"Nusa, ibu pengen cucu,". Seorang ibu duduk di lantai bersama anaknya. Beralaskan sebuah tikar seperti bulu. Mereka duduk di ruang santai, disebuah rumah berdinding kayu jati.
Di ruangan itu, yaitu ruang santai, banyak hal yang berwarna putih, menggambarkan suasana salju Antartika. Mulai dari dinding, lantai, perabotan, serta dekorasi. Ada juga patung-patung hewan albino didalam sebuah lemari kayu yang cukup besar. Lemari kayu itu memisahkan antara ruang santai dan ruang tamu.
Di ruangan lain, yaitu ruang tamu, suasananya berbeda dengan ruang santai. Ruangan itu didominasi warna hijau dan coklat, menggambarkan suasana hutan belantara. Mulai dari dinding, lantai, perabotan, dekorasi, serta furniture. Lukisan dan gambar hewan di dinding ruangan, juga ikut membah kesan liar. Ditambah, Aquarium dan tanaman bonsai, menambah kesan hidup.
Selain itu, ada juga beberapa karakter wayang di dalam lemari. Wayang-wayang tersebut tersusun sangat rapi didalam lemari. Didekat lemari, terdapat tempat duduk tamu, yang terbuat dari kayu Jati. Di atasnya, terpajang beberapa keris dan golok, menambah kesan antik.
"Maka dari itu, carilah istri." tambah ibu. Senyum manis yang terlukis di wajahnya melambangkan harapan.
Nusa tertegun mendengar permintaan dari ibunya. Bagaimana tidak, seorang laki-laki yang sangat jarang berinteraksi dengan wanita, langsung disuruh menikah. Itu membuat dirinya bingung sekaligus takut.
"Apa harus sekarang, Bu?" tanya Nusa sedikit takut. Dalam hatinya, dia berharap ibunya tidak mengatakan "sekarang".
"Ya, tidak harus sekarang. Yang penting, dalam waktu dekat, kamu harus menikah. Ibu sudah kepengen banget menggendong cucu. Apalagi, waktu ibu liat ibu-ibu lain jalan pagi bareng cucunya, bikin ibu iri." jelas ibu mengungkapkan keinginannya, yang berdasarkan ego.
"Huuuuhhh, ibu ini, bikin Nusa takut saja. Nusa kira, ibu inginnya sekarang." Nusa sedikit lega mendengar kalau dia tidak harus menikah sekarang.
"Dasar ibu-ibu sialan. Kenapa kalian pamer hal seperti itu." Nusa bicara dalam hatinya. Dia sedikit kesal dengan para ibu-ibu yang pamer jalan pagi bareng cucunya. Hal itu membuat Nusa terjebak dalam keinginan egois ibunya.
"Ya, ibu tau kamu pasti tidak bisa kalau sekarang." sambung ibu sambil tersenyum
"Eh, tapi, kamu punya kenalan wanita? Karena setau ibu, kamu jarang ngobrol dengan wanita, apalagi dekat dengan mereka." kenyataan pahit yang keluar dari mulut ibunya menusuk hatinya Nusa.
"Kenapa ini terasa sakit sekali" kata Nusa dalam hati.
"Kamu punya, kan?" lanjut ibu.
Nusa berpikir sejenak. Dia mencari wanita yang dikenalnya yang mungkin ingin dia ajak menikah. Ya, walaupun tidak banyak pilihan.
"Oh, ya, ada satu. Mungkin dia mau kalau aku ajak menikah." Nusa mendapatkan satu kandidat sebagai calon istrinya.
"Benarkah? Siapa itu?" tanya ibu penasaran.
"Tapi Nusa pikir, ibu tidak akan mau aku menikah dengan nya" jelas Nusa. Dia takut bahwa ibunya akan menolak pilihannya.
"Tidak apa-apa. Ibu tidak mempermasalahkan kamu menikah dengan siapa. Yang penting, dia mau menikah denganmu dan bisa punya anak." jelas ibu meyakinkan Nusa sambil tersenyum.
"Nah, siapa itu?" lanjut ibu.
Mendengar ucapan ibunya, perasaan takut berubah menjadi rasa percaya diri yang kuat. Nusa tersenyum lebar lalu menjawab "Mbak tari".
Mendengar nama itu, wajah ibu langsung menjadi datar. Senyum yang terlukis di wajahnya menghilang, berganti ekspresi dingin. Mata tajamnya menghunus ke arah Nusa. Nafas beratnya menggelegak amarah, seperti ingin meledak.
