NovelToon NovelToon

Traces Behind The Shadows

Episode 1

Langit Paris senja itu berpendar oranye keemasan, menandakan berakhirnya hari yang panjang. Amina De La Croix, seorang detektif swasta dengan mata tajam dan sikap tenang, melangkah keluar dari kantor kecilnya di Rue de Rivoli. Kantor yang sederhana, dengan dinding penuh peta kuno dan foto-foto kasus yang sudah lama terlupakan. Meja kerjanya hanya berisi tumpukan buku tebal, sebuah lampu meja yang sudah usang, dan secangkir kopi setengah penuh yang tampak tak tersentuh.

"Kasus pencurian ini terlalu mudah," gumamnya pada dirinya sendiri, melangkah menuju pintu dengan langkah pasti. "Pemilik butik itu bahkan tak tahu kalau aku sudah mengendus pola transaksi palsu di akun banknya. Kadang aku merasa seperti bisa membaca pikiran orang."

Namun, kebanggaannya tak bertahan lama. Amina menghirup udara malam yang segar, aroma hujan yang masih tersisa di jalanan berbatu menggelitik hidungnya. Meskipun kota ini penuh keramaian, dengan lampu-lampu jalanan yang berkilauan dan kafe-kafe yang tak pernah sepi, Amina tahu betul bahwa kedamaian yang baru ia nikmati ini takkan bertahan lama. Ia sudah terbiasa dengan keheningan yang hanya menunggu ledakan berikutnya.

"Apa yang berikutnya, ya?" pikirnya, menatap langit yang mulai gelap. "Kadang aku merasa terlalu banyak misteri, terlalu banyak rahasia yang harus dibuka."

Langkahnya berhenti sejenak di pinggir jalan, matanya tertarik pada sebuah kelompok pengamen yang sedang memainkan alat musik mereka di depan kafe. Mereka tampak seolah tidak peduli dengan dunia di sekitar mereka, namun Amina bisa merasakan getaran kecemasan yang tersembunyi di balik tawa mereka.

Tiba-tiba, suara sirene memecah kesunyian malam, membuat Amina terperanjat. Sebuah truk polisi lewat dengan kecepatan tinggi, diikuti oleh mobil-mobil lain yang menyalakan lampu darurat. Instingnya yang tajam langsung bekerja. Ada sesuatu yang besar terjadi. Ia menghela napas dan berbalik, melangkah menuju jalan lain yang mengarah ke pusat kota.

Di sudut lain Paris, jauh dari hiruk-pikuk kota, sebuah tragedi baru saja terjadi. Kamar suite hotel mewah itu sepi, kecuali darah yang membekas di seprai putih, membentuk pola yang menyeramkan di bawah lampu temaram. Seorang pria terbaring kaku di atas ranjang, tubuhnya penuh luka, seperti baru saja disiksa dengan cara yang tak biasa. Setiap sayatan di tubuhnya tampak terencana, penuh kehati-hatian. Ini bukan pembunuhan biasa. Inspektur lokal, yang dengan cepat tiba di lokasi, memandang mayat itu dengan ekspresi serius.

“Ini bukan kerja tangan amatir,” katanya pelan, memandangi luka-luka itu yang membentuk pola aneh. "Siapa pun yang melakukannya, dia tahu apa yang dia lakukan."

Polisi berlarian di sekitar kamar, mengambil foto, mencatat bukti, namun Inspektur Merle, pemimpin penyelidikan, tetap diam sejenak, menatap tubuh korban dengan tatapan kosong yang penuh pertanyaan. Jantungnya berdetak lebih cepat. "Ini bukan kebetulan," bisiknya dalam hati. “Ada sesuatu yang lebih besar di balik ini.”

Beberapa jam kemudian, Amina duduk di meja dapurnya, menyeruput teh chamomile hangat. Pikirannya masih terjaga, mencoba menenangkan gelisah yang datang setelah insiden tadi malam. Berita tentang pembunuhan itu sudah menyebar ke seluruh Paris, dipenuhi spekulasi: balas dendam, persaingan bisnis, atau mungkin sebuah perhitungan lama yang harus diselesaikan. Namun, sesuatu dalam hatinya berkata bahwa ini lebih dari sekadar kejahatan biasa.

“Gila, pembunuhan di hotel mewah itu… Terlalu banyak yang bisa diungkap,” pikirnya, meletakkan cangkir teh ke meja dengan perlahan. “Tapi kenapa aku merasa seperti ada yang menginginkan aku terlibat? Tidak ada kebetulan dalam dunia ini, Amina.”

Tiba-tiba ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdebar lebih cepat: Inspektur Merle.

“Pagi, Amina,” suara Merle terdengar serak, seolah-olah dia sudah beberapa kali terbangun sebelum menelepon. "Kau masih di Paris?"

“Selalu. Ada apa?” jawab Amina, suaranya santai, meski tahu ini bukan panggilan biasa.

"Ada sesuatu yang kau perlu lihat," ujar Merle, dengan nada yang cukup mendesak. "Pembunuhan kemarin… tidak seperti yang kita kira. Aku ingin kau datang ke hotel itu. Sekarang juga."

Amina menarik napas dalam-dalam, matanya menyipit, menilai setiap kata yang diucapkan Merle. Tentu saja, dia tahu inspektur itu. Penuh perhitungan, namun selalu membuka peluang bagi orang seperti Amina. "Aku tahu sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Aku datang."

Saat Amina tiba di hotel mewah itu, suasana sepi dan dingin menyambutnya. Lampu-lampu neon dari luar memantulkan bayangan gelap di sepanjang lorong hotel. Polisi masih sibuk bekerja di dalam kamar suite. Bau antiseptik yang kuat memenuhi udara.

Di dalam kamar, Amina mendekat pada tubuh korban. Seorang pria, tampak seakan berusia empat puluhan, mengenakan setelan jas mahal. Namun, matanya yang kosong dan lidah yang membeku membuatnya tampak lebih tua dari usianya.

