Pagi itu begitu tenang. Tidak ada istri yang cerewet, tidak ada anak yang ribut hanya ada seorang duda tanpa tanggungan. Namanya Rahul Atmaja.
Ia pernah menikah muda karena dijodohkan orang tuanya saat baru lulus SMA. Sayangnya, istrinya yang sakit-sakitan meninggal tepat di malam pertama. Sejak itu, Rahul jadi trauma. Bukannya membenci wanita, tapi ia merasa menikah terlalu merepotkan.
Kini usianya hampir 30 tahun. Orang tuanya sudah berhenti menjodohkan, takut Rahul marah. Hidupnya aman karena ia mengurus perusahaan warisan kakek buyut. Kata orang, harta keluarga Rahul tak akan habis tujuh turunan. Mungkin benar, sebab Rahul adalah turunan ketiga yang masih bisa hidup mewah tanpa pusing mikirin masa depan.
Kring! Kring! Kring!
Alarm weker meraung, disusul alarm ponsel. Rahul meringis. Pukul 07.00 pagi dan ia masih lengket dengan kasur. Dengan wajah kusut khas bantal edition, ia bangkit, mengusap muka, lalu menyisir rambut ke belakang. Ajaib, wajah yang tadinya kucel langsung berubah menawan. Begitulah Rahul tampan alami.
Sayangnya, ketampanan itu tak pernah ia bagikan. Para pegawai wanita di kantornya sering patah hati karena Rahul bahkan tak pernah melirik mereka. Tapi meski ditolak, pemuja tetaplah pemuja.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu terdengar. Rahul membuka pintu dan mendapati adik iparnya, Ikbal, yang sudah rapi. Tubuhnya bulat, pendek, dan menggemaskan, maka Rahul menjulukinya “Bulat”.
"Ayolah Bang, udah jam tujuh! Jam sembilan kita harus berangkat ke desa. Cepat mandi!" ujar Bulat sambil ikut-ikutan menggerakkan tangan, seolah sedang presentasi.
Rahul terkekeh. "Baiklah, Bulat. Kau bereskan saja semua barang-barang."
"Udah beres! Lori juga siap jalan. Tinggal Abang yang lambat," protes Bulat.
Rahul menggelitik perut Bulat sebelum menutup pintu. Tawa keras Bulat membuatnya terpaksa mundur sambil mengusap perut buncitnya.
Di kamar mandi, Rahul bercermin. Kumis tipis dan jenggotnya ia cukur sampai mulus. Ia mandi lama, hampir satu jam, karena tak suka tubuhnya terasa kotor. Saat keluar, jam menunjukkan pukul 07.59. Setelah berpakaian rapi kaos lengan panjang kuning, celana jeans hitam, dan sepatu kets putih Rahul memandang cermin puas.
“Tidak ada pria setampan aku di dunia ini,” ujarnya percaya diri.
Pukul 08.30 ia keluar kamar. Rumahnya besar, jadi perjalanan dari kamar ke pintu depan terasa seperti olahraga. Udin, sang pembantu, segera membukakan pintu.
"Selamat pagi, ayo berangkat!" seru Rahul sambil merentangkan tangan. Di dekat mobil, Bulat sudah menunggu dengan wajah cemberut.
Rahul masuk ke mobil, duduk di samping Bulat. Supir mereka, Peri, langsung melajukan mobil dengan lori yang membawa barang-barang untuk panti asuhan di belakang.
Dasar Abang ipar. Untung aku cinta sama adiknya. Tapi hari ini dia beda biasanya selalu pakai jas, sekarang malah kayak artis Korea. Wanginya kenapa seganteng ini sih? Bulat bergumam dalam hati.
Rahul yang sedang main ponsel tiba-tiba menoleh cepat. "Apa yang kau bicarakan dalam hati?"
Bulat kaget. "Apa? Enggak kok!"
"Jangan bohong. Kau pasti ngomongin penampilanku, kan?" Rahul menatapnya tajam.
"Mana ada! Hati ini sudah penuh dengan Khani, istriku!" sahut Bulat dengan sombong.
