NovelToon NovelToon

Jalan Pulang Kita

Rumah baru

Ruangan kepala sekolah itu luas dan terasa dingin. Salah satu dindingnya berupa partisi kaca—memisahkan antara ruang kepala sekolah dan ruang bimbingan Konseling.

Potret Presiden dan Wakil Presiden yang tergantung tinggi di tengah dinding menatap tegas ke seluruh penjuru ruangan. Lemari arsip terpajang berjejeran dengan lemari piala penghargaan yang berada di sudut ruangan.

Seorang wanita bergaun merah dan seorang gadis berkuncir kuda tinggi mengenakan pakaian kasual sopan tengah duduk berdampingan diatas sofa kulit hitam. Di hadapannya adalah seorang pria berusia lima puluhan, keriput di lekuk wajahnya memberi menambah kesan tampak begitu berwibawa.

"Jadi Anne, baru bisa masuk sekolah sekarang, karena Ibu masih harus ngurus berkas-berkas di sana?"

"Iya Pak, bener." jawab wanita itu.

"Ohh ini yang dulu izin nggak ikut ya MPLS ya Bu?" lanjut pria di hadapannya yang merupakan kepala sekolah.

Ibunya mengangguk mengucapkan kalimat yang sama.

"Sekarang kan kegiatan belajar mengajar sudah dua minggu, selain Anne tidak ikut MPLS, Anne juga tidak ikut PTA ditambah lagi Anne sudah dua minggu ketinggalan pelajaran," jelasnya.

"Sebenernya bukan masalah besar, tapi seharusnya ada konfirmasi lain Bu. Karena kan takutnya sekolah sudah menghapus namanya dari daftar siswa baru."

"Untuk masalah itu, saya sebagai ibunya merasa sangat menyesal Pak," timpal ibunya.

Bapak Kepala sekolah mengulurkan tangan mengambil tumpukan berkas di atas meja, membolak-baliknya sejenak. Lantas jemarinya berhenti pada sebuah sertifikat, "Anak yang hebat sekali, bisa dapet mendali perak tingkat nasional. Pasti ibunya bangga," ujarnya.

Ibunya tertawa langsung tertawa kecil. Kemudian beliau kembali membalikan lembaran demi lembaran hingga tak mampu menahan senyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Anak yang sungguh luar biasa," gumamnya.

TOK

TOK

TOK

Seorang guru perempuan berdiri memegang setumpuk seragam yang masih dikemas. Pak Kepala sekolah segera mempersilakan masuk.

"Ini seragamnya ya Bu, sudah lengkap dari senin sampai sabtu," jelasnya, sembari menaruhnya di atas meja. Lantas guru itu kembali undur diri.

Pak kembali berkata, "Anne mulai berangkat besok ya nak, biar tidak ketinggalan pelajaran terlalu banyak."

Anne bersenandung pelan. Ibunya dan Bapak kepala sekolah kembali berbincang-bincang santai. Sementara tatapannya menyisir ruangan. Melalui partisi kaca buram, tampaknya ruang sebelah berisi dua anak remaja laki-laki dan seorang guru. Meski partisi kaca berperedam suara, namun percakapan mereka masih terdengar walau lemah.

"Kalian masih kelas sepuluh, baru dua minggu kalian mulai KBM. Sudah berani bawa komik porno!"

Bentakkannya terdengar keras menembus pertisi kaca. Bapak kepala sekolah dan ibunya yang tengah berbincang sontak terdiam. Suasana hangat berubah seketika menjadi canggung.

Anne merasa heran dan tak bisa tak bertanya-tanya dalam hatinya. Bagaimana bisa ada anak yang begitu bodoh?

Pak kepala sekolah berdehem keras, menghentikan bentak guru sebelah. Lantas menatap ia dan ibunya dengan senyum canggung yang penuh permintaan maaf di wajah wibawanya.

"Namanya juga anak-anak pak," komentar ibunya.

Pak kepsek hanya tertawa yang seolah dibuat-buat. Percakapan ringan kembali berlanjut, tak lama kemudian ibunya mengakhiri percakapan dan izin berpamitan.

Mereka beranjak bangun. "Ayo Anne, salam sama Pak kepala sekolah."

Nggak usah di suruh juga tau, batin Anne. Sambil menyalami dan mencium punggung tangan Pak Kepsek.