Melihat perubahan ekspresi ibunya, senyum di wajah Nusa pun juga menghilang, berubah menjadi ketakutan. Wajahnya tampak pucat. Nafasnya tidak stabil akibat perubahan suasana yang mendadak. Tubuhnya terasa membeku, seperti disergap aura tidak terlihat yang sangat kuat dan ganas.
Ibunya tiba-tiba berdiri , membuatnya terkejut dan spontan menarik tubuhnya, tapi tidak berpindah posisi. Tanpa sadar, dia juga memposisikan tangan kanannya di depannya, seperti ingin melindungi diri, dan tangan kirinya menyangga tubuhnya. Dan mulutnya juga mengeluarkan suara "huh" tanpa sadar.
Kemudian, Ibunya berjalan cepat keruang tamu, meninggalkannya tanpa bicara. Nusa masih membeku di tempatnya, tidak bisa bereaksi karena kejadiannya begitu cepat. Dia hanya bisa memandang ibunya pergi.
"Buk!Buk!Buk!" suara langkah kaki ibu menghantam lantai.
Ibunya berhenti di dekat meja tamu. Dia mengulurkan tangannya, mengambil salah satu Keris yang terpajang di dinding. Keris itu memiliki panjang kira-kira 30-40 cm. "Sriiinng" Dia menarik Keris itu dari sarungnya, memeriksa bilahnya yang tajam dan berkilau. Matanya meneliti setiap lekukan keris.
Nusa, yang baru bangkit dari tempatnya, berjalan kearah ruang tamu. Dia masih bingung dengan kejadian tadi. Wajahnya masih agak pucat. Dia berhenti didekat lemari. Matanya terbelalak dan langsung berteriak "IBU" setelah melihat apa yang dilakukan ibunya.
"Ibu...ibu mau apa?" Nusa bertanya dengan wajah cemas sambil bergegas menghampiri ibunya, tapi dia tetap menjaga jarak dengan ibunya.
"Nanti ayah bakal...marah kalau ibu...mengambil kerisnya," cegah Nusa.
"Tolong...tolong letakkan kembali keris itu." pinta Nusa.
"Itu bahaya, Bu." lanjutnya.
Nusa diliputi kepanikan. Beberapa saat yang lalu, suasana terasa damai. Tapi, dalam beberapa menit saja, suasana berbalik 180⁰, menjadi petaka.
Ibu yang biasanya lembut dan penyayang, kini terlihat seperti orang lain. Matanya terlihat dingin dan tajam, seperti pisau yang siap mengiris. Nusa seperti sedang mengalami mimpi buruk yang dia tidak bisa bangun dari mimpi buruk ini.
Ibu menghiraukan ucapan Nusa. Dia menyarungkan lagi keris itu. Kemudian, Ibu melangkah ke pintu keluar. Dia berhenti dibelakang pintu, lalu memalingkan wajahnya ke samping. Mata ibu memandang Nusa dari sudut matanya.
"Kau duduk diam saja dirumah." perintah ibu.
Ibu kembali menghadap pintu. "Ibu mau membersihkan hama, yang selalu mengganggu keluarga kita." jelas ibu dengan nada mencekam.
"Membersihkan hama? Jangan-jangan..." Nusa menyadari apa yang akan ibunya lakukan. Wajahnya menjadi pucat.
"IBU! Kumohon jangan,Bu!" cegah Nusa. Dia dengan cepat berjalan menghampiri ibunya untuk menghentikannya.
"DUUAARR!!!"
Namun, sudah terlambat. Ibunya sudah membuka 2 daun pintu dan melangkah melewati pintu. Dengan membawa keris di tangannya, dan amarah yang membara di dalam hatinya, dia seperti badak yang mengamuk, yang siap melabrak semua yang di depannya,tak terhentikan.
"IIIBUUUU....!!!"
_ _
"Pak Tejo, tambah 20 tusuk lagi." teriak ibu nusa meminta pesanan, sambil mengacungkan keris yang tidak di sarungi.
Nusa berhasil menghentikan ibunya dengan cara membawanya ke tempat sate kambing. Dia beruntung karena dalam perjalan menghentikan ibunya, ada penjual sate kambing. Dia pun langsung membujuknya untuk membelinya, dan ternyata berhasil.
"Ibu sudah makan 20 tusuk, nanti ibu pusing kalau kebanyakan." pinta Nusa cemas.