"Ini bukan kebetulan, kan?" tanya Amina, mengarahkan pandangannya pada Merle yang berdiri di sampingnya.

"Tentu saja tidak," jawab Merle, menatap tubuh korban dengan tajam. "Aku yakin ini bagian dari sesuatu yang lebih besar, dan aku butuh bantuanmu untuk membukanya."

Amina menatap sekitar, matanya meluncur ke setiap sudut ruangan. Pikirannya mulai bekerja, mengumpulkan potongan-potongan yang tersebar. "Kita akan menemukan petunjuk," gumamnya, dan saat itulah ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada bayangan yang bergerak di balik tirai jendela, hanya bisa dilihat oleh sudut mata.

"Merle, perhatikan itu," Amina berbisik, tetapi saat dia menoleh kembali, bayangan itu sudah menghilang.

Ketegangan mencekam ruangan, sementara pikiran Amina terus berputar. Ini lebih dari sekadar sebuah kasus, ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih gelap.

Keesokan harinya, kabar tentang pembunuhan itu menyebar seperti api yang membakar rumput kering. Di setiap sudut Paris, dari stasiun metro yang sesak hingga kafe-kafe yang selalu ramai, orang-orang hanya membicarakan satu hal: pembunuhan brutal yang terjadi di sebuah hotel mewah. Amina De La Croix, detektif berkerudung yang terbiasa dengan teka-teki gelap, melangkah keluar dari kantornya dengan tenang. Matanya yang tajam mengamati kerumunan yang terpecah-pecah, orang-orang yang tampak tertarik pada berita ini, seolah pembunuhan itu adalah hiburan bagi mereka.

"Selamat pagi, Amina!" sapa seorang petugas kebersihan yang sedang menyapu di trotoar. "Kau dengar tentang itu?"

Amina mengangguk sambil menyeka tetes hujan yang mulai turun. "Berita yang tak bisa dihindari," jawabnya dengan nada datar, meskipun pikirannya sudah melayang jauh. Dia tahu, ini bukan sekadar gosip pasar. Ada sesuatu yang lebih dalam, dan dia merasa tertarik, meskipun tetap hati-hati.

Saat ia melangkah menuju kantornya yang sederhana, sebuah amplop hitam menunggu di meja kerjanya. Tanpa pengirim. Tanpa nama. Segel berwarna hitam dengan simbol yang tak dikenalnya. Amina meraih surat itu, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Isi surat itu singkat terlalu singkat.

"Selesaikan ini, atau lebih banyak darah yang akan tertumpah."

Amina meletakkan surat itu di meja, menatapnya lama. Jantungnya berdegup cepat. "Tantangan," pikirnya. Dia sudah terlibat jauh lebih dalam dari yang dia kira.

Tanpa ragu, ia menyusun rencana. "Ini pasti ada hubungannya dengan kasus itu," gumamnya pada diri sendiri, meskipun tidak ada orang di sekitar yang bisa mendengarnya.

Langkahnya mantap saat ia melangkah menuju hotel tempat pembunuhan itu terjadi. Begitu tiba, ia merasakan atmosfer yang berat, seolah-olah udara pun menahan napas. Hotel yang semula megah itu kini terasa sunyi, dengan cahaya lampu redup yang menyinari dinding-dinding penuh noda sejarah. Polisi dan petugas keamanan berdiri seperti patung, menjaga agar tidak ada yang mengganggu tempat kejadian perkara.

Amina mengeluarkan kartu identitasnya dengan percaya diri. "Saya di sini untuk bekerja," ucapnya pada seorang polisi yang menatapnya dengan ragu.

"Amin, ini bukan tempat untuk wanita seperti Anda." Suara polisi itu terdengar keras, tapi Amina hanya tersenyum tipis. "Saya rasa Anda tidak punya pilihan."

Dengan izin yang diberikan, Amina melangkah masuk. Kamar suite itu berantakan, penuh dengan kekacauan yang jelas menunjukkan ada sesuatu yang lebih dari sekadar pembunuhan acak. Darah merah mencolok di atas sprei putih, dan ruangan itu penuh dengan aroma cemar, yang tercampur dengan bau antiseptik. Tetapi bukan itu yang menarik perhatian Amina.

Matanya melintas pada dinding, di mana sesuatu yang tidak biasa terlukis samar, sebuah simbol aneh yang tersembunyi sebagian di balik tirai yang jatuh. Amina mendekat, merasakan ketegangan di udara, seperti ada yang sedang mengamatinya.

"Hm, ini… bukan hanya pembunuhan biasa," pikir Amina, menahan napas. Ia meraih sarung tangan dari tasnya dan menyentuh simbol itu dengan hati-hati. Ini bukan sekadar lukisan ada sesuatu yang tersembunyi, dan Amina tahu persis bagaimana cara untuk membuka lapisan itu.

Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki di luar ruangan. Amina cepat-cepat mundur ke sudut, menyembunyikan dirinya dalam kegelapan. Seorang polisi lewat tanpa menyadari keberadaannya. Jantungnya berdegup kencang, namun dia tetap tenang.

Setelah beberapa saat, Amina kembali meneliti simbol tersebut dengan seksama. Di baliknya, ada pola seperti garis yang menghubungkan titik-titik yang membentuk gambar samar. "Apa ini?" pikirnya, semakin yakin bahwa ini bukan hanya petunjuk acak.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar, mengalihkan perhatiannya. Suara pria yang tidak dikenalnya terdengar di ujung telepon. "Anda tidak sendirian dalam ini," katanya dengan suara rendah, berbisik seolah tahu persis apa yang Amina temukan. "Saya tahu apa yang Anda temukan. Tapi hati-hati, mereka jauh lebih berbahaya dari yang Anda kira."

Amina menarik napas panjang, tetap tidak terkejut. "Siapa Anda?" tanyanya, tapi suara itu sudah menghilang. "Kekuatan bawah tanah... mereka tahu lebih banyak dari yang aku pikirkan."