Anne dan ibunya berjalan di antar pak Kepsek. Ketika melewati ambang pintu partisi kaca. Sebab rasa penasarannya ia menoleh, matanya tak sengaja menatap seorang siswa berambut cepak yang menatapnya mengamat. Cepat-cepat ia menunduk, tak mau bertatapan terlalu lama.

Di depan mobil yang terparkir di halaman depan. Anne hendak menekan panel pintu penumpang belakang.

"Apa mama supirmu?" cibir ibunya, lalu masuk kursi kemudi tanpa menunggu jawaban.

Ia pun tak susah-susah menjelaskan atau pindah ke kursi depan. Melalui kaca spion mereka sesekali akan bertatapan namun tak satupun mengucap untuk memecah hening.

Hingga mencapai pertigaan, ibunya memutar kemudinya kearah yang berlawanan dengan hotel tempat mereka menginap sebelumnya.

"Maa, bisa tinggal sendiri," Ucap Anne, memecah keheningan.

"Nanti kamu tahu maksud mama, kalau udah tinggal di sana."

Ia ingin terus menolak. Namun tetap bungkam menatap kaca jendela. Apa gunanya? Hasilnya bakal tetep sama. Itu cuma tiga tahun, ya tiga tahun, batinnya, meyakinkan diri.

Tak lama kemudian mereka sampai di depan sebuah rumah jadul bertingkat dua. Ibunya menekan klakson lalu seorang wanita paruh baya berdaster membukakan gerbang.

Begitu mereka turun. Wanita itu menuntun mereka ke dalam. "Nenek mana?"

Tiba-tiba seorang wanita tua berambut putih berlari dari dalam rumah. Matanya yang berair, terbelalak seolah tak percaya.

Anne langsung menoleh menatap ibunya. Pipinya telah dibasahi oleh air mata—menciptakan dua garis panjang. Ia mengucapkan kata dengan sedikit terisak, "Buu."

Wanita tua berlari dan memeluk ibunya sambil tersedu-sedu, air mata mengalir membasahi gaun putih polosnya.

Anne berdiri mengamatinya dari samping, ditemani wanita berdaster yang ternyata matanya sudah berkaca-kaca.

Anne berfikir bahwa wanita tua itu, masih tampak cantik di tengah wajahnya yang keriput. Rambut putihnya juga menambah kesan elegan seorang wanita tua.

"Ini Anne?" tanya wanita tua itu.

"Anne Salim sama nenekmu," suruh Ibunya.

Neneknya langsung memeluknya erat erat, "Sudah lima belas tahun sejak terakhir kali nenek lihat kamu," lantas mencium keningnya lembut.

Meski pikirannya kosong, Anne segera memeluk balik tanpa mengatakan sepatah kata.

Kemudian mereka di ajak masuk, "Mar, buatkan teh buat Yuyun sama Anne."

"Pie Yun, suamimu?"

Ibunya mulai bercerita tentang proses perceraiannya yang sulit dan yang lebih sulit mengenai hak asuhnya. Namun Anne masih merasa kesal. Mengapa ibunya berusaha begitu keras kalo akhirnya malah dititipin di rumah neneknya. Bahkan masih tidak tahu malu berpesan agar dirinya tak boleh berpacaran terlalu intens.

Anne mendengarkan bosan obrolan orang tua. Sesekali ia akan menyenderkan punggungnya di sofa atau meneguk teh manis. Tak lama setelahnya Ibunya beristirahat di kamar neneknya. Hanya tersisa dirinya yang kini mendengarkan setiap kata yang ucapakan neneknya.

Yang bercerita tentang masa kecil ibunya dan pamannya dengan bahasa Indonesia sesekali menyelipkan kata dalam bahasa jawa. Beberapa hal sudah ia ketahui seperti Ibunya yang diambil dari sebuah panti asuhan. Namun cerita lainnya seperti Ibunya yang menjaga pamannya sewaktu kecil ketika nenek dan kakeknya sedang sibuk.

Anne merasa sedikit kagum bercampur iba, menatap pintu yang baru saja dimasuki ibunya. Sampai menjadi wanita paruh baya, ibunya masih tak bisa menemukan orang tua kandungnya.

Tanpa diduga, wanita tua itu mengajaknya berkeliling rumah. Dan memperkenalkan setiap nama tanaman hias yang paling besar.