"Diam!!" bantah ibunya. "Pak, jangan lupa...'bruukk'," ibu terjatuh ke lantai.
"Ibu. Ibu." nusa panik karena ibunya tiba tiba pingsan, sekaligus pusing dengan semua hal yang terjadi.
"Aaaahhhhh." Nusa berteriak dalam keputus asaan.
_ _
Esok paginya, Nusa membuka garasi dibawah rumahnya dan mengeluarkan motor klasik miliknya. Dia memposisikannya ke standar ganda dan menyalakan motornya untuk di panasi.
"Broom, broom, broom."
Nusa melakukan cek up ke semua bagian motornya dengan teliti. Setelah dirasa kondisi motor baik, dia mulai mengelap bodi motornya.
"Nusa.", suara seorang perempuan memanggil.
"Dalem?", sahut Nusa sambil memandang arah suara tersebut, menghentikan mengelapnya. Ternyata itu adalah panggilan dari ibu Nusa yang memanggil dari jendela.
"Ibu tadi dititipi uang sama pak Slamet. Katanya bayaran yang kemarin", kata ibunya sambil tersenyum.
"Oh ya?", sahut Nusa dengan wajah sumringah.
" Emmm...tolong ibu bawa dulu, nanti Nusa ambil." lanjutnya.
"Oke." balas ibu sambil tersenyum.
"Biaya ongkir setengahnya." kata ibunya sambil melangkah pergi.
"Yang penting Nusa nikah sama mbak Tari." balas Nusa tidak perduli, sambil terus mengelap. Dia seperti belum menyerah dengan keinginannya.
"Ibu ambil semua uangnya." kata ibunya geram.
"Penting nikah sama mbak Tari tidak sembelih sap... aduuhh."
Sebuah sendal melayang mengenai tangannya yang sedang mengelap. Nusa melihat ke arah sendal itu datang, tapi tidak ada siapa siapa.
"Ooo...Jan..ibu ini." kata Nusa. Nusa mematikan motornya lalu pergi kedalam rumah lewat pintu belakang.
"Mbak Tari~....sampean ayu tennaa~n... "dookk"... aadduuuooohh" pintu yang tadinya terbuka tiba tiba tertutup dan menghantam wajah Nusa.
"Aduhhh. Salah jalan," keluh Nusa, keliru mengeluarkan angka. Nusa sedang bermain gaple dengan beberapa pria di bawah pohon mangga, di atas meja.
Dimalam yang terlihat bintang memancarkan sinarnya, terlihat suasana ramai di sebuah angkringan bernama Mbah Wage. Sesuai namanya, angkringan itu milik seorang kakek-kakek bernama Mbah Wage. Dia membuka angkringan di depan rumahnya dengan menggunakan gerobak tanpa roda.
Angkringan itu dipenuhi para pria yang sedang bersantai setelah seharian bekerja. Ada yang duduk di kursi depan gerobak, kursi pelanggan, dan ada yang lesehan. Mereka bersantai sambil menyantap berbagai macam jajanan dan bermain permainan.
- Bercerita
"Aku tadi siang dapat ikan Toman 3 kilo," kata orang 1.
"Waahh, benarkah?" sahut orang 2.
"Iya. Tarikannya mantep banget. Besok aku tunjukkan," lanjut orang 1.
- Gaple
"Ayo ayo, tutup palang enam! Jangan kasih keluar, hahaha," kata orang 1.
"Takk!" " Aaduuh. Salah pasang," kata Nusa.
"Haha, makasih banyak di kasih jalan 'Tak'," kata orang 2 senang.
"Aahhh, kenapa kamu tidak tutup. Keluar palangnya. Sengaja kamu," keluh orang 1.
"Hahaha, selamat kamu. Traktir Nusa sesuatu," kata orang 3.
- Catur
"Aduuhhh. Salah langkah ini." orang 1.
"Tak". "Tak". "Tak".
- Kartu Remi
"Haduuuhh, minum lagi." orang 1. "Ayo terus, habiskan kartunya. Jangan sampai tersisa." orang 2.
- Ludo
"Nice.Tiga. Tu, wa, ga, mat* kau, kembali ke kandang, hahaha." orang 1.
"A** Kon. Kau lihat nanti." orang 2.
"Hahaha. Masuk kandang." orang 3 dan 4 tertawa bersamaan.
_ _
"Sluurrpp, aaahhhh. Mantap(posisi gelas setinggi dada)," kata Nusa menikmati minumannya. Nusa sedang minum wedang jahe sembari bermain gaple dengan beberapa orang.