Dia tahu, ini bukan sekadar permainan biasa. Sesuatu yang lebih besar sedang bergerak di balik layar, dan Amina baru saja menginjakkan kaki dalam dunia yang penuh bahaya.

Malam itu, ia kembali ke hotel, suasana yang lebih mencekam menyambutnya. Lampu redup, suara langkah kaki yang menggema, dan keheningan yang membuatnya merinding. Ia menuju ke kamar suite lagi. Kali ini, matanya sudah lebih tajam, lebih siap.

Ia kembali ke dinding tempat simbol itu tergantung. Dengan hati-hati, ia melanjutkan pemeriksaan. Begitu mendekat, ia melihat detail lain yang tidak ia sadari sebelumnya. Di balik simbol itu, ada garis-garis yang membentuk pola yang lebih kompleks, seperti koordinat atau petunjuk untuk lokasi tertentu.

"Tunggu... ini bukan hanya pesan. Ini petunjuk untuk menemukan sesuatu," gumam Amina, menggigit bibir bawahnya. Pikirannya berputar cepat, tetapi jantungnya mulai berdetak lebih kencang.

Namun, sebelum ia bisa menganalisis lebih jauh, ia mendengar suara lagi, gerakan cepat di luar ruangan. Kali ini, Amina tidak menunggu. Ia mundur ke sudut, bersiap menghadapi apapun yang akan datang.

"Siapa di luar sana?" bisiknya dengan tajam. Dunia ini ternyata lebih rumit dari yang ia kira. Dan Amina baru saja membuka pintu ke kegelapan yang lebih dalam.

Amina menatap ke luar jendela kantor dengan pandangan kosong, pikirannya penuh. Semalam, simbol aneh yang ia temukan di dinding kamar hotel terus mengusik. Garis-garis samar itu seperti menyembunyikan sesuatu yang lebih besar, sebuah pesan yang belum bisa ia ungkapkan. Ia bisa merasakannya, sesuatu yang lebih gelap sedang mengintai, menunggu untuk terungkap. Ia menarik napas panjang, menekan perasaan cemas yang merayapi dadanya. Terkadang, perasaan itu justru lebih berbahaya daripada misteri itu sendiri.

"Pikirkan, Amina," bisiknya pada dirinya sendiri. "Ini adalah langkah pertama untuk memecahkan semuanya. Jangan mundur sekarang."

Dengan keputusan bulat, ia meninggalkan meja kerjanya. Jalanan Paris pagi itu cukup lengang, dan udara dingin membelai wajahnya. Amina menyusuri trotoar yang masih basah oleh embun pagi. Meski kota ini penuh dengan kemewahan, ia tahu ada banyak sisi gelap yang tersembunyi, dan pembunuhan di hotel itu hanya sekilas dari apa yang sebenarnya terjadi. Ada dunia yang lebih dalam, lebih berbahaya dunia yang ingin ia tembus.

Di balik kafe yang sepi, Amina menemukan lorong sempit yang membawanya ke tempat yang tak dikenal. Suasana di dalam bar itu hampir tak terlihat dari luar, penerangan remang-remang, suara percakapan yang teredam, dan aroma asap rokok yang menyengat. Hanya mereka yang mengerti dunia ini yang berani masuk. Seorang pria, wajahnya penuh bekas luka, berdiri di pojok ruangan. Matanya yang dingin menatapnya dengan waspada.

"Datang untuk mencari jawaban?" suara pria itu kasar, mengalir seperti air sungai yang deras. "Atau hanya ingin ikut terjun ke dalam dunia yang tidak akan pernah kau pahami?"

Amina tidak bergeming. Ia tahu apa yang ia cari, dan ia takkan mundur.

"Saya mencari nama-nama yang bisa menghubungkan saya dengan orang-orang yang mengendalikan ini semua," jawabnya tegas. Tangannya menggenggam tas kulit yang terasa lebih berat dari biasanya. "Saya ingin tahu siapa yang berada di puncak."

Pria itu terdiam sejenak, seakan menilai seberapa dalam keberaniannya. Lalu, ia mengangguk dan menyerahkan selembar kertas yang sudah usang, penuh coretan.

"Ini bisa membawamu lebih dekat," katanya dengan suara pelan, "tapi ingat, semakin dekat kau dengan mereka, semakin besar risikonya."

Amina membuka kertas itu, matanya menyusuri setiap nama yang tertulis. Semua nama itu berkaitan dengan sesuatu yang jauh lebih besar, lebih mengerikan dari yang ia bayangkan. Ia bisa merasakan berat beban yang kini dipikulnya, tapi rasa takut itu hanya membuatnya lebih tekun.

"Apakah kamu tahu apa yang sedang kau hadapi?" pria itu bertanya, kini lebih terdengar khawatir. "Mereka akan memburu siapa saja yang mengancam mereka. Termasuk kamu."

Amina menatap pria itu, tatapannya keras. "Saya sudah melangkah terlalu jauh untuk mundur sekarang."

Ia berbalik dan meninggalkan bar itu tanpa kata-kata lebih lanjut, membawa daftar nama yang baru saja diterimanya. Hatinya berdebar, namun langkahnya mantap. Setiap nama di kertas itu mewakili kekuatan yang mengendalikan dunia gelap ini dan Amina akan mengungkap siapa mereka.

Kembali di apartemennya, Amina memulai pencarian dengan hati-hati. Setiap nama di daftar itu adalah petunjuk, dan Amina tahu bahwa di balik kekuatan besar ini ada jaringan yang lebih dalam, lebih luas. Dia menyusuri data di layar komputernya, mencoba menghubungkan setiap nama dengan informasi yang ia miliki sebelumnya.

Namun, saat semakin dalam ia menyelami dunia gelap itu, Amina mulai merasakan kehadiran yang mengawasinya. Sesuatu atau seseorang terus mengikutinya, bahkan dalam kesendirian ini. Ia merinding, merasa seolah ada mata yang tak terlihat menatap setiap langkahnya.