Sampai di halaman samping. Pandangan Anne tertuju pada kolam renang bergaya modern yang tampak sedikit kontras dengan model bangunan rumah.

"Kolam renang di bikin belum lama," tutur nenek. "Sepupu yang minta."

Kemudian mereka masuk melewati pintu samping yang ternyata langsung menuju dapur. Wanita berdaster yang dipanggil Mar tengah sibuk memasak, "Itu mba Mar, dia yang bantu-bantu nenek di rumah."

Mba mar segera menghentikan pekerjaannya dan menyapa Anne, "Nduk, kalo mau minta buatin apa-apa bilang ke mba ya."

"Iya mba, Anne ngga akan sungkan,"

Nenek kembali mengajaknya berjalan, sampai di depan tangga ia menunjukan dua pintu kamar, "Nanti kamu yang kanan, yang ada kamar mandinya, sepupumu yang kiri."

Di luar tiba-tiba terdengar orang tengah mengobrol. Begitu mereka menoleh, di ambang pintu berdiri seorang wanita berseragam guru dan pria berkacamata.

"Bu, Mbak Yuyun....ini Anne, kan?" seru pria itu.

"Salim sama paman bibimu, nduk." suruh neneknya.

Anne mendekati mereka lalu menyalami keduanya. Tapi begitu ia menyalami bibinya—wanita itu langsung menariknya dalam dekapan.

"Sudah gadis kamu, Ann." ucap bibinya pelan, suaranya sedikit terisak.

Anne terdiam di pelukannya, menatap kosong setiap helai rambut wanita itu. Lantas ia dengan ragu-ragu mengangkat lengannya dan perlahan memeluk bibinya.

Mendadak sebuah teriakkan terdengar di halaman depan. "Pa, ini mobil baruku?"

Anne menatap bibinya yang langsung melepas pelukan dengan senyum canggung, sementara wajah pamannya tersenyum masam dan melangkah keluar.

"Itu sepupumu." bisik neneknya.

Tak lama kemudian pamannya masuk, diikuti seorang remaja jangkung di belakangnya. Mata Anne seketika membelalak kaget, Dia bocah mesum tadi kan?

"Ivan, salim dulu sama kakakmu." suruh pamannya.

Ivan membalas memelototi dari balik punggung pamannya sebelum berjalan mendekat. Sampai begitu dekatnya hanya berjarak tiga puluh centimeter lalu mengulurkan tangan.

Anne ingin melangkah mundur, namun melihat perbedaan tinggi diantara mereka. Ia menggertakkan giginya merasa tak terima. Dia punya masalah apasih! nggak jelas bangett! batinnya kesal.

Ia pun balas mengulurkan tangan, Ivan dengan cepat menjabatnya erat. "Jangan kasih tau Papah soal tadi!" ucap Ivan pelan melalui giginya yang terkatup.

Anne mendongak menatap wajah Ivan yang sok dominan. "Ckk...lepasin," tukas Anne lirih sambil melototi Ivan.

Ivan kembali memelototinya dan segera melepaskan jabatan tangan. Lalu mundur, kembali berdiri di sisi pamannya.

Neneknya mengajak mereka duduk-duduk santai di sofa ruang tamu. Mengobrol ringan membahas berita yang akhir-akhir ini ramai di telivisi.

Ibunya yang baru saja bangun tidur, dengan santai masuk dalam obrolan. Namun entah mengapa, Anne merasa obrolannya malah menjadi canggung.

Ivan dengan cakap langsung menyalami Ibunya.

"Ivan, tolong ambilin budhe paperbag warna hitam di bagasi mobil," ucap ibunya, memberi kunci mobil.

Ivan mengangguk sambil menyahut kunci ditangan ibunya

"Iyaa budhe."

Segera Ivan kembali menenteng paper bag, berjalan mendekati ibunya. Lalu menyodorkan paperbag berwarna hitam bertuliskan merk brand italia. "Ini budhe,"

"Nggak, itu buat kamu." ucap ibunya lembut.

Seketika matanya tampak berseri-seri, seolah sudah tahu apa isinya. "Terima kasih, kakak cantik," seru Ivan senang.

Anne melihatnya merasa geli. Mengingat perbedaan sikapnya yang drastis. Suka kan itu aku yang milih sepatunya, cibir Anne dalam hatinya.