Rahul mendengus lalu bersandar. "Sudahlah, aku mau tidur. Bangunkan kalau sudah sampai. Pastikan juga barang-barang di lori aman." Ia pun memakai earphone dan memejamkan mata.
Astaga apa dia punya indera keenam? Semua isi hatiku bisa dia baca! Huh, dasar duda sok ganteng! Bulat menggerutu dalam hati.
Perjalanan masih panjang, empat jam menuju desa terpencil. Namun Rahul terlihat santai. Meski cuek, ia sebenarnya dermawan. Kali ini ia sendiri yang turun tangan membawakan bantuan untuk panti asuhan di sana.
Bersambung...
Rahul terbangun sebelum sampai di desa. Jalan tanah merah yang bergelombang membuat tidurnya terganggu. Desa itu disebut Desa Tanpa Nama, tempat terpencil yang masih asri dengan udara sejuk dan penduduk yang sangat sedikit. Hanya ada beberapa keluarga dan sebuah panti asuhan sederhana.
Anak-anak panti itu hidup dari alam mencari ikan di sungai, memetik buah dari kebun, bahkan pakaian mereka hanya satu-dua potong saja untuk bergantian.
Mobil berhenti di halaman rumah panggung kayu besar yang tampak tua, namun suasananya terasa hangat. Anak-anak berlarian riang di halaman luas yang dipenuhi pepohonan rindang. Saat melihat mobil dan lori besar ikut masuk, mereka mendadak panik. Tatapan bingung sekaligus takut tergambar jelas di wajah mereka.
Seorang wanita paruh baya keluar tergopoh dari rumah, memakai batik sederhana dengan kain yang diikat di pinggang. Dialah Ibu Asih, pengasuh anak-anak panti. Ia bingung, sebab selama ini tak pernah ada tamu datang dengan mobil, apalagi lori. Biasanya, anak-anak dititipkan diam-diam saat subuh di depan pintu.
Rahul turun dari mobil dengan senyum hangat, Bulat pun mengikutinya. Namun anak-anak justru lari berhamburan masuk ke rumah.
Ibu Asih menahan napas, lalu menyapa dengan hati-hati.
“Maaf, ada keperluan apa kalian kemari?”
Rahul dan Bulat saling pandang, lalu tersenyum ramah.
“Saya Ikbal, tapi biasa dipanggil Bulat. Ini abang ipar saya, Rahul. Kami datang untuk memberikan sedikit sumbangan untuk panti ini.”
Mata Ibu Asih langsung berkaca-kaca. Sudah bertahun-tahun tak ada yang peduli pada mereka. Ia menutup mulut menahan tangis, lalu akhirnya air matanya jatuh juga.
Rahul mengangguk pada Bulat, dan Bulat segera menambahkan,
“Semua barang di lori itu berisi makanan, pakaian, juga mainan untuk anak-anak. Maaf kalau kami datang tanpa kabar dulu. Boleh kami masuk, Bu?”
Ibu Asih buru-buru menghapus air matanya, lalu tersenyum tulus.
“Tentu saja. Mari masuk. Maaf kalau rumah kami sederhana.”
Suasana Panti
Di dalam rumah panggung itu, Rahul dan Bulat terdiam. Ruangannya luas tapi kosong. Tak ada kursi, tak ada perabotan, bahkan jam dinding pun tidak. Yang ada hanya kasur-kasur tipis yang digelar rapat sebagai alas tidur anak-anak.
Ibu Asih mempersilakan mereka duduk di lantai papan. Ia hendak membuat minuman, tapi Rahul cepat menahan.
“Tidak usah, Bu. Kami tidak ingin merepotkan.”
Ibu Asih tersenyum kikuk.
“Maafkan saya. Seharusnya tuan-tuan dijamu dengan baik.”
Bulat segera menyela, “Tidak apa-apa. Malah, bolehkah kami bertemu anak-anak tadi?”
“Boleh. Tunggu sebentar,” jawab Ibu Asih lembut. Ia lalu menuju dapur, tempat anak-anak bersembunyi.
Anak-Anak Panti
“Anak-anak, ayo keluar. Mereka orang baik, jangan takut,” bujuk Ibu Asih.