"Ada yang tidak beres," gumamnya, merasa tidak nyaman.

Beberapa hari berlalu, dan Amina semakin menyadari bahwa apa yang ia hadapi jauh lebih rumit dan berbahaya. Nama-nama di daftar itu ternyata mengarah pada jaringan mafia yang mengendalikan hampir seluruh aspek kehidupan di Paris. Dari perdagangan narkoba hingga perjudian ilegal, mereka menguasai semuanya. Tidak hanya itu, Amina mengetahui bahwa mereka bahkan menyusup hingga ke jajaran pejabat tinggi.

Malam itu, Amina bertemu dengan seorang informan lain yang sudah lama dia cari. Pria itu terlihat gugup, seolah tahu bahwa ia sedang bermain dengan api. Di ruang bawah tanah yang pengap dan gelap, suara langkah kaki mereka terdengar nyaring di ruang yang sepi.

"Ini daftar yang lebih lengkap," kata informan itu, seraya menyerahkan sebuah amplop tebal. "Tapi, ingat ini bukan hanya mafia biasa. Ada sesuatu yang lebih besar yang menggerakkan mereka."

Amina membuka amplop itu dan mulai memeriksa daftar baru. Tujuh nama tertera di sana, semuanya adalah kepala dari tujuh mafia yang mengendalikan kota. Di bawah nama-nama itu, terdapat tulisan kecil yang mengindikasikan koneksi mereka dengan bisnis ilegal yang lebih luas dan di bawah itu, ada satu nama yang tidak dikenal, namun sangat memengaruhi jalannya semua transaksi.

"Siapa ini?" Amina bertanya, menunjuk pada nama terakhir di bawah daftar.

Informan itu menatapnya dengan cemas. "Itu... Itu bukan orang yang bisa kamu dekati. Mereka lebih kuat dari yang kamu kira. Jangan terlalu mendekat."

Namun sebelum Amina bisa mengajukan pertanyaan lebih lanjut, pria itu berbalik dan menghilang begitu saja, meninggalkan Amina dengan pertanyaan yang lebih besar daripada sebelumnya.

Di tengah malam yang sunyi, Amina merasa ketakutan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ada kekuatan besar yang menarik benang-benang di belakang layar, dan ia tahu ia sudah terlalu dalam terlibat.

Sekarang, ia hanya bisa berharap bahwa ia tidak akan menjadi bagian dari permainan mematikan ini.

Amina menatap layar komputernya dengan mata yang lelah. Ia baru saja menerima daftar nama mafia yang lebih panjang dari yang ia duga. Namun, seiring dengan itu, ada perasaan aneh yang mulai menyelimuti dirinya. Seperti melangkah ke dunia yang tak terjamah, tempat yang hanya diketahui oleh orang-orang yang hidup dalam bayang-bayang.

“Ini seperti labirin yang tak berujung,” gumamnya pelan, tangannya menekan keras tumpukan berkas di meja. Hati Amina berdegup cepat, dan ia tahu, sebuah perasaan yang ia tak bisa abaikan bahwa ada sesuatu yang besar, lebih besar dari yang ia kira, yang sedang mengawasi setiap langkahnya.

Di balik setiap nama yang ia gali, semakin ia merasa ada yang berusaha menghapus jejak. Beberapa nama hilang begitu saja. Seperti kabut yang mengaburkan pandangan. Seperti bayangan yang merayap pergi begitu ia mendekat.

“Ada yang lebih besar dari ini,” pikirnya, menarik napas panjang. “Seseorang yang benar-benar mengendalikan semuanya dari balik bayangan.”

Nama yang terus muncul di setiap titik yang ia gali. Alexander Rothschild. Nama itu seperti jeritan yang tak terucap, sebuah legenda yang tidak pernah terungkap. Namun, Amina merasakan hawa dingin yang mengalir di punggungnya begitu mendengar nama itu. Rothschild. Nama yang hanya berani dibisikkan dalam percakapan gelap. Sebuah teka-teki yang seakan tak bisa dijawab.

Amina menunduk, menulis nama itu di atas kertas dengan huruf besar. “Jika aku bisa menemukan dia, aku bisa menghentikan semuanya.”

Namun, tak ada yang mudah. Informan yang pernah memberi petunjuk mulai merapatkan mulutnya. Beberapa menghilang begitu saja, seperti disapu angin. Amina melirik jam di dinding, seakan tak percaya sudah seberapa lama ia berada dalam pencarian ini. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, tetapi matanya tetap tak lepas dari layar komputer.

“Pencarian ini sudah terlalu lama,” pikirnya, matanya menyipit, menilai hasil kerja kerasnya.

Dia menghela napas, lalu membuka kembali berkas yang tergeletak di samping komputernya. Nama Rothschild semakin jelas. Namun, semakin mendekati kebenaran, semakin ia merasakan bahaya yang mengintai.

Sebuah ketukan keras terdengar dari pintu kantornya.

Amina langsung terkejut dan menoleh. Hatinya berdegup cepat. “Siapa itu?” Suaranya serak, tubuhnya bergetar. Tak ada yang datang ke sini setelah jam kerja. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membuka sedikit celah.

Di luar, seorang pria dengan jaket hitam berdiri. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan. Amina menatap tajam.

“Kau yang mengganggu mereka?” Pria itu bertanya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan.

“Siapa kamu?” jawab Amina dengan nada datar, meskipun hatinya berdebar.

Pria itu tersenyum samar. "Aku sudah mendengar tentangmu, Amina. Kau terlalu berani. Rothschild bukanlah musuh yang bisa kau taklukkan. Berhentilah sebelum semuanya terlambat."

Amina menyentuh lengan bajunya, merasakan getar ketegangan yang mengalir. "Aku tak bisa mundur sekarang. Sudah terlalu banyak yang aku temukan. Terlalu banyak nyawa yang tergantung pada apa yang aku temukan."