Ibunya dulu seorang model sekaligus aktris, ia dengan gampang mengelus kepala Ivan sebagai tanggapan. Bibinya tertawa kecil sambil menepuk paha Ivan, "Manggilnya Budhe."

Suara tawa mengisi ruang tamu kecil itu. "Tapi Budhe beneran masih kaya mba-mba kuliahan loh," ujar Ivan.

Ibunya tertawa lepas menepuk-nepuk bahu Ivan. Sampai tiba-tiba ia menjatuhkan kecupan ringan pada bibir Ivan. "Gimana? masih kaya ciuman mba-mba kuliahan?"

Tawa Ivan langsung terhenti. Matanya terbelalak kosong sambil menyentuh bibir dengan jemarinya. Tak tau jika semua orang di dalam ruangan menertawainya. "Budhe, itu first kiss-ku loh" gerutu Ivan.

Ibunya terkikik tanpa dosa, mengetuk ringan dahi Ivan "Dasar bocah nakal,"

Dalam hatinya, Anne juga ingin menertawai sepupunya yang polos keras-keras sambil mengejek.

Seusai makan malam, ibunya berpamitan pergi. Tak banyak yang dikatakan pada Anne, kecuali pesan agar tak berpacaran yang kembali diucapkan. Nenek, bibi dan pamannya juga berkata sungguh-sungguh akan menjaganya dengan baik.

Namun di antara mereka termasuk Anne tak ada yang tahu jalan hidup apa yang akan di pilih ibunya. Meski di meja makan bercanda ingin menjadi seorang biarawati.

Nenek, paman, bibi, Ivan, mba mar dan Anne berdiri di depan gerbang rumah. Menatap mobil sport kuning yang perlahan mengecil.

Perasaanya kosong, Anne tak tahu apa yang tengah dirasakan. Hanya kosong, tak ada kesedihan maupun kegembiraan. Hatinya kosong.

Sekolah

Kembali masuk ke rumah. Nenek dan bibinya menyuruhnya tidur di kamar tamu untuk sementara sampai Ivan selesai memindahkan barangnya. "Jangan tidur kemaleman ya sayang," tutur bibinya sambil bejalan.

Anne hendak masuk kamar. Namun, matanya tak sengaja melihat pamannya berdiri menyender pada pagar kayu di balkon. Kepalanya mendongak menatap langit malam tanpa bintang, sebatang rokok terselip di antara bibir dan jemari. Asap putih mengepul menyelimuti wajahnya yang kosong. Anne langsung mengundurkan niat menyapa, dan menekan panel pintu tanpa suara.

Semalam berlalu cepa. Kini, Anne duduk menatap piring berisi secentong nasi putih, tumis pakis dan dua ceplok telur goreng, dan sendok terjepit di jemarinya. Suara denting sendok Ivan sesekali memecah hening. Baru dua hari lalu, dirinya menyantap junkfood sendirian di rumahnya di Bogor.

Tiba-tiba tangan pamannya terulur menjepit selembar tisu di depannya. "Anne, kamu berangkat bareng Ivan ya. Om sudah kesiangan, ada kelas pagi."

"Pah, aku bareng Yuda," sahut Ivan cepat.

Anne masih belum sempat menjawab. Bibirnya mengerucut sedetik sebelum senyum terkembang di wajahnya. Ia semakin tak tahu apa yang harus dikatakan. Lagipula memaksa orang menerima dirinya juga tak mungkin dilakukan.

"Iyaa pah," timpal Ivan.

Anne melirik pamannya. Sorot matanya yang tajam ditunjukkan pada Ivan. Kalo ada pilihan lain aku juga nggak mau, batinnya.

Di teras Anne menunduk mengikat tali sepatu. Tiba-tiba terdengar suara pintu garasi terbuka. Ia menoleh, Ivan mengenakan helm full face tengah mendorong Scoopy berwarna merah. Hingga sampai di depan gerbang."Mau ikut nggak?" teriak Ivan. "Kalo nggak, aku tinggal!"

Anne menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan pendek, berjalan menuju Ivan. Segera, Ivan melemparkan helm bonusan motor ke arahnya sambil tersenyum mengejek.