Satu per satu anak muncul, jumlah mereka begitu banyak. “Ini anak-anak panti,” jelas Ibu Asih. “Jumlahnya 176 orang, kebanyakan masih kecil. Hanya belasan yang sudah remaja.”
Rahul dan Bulat sama-sama tercekat. Bagaimana anak sebanyak itu bisa tidur di rumah kayu yang rapuh ini? Pakaian mereka pun lusuh, kebesaran atau kekecilan, jelas sekali sudah dipakai bertahun-tahun.
Bulat menepuk perutnya, lalu berkata lantang,
“Halo anak-anak! Kami datang dari kota membawa hadiah untuk kalian. Siapa yang mau hadiah?”
Serentak semua tangan mungil teracung tinggi.
“Aku! Aku!”
Rahul ikut tersenyum haru, sementara Bulat merasa dada besarnya ikut sesak.
“Kalau begitu, ayo kita keluar. Hadiah kalian sudah menunggu di luar!” seru Bulat.
Anak-anak langsung bersorak gembira dan berlari menuju halaman. Beberapa orang yang disuruh Rahul mulai menurunkan isi lori: karung-karung beras, dus pakaian, dan mainan berwarna-warni.
Momen Bahagia
Bulat mengajak Ibu Asih keluar untuk melihat. Dari tangga rumah, mereka menyaksikan pemandangan indah: anak-anak tertawa lepas sambil berebut melihat barang-barang dari lori.
Rahul tersenyum lebar, ingin mengabadikan momen itu dengan handphone-nya.
“Bulat, tunggu sini ya. Aku mau ambil HP dulu di mobil,” katanya sambil mencolek perut bulat adik iparnya.
Bulat hanya melambaikan tangan tanpa menoleh, matanya sibuk mengikuti keceriaan anak-anak.
Rahul berjalan santai menuju mobil, masih dengan wajah penuh kebahagiaan. Tapi begitu pintu mobil dibuka, ia sontak terbelalak.
Dua gadis kembar duduk di kursi mobilnya, tertawa kecil sambil memainkan handphone dan earphone miliknya.
Rahul spontan melotot.
“Apa-apaan ini?!”
Jangan Lupa Like dan Coment biar semangat nulisnya ya zeyengg 😁🙏
Mata Rahul langsung membelalak ketika masuk ke mobil. Dua gadis muda dengan wajah serupa duduk di kursi belakang. Yang satu sibuk menekan-nekan layar ponselnya sembarangan, sementara yang lain menarik earphone mahalnya seolah sedang bermain karet.
“Hei! Apa-apaan ini?!” Rahul mendekat dengan langkah cepat. Ia merebut barang-barangnya dengan kasar dari tangan keduanya.
“Kalian hampir merusak barang-barangku!” bentaknya setengah berteriak.
Kedua gadis itu spontan saling berpelukan, wajah mereka pucat ketakutan. Namun anehnya, tak lama kemudian senyum justru merekah di bibir mereka. Mereka mendekat, lalu tiba-tiba memeluk Rahul erat. Aroma tubuh Rahul yang segar membuat mereka mengendus baju dan lehernya dengan gemas.
Rahul panik. “Hei! Apa-apaan kalian ini? Lepas! Jangan menempel begitu!” Ia berusaha mendorong mereka, tapi salah satu gadis malah cepat-cepat mencium pipinya.
“Bapak wangi,” bisik gadis itu polos.
Rahul terdiam sejenak, lalu berusaha menjaga nada suara agar tenang. “Iya, saya wangi. Kalau kalian juga mau wangi, tolong… jangan menempel begini.”
Mendengar itu, mereka kompak mundur, tapi tatapan ceria tak lepas dari wajah mereka.
Rahul kini bisa memperhatikan mereka lebih jelas. Wajah keduanya benar-benar mirip: mata bulat besar, hidung mancung, bibir penuh. Bedanya, salah satunya punya tahi lalat kecil di dagu yang justru menambah manis. Pakaian mereka tampak lusuh dan kekecilan, seolah sudah lama tidak berganti. Meski begitu, pesona alami tetap terpancar.