Namun pria itu tidak mengangguk, malah mundur, menambahkan, “Hati-hati, Detektif. Api itu bisa membakar siapa saja. Termasuk dirimu.”

Pintu ditutup dengan keras. Amina merasakan hawa dingin mencekam tulang belakangnya. “Apa maksudnya dengan itu?” gumamnya pelan. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu. Rothschild adalah titik akhir yang harus ia capai. Tidak peduli berapa banyak nyawa yang harus dikorbankan.

Keesokan harinya, Amina melangkah keluar dari gedung dengan langkah tegas. Udara pagi yang dingin menyapa wajahnya. Ia tahu hari ini adalah titik balik. Pencarian ini semakin mendalam, semakin gelap.

Namun, di tengah keramaian kota, ia merasa ada yang berbeda. Sesuatu yang tak terlihat. Wajah-wajah yang tampak biasa, namun ada sesuatu yang mengintai di baliknya. Amina merasakan mata-mata itu. Mereka mengikuti gerak-geriknya, mengejarnya dari bayang-bayang.

“Rothschild memang lebih besar dari yang aku kira,” pikirnya, matanya menyapu jalanan dengan penuh kewaspadaan. Ia menatap setiap orang yang lewat, berharap menemukan petunjuk, sebuah tanda yang bisa membawanya lebih dekat.

Setelah berjam-jam berjalan menyusuri kota, Amina akhirnya menemui seorang informan. Pria itu berdiri di sebuah kedai kopi kecil, matanya gelap dan penuh ketakutan.

“Amina,” katanya terbata-bata. “Rothschild… dia bukan seperti yang kalian kira. Dia punya cara untuk menghancurkan siapa saja yang mengganggu. Kamu harus berhenti!”

Amina menatap pria itu dengan tatapan tajam. “Berhenti? Tidak ada jalan mundur. Aku sudah hampir sampai.”

Pria itu menghela napas panjang dan berkata, “Kau sedang bermain dengan api, Amina. Jangan biarkan api itu membakarmu.”

Namun Amina tidak bisa berhenti. Apa yang ia rasakan lebih dari sekadar penyelidikan. Ada perasaan yang lebih kuat, kebenaran yang harus ia ungkapkan. Ia tahu, semakin ia menggali, semakin banyak orang yang mencoba menutupinya.

"Aku tak akan mundur," bisiknya dalam hati.

Dengan tekad yang membara, Amina melangkah lebih jauh, menuju api yang akan menentukan hidup dan matinya, serta masa depan kota ini.

Langkah-langkahnya menggema di jalanan sepi, dan suara itu seakan menjadi mantra yang terus mengikutinya: "Jangan biarkan api itu membakarmu."

Episode 2

Amina menarik napas panjang, merasakan dingin malam yang menembus tubuhnya meskipun ia berada di dalam ruangan yang penuh kemewahan. Pesta itu berjalan dengan megah, namun di hatinya, hanya ada kekosongan. Semua peringatan yang berputar-putar di kepalanya—bahaya yang mengintai, rahasia yang lebih gelap dari yang bisa ia bayangkan—terus menggerogoti setiap detik. Namun, keinginannya untuk menemukan kebenaran lebih kuat dari rasa takut yang melanda.

Ia melangkah dengan hati-hati, mengenakan gaun malam hitam yang elegan, menyamar sebagai tamu yang diundang. Meskipun seharusnya ia merasa terhanyut dalam kilauan lampu dan alunan musik, Amina merasa seolah-olah setiap langkahnya menjatuhkan beban lebih berat. Seiring langkahnya, ia terus memeriksa wajah-wajah di sekitar. Setiap senyum tampaknya menyimpan banyak rahasia.

"Jangan pikir ini mudah, Amina," bisiknya dalam hati, matanya berkeliling mencari tanda-tanda mencurigakan.

Suaranya seakan menjadi pengingat bagi dirinya untuk tetap fokus. Namun, semakin lama ia berada di tengah keramaian, semakin besar rasa tidak nyaman itu. Begitu banyak orang yang mengenakan topeng, berbicara tentang bisnis yang tak ia mengerti, sementara Amina hanya bisa mengamati. Di balik tawa yang terlalu keras, percakapan yang terlalu biasa, ia merasakan kegelisahan yang hampir tidak dapat dijelaskan.

Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada sekelompok orang yang berdiri di dekat tirai VIP. Mereka tampaknya lebih menarik perhatian, bergerak dengan gerakan yang lebih teratur, penuh kewaspadaan.

"Ada apa dengan mereka?" pikir Amina, mulai mendekati dengan langkah perlahan, memastikan ia tidak menarik perhatian.

Di ujung ruangan, di balik kerumunan, seorang pria berdiri dengan tenang. Wajahnya tampak dingin, hampir tidak terjamah emosi. Itu dia. Alexander Rothschild.

Amina menahan napas. Untuk pertama kalinya, ia melihat pria yang selama ini hanya ia dengar namanya, namun tak pernah ia temui. Rothschild mengenakan jas hitam yang sempurna, tubuhnya tegak, wajahnya kaku seperti patung. Di sekelilingnya, beberapa orang berdiri dengan sikap yang sangat menghormati, seolah mereka akan melakukan apapun untuk memenuhi perintahnya. Amina bisa merasakan kehadirannya yang luar biasa, sebuah aura yang menekan, yang menandakan bahwa dia bukan sekadar seorang penguasa biasa.

"Dia lebih berbahaya daripada yang kukira," gumam Amina dalam hati. Kepalanya terasa berputar.

Rothschild menatap sekeliling ruangan dengan penuh kewaspadaan, seolah memindai setiap sudut, setiap orang yang ada di sana. Sesekali matanya bertemu dengan mata seseorang di kerumunan, dan orang itu segera menundukkan pandangan, tidak berani menatap lebih lama.