Anne menangkapnya sigap. Mengabaikan senyum menjijikannya Ivan. Kaya bocah SD! gerutunya dalam hati

Sepanjang jalan mereka terdiam, hanya suara helm saling beradu yang terus terdengar. Jalan yang mereka lalui penuh lubang dimana-mana, Ivan mengendarai dalam kecepatan tinggi.

Saat Ivan tak mampu menghindari lubang, pantat Anne akan terlepas dari jok dan bahunya akan menghantam punggung Ivan. Ia takut terjatuh tapi masih tak sudi berpegangan pada Ivan. "Bisa pelan nggak sih?"

"Ckk, mundur dikit sana. Sempit tahu!" seru Ivan.

Saking marahnya, ia hampir muntah darah. Anne mencoba bergeser sambil mendorong pundak Ivan. Namun ia tak menyangka dorongannya begitu keras. Tangan Ivan kehilangan keseimbangan, membuat motor ikut goyah.

Mengejutkan seekor ayam yang segera berlari melompat ke arah motor. Dalam sepersekian detik dunia berputar, Anne merasa dirinya terlempar beserta suara motor terbanting. Helmnya membentur aspal begitu keras hingga telinganya berdengung. Kalimat 'baru hari pertama sekolah' yang masih terngiang di benaknya.

"Ann!" teriak Ivan, menarik pundaknya. "Kamu nggak papa kan?" suaranya terdengar panik.

Anne menoleh, kening Ivan berkerut tampak sangat cemas. Ia mengangkat lengannya yang tergores mengeluarkan darah, kedua lututnya juga tak lebih baik. Rasa sakitnya menjalar sampai terasa pegal.

"Ayo ke puskes..."

"Nggak usah," tukas Anne. "Nanti kita telat."

Mata Ivan masih terpaku pada luka di lututnya. Anne buru-buru melambaikan tangan, menyuruh Ivan mendirikan motor yang rubuh. Ia pun beranjak berdiri dengan bibir terkatup, menahan sakit.

Ia merasa kesal, melihat tak satupun tubuh Ivan yang terluka bahkan tak ada debu menempel pada seragamnya. Padahal dirinya dan motor yang ditumpangi juga lecet-lecet.

Sampai di sekolah, Anne bergegas menuju ruang UKS. Seorang gadis perawat dengan tangkas membersihkan dan membalut lukanya dalam sekejap. Sambil bertanya bagaimana ia terluka. Ia berkata bahwa dirinya jatuh tanpa menjelaskan detail.

Ia mengucapkan terima kasih, berjalan keluar UKS. Ivan sudah berdiri di samping pintu, menatapnya linglung. "Kelasnya dimana?"

"Ayo," ajak Ivan, berjalan mendahuluinya.

Anne mencoba berjalan tampak normal, meskipun rasa sakit berdenyut di lututnya. Pandangannya terus tertunduk menatap kain kasa putih, takut-takut darahnya akan merembes.

Langkah Ivan terhenti. "Mbak, kamu kenapa?" tanya seorang wanita tiba-tiba.

Anne mendongak di depan mereka seorang guru wanita yang tampak berusia tiga puluhan. "Jatuh Bu," jawabnya sopan.

"Parah nggak?" selidiknya, berjalan mendekati Anne. "Masuk Van."

"Bu, dia anak kelas kita juga," ucap Ivan, sebelum masuk kelas.

Mata wanita itu langsung terbelalak kaget, "Oh kamu yang baru bisa masuk ya?"

Ia mengangguk, "iyaa Bu."

Wanita itu memperkenalkan dirinya singkat. Para guru dan siswa-siswi selalu memanggilnya Bu jeni, ia juga wali kelasnya—kelas IPS unggulan dua. Anne sudah mengetahui dari tag namanya yang bertuliskan Janice.

Kemudian mereka masuk kelas. Tatapan mereka tertuju padanya yang tampak iba. Bu jeni menyuruhnya memperkenalkan diri singkat. Lantas menambahi mengatakan bahwa namanya yang sudah lama tertulis di buku presensi, tanpa satupun kehadiran.

Dan ia pun disuruh duduk di bangku kosong, tepat di depan Ivan. Teman sebangkunya, seorang gadis berambut pendek. Anne menganggukkan kepala sebagai sapaan. Gadis itu langsung menepuk-nepuk tempat duduk kosong dan memperkenalkan diri.

"Ann, kenalin aku Ratri," ucapnya, mengulurkan tangan, menjabat tangan Anne .