Dalam hati Rahul bergumam, “Siapa sebenarnya mereka? Kenapa hatiku bergetar aneh melihat mereka berdua? Aku tak pernah merasakan ini sebelumnya.”
Belum sempat ia menguasai diri, kedua gadis itu tiba-tiba kembali merapat.
“Bapak, bolehkah kami ikut ke rumah Bapak?” tanya gadis tanpa tahi lalat dengan suara penuh harap.
Rahul menelan ludah. “Tidak. Tempat kalian di sini,” jawabnya cepat, meski nada suaranya ragu.
Gadis satunya, yang memiliki tahi lalat, ikut menatap kecewa. “Apa kami benar-benar tidak boleh ikut?”
Rahul menghela napas. “Bukan begitu. Kalau aku bawa kalian, Ibu Asih pasti tidak akan mengizinkan.”
“Kami yakin beliau akan memberi izin, asal Bapak yang memintanya,” sahut gadis bertahi lalat, suaranya tegas namun penuh harap.
Rahul sempat terdiam. “Kenapa kalian ingin ikut?” tanyanya hati-hati.
“Kami ingin melihat dunia luar. Kami belum pernah keluar dari desa ini selama dua puluh tahun,” jawab gadis itu lirih.
Rahul terperangah. “Dua puluh tahun? Jadi umur kalian.”
“Kami sebaya, umur dua puluh,” sahut mereka serempak.
Rahul tertegun. Sejenak ia berpikir, menimbang. Tatapan penuh harap di mata mereka membuat dadanya terasa sesak. Akhirnya ia mengangguk pelan.
“Baiklah. Aku akan membawa kalian. Tapi sebelum itu aku ingin tahu nama kalian.”
Gadis bertahi lalat tersenyum cerah. “Nama saya Anjeli.”
Yang satunya menambahkan dengan semangat, “Dan saya Anjela.”
Rahul ikut tersenyum kecil. “Baiklah, Anjeli dan Anjela. Tunggu di sini. Jangan keluar dari mobil sampai aku kembali. Aku akan bicara dulu dengan Ibu Asih.”
Namun sebelum ia sempat turun, Anjela menahan tangannya. “Bapak.”
Rahul menoleh. Gadis itu tersenyum lebar, lalu tiba-tiba memeluk Rahul erat dan mengecup wajahnya berkali-kali. Anjeli pun tak mau kalah ia maju, memeluk Rahul, bahkan sempat menempelkan bibirnya di bibir Rahul sekilas.
Rahul terpaku, jantungnya berdetak tak karuan.
“Minta izin ya, Bapak,” ucap Anjela riang. Anjeli mengangguk manis, matanya berbinar penuh harap.
Rahul hanya mampu tersenyum tipis. Ia keluar dari mobil, langkahnya agak gontai, kakinya nyaris goyah.
Di halaman panti, ia melihat Bulat, Peri, dan beberapa orang sibuk menurunkan barang dari lori. Anak-anak tertawa gembira, suasana begitu hidup. Rahul menarik napas panjang, lalu berjalan menuju Ibu Asih yang sedang mengawasi.
“Permisi, Bu,” ucapnya sopan. “Saya ingin meminta izin. Saya berniat membawa Anjela dan Anjeli pulang ke rumah saya.”
Ibu Asih tertegun. “Benarkah?” suaranya bergetar. Bertahun-tahun ia merawat ratusan anak, tak pernah ada yang benar-benar ingin mengadopsi. Dengan mata berkaca-kaca, ia mengangguk penuh syukur. “Tentu saja saya sangat senang ada yang mau menerima mereka.”
Rahul merasa lega. Senyumnya mengembang. “Jadi Ibu menyetujuinya?”
“Iya,” jawab Ibu Asih mantap.
Tak lama, teriakan riang terdengar.
“Bapak!”
Anjeli dan Anjela berlari menuju Rahul. Rambut mereka terayun, wajah ceria menghiasi langkah ringan mereka. Rahul sempat terpaku melihat semangat itu, hatinya berdesir aneh.
“Aku tak tahu kenapa, tapi aku merasa hidupku akan berubah sejak hari ini.”
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!