15 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 20 Oktober 1996.
Suara tangisan bayi memenuhi rumah keluarga Bramantyo. Terlihat sepasang suami istri tersenyum bahagia karena akhirnya hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Kelahiran sang bayi yang berjenis kelamin perempuan, dan kembar. Mereka memberi nama Anindira dan Anindita. Namun, senyum mereka surut ketika Kakak Bramantyo datang dan memberikan surat yang mana membuat keduanya merasa terhimpit.
"Berikan salah satu bayi kalian jika ingin menyelamatkan perusahaan dan aset aset lainnya!" ucap sang kakak — Adiba Maharani. Dia sengaja menjebak adiknya sendiri karena kebencian terhadap istri Bram. Pernikahan keduanya tidak direstui tetapi Bram dan Mely malah memutuskan untuk kawin lari hingga membuat sang Ayah terkena serangan jantung lalu meninggal dunia.
'Aku akan membalas semuanya dan ku pastikan kalian berdua tidak akan hidup bahagia. Mely adalah penyebab Papaku meninggal, dia harus membayarnya.' itulah janji Adiba ketika pemakaman sang Ayah selesai.
"Kenapa kau melakukan ini, Kak?" tanya Bram menatap Adiba dengan nanar, sementara Mely mencoba menenangkan bayi mereka yang sedari tadi menangis tanpa sebab.
Adiba melirik Mely dengan sinis. Bukan hanya dendam tetapi juga iri, Mely dan Bram sudah memiliki keturunan sementara dirinya belum memiliki anak setelah usia pernikahan yang hampir menginjak sepuluh tahun.
"Bukan aku yang melakukannya, Bram. Tapi kecerobohanmu sendirilah yang menyebabkan ini semua. Baiklah, akan aku beri waktu satu Minggu. Pikirkan baik-baik, kau ingin menyerahkan bayimu padaku atau kau kehilangan semuanya dan hidup melarat. Kau akan menjadi gelandangan diluar sana." Adiba tersenyum jahat, lalu dia meninggalkan rumah adik angkatnya itu.
Bram menatap Mely yang menangis di pojokan sambil memeluk kedua bayinya. Saat Bram mendekat, Mely dengan cepat menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Bram! Jangan berikan anak kita padanya. Aku tidak percaya pada wanita itu, dia sengaja menjebak kita dan mempermainkan mentalmu." Mely memohon, air mata terus mengalir deras di pipinya.
"Aku juga tidak menginginkan hal itu, Mel. Bagaimana mungkin aku menyerahkan anakku pada orang lain? Tapi aku bisa apa? Aku tidak ingin melihat kalian hidup menderita. Diba adalah perempuan yang licik, dia pasti akan melakukan apa pun untuk membuat hidup kita menderita."
"Aku tau, Bram, aku paham! Dia bisa mengambil semuanya dari kita, aku rela, aku tidak masalah kalau kita harus hidup sederhana. Masih ada perhiasan peninggalan orangtuaku, kau bisa menjualnya. Kita akan membuka usaha dan memulai semuanya dari nol. Aku tahu kalau kau tidak membutuhkan harta dari Orang tua Adiba. Pikirkan lagi, Bram. Jangan menjadi Ayah yang egois hanya karena memikirkan hidup melarat." pinta Mely dengan panjang lebar.
Bram terdiam, memikirkan setiap perkataan yang keluar dari mulut istrinya. "Aku akan mengurus semuanya, kau tunggulah dirumah!"
Bram pergi menemui Adiba, dirinya sudah memutuskan untuk menyerahkan semua harta warisan yang diberikan oleh sang Papa. Setelah berada dirumah Adiba yang sangat mewah, Bram langsung duduk di sofa, menunggu kedatangan kakak angkatnya itu.
Adiba tersenyum lebar, dia yakin kedatangan Bram saat ini pasti untuk menyerahkan salah satu bayinya.
"Adikku tersayang, kau datang? Cepat sekali." ucap Adiba terus tersenyum sementara Bram menatapnya dengan datar. "Kau sudah membuat keputusan? Lalu apa yang kau pilih? Ingat! Kau harus memikirkan masa depanmu dan juga anakmu." ujar Adiba percaya diri.
"Aku sudah membuat keputusan, Kakak. Aku bersedia menyerahkan semua aset padamu."
Adiba mendelik, senyum yang tadi terukir indah di bibirnya kini sirna begitu saja.