"Kau akhirnya tidak mendapatkannya?" tanya pak Rejo, orang didepannya.
"Klek,klek,klek(suara gaple di acak)".
"Iya. Senarnya malah putus. Dan aku belum sempat mengangkatnya kedarat. Haahhh, rugi besar, 'sluurpp'." keluh Nusa.
"Tidak masalah. Besok tangkap lagi saja, pakai tegangan," gurau pak Rejo sambil meringis.
"Malah di setrum warga saya nanti," balas Nusa membalas gurauannya pak Rejo.
" Hahaha. Tidak apa apa, kau kan kuat," lanjut pak Rejo.
"Sluurpp" Nusa menghabiskan minumannya. "Kuat, ya kuat. Tapi, mana kuat kalau di setrum. Saya juga manusia," balas Nusa.
"Sudah, tidak usah dipikir ikannya. Nah, ambil saja gaplenya,"perintah pak Paijo, orang yang mengacak gaple di sebelah kiri Nusa.
"Saya udahan saja. Mau pulang," kata Nusa sambil berdiri dari kursi.
"Mau pulang? Cepat sekali?" tanya pak Rejo.
"Iya, Janjinya sama ibu hanya sampai jam 9," jawab Nusa.
"Oke, hati-hati dijalan. Tomi gantikan Nusa!" perintah pek Rejo pada pemuda yang duduk dekat Nusa. Diapun duduk menggantikan Nusa.
Nusa berjalan ke samping gerobak. "Mbah, wedang jahe besar, tempe bacem 2, kepala ayam 1. Berapa?" tanya Nusa.
"10 repes," jawab seorang pria tua dengan suara agak serak.
Dia adalah Mbah Wage. Dia mempunyai janggut panjang dan kumis yang menyatu. Warnanya juga sudah beruban karena termakan usia. Kepalanya yang botak semakin menampakkan wajahnya yang keriput. Itu menggambarkan seberapa lama dia sudah menjalani pahitnya hidup.
Nusa mengambil uang di saku celananya, lalu mengambil uang 20 repes dan memberikannya ke Mbah Wage.
"Kembaliannya biar diambil Pak Rejo," kata Nusa.
"Pak Rejo, ambil kembalianku," lanjutnya sambil menoleh pak Rejo.
"Siiaaap. Makasih ya," sahut Pak Rejo semangat.
"Amaan," balas Nusa santai sambil mengacungkan jempol.
" Pulang dulu mbah. Makasih," Nusa pamit.
"Ya. Sama-sama," balas Mbah Wage.
Nusa beranjak pergi meninggalkan angkringan yang tidak tau kapan sepinya.
_ _
Nusa berjalan sendirian dengan santai, sambil menikmati malam yang indah. Terlihat obor menyala disetiap rumah dan di pinggir jalan, membantu memberikan penerangan.
Kebanyakan rumah rumah di sekitar sini masih berbahan kayu. Terkadang ada rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Meskipun begitu, mereka tetap hidup berkecukupan karena bahan pokok tersedia di desa ini. Terlihat dari luasnya hamparan sawah (Kanan) dan kebun jagung (kiri).
Nusa melewati gapura desa, yang terbuat dari batang bambu, dibangun dengan bentuk sederhana. Bertujuan hanya untuk penanda batas desa. Sejauh mata memandang, hanya ribuan batang bambu yang terlihat.
Sebagian besar kawasan desa dipadati batang bambu. Setiap gap antar rumah, terdapat rumpun bambu. Hanya jalan desa, pekarangan dan halaman rumah yang tidak ditumbuhi bambu. Hampir tidak ada pohon lain yang tumbuh selain batang bambu.
Terdapat berbagai jenis dan warna bambu. Bambu itu ditanam sesuai dengan jenis dan warnanya. Tapi terkadang ada juga yang ditanam disatu tempat.
Rumah-rumah penduduk desa terbuat dari batang-batang bambu hidup yang masih utuh. Bambu-bambu itu disusun dengan rapi sampai membentuk sebuah rumah. Dengan menggabungkan berbagai macam warna bambu, rumah-rumah itu menjadi ikon desa ini.
Oleh sebab itu juga, desa ini dinamai "Preng Sewu(Jawa)", "Seribu Bambu" dalam bahasa Indonesia, karena saking banyaknya bambu, dan menjadi ciri khas desa ini.
"Krrr...kkk...sss."