Amina menggigit bibirnya, hatinya berdegup lebih cepat. "Apakah dia sudah tahu aku di sini?" pikirnya, merasakan ketegangan yang semakin menggelayuti udara. Bagaimana bisa dia begitu waspada? Semua orang di sekitarnya berusaha menenangkan diri, sementara Rothschild tetap berdiri tegak, seperti predator yang terus memantau mangsanya.

"Aku harus lebih dekat," kata Amina pada dirinya sendiri, meskipun perasaan takut itu semakin menguat. Ia harus melihat lebih banyak, memahami siapa orang ini sebenarnya. Rothschild adalah kunci untuk memecahkan misteri ini—misteri yang kini melibatkan hidup dan mati.

Namun, begitu ia melangkah lebih dekat, sesosok pria dengan tubuh besar muncul di hadapannya, menghalangi jalannya. Pria itu mengenakan setelan gelap dan topi hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Matanya tajam, penuh kewaspadaan.

"Ada apa, Nona?" suara pria itu serak, dan Amina bisa merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka.

"Tak ada apa-apa," jawab Amina cepat, berusaha mengendalikan napasnya. “Hanya menikmati pesta.”

Pria itu menatapnya dalam-dalam. "Kamu bukan tamu biasa di sini, bukan?" tanyanya dengan nada datar, matanya tidak berkedip.

Amina tersenyum tipis, matanya berkilat licik. "Sama seperti Anda," jawabnya santai, "Hanya seseorang yang penasaran dengan dunia yang berbeda."

Pria itu mengerutkan kening. “Hati-hati. Beberapa penasaran berakhir dengan kematian."

Amina merasakan sesuatu yang tajam menyentuh jantungnya. "Peringatan yang sangat... dramatis," jawabnya dengan ketenangan yang mungkin lebih dipaksakan daripada ia sadari.

Namun, ia tak sempat melanjutkan pembicaraan itu. Sebuah gerakan menarik perhatian Amina—Rothschild mulai bergerak, meninggalkan kelompoknya, berjalan menuju balkon yang lebih privat. Amina tahu bahwa ini adalah peluang langka. Ia harus mengikuti.

"Aku tidak bisa mundur," bisik Amina dalam hati, bertekad. Dengan hati-hati, ia menghindari penghalang yang tadi menghadapinya dan bergerak ke arah Rothschild.

Ketika ia melangkah mendekat, ia merasakan sesuatu yang lebih gelap dari sekadar atmosfer pesta ini. Tiba-tiba, Rothschild berbalik. Mata mereka bertemu. Tidak ada kata-kata yang keluar, hanya tatapan yang begitu dalam seolah-olah dia sudah tahu.

"Apakah kamu mencari sesuatu, detektif?" Rothschild akhirnya bersuara, suaranya dingin, mengiris keheningan malam.

Amina terdiam sejenak, hatinya berdebar hebat. "Mungkin... hanya kebenaran."

Pesta di ballroom hotel mewah Paris itu gemerlap oleh cahaya lampu gantung kristal. Musik klasik mengalun lembut, bercampur dengan suara gelas sampanye yang saling beradu. Tamu-tamu berpakaian formal berbincang dengan elegan, tetapi Amina tahu, di balik tawa dan percakapan manis, ada kesepakatan yang lebih gelap terjadi.

Dari sudut ruangan, ia mengamati targetnya. Alexander Rothschild.

Pria itu berdiri dengan tenang di tengah sekelompok pria bersetelan mahal. Ia tak banyak bicara, namun tetap menjadi pusat perhatian. Cara orang-orang di sekelilingnya sedikit menundukkan kepala saat berbicara menunjukkan betapa besar pengaruhnya. Tidak seperti mafia pada umumnya yang menunjukkan kekuasaan dengan kekerasan, Rothschild mengendalikannya dengan aura dingin dan keheningan yang menekan.

Amina menyesuaikan posisi jilbabnya, memastikan tetap menyatu dengan keramaian. Gaun hitamnya sederhana, namun cukup elegan untuk tidak mencolok. Ia menyentuh ujung anting kecil di telinganya, memastikan alat penyadapnya masih berfungsi.

"Baiklah, Amina, fokus."

Ia telah lama memburu Rothschild, mencari bukti keterlibatannya dalam jaringan kriminal yang menguasai sebagian besar perdagangan ilegal di Eropa. Dan malam ini, ia semakin dekat.

Tiba-tiba, tengkuknya meremang. Perasaan tidak nyaman merambat pelan di tulang punggungnya. Ia menoleh dan sepasang mata tajam telah menguncinya dari kejauhan.

Rothschild.

Tatapan mereka hanya bertemu sesaat, namun cukup untuk membuat jantung Amina berdebar lebih cepat. Pria itu tidak mengerutkan dahi atau menampakkan ekspresi mencurigakan. Justru sebaliknya, sudut bibirnya sedikit terangkat, seolah baru saja menemukan sesuatu yang menarik.

"Sial."

Amina berpaling cepat, mencoba bersikap seolah ia hanya tamu biasa yang tengah menikmati malam. Tapi instingnya memberitahu bahwa sudah terlambat.

Saat jam menunjukkan pukul sebelas, Amina memutuskan waktunya untuk pergi. Ia sudah mendapatkan informasi yang cukup sedikit interaksi, sedikit pengamatan, dan fakta bahwa Rothschild menyadarinya. Itu sudah lebih dari cukup untuk malam ini.

Namun, baru beberapa langkah menuju pintu keluar, langkah kaki lain mengikuti dari belakang.

Halus. Nyaris tanpa suara.

Dan sebelum ia sempat bereaksi, sosok itu sudah berdiri di hadapannya.

Alexander Rothschild.

Amina berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang, meskipun otaknya mulai memikirkan skenario pelarian. Pria itu berdiri santai, setelan hitamnya begitu pas di tubuhnya yang tegap. Mata biru esnya memindai Amina dari ujung kepala hingga kaki, seperti seorang kolektor seni yang menilai barang langka.