"Kau sungguh yakin dengan pilihanmu, Bram? Kalau begitu baiklah, kemasi barangmu dan tinggalkan rumah itu secepatnya! Aku yakin kau pasti akan menyesal." ucap Adiba tersenyum sinis, sebuah rencana sudah terlintas dibenaknya.
Bram menuruti perkataan Adiba. "Aku akan segera pergi dari rumah itu, dan..." Bram membubuhkan tandatangan diatas materai yang berisi pemindahan nama untuk semua aset dan perusahaan. "Aku tidak akan pernah menyesali keputusanku, Kakak. Selagi istri dan anak-anakku bersamaku, aku tidak akan pernah merasa kekurangan apa pun." lanjutnya percaya diri lalu pergi dari rumah Adiba.
Setelah kepergian Bram, wanita itu melemparkan surat persetujuan pemindahan saham yang berada di atas meja. Dia meremas nya terlebih dahulu dengan rasa kesal dan dendam yang membara.
"Lihat apa yang bisa aku lakukan, Bram! Wanita itu selalu saja berhasil meracuni pikiranmu." ucap Adiba menatap lurus ke depan.
BERSAMBUNG
Dua hari kemudian, Bram dan Mely sudah meninggalkan rumah mewah mereka. Keduanya sekarang tinggal di rumah kontrakan sederhana yang cukup untuk dua orang saja. Sesak? Sangat! Tapi mereka hanya bisa bersabar karena semuanya pasti akan segera membaik. Mely meminta Bram agar membuka usaha kecil-kecilan yaitu kue dan cake.
Malam hari pun tiba, saat pasangan suami-istri itu sibuk di dapur untuk mempersiapkan jualan mereka besok, pintu kamar dibuka paksa tanpa sepengetahuan keduanya.
"Bram, anak-anak menangis. Aku akan melihatnya dulu, mungkin mereka haus." ucap Mely mencuci tangannya yang tekena adonan tepung.
"Pergilah! Aku akan meneruskannya, sebentar lagi juga selesai." sahut Bram tetap fokus pada pekerjaannya.
Tangisan kedua bagi itu semakin kencang, Mely masuk ke kamar dan dia mendelik melihat apa yang terjadi.
"Berhenti!" teriaknya saat melihat sosok misterius yang memakai jubah hitam dan juga topeng membawa lari salah satu putrinya dari jendela.
"Bram! Bram!" teriak Mely sekencang mungkin dan sang suami langsung berlari menghampiri.
"Mely, ada apa?" tanya Bram merasa khawatir.
"Bram, p—putri kita. Ada orang yang menerobos masuk dan dia mengambil putri kita. Cepat kejar, Bram! Jangan sampai orang itu lolos." pinta Mely sambil menangis.
Bram mengepalkan erat kedua tangannya, dia berlari keluar dan meminta bantuan pada warga disekitar untuk mencari sosok misterius yang membawa pergi bayinya.
Mely berlari mendekati bayinya, dia memeluk dengan erat dan mengecup kepala bayi itu.
"Sayang, kau baik-baik saja? Semoga Papamu berhasil menemukan kembaranmu." doa Mely merasa hatinya tidak tenang.
Bram dan warga sekitar tidak menemukan apa pun, bahkan mereka sudah berkeliling komplek sampai ke jalan raya, tak lupa pohon-pohon besar juga mereka periksa demi mendapatkan sosok misterius itu. Namun, hasilnya tetap nihil.
"Yang sabar, Bram. Besok pagi sebaiknya kau lapor polisi, jika sekarang kau melaporkannya, maka polisi tidak akan mengusut kasus ini karena belum dua puluh empat jam." ujar salah satu tetangga Bram.
"Baik, Pak. Terima kasih karena sudah membantu." ucap Bram berjalan lunglai menuju rumahnya.
Mely berada di teras rumah bersama dengan sang bayi, dari raut wajahnya dia sangat berharap ada kabar baik dari Bram.
"Bagaimana? Kau berhasil menemukan putri kita kan, Bram?" tanya Mely menggoyangkan lengan Bram.
Pria itu menggeleng membuat Mely menjadi lemas, tubuhnya hampir saja luruh, untung Bram menahannya dengan cepat.
"Kenapa ini bisa terjadi? Aku sangat khawatir Bram, aku takut terjadi sesuatu pada putri kita. Dia masih bayi, dia belum tahu apa-apa. Siapa yang sudah tega melakukan ini pada kita?" Mely menangis di dalam pelukan Bram.