Suara bambu bergesekan akibat tiupan angin, yang membuatnya bergoyang, memecah sunyinya malam. "kriik... kriik", disambut suara jangkrik di atas daun bambu, yang ikut meramaikan suasana malam.
"Kuuuu-kuuuu."
Nusa memandang asal suara tersebut. Terlihat seekor burung hantu sedang bertengger di sebuah batang bambu, bersiap meninggalkan tempat bertenggernya menuju jangkrik yang menjadi mangsanya. Jangkrik itu tidak tau kalau nyawanya dalam bahaya.
Burung hantu meluncur ke arah jangkrik tanpa suara, seakan akan ada peredam suara di sayapnya. Burung hantu menghunuskan cakarnya, menyergap mangsanya yang tidak sadar akan kedatangannya. Jangkrik pun berhasil ditangkap sang Burung hantu, mencengkeramnya dengan kuat, dan langsung dibawa pergi.Nusa menyaksikan kejadian itu berlangsung cepat. Tidak ada kesempatan bagi jangkrik untuk melawan balik.
"Kokk kokk pekokk, kokk kokk pekokk",
Tiba tiba, ayam-ayam berkokok dengan keras di dalam kandang, disebelah kiri Nusa, membunyikan alarm tanda bahaya. Nusa langsung mengambil kuda kuda karena terkejut.
"Siapa itu?" kata Nusa.
Nusa memandang ke arah kandang ayam. Dia mengamati kandang ayam. Dia mencari apa yang membuat para ayam berisik. Setelah menelusuri dan tidak menemukan apa-apa, dia pun kembali berdiri tegap.
"Mungkin cuma musang," pikir Nusa. Nusa akhirnya beranjak pergi.
Para ayam terus berkokok, dan semakin lama semakin keras. Bahkan mereka jadi gelisah, mondar-mandir dikandang. Nusa menghentikan langkahnya. Dia merasakan ada yang tidak beres.
Dia memperhatikan area kandang ayam dengan seksama. Matanya sudah menelusuri keberbagai tempat. Dia juga sudah mencoba merasakan menggunakan Aji(sebutan energi spiritual)miliknya, tapi belum bisa menemukan penyebab para ayam gelisah.
"Kenapa dengan ayam-ayam itu. Berisik terus. Seperti melihat malaikat maut," kata Nusa agak kesal.
"Mending pulang," lanjutnya. Nusa pun pergi meninggalkan ayam ayam yang masih berisik.
"Huh?"
Baru menoleh ke arah jalan pulang, Nusa melihat sosok hitam yang berdiri cukup jauh darinya. Sosok itu berdiri di kegelapan. Matanya yang tajam, memandang Nusa seperti melihat mangsa.
Nusa cukup terkejut. Karena, ketika dia tadi menggunakan Aji miliknya, dia tidak merasakan ada seseorang di sekitarnya. Tapi sekarang, dihadapannya, berdiri sosok misterius menghadang jalannya.
"Siapa kau? Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Nusa.
"......". Sosok itu hanya diam.
"Apa kau yang mengganggu para ayam itu?" tanya Nusa lagi.
"Sebaiknya kau hentikan. Itu bisa mengganggu kete—"
Belum sempat menyelesaikan perkataannya, sebuah suntik melayang ke arah pangkal leher Nusa.
_ _
Sebuah kain putih menampilkan bayangan berbentuk wayang. Bayangan itu bergerak-gerak seakan dia sedang terbang. Bayangan itu berasal dari wayang kulit yang berada dibelakang kain, yang sedang digerakkan seseorang yang disebut Dalang. Wayang itu disorot sebuah lampu, menghasilkan bayangan yang merefleksikan bentuk wayang ke kain putih.
"Klek"
Pintu di belakang Dalang terbuka. Tampak seseorang masuk dengan membawa Wayang berwarna hitam. Dia menghampiri Dalang yang sedang memainkan Wayang. Dia berhenti disamping dalang, dengan posisi menghadap kain. Dia mengeluarkan selembar kertas dan menunjukkannya ke Dalang.
Dalang melirik kertas itu. Setelah membacanya, dia berhenti memainkan Wayang. Tertulis dikertas itu kalimat "Saat terbacanya surat ini oleh 'mu', pertunjukan 'Dimulai'.
Senyum jahat terlukis di wajah Dalang. Raut wajahnya menampilkan kegembiraan. Pupil mata kiri yang berbentuk kotak, menyatu dengan tato berbentuk penanda buku, yang melintang dari dahi kepipinya. Terlihat garis-garis tipis membujur di dahinya dan garis tebal membujur dibawah kedua kelopak mata dan hidungnya.