Lalu, ia tersenyum tipis.

"Mademoiselle, apakah Anda menikmati pestanya?"

Suara pria itu rendah, lembut, tapi memiliki ketajaman yang tersembunyi.

Amina tersenyum balik, meskipun hatinya berdebar. "Santai saja, Amina. Ini hanya percakapan biasa."

"Tentu saja, Tuan Rothschild," jawabnya dengan anggukan sopan. "Pestanya luar biasa. Paris selalu memiliki standar tinggi untuk hal-hal seperti ini."

Rothschild menatapnya beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya, seolah sedang menunggu sesuatu.

"Ah, Paris memang kota yang menarik," katanya akhirnya, dengan nada yang sulit ditebak. Ia menyandarkan satu tangan ke meja kecil di samping mereka, posisinya menghalangi jalan keluar Amina.

"Dan saya selalu tertarik pada tamu yang... tidak terduga."

Amina merasakan ada permainan psikologis yang sedang dimainkan. Pria ini tidak langsung mengkonfrontasi, tidak langsung mengancam, tapi ia jelas sedang mengukur reaksi Amina.

"Oke, ayo mainkan."

"Mungkin karena saya suka hal-hal yang tak terduga," balas Amina santai. "Hidup terlalu membosankan kalau selalu berjalan sesuai rencana, bukan?"

Rothschild tersenyum. Tapi kali ini, ada sesuatu di balik senyum itu. Sesuatu yang lebih dingin.

"Benar sekali. Tapi, Mademoiselle... tidak semua kejutan menyenangkan."

Ketegangan di antara mereka semakin kental. Amina bisa merasakan beberapa orang mulai memperhatikan interaksi mereka. Ia harus segera keluar dari situasi ini sebelum keadaan menjadi lebih buruk.

Ia melirik jam tangannya. "Sepertinya sudah larut. Saya harus pergi."

Rothschild tidak bergerak. Tapi Amina tahu, meskipun pria itu membiarkannya pergi malam ini, ia tidak akan pernah benar-benar lepas dari perhatiannya.

Akhirnya, setelah jeda yang terasa lebih panjang dari seharusnya, Rothschild memberi jalan.

"Semoga perjalanan pulang Anda menyenangkan, Mademoiselle."

Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat kalimat itu terdengar lebih seperti peringatan daripada ucapan perpisahan.

Amina melangkah keluar ballroom dengan jantung masih berdebar. Udara malam Paris menyambutnya, namun hawa dingin yang menjalar di tulangnya bukan karena cuaca.

Rothschild kini tahu siapa dirinya.

Episode 3

Amina berjalan keluar dari pesta dengan langkah terukur. Gaun hitamnya yang elegan melambai tertiup angin malam, dan ia menarik mantel lebih erat di tubuhnya. Udara Paris malam itu dingin, tapi tidak sedingin tatapan Alexander Rothschild yang masih terasa menempel di punggungnya.

"Aku sudah masuk dalam daftar pengawasannya," pikir Amina, bibirnya mengatup rapat. "Dan itu bukan berita baik."

Jalanan sepi, hanya suara derap sepatu haknya yang menggema di antara bangunan tua. Lampu jalan membentuk bayangan panjang di trotoar, membuatnya merasa seolah ada seseorang yang mengikutinya.

Ia menoleh sekilas. Kosong. Tapi firasatnya tidak bisa dibohongi.

Amina mempercepat langkah, menyusuri gang kecil yang lebih gelap dari yang seharusnya. Saat ia sampai di depan pintu kantornya—sebuah ruangan kecil tersembunyi di atas toko buku tua—ia tidak langsung masuk. Tangannya menyentuh gagang pintu, tapi ia tidak memutarnya.

Diam sejenak. Dengarkan.

Jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari sesuatu. Pintu itu... sudah pernah dibuka seseorang.

Mata Amina menyipit. Dengan hati-hati, ia mengeluarkan pistol kecil dari balik mantel dan menekan gagang pintu perlahan.

Klik.

Ruangan gelap. Tirai tertutup. Tidak ada suara. Tapi ia tahu seseorang telah menyentuh barang-barangnya.

Langkahnya ringan saat masuk. Dengan satu gerakan cepat, ia menyalakan lampu kecil di meja kerja. Tidak ada tanda-tanda kerusakan. Komputer masih menyala dalam mode tidur. Tapi ada sesuatu yang berbeda.

Tumpukan dokumen di mejanya sedikit bergeser.

Amina mendekat, menyisir dengan teliti setiap lembaran laporan kasus pembunuhan di hotel mewah itu. Matanya terpaku pada satu dokumen yang sedikit menonjol dari yang lain—laporan transaksi keuangan korban.

Ada pola yang baru ia sadari. Salah satu transaksi terakhir korban terhubung dengan sebuah perusahaan cangkang... yang terkait dengan Rothschild.

"Jadi ini bukan kebetulan."

Tapi sebelum ia bisa mencerna lebih jauh, suara langkah kaki di luar jendela membuatnya waspada.

Sekilas bayangan melintas. Seseorang sedang mengawasinya.

Dengan cepat, Amina meraih senjata dan bergerak menuju jendela. Ia menyingkap tirai sedikit, cukup untuk melihat ke luar tanpa menarik perhatian.

Kosong.

Atau tidak?

Ia memutuskan untuk tidak tinggal lebih lama. Jika seseorang sudah cukup berani menyusup ke kantornya, itu berarti peringatannya tadi bukan sekadar gertakan.

Malam itu, Amina memilih langkah berikutnya: bertemu seseorang yang mungkin punya jawaban.

---

Bar Kecil, Distrik Gelap Paris

Asap rokok menggantung di udara, bercampur dengan aroma alkohol murah dan parfum murahan. Lampu remang-remang memberikan efek dramatis pada wajah-wajah lelah di dalam ruangan.