Ratri terus berbisik, mengajaknya mengobrol, seolah telah menantikan seseorang duduk di bangku sebelahnya. Tampaknya Ratri juga mengenal batasan tertentu, ia tak mendesak dirinya bercerita mengenai luka-lukanya.

"Orang di belakangmu namanya Ivan, dia nyebelin banget suka usil," bisik Ratri. "Yang di belakangku, namanya Farhan, dia wibu akut nggak bisa ketolong."

Anne melirik orang di belakang Ratri, yang mengenakan kacamata kotak berbingkai tebal. Dan jaket hijau lumut bergambar logo sayap tergeletak di atas meja. Yah kayanya dokter juga lepas tangan, batin Anne.

Sinar matahari menembus gorden berwarna ungu, membiaskan warna cat biru muda. Terdengar bel berbunyi nyaring, jam pelajaran telah usai.

Ivan memilih mengambil jalan memutar, melewati jalan raya. Melewati sebuah apotek ia, menghentikan sepeda motornya. "Bentar," ucap Ivan.

Dalam perjalanan pulang. Ivan memutar jalan lewat jalan raya yang mulus meski sedikit macet. Ia mengendarainya pelan, terasa nyaman. Menghilangkan rasa kesalnya di pagi hari.

Ivan berhenti di depan apotek tanpa dimintanya. "Bentar," ujar Ivan, masuk ke apotek.

Ketika kembali, tangannya memegang bungkusan kresek bening berisi perlengkapan obat luka luar yang lengkap.

Peka juga nih anak, pikir Anne. Namun, Ivan tak langsung memberikan bungkusan itu. Ia berdiri diam, menatapnya sejenak sebelum kembali beralih pada kantong kresek.

"Bisa nggak usah ceritain ke papah, nggak?" bisiknya lirih, hampir tak terdengar.

Sudut mulutnya berkedut, menahan tawanya lepas. Ia menyambar kantong kresek di tangan Ivan. Dasar anak papi, cibirnya dalam hati. Sudut mulutnya terangkat, membentuk smirk tipis, "Makasih."

Ivan tampak menyadari senyum liciknya, ia melotot tajam seakan menantang.

Motor berhenti di depan gerbang rumah. Anne masuk rumah sementara Ivan berkata akan pergi ke bengkel. Tak ada satu orang pun di teras maupun ruang tamu. Anne cepat-cepat menaiki tangga, menekan panel pintu kamar. Matanya tercengang, kamar yang tadi malam ia tempati sudah berisi treadmill, dan gitar di pojok ruangan. "Udah diganti, berarti," gumamnya lirih.

Ia menekan panel pintu sebelahnya. Aroma woody bercampur mint menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Namun koper dan barang bawaan miliknya telah tertata rapih. Ia pun melangkah masuk, melemparkan tubuhnya di kasur. Dan Mengendus ringan seprai, "Bau detergen."

Matanya perlahan terpejam. Ketika membuka matanya kembali, langit tampak petang melalui kisi-kisi jendela kayu. Anne beranjak bangun, bergegas mandi.

Anne baru saja mengenakan piyama bercelana pendek dan atasan bertali tipis tanpa lengan, supaya tak bergesekan dengan lukanya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Ia mengira mungkin Mbak Mar, dan bergegas membukanya.

Ivan berdiri di balik pintu sambil mengerutkan alisnya, tatapannya turun mengamat tubuhnya perlahan lalu berhenti pada tali piyamanya.

"Mau apa?" desaknya dengan nada kesal. Dasar bajingan mesum.

Ivan berdehem, menarik pandang. "Ngambil buku," ujarnya sambil menggaruk-garuk kepala.

Anne mendorong pintu lebih lebar, membiarkan Ivan masuk sementara dirinya berdiri di ambang pintu. Menatap Ivan berjalan masuk, menuju meja belajar berkabinet.

Lantas memutar kunci, mengambil isi di dalamnya. Saat Ivan berjalan mendekat, setumpuk seri novel bersampul karakter Mandarin yang ia sangga di depan dadanya. Ia menatapnya sekilas, "Makasih," ucapnya, melangkahi ambang pintu.

Bung Amin

Anne menatap punggung Ivan sejenak sebelum melangkah masuk ke dalam kamar. Ia meraih kantong kresek di atas meja, lalu meneteskan Betadine di atas lutut, sementara keningnya mengernyit. Menarik napas pendek saat rasa perih menyentak di kulitnya. Kemudian ia membalutnya dengan kain kasa perlahan.