Sungguh hati pria itu sangat sakit, dia merasa tidak berguna dan bodoh. Hidupnya saat ini sudah miskin, dia berpikir tidak bisa membuat Mely bahagia. Dan sekarang dia tidak becus melindungi putrinya.
"Maafkan aku, Mely. Aku memang suami dan Ayah yang tidak berguna." Bram menangis.
Mely menatap Bram. "Jangan bicara seperti itu, kita masih bisa berusaha untuk mencari putri kita."
"Besok aku akan melaporkan kasus ini ke kantor polisi, semoga mereka bisa membantu dan segera menemukan Anindita."
Keduanya saling berpelukan, sedangkan Anindira malah menangis tanpa henti, dia seperti merasakan serangan batin dari orangtuanya. Dan merasa sedih jauh dari saudari kembarnya.
****
Di tempat lain, seorang wanita tertawa puas. Dia menggendong bayi yang tadi berhasil dicuri oleh orang suruhannya.
"Kerja bagus, aku merasa bahagia." ucap wanita itu yang tak lain adalah Adiba.
"Lalu bagaimana dengan bayaranku, Nyonya?"
"Aku akan memberimu bonus karena kau bekerja sesuai dengan keinginanku."
Pria yang memakai jubah hitam itu tersenyum senang karena dia mendapatkan uang banyak dari sang Bos.
"Aku sudah kirimkan uangnya, kau bisa mengecek dan jangan sampai ada yang tahu tentang masalah ini. Kau mengerti?"
"Baik, Bos. Rahasia aman." pria itu pergi dari hadapan Adiba.
Adiba menatap bayi yang ada di gendongannya dengan penuh kebencian.
"Hm, sebenarnya aku sangat menginginkan seorang anak. Aku bisa saja membawamu pergi jauh agar adikku yang malang itu tidak tahu. Tapi, wajahmu sangat mirip dengan wanita sialan itu, membuatku merasa sesak jika memandangmu terlalu lama. Dan sejujurnya aku bisa saja melenyapkanmu, tapi aku tidak Setega itu." Adiba tersenyum lebar memikirkan sebuah ide. Dia menghubungi seseorang yang sangat dekat dengannya, yaitu sang sahabat.
BERSAMBUNG
20 Oktober 2024.
***
Seorang wanita cantik yang berpenampilan sederhana berlari memasuki sebuah restoran, napasnya terlihat terengah-engah. Dia benar-benar merasa buruk karena datang terlambat lagi hari ini. Untung saja atasannya tidak pernah marah, hanya sekedar memperingatkan.
"Dira?" panggil seorang pria yang tak lain adalah pemilik restoran.
Anindira mengigit bibir bawahnya, dia juga menepuk dahinya. "Mam*pus aku!'' tukasnya menyesal karena datang terlambat.
"Selamat pagi, Pak. Maaf saya terlambat lagi. Tadi saya ketinggalan angkot, maka dari itu saya berjalan kaki sampai ke sini." ucapnya jujur.
"Baiklah, tidak masalah. Aku bisa memakluminya, tapi lain kali jangan di ulangi lagi. Aku tidak mau para karyawan lainnya merasa iri."
Anindira mengangguk paham. Dia bernapas lega saat Bosnya itu pergi menjauh. Disana ada manager, tetapi pemilik restoran setiap pagi datang untuk mengecek cara kerja karyawannya.
Dira pun bergegas mengganti pakaiannya lalu dia mulai ke dapur, mengambil pesanan para customer.
"Anin, kau terlambat lima belas menit. Apa Pak Daffa tidak memarahimu?" tanya salah satu teman dekat Anindira. Disana para karyawan memanggilnya dengan sebutan Anin.
"Untungnya saja tidak!" jawab Dira lega.
"Aku lihat kau sering sekali terlambat datang, apa ada masalah?"
"Setiap malam aku selalu begadang, Citra. Aku yang selalu membantu Mamaku untuk membuat adonan kue dan cake. Kau tau kan, kalau Papaku sudah sakit-sakitan. Jadi siapa lagi yang membantu Mamaku jika bukan aku sendiri?"
Citra menatap Anindira dengan Iba. Dia mengelus pundak teman baiknya itu. "Kau benar-benar hebat, Anin. Pagi sampai malam kau sibuk bekerja, dan pulang bekerja pun kau masih sanggup membantu orangtuamu hingga tengah malam. Jika aku menjadi dirimu, mungkin aku tidak bisa menjalani semuanya."
