya.
Di dalam ruangan sunyi itu hanya terdengar suara des4han dan jerit4n lembut Aurora. Suara jeritan yang bukan sepenuhnya tanda kesakitan, melainkan campuran antara rasa takut, sakit, dan mungkin sedikit kepuasan yang tak terduga.
Tangan Aurora mencengkram kuat lengan Zico seakan mencari pegangan di tengah badai yang menerjangnya. Cengkeramannya sangat kuat mengandung unsur kepasrahan yang mendalam. Ia tak bisa melawan apalagi menolak. Hanya bisa menerima saat Zico menembus tubuhnya.
Aurora merasakan campuran antara rasa sakit yang menusuk dan sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tubuhnya menegang, namun di saat yang sama, ada getaran aneh yang membuatnya ikut merasakan kenikmatan.
Satu jam berlalu, meninggalkan jejak kelelahan dan kepuasan di ruangan itu. Zico telah melepaskan hasr4tnya dua kali, meninggalkan Aurora tergolek tak berdaya di atas tempat tidur. Tubuhnya lemas, hampir tak sadarkan diri.
Pengalaman pertamanya, seharusnya menjadi momen yang indah dan penuh kenangan. Justru menjadi mimpi buruk yang mengerikan, digempur tanpa ampun oleh n4fsu pria yang baru saja menjadi tuannya.
Zico merebahkan tubuhnya di samping Aurora yang terpejam. Napasnya masih tersengal-sengal, namun sorot matanya memancarkan kepuasan yang dalam. Rasa puas itu begitu kuat, begitu membuncah, hingga tak mampu diungkapkan dengan kata-kata.
Ia telah memiliki Aurora secara fisik. Namun, di balik kepuasan itu ada rasa yang mulai mengusik hatinya. Zico mulai tertarik dengan kecantikan dan kelembutan gadis itu telah mencuri perhatiannya sejak pelelangan.
Namun, rasa suka itu tercampur aduk dengan hasrat dan dominasi yang tak terkendali. "Aku sangat menyukaimu, Aurora," bisik Zico, suaranya terdengar lirih.
Zico membelai rambut Aurora dengan lembut, seolah ingin menenangkan gadis yang sedang lemah itu. Akan tetapi sentuhannya bukan sebagai seorang kekasih. Melainkan seorang Tuan yang menyukai budaknya. Status sosiallah yang menjadi pembeda.
"Kau akan menjadi milikku, Aurora," lanjutnya, "Aku tidak akan melepaskanmu. Kau akan menjadi alat pemuas hasr4tku, selamanya."
Kalimat itu keluar tanpa paksaan, tapi mengandung ancaman yang terselubung. Dia telah memutuskan dan tak ada yang bisa mengubah keputusannya.
****
Keesokan harinya.
Cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi ruangan yang masih dipenuhi aroma gairah semalam. Zico terbangun dengan lengan melingkari tubuh Aurora. Sentuhan kulit mereka masih terasa hangat, mengingatkannya akan pertempuran sengit yang terjadi beberapa jam lalu. Ia bahkan masih merasakan sensasi panas dan getaran yang tersisa dari tubuh gadis p3raw4n itu.
Zico memandangi wajah polos Aurora yang tertidur lelap. Kecantikan gadis itu, yang terlihat begitu rapuh dan tak berdaya, justru semakin membangkitkan h4sratnya. Sensasi panas kembali mengalir di tubuhnya, lebih kuat dari sebelumnya. Ia tak mampu mengendalikan diri. Dengan sadar, ia kembali membangkitkan hasratnya, tanpa menunggu Aurora terbangun.
Gerakannya kasar, tanpa basa-basi. Ia langsung menembus tubuh Aurora yang masih tertidur. Aurora tersentak kesakitan, tubuhnya menegang karena kejutan yang tak terduga. Ia tersadar dari tidurnya, mendapati dirinya kembali berada dalam cengkeraman Zico.
"Akh ... jangan lagi ... sakit, Tuan," rintih Aurora, suaranya terbata-bata dan serak khas bangun tidur.
Air mata mengalir deras di pipi sab membasahi bantal di bawah kepalanya. Ia memohon ampun, namun jeritannya lebih terdengar seperti desahan yang tertahan.
"Diam!" bentak Zico, suaranya keras sambil mengatur pernapasan. Ia melanjutkan aksinya, tanpa menghiraukan jeritan dan air mata Aurora. Kepuasannya menjadi satu-satunya hal yang ia pikirkan.
Rintih kesakitan Aurora memenuhi ruangan kecil itu. Tubuhnya menegang, meringis menahan sakit yang menusuk di bagian iintimny. Air mata membasahi pipi bercampur dengan keringat yang membasahi kulitnya.
Aurora terus memohon, suaranya terbata-bata di antara isakan. Namun, Zico tetap tak menghiraukannya. Pria ituterus mengg3mpur tubuh Aurora, tanpa ampun, tanpa rasa iba. Tangannya bergerak kasar, tanpa memperdulikan rasa sakit yang dialami gadis itu.
Dua puluh menit berlalu, terasa seperti sebuah abad bagi Aurora. Tubuhnya lemas, tak berdaya. Ia tak lagi mampu merintih apalagi memohon. Rasa sakit yang luar biasa telah merenggut seluruh tenaganya, membuatnya hampir tak sadarkan diri. Hanya des4han napas yang tersisa, tanda bahwa ia masih hidup, masih merasakan kesakitan yang tak tertahankan.
Zico akhirnya berhenti, setelah melepaskan hasr4tnya lagi. Ia menarik napas dalam-dalam, puas dengan apa yang telah dilakukannya. Senyum sinis terukir di bibirnya, mencerminkan kepuasan yang tak dapat dijelaskan.
Zico kembali merebahkan tubuhnya di samping Aurora yang tergolek lemas Tubuh gadis itu penuh dengan bercak kemerahan bekas ukiran bibir Zico.
"Bersiaplah, hari ini kita kembali ke Italia!” perintah Zico dan didengar samar Aurora.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!