Anne menatap linglung kain kasa yang menempel di lututnya. Ingatannya melayang pada permintaan Ivan saat mereka berada di apotek. Perlahan, ia beranjak bangkit menuju lemari pakaian. Menarik napas dalam-dalam sebelum berganti piyama satin panjang.

Ia mengambil ponsel dan menekan nomor bernama Yuyun. Jari-jarinya bergerak cepat di atas layar, menuliskan pesan singkat pada ibunya, meminta supaya cepat cepat mengirimi mobil dan sopir pribadi untuknya bersekolah.

Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar bersamaan layar yang menyala. 'Lima hari lagi sampai' itu isi pesan ibunya.

Selama lima hari berikutnya, Anne masih terus membonceng di belakang Ivan. Hampir setiap hari telinganya dijejali gerutuan Ivan mengenai helmnya yang tampak aneh dan tidak cocok dengan motornya. Juga keluhan motornya yang terlalu pendek dan terasa sempit.

"Ehh, mobilmu sudah sampai?" ucap Ivan, begitu sampai depan gerbang.

Anne melongok dari balik helm Ivan. Mobil sport kuning terparkir di depan teras, tampaknya juga ada seorang tamu yang duduk di ruang tamu. Ia buru-buru turun, melepaskan helm dan masuk ke rumah.

Namun langkahnya berhenti di ambang pintu. Seorang pria yang telah lama dikenal duduk berhadapan dengan neneknya. Seolah menyadari kehadirannya, pria itu langsung menoleh.

"Non?" sapa pria itu sembari mengangguk ringan.

Anne menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya pendek. "Pak Ari?" jawab Anne.

Ia kembali melangkah masuk rumah, menyalami nenek dan pak Ari sebelum bergegas ke kamarnya. Anne menaiki tangga dengan langkah ringan, namun kedua tangannya terkepal erat. Ohh drama perebutan anak, masih belum kelar juga, batinnya.

----------------

Hujan turun sejak pagi hari buta. Hanya ada Ivan dan ayahnya yang tengah fokus pada layar laptop. Sementara jemarinya asyik mengetuk-ngetuk layar bermain game.

"Belum berangkat?" tanya ayahnya sekonyong-konyong.

Ivan menoleh singkat, lalu kembali menatap layar ponsel. "Loh kan sama papa," celetuknya.

"Papa nggak berangkat."

Ivan menoleh. Wajah ayahnya masih terpaku pada layar laptop tanpa ekspresi sementara tangannya sesekali akan menekan tombol keyboard.

"Darah tingginya, naik lagi?" tanyanya dengan suara dalam.

Ayahnya mendongak, menatapnya sekilas dari balik kacamatanya yang tebal dengan wajah yang masih tanpa ekspresi.

"Sudah periksa kemarin, sama ibumu."

Ivan mengintip layar laptop ayahnya. Lagi-lagi menampakan dokumen tugas mahasiswa berisi deretan tulisan bak koran.

Ia ingin berteriak sambil merebut paksa laptopnya.

"Kalo sakit berhenti kerja lah! apa susahnya sehari nggak ngadep laptop?" namun suaranya tercekat. Entah sudah keberapa kali dirinya meminta ayahnya istirahat—bahkan tak kurang-kurang meminta ibunya untuk menasihati ayahnya. Tapi tetap saja tak satupun dari mereka didengarkan.

"Sana berangkat bareng kakakmu sama Pak Ari." ucap ayahnya.

Ivan beranjak bangun, mengeluarkan bunyi keras kursi yang berderit. Melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Menahan amarahnya di tenggorokan dengan bibir terkatup.

Sampai di teras, lampu mobil Anne yang terparkir seketika menyala, kaca jendela depan menurun perlahan. Wajah Pak Ari muncul di baliknya sambil tersenyum menampakan deretan gigi.

"Ayo tuan muda," ucap Pak Ari.

Ivan mengendus dingin menahan geli. Tuan muda apaan tuan muda? Gerutunya dalam hati. Lalu tanpa pikir panjang, ia menekan panel pintu penumpang depan. Pandangannya refleks, melihat kebelakang. Anne duduk diam, kepalanya miring menatap rintik hujan di kaca jendela.