Amina masuk dengan langkah santai, menyamarkan kehadirannya di antara orang-orang yang tenggelam dalam obrolan mabuk dan transaksi tersembunyi.

Di sudut ruangan, seorang pria duduk gelisah. Tangannya menggenggam gelas dengan erat, matanya terus bergerak, seperti seekor tikus yang terperangkap.

Amina menghampiri tanpa suara dan menarik kursi di depannya. Pria itu terlonjak sedikit, sebelum mengenalinya.

"Aku tidak tahu apa-apa," katanya buru-buru.

Amina menyandarkan tubuh, menyilangkan tangan. "Aku belum bertanya apa-apa."

Pria itu menelan ludah. "Dengar, aku hanya bekerja di bagian administrasi. Aku tidak terlibat dalam bisnis gelap mereka."

Amina mengangkat alis. "Tapi kau tahu sesuatu."

Dia menggigit bibirnya, ragu-ragu. "Aku tahu... ada uang besar yang berpindah tangan. Jumlahnya tidak masuk akal. Seperti ada sesuatu yang mereka sembunyikan."

"Siapa 'mereka'?"

Pria itu menggeleng. "Jika aku memberitahumu... aku bisa mati."

Amina menghela napas pelan, menatapnya dengan mata tajam. "Jika kau tidak memberitahuku, mungkin kau akan mati lebih cepat."

Ketakutan melintas di wajah pria itu. Dia bersandar ke depan, berbisik, "Ada nama... dalam transaksi itu. Seseorang yang bekerja di balik layar."

Amina menunggu.

Tapi sebelum pria itu bisa membuka mulut lagi, segalanya terjadi dalam sekejap.

Sebuah botol kaca melayang di udara—

Brak!

Kaca pecah di antara mereka. Pria itu melompat ketakutan, sementara Amina refleks merunduk. Dalam hitungan detik, seseorang bergerak cepat dari sudut ruangan.

Amina berbalik tepat saat sebuah belati melesat ke arahnya.

Ia menepisnya dengan gerakan gesit, tapi pria yang bersamanya tidak seberuntung itu.

Darah merembes di antara jemarinya saat ia memegang lehernya sendiri. Matanya membelalak, seolah ingin berbicara, tapi yang keluar hanya suara serak tak berarti.

Amina berdiri cepat, menarik pistol dari dalam mantelnya. Tapi si penyerang sudah lenyap ke dalam bayangan, menghilang secepat ia datang.

Ruangan tiba-tiba sunyi.

Satu-satunya suara adalah napas berat Amina dan tubuh pria itu yang limbung, jatuh ke lantai dengan suara tumpul.

Amina mengepalkan rahangnya.

Kini, ini bukan hanya investigasi.

Ini peringatan.

Dan orang-orang yang mengancamnya tidak akan berhenti di sini.

"Kalau mereka pikir aku akan mundur, mereka salah besar."

Amina melangkah cepat di antara gang-gang sempit Paris, bayangannya berkelebat di dinding bata yang dingin. Malam semakin larut, tetapi pikirannya tetap tajam. Serangan di bar tadi bukan peringatan biasa—seseorang ingin dia mati.

Siapa pun yang mengirim orang itu, mereka pasti panik.

Ia menarik napas dalam, membiarkan udara malam yang dingin mengisi paru-parunya. Kakinya melambat saat ia mencapai apartemennya. Dengan cekatan, ia memeriksa sekeliling sebelum memasukkan kunci dan membuka pintu. Begitu berada di dalam, ia mengunci kembali, memasang pengaman tambahan, lalu berjalan ke meja kerjanya.

Lampu meja redup menerangi dokumen dan foto-foto yang berserakan. Tangannya yang masih sedikit gemetar meraih sebuah catatan yang sudah penuh coretan. Di antara semua petunjuk, satu nama terus muncul—Alexander Rothschild.

Dia bukan sekadar orang kaya dengan koneksi luas. Semua yang terjadi selama beberapa bulan terakhir selalu mengarah padanya. Mafia, korupsi, perdagangan gelap—semuanya berkaitan dengan Rothschild.

Amina menghela napas dan bersandar di kursinya.

"Aku sudah terlalu dalam. Tidak mungkin mundur sekarang."

Matanya menatap lurus pada foto pria itu—setelan mahal, senyum yang terlalu tenang, mata tajam yang seperti bisa menembus siapa pun.

Kalau aku ingin jawaban, aku harus menemuinya langsung.

---

Pagi yang Penuh Risiko

Matahari pagi Paris menyinari jalanan berbatu dengan hangat, tetapi suasana hati Amina tetap dingin. Dia mengenakan pakaian yang lebih formal—mantel panjang berwarna hitam dengan hijab senada yang membuatnya tampak lebih profesional, tetapi tetap rendah hati.

Sasarannya? La Nuit Noire, klub eksklusif yang hanya bisa dimasuki orang-orang terpilih. Tidak ada papan nama, tidak ada iklan, tetapi semua orang yang berkecimpung dalam dunia bawah tahu bahwa tempat ini adalah pusat kendali kekuasaan.

Amina mendekati pintu masuk, dihentikan oleh seorang penjaga dengan jas hitam dan postur seperti dinding bata.

"Kartu keanggotaan?" tanyanya dengan suara berat.

Amina tersenyum tipis. "Aku diundang."

Pria itu mengangkat alis. "Oleh siapa?"

Ia mencondongkan tubuh, berbicara dengan nada rendah. "Katakan pada Alexander Rothschild bahwa Amina ingin berbicara. Dia pasti akan tertarik."

Penjaga itu tampak ragu sejenak sebelum mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Beberapa detik berlalu. Amina bisa merasakan tatapan tajam pria itu menelusuri dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah menilai apakah dia ancaman atau tidak.

Lalu, telepon ditutup.

"Masuklah," kata penjaga itu akhirnya, membuka pintu dengan sedikit enggan.

Amina melangkah masuk.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!