Wayang Kulit. Sebuah boneka yang terbuat dari kulit yang dibentuk menyerupai manusia. Perwujudan dari kekaguman orang-orang kepada para manusia hebat zaman dulu, menghasilkan Wayang Kulit yang menggambarkan kekuatan, kehebatan dan keajaiban.
Mereka, yang menyebut dirinya Dalang, menceritakan kisah-kisah yang melampaui Imajinasi. Mereka menggerak-gerakkan Wayang dari sebalik tirai putih yang disoroti lampu, menghasilkan bayangan keajaiban-keajaiban kala itu. Alat musik yang ditiup dan dipukul, membuat keajaiban semakin menggelegar.
Tapi, bagaimana jika Wayang kulit itu mempunyai kekuatan magis?
Perang dunia di masa lampau, yang dipicu jatuhnya batuan angkasa, meninggalkan kekuatan yang sangat luar biasa. AJI. Energi magis yang bisa memberikan penggunanya kekuatan melampaui akal sehat, menyebar keseluruh penjuru dunia. Menjadikan makhluk yang ada didunia dipenuhi kekuatan magis.
Di dunia ini, dunia yang di penuhi kekuatan magis, Wayang Kulit menunjukkan esensinya. Kekuatan yang awalnya hanya berupa cerita yang diturunkan, menunjukkan eksistensinya. Semua manusia bersaing untuk mendapatkan kekuatan yang besar.
Tapi, entah apa yang dilakukan MC kita ini.
**
"Srekk." Sepasang tangan muncul dari dalam semak, membuat rumput terbelah menjadi dua. Tampak wajah seorang pemuda dari balik semak. Matanya bergerak menelusuri tempat yang dibukanya, mencari sesuatu di balik rumput itu.
"Tara, apa kau menemukannya?" tanya seorang pemuda dibelakangnya, yang berada di bawah pohon.
Dia adalah pemuda desa biasa yang berpenampilan sederhana, yang hanya memakai pakaian bawah, memperlihatkan tubuh rampingnya. Telapak kakinya terlihat kotor dan pecah-pecah karena tidak memakai alas kaki. Sebuah hiasan berbentuk tanduk satu yang menghadap kedepan, melingkar di kepala botaknya. Dipunggungnya tergantung wadah bambu yang di dalamnya berisi bambu yang sudah diiris tipis dan sebuah bambu sepanjang satu meter.
Pemuda itu sedang duduk diatas sang badak, di bawah pohon asam. Itu adalah badak Kawung, badak asli pulau Kawung. Dengan santainya, dia duduk diatas sang badak sambil menganyam bambu untuk dijadikan sebuah tas.
Sang Badak sedang asik menikmati rumput dihadapannya. Seperti hal biasa pemuda itu duduk diatasnya. Di sampingnya, juga ada seekor kerbau yang sedang memakan rumput. Tali kendali kerbau di pegang oleh si pemuda agar dia tidak pergi.
Tara, pemuda yang mencari sesuatu dibalik semak, memperlihatkan wajah cemberut. Dia bangun dari posisi bungkuknya dengan bantuan dua tongkat di ketiaknya.
"Tsk..Tidak ada," jawab Tara dengan nada kesal.
Tara juga adalah seorang pemuda desa biasa yang berpenampilan sederhana. Dia hanya menggunakan pakaian bawah dengan kain terikat dipinggang dan lacak dikepalanya yang menyerupai paruh burung. Kakinya terlihat bersih karena selalu memakai alas kaki. Rambutnya panjang sampai ke bahu. Di bahu kirinya terikat sebuah Kandar.
Berbeda dengan pemuda tadi, yang seluruh tubuhnya terlihat sehat, Tara mempunyai kecacatan pada kaki kirinya. Kakinya lumpuh di bagian lutut ke bawah sejak dia lahir, mengharuskannya berjalan menggunakan tongkat selama ini.
Walaupun seperti itu, dia mempunyai tubuh yang bagus. Otot-otot yang terlatih, tampak menonjol di seluruh tubuhnya, kecuali di kaki kirinya. Karena dia hanya bisa menggunakan kaki kanannya untuk latihan dan kaki kiri di gantikan perannya dengan tongkatnya.
Kaki yang lumpuh tidak membuatnya patah semangat. Dia selalu melatih tubuhnya untuk menjadi seorang pendekar. Terlihat di pinggang nya, terdapat 2 buah keris yang di selipkan ke kain di pinggangnya.