Anindira tersenyum mendengar perkataan Citra. "Mamaku pernah bercerita, jika dia melihatku, pasti dia selalu teringat dengan saudari kembarku yang hilang dua puluh delapan tahun lalu. Selain aku, siapa lagi yang bisa diandalkan, Citra? Maka dari itu, aku ingin menghabiskan sisa hidupku untuk berbakti pada mereka dan berusaha membahagiakannya."
Citra memeluk Anindira, dia merasa sedih mendengar curahan hati sahabatnya itu. "Aku yakin kau pasti bisa, kau itu kan Anindira Kusuma."
Dira tersenyum lebar, pesanannya sudah jadi dan dia segera membawanya ke meja customer.
"Aku salut melihat kerja keras dan kegigihanmu, Anin." gumam Citra melihat semangat Anindira dalam melakukan tugasnya.
Tak terasa jam istirahat pun tiba, seperti biasa, Anindira dan Citra duduk di dapur, menikmati segelas minuman dingin. Cuaca yang panas membuat tenggorokan mereka terasa kering setiap harinya.
"Dira?" panggil Daffa membuat keduanya menoleh.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Anindira dengan sopan.
"Apa kita bisa menikmati jam istirahat diluar? Ada yang ingin ku bicarakan padamu."
Anindira melirik Citra yang mengangguk, tanda setuju.
"Baiklah, tapi aku tidak bisa lama-lama karena aku dan Citra sudah membuat janji untuk makan siang bersama."
"Tentu saja, hanya lima belas menit. Kau tidak keberatan kan Citra jika aku meminjam sahabatmu sebentar?"
"Tidak, Pak! Kalian bisa pergi, aku akan menikmati minumanku dulu."
Keduanya pun berlalu pergi dari restoran.
Di sebuah taman yang tak jauh dari restoran Daffa, mereka berdua duduk di salah satu bangku yang ada disana. Pria itu berdehem sejenak, menyusun rangkaian kata dan menetralkan kegugupannya.
"Dira, ada yang ingin aku katakan padamu." ucap Daffa.
"Kau terlihat serius, Pak. Bicara saja, aku akan mendengarkannya." jawab Dira menoleh ke arah Daffa.
"Begini, aku tahu mungkin bagimu ini terlalu cepat. Tapi aku sudah memendamnya selama hampir dua tahun, dan aku tidak bisa lagi menyembunyikan semua ini darimu, Dira."
Anindira hanya diam mendengarkan kelanjutannya.
"Anindira Kusuma, aku jatuh cinta padamu sejak pandangan pertama. Apakah kamu bersedia untuk menjadi istriku? Mendampingi setiap langkahku, menemaniku dalam suka maupun duka.''
Anindira tercengang, tubuhnya seketika berubah menjadi kaku. "Aku, aku tidak tahu harus menjawab apa. Semua terjadi begitu saja dan tidak bisa ditebak. Aku butuh waktu untuk memikirkan jawabannya, Pak."
"Tenang, Dira. Aku akan memberimu waktu dua hari, dan kau harus menjawab pertanyaanku ini."
Anindira mengangguk tanda setuju.
Setelah berbincang, mereka akhirnya kembali ke restoran. Keduanya berpisah karena Daffa harus memeriksa pemasukan hari ini, ada kemajuan atau tidak.
"Ck, kenapa wajahmu ditekuk seperti itu?" Citra menyenggol lengan Anindira, berniat untuk menggoda wanita itu.
"Aku sedang bingung, Citra. Pak Daffa baru saja menyatakan isi hatinya padaku, dan kau tahu kan, kalau aku sudah mencintai seseorang." Dira menatap salah satu pegawai pria yang ada disana.
"Oho, Ilham, ya? Aku tahu, tapi realistis saja, Anin. Ilham hanya pegawai biasa, dan hidupnya juga sederhana. Bahkan dia itu seorang perantau, demi memberikan nafkah pada Ibunya. Sedangkan Pak Daffa—" Citra tersenyum sendiri. "Dia itu kaya, selain kaya dia juga tampan. Intinya, kau pasti akan hidup bahagia jika menikah dengannya. Percayalah padaku."
"Tapi aku tidak mencintainya, Citra."
"Hei, dasar bo*doh! Cinta itu bisa datang kapan saja, seiring berjalannya waktu kau pasti bisa mencintai Pak Daffa. Jaman sekarang cinta itu nomor dua, yang penting adalah uang dan kepastian masa depan." Citra pun memprovokasi Anindira.
Dira menatap Ilham dengan kesedihan, dia bingung apakah harus tetap memilih Ilham atau berpaling pada Daffa demi kecerahan masa depannya kelak?
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!