Sesekali Pak Ari mengajaknya mengobrol tapi Anne tetap diam sepanjang perjalanan. Tiap kali ia melirik melalui spion wajah Anne juga masih terpaku pada kaca jendela hingga tiba di depan gerbang sekolah.

Ivan menatap linglung tiap butir air hujan yang menetes cepat di kaca jendela. Anjing malah lupa bawa payung!

Ia melirik kaca spion, Anne hendak membuka pintu sembari bersiap menekan gagang payung. Seolah menyadari kekhawatirannya, Anne menyodorkan payung ke arahnya.

"Mau bareng?

Ivan menoleh, menatap Anne yang menaikkan salah satu alisnya. Tanpa ragu ia merebut payung di tangan Anne dan bergegas keluar dengan payung di tangannya, menghampiri Anne di depan pintu kursi penumpang belakang.

Payung kecil itu, nyaris tak mampu menutupi mereka berdua. Ia mencondongkan payung ke arah Anne membuat lengan bajunya di sisi lain basah kuyup tertimpa air hujan.

"Jamur sama ini payung juga gedean jamur," gerutunya.

Anne mendongak, menatapnya datar. Memperlihatkan ujung matanya yang tajam sebelum kembali menunduk. Dia nggak tersinggung kan?

"Soalnya bukan buat jasa antar payung," ucap Anne, suaranya terdengar santai.

Bola matanya memutar ke atas, mengendus kesal. Cantik-cantik punya mulut ngga ada lembut-lembutnya, gerutunya dalam hati.

Lantai koridor di depannya hanya berjarak empat langkah. Ivan langsung menarik tangan Anne, menyuruhnya menggenggam payung sementara dirinya menghentakkan kaki melompat ke lantai koridor.

Di ruang kelas Ivan menatap jam tangannya, jarum jam menunjukkan pukul setengah delapan. Ia mendorong pintu perlahan, berjaga-jaga kalau gurunya masuk.

Saat pintu terbuka lebar, terlihat tak ada yang duduk di bangku guru.

"Guru belum masuk kan?" tanyanya sambil berjalan lenggang, memandang isi kelas.

"Udahh," jawab teman sekelasnya secara serempak.

Ivan menoleh kebelakang, menunjukkan tulisan 'Tugas bahasa Indonesia, buatlah autobiografi. Dikumpulkan!' di papan tulis. "Itu apa?"

"Ya udah kalo udah tau ngapain tanya, cepet kerjain!" teriak gadis bernama Chloe.

Sesaat kemudian pintu kembali terbuka, kini Anne masuk tanpa mengucapkan sepatah kata hanya menoleh menatap papan tulis. Lalu menuju bangkunya.

"Tuh Van, jadi cowo kaya Anne. Pendiam jadi keliatan cool!" celetuk Ratri di depannya.

"Apaan sih Jonggrang," cibir Ivan sembari menulis.

Mendadak, sebuah tangan terulur menyambar bukunya. Belum sempat dirinya merebut kembali, Farhan berteriak keras-keras mengeja setiap kata.

"Nama saya Ivan Benjamin...Saya bercita-cita menjadi seorang tentara...karena saya ingin memegang semua jenis senjata api sungguhan." Farhan tertawa terpingkal-pingkal sampai menular pada teman sekelasnya.

Anak laki-laki di seluruh kelas juga sontak bertepuk tangan dan memanggil dirinya dengan sebutan jendral, marsekal dan panggilan ketentaraan lainnya. Sampai seorang anak laki-laki bertubuh pendek berteriak, "Siap, Bung Amin!"

Ia terkekeh, beranjak berdiri, meletakkan tangan kanannya di samping pelipis. Tatapannya menyapu isi kelas yang riuh oleh gelak tawa yang mengaburkan suara hujan di luar.

Dari sudut matanya, ia tak sengaja menangkap Anne yang ikut tertawa kecil. Jantungnya berdebar tak karuan, dipenuhi rasa malu. Ia kembali duduk, tersenyum kecut menahan malu. Kenapa ketawa sih!

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka. Spontan seisi kelas terdiam kaku menutup mulut.

"Haha hihi haha hihi, ketawa di lapangan!" teriak pria itu, membanting pintu.

Oh my angel, baby my angel. Gumamnya dalam hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!