Keris itu berukuran sekitar 30 cm. Tara menggunakan dua keris sebagai gaya bertarungnya. Walau pun akan sulit untuk bertarung menggunakan dua keris dengan satu kaki dan dua tongkat. Tapi dengan teknik dan tekat yang kuat, masih ada peluang bagi Tara untuk menguasai gaya bertarungnya, meski butuh latihan panjang dan intens.
Mereka berdua berteman sejak dalam kandungan karena ibu mereka adalah saudara. Pemuda itu lebih tua dari Tara, baik dari segi nasab atau umur. Karena ibu Tara adalah seorang adik. Tapi mereka menghiraukan siapa antara mereka yang lebih tua karena itu hanya hubungan biologis.
Saat ini, Matahari berada di arah barat, menunjukkan waktu sudah sore. Mereka berdua sedang berada di pinggir sungai yang terdapat di samping jalan poros. Mereka mencari perangkap yang dipasang oleh Tara. Mereka sudah terbiasa mencari ikan dengan perangkap. Memasang di sore hari dan mengambilnya besok sore. Hasil tangkapan akan mereka bagi dua sama rata atau sesuai kesepakatan. Tapi, kendala terbesar mereka adalah Tara yang lupa dimana memasangnya.
"Memangnya benar kau meletakkannya disekitar sini?" tanya pemuda itu meragukan jawaban Tara.
"Iya. Aku yakin memasangnya disini. Aku juga memberikan penanda di dekatnya," jawab Tara tegas sambil menunjuk tempat dia mencari tadi.
"Ah..kau lupa mungkin? Kau kan pelupa," kata pemuda itu menyinggung kebiasaan Tara.
"Tidak mungkin aku lupa. Baru kemarin aku memasangnya," sangkal Tara dengan nada membentak.
"Oh..ya..tidak mungkin kau lupa," sarkas pemuda itu sambil terus mengayam, acuh dengan sikap temannya.
Tara terus mencari ke sekelilingnya. Dia terus membolak balikkan rumput dengan tongkatnya, berharap akan menemukan pasak tempat tali perangkap terpasang.
Pasak itu bertujuan supaya menahan tali yang mengikat perangkap. Pasak di pasang dengan cara ditancapkan di tanah. Tali bertujuan agar perangkap tidak hanyut terbawa arus sungai. Tali diikatkan ke sisa bagian pasak yang masih menonjol. Dengan pasak dan tali, perangkap tidak akan terbawa arus air. Kalaupun terbawa, tidak akan terlalu jauh.
"Yoh, Jan, kemana lah ini. Penandanya juga hilang lagi. Arrggghh...bikin pusing saja," kata Tara kesal, karena tidak kunjung menemukannya.
**
"Hoohh...hoohh" sang badak mengeluarkan makanan dari mulutnya.
"Ada apa? Kau memakan buah asam, ya? Hahaha," kata pemuda itu dengan sedikit tawa.
Di belakang, sang badak tidak sengaja makan buah asem.
**
"Ahh...apa ini?" kata Tara.
"plek..plek" Tara memukul wajah dan tengkuknya.
"Tsk..nyamuk juga malah ikut-ikutan. Arrgghh..gatal lagi," Tara menggaruk-garuk tengkuknya akibat gatal digigit nyamuk, menambah kekesalannya.
Tara melihat temannya yang sedang asik menganyam. Temanya hanya sibuk menganyam dan bergurau diatas badaknya, seakan tidak peduli dengan dirinya yang sedang kesusahan.
"Hahaha, lain kali hati-hati kalau makan," kata pemuda itu.
"Tara, lihat. Rinson tidak sengaja makan buah asam—" kata pemuda itu.
"Nusa." seru Tara dengan suara tegas menyela ucapan Nusa.
Nusa, nama pemuda itu, menoleh ke arah Tara. Tawanya terhenti ketika melihat wajah Tara sudah sangat kesal dan lelah. Mata Tara terlihat seperti menahan amarah. Nafasnya juga menjadi berat.
"Ayo, lah, tolong bantu cari. Jangan hanya bercanda terus," ajak Tara dengan nada kesal.
Nusa memandangi Tara yang sudah sangat kesal. Dia tidak mengatakan apapun. Tiba-tiba dia tersenyum mengejek.
"Heh," respon Nusa.
Melihat Nusa hanya tersenyum, Tara semakin kesal.
"Kenapa malah senyum-senyum? Ada yang lucu, kah?" kata Tara sedikit marah sambil sesekali menggaruk tengkuknya karena gigitan nyamuk.
"Haha, tidak ada. Bukankah kita sudah membagi tugas? Aku yang menyiapkan wadah dan kau yang mencari perangkap nya. Bukannya kau yang memasang perangkapnya?" jelas Nusa.
Tara menghiraukan ucapan Nusa dengan cara mengibaskan tangannya mengusir nyamuk, karena dia tau Nusa benar. Mereka memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. Tara merasa tugasnya berat karena harus berkeliling, sedangkan Nusa hanya duduk dan menganyam. Padahal tugasnya sudah sesuai kemampuan masing-masing.
Melihat tingkah Tara yang seperti kerasukan Jann, yang mencoba menghindari topik, Nusa akhirnya berinisiatif untuk membantunya. Karena kalau perangkap tidak ditemukan, tas yang dibuatnya jadi tidak berguna.
"Hmm, coba kau ingat-ingat, apa yang kau jadikan patokan untuk tempat memasang perangkap mu. (menunjuk)Apa pohon yang lurus ini?(menunjuk arah lain) atau...pohon yang berbentuk huruf Y yang disana. Atau... pohon yang lain?" kata Nusa.
Nusa mencoba membantu temannya mencari petunjuk. Dia tau betul temannya itu pelupa. Tapi dia tidak berusaha mengejeknya, walau terkadang sedikit menyinggung.
Tara sedikit tersentak. Dia terpaku sebentar lalu mulai berpikir. Dia menutup mulutnya menggunakan kepalan tangannya, mencoba mengingat apa yang dia jadikan sebagai patokannya.
"Oh ya (mengacungkan jari telunjuk)! Pohon berbentuk E!" seru Tara setelah ingatannya kembali.
Tanpa pikir panjang, Tara langsung bergerak ke tempat yang lurus dengan pohon berbentuk E, yang cukup jauh di depannya. Dia berjalan terpincang-pincang dengan tongkatnya. Saking semangatnya, dia lupa kalau dia membawa kerbau tunggangan.
"Hei, kau kan punya kerbau," kata Nusa heran kepada temannya.
Tapi Tara tidak mendengarkan. Dia tetap berjalan ke arah tempat itu. Dengan susah payah, dia sampai ke tempat tujuannya. Disana dia langsung membalikkan rumput-rumput. Mencari ke segala tempat yang bisa di jangkau nya.
"Haaahhh." Nusa menghela nafas panjang.
Nusa hanya bisa menggelengkan kepala. Dia sudah biasa melihat perilaku temannya. Dia pun ikut menyusul sambil menuntun kerbau milik Tara.
"Ayo, Barkeo. Kita susul tuanmu," ajak Nusa pada kerbaunya Tara.
"Hmm?"
"Apa itu?"
Nusa terhenti ketika dia seperti melihat sesuatu di seberang jalan. Matanya menyipit karena benda itu tidak terlihat jelas. Karena penasaran, dia langsung pergi menghampirinya dan juga membawa kerbau bersamanya.
Sesampainya disana, Nusa mengambil sesuatu yang mengalihkan pandangannya tadi. Di merasa itu adalah tanda yang dimaksud Tara. Dia pun langsung memanggil Tara sambil melambaikan benda temuannya.
"Oiiiii, Tara, kemarilah. Aku menemukannya," teriak Nusa memanggil temannya.
Tara, yang sedang membuka rerumputan, langsung menghentikan pencariannya dan memandang ke arah suara Nusa. Dia melihat Nusa melambaikan tangannya sambil memegang sesuatu di seberang jalan. Wajahnya tampak sumringah melihat benda yang di pegang Nusa, menandakan itu adalah penanda yang dicarinya.
"Haa, ya itu yang aku cari," seru Tara bersemangat.
"Cepat, kemarilah," pinta Nusa.
"Oke. Tunggu sebentar," balas Tara.
Tara memandang sekitarnya. Dia mencari milik kerbaunya. Dia mendapati kerbaunya sudah berada di seberang jalan bersama Nusa.
"Kenapa Barkeo kau bawa?" teriak Tara.
"Dia yang ikut dengan ku," kata Nusa.
"Kau tarik talinya, ya, dia bakal ikut denganmu," Tara menggerutu karena kesal.
Tara pun akhirnya berjalan dengan kedua tongkatnya menuju tempat Nusa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!