NovelToon NovelToon

Re:START/If {Book 2.0}

Prolog Arc 03 "War of Altair Vega" (Part 01)

Wahai burung-burung kecil di sarang ….

Oh, wahai burung-burung kecil dengan suara indah nan merdu di atas cabang.

Kumohon maafkanlah diriku, jangan salahkan diriku yang penuh dosa ini.

Tolong ampunilah dosa pendahulu kalian yang penuh murka, yang telah menanam pohon hitam untuk rumah kalian.

Tidak apa-apa.

Jangan cemas, tidak apa-apa ….

Tidak ada yang salah dari kalian semua, ini dosa sekaligus doa yang leluhur kalian ikrarkan.

Ku mohon harapan ini tersampaikan kepada anak cucu kami, diriku harap perasaan ini dapat dipahami mereka. Namun ….

Kumohon kepada engkau, Dewi yang kami bangsa Felixia puja ….

Jangan sampai semua keturunan kami tahu ….

Jeritan kebencian dan kemurkaan dari masa lalu.

Biarkan genangan darah kental ini memudar bersama hujan air mata.

Kami mohon anak cucu kami, tunggulah dalam kesengsaraan itu. Leluhur kalian telah dijanjikan kemenangan dan kemuliaan, di bawah kepemimpinan yang pantas kelak di masa depan.

.

.

.

.

Jauh di masa lalu, ketika daratan Michigan belum dikuasai oleh keempat negeri besar dan masih dalam sebuah masa dimana peperangan datang silih berganti bagaikan musim. Pada masa itu, kerajaan yang jumlahnya tak cukup dihitung dengan jari mendeklarasikan kekuatan mereka dan memuai peperangan panjang.

Meski berasal dari sudut daratan yang sama, paham Rasialis malah tubuh begitu kuat dan saling membeda-bedakan individu berdasarkan keturunan mereka. Sejarah masa lalu yang berdarah mereka anggap membanggakan, pembantaian yang leluhur mereka lakukan dijadikan tanda kekuatan dan penaklukan menjadi hal yang mulia.

Menyatukan Daratan, setiap kerajaan yang ada pasti memiliki cita-cita tersebut. Sejak dulu telah diramalkan, kelak daratan akan bersatu di bawah satu kekuasaan dan dipimpin oleh keturunan yang mulia paling anggung dan dipandang oleh para Dewa. Seakan berlomba-lomba menjadi pemenang dan mendapat kursi tersebut, semua Raja dan keturunan mulai menumpuk mayat-mayat sampai menggunung di medan peperangan.

Seorang Raja yang telah kehilangan ribuan pasukannya tidak memikirkan rakyat, ia hanya membuka telapak tangan dan melihatnya hanya sebagai sengatan lebah. Asalkan dirinya sebagai pemimpin masih hidup, perang bisa dimulai lagi dan kejayaan bisa didapat kembali.

Layaknya sebuah kalimat yang pernah dikatakan oleh orang bijak ke anak-anak mereka ….

“Jika kali ini gagal, maka kalian bisa mencobanya lain kali. Kau masihlah terlalu kecil untuk memikirkan kesalahan.”

Bagaikan tanpa memikirkan konsekuensi, para Raja yang masih berusia muda pada masa itu mengobarkan perang dengan ambisi mereka yang membara. Menaklukan wilayah kerajaan lain dan menyatukan daratan, meraih kehormatan dan mendapat kejayaan. Apapun yang menjadi tujuan mereka, hanya perang dan penundukan merupakan cara yang para pemimpin pada masa itu ketahui.

Pengkhianatan adalah hal wajar, bahkan sesama saudara pun saling menusuk dari belakang demi warisan yang ditinggalkan orang tua mereka. Hak asasi benar-benar dihiraukan, perbudakan merupakan hal yang wajar dan yang kuat dengan bebas menindas yang lemah.

“Sejak ribuan tahun yang lalu pun itu telah berlangsung, karena itulah kami juga melakukannya!”

Seakan tidak mau memperbaiki kesalahan ataupun belajar dari dosa-dosa leluhur mereka, mayoritas Raja Kota pada masa itu terus mengobarkan perang dengan jargon rasis mereka masing-masing. Tanpa paham bahwa mereka sebenarnya berasal dari keturunan yang sama.

Seperti itulah kondisi masa itu, mengenaskan dan menyedihkan. Jahiliah, penuh kebodohan karena mereka tidak mau belajar tentang kenyataan yang ada dan hanya menerima pengetahuan yang mereka inginkan saja.

Tidak ada yang lebih mengerikan dari pengetahuan yang salah, itu bisa menyeret orang lain ke dalam jurang dan membuat orang yang memegang pengetahuan salah tersebut rusak. Membungkam mereka yang sesungguhnya benar dan terus menggila layaknya dirinya adalah orang paling benar di dunia.

Orang-orang seperti itu dengan semena-mena menggunakan kekuatan dan pengetahuan yang seharusnya mulia, seakan itu milik mereka sejak lahir. Begitu angkuh dan serakah, layaknya primata primitif yang baru saja mengenal api dan kapak batu.

Sekitar lima ratus tahun lalu sebelum masa penuh peperangan itu berakhir dan Konferensi Keempat Negeri diadakan, sekitar awal Abad Ke-22 Kalender Pendulum. Sistem penanggalan yang diberlakukan, bahasa, sistem keuangan yang digunakan setiap kerajaan dan bahkan bentuk kerajaan satu sama lain pun mirip. Meski begitu, titik temu untuk perdamaian sampai 20 Abad lebih sama sekali tidak terlihat.

Sejak memasuki Abad Ke-22 tersebut, sebuah pergerakan dari orang-orang bijak dimulai secara signifikan. Dipelopori oleh Negara Kota, Miquator, yang mendeklarasikan bahwa akan menjadi wilayah netral tanpa ikut campur secara aktif dalam peperangan, banyak Raja Kota yang mulai mengikuti.

Orang-orang bijak dan bajik bermunculan, para pertapa keluar dari gua-gua mereka dan menyebarkan hasil pencerahan mereka selama puluhan tahun. Kebaikan, pelarian, sifat pengecut dan kesabaran, mereka menyebarkan sifat tersebut dan mengajak orang-orang berhenti berperang hanya demi kebanggaan mereka.

Saat itulah titik balik kebangkitan orang-orang beradab dimulai. Moral kembali diterapkan dan kebajikan mulai disebar luaskan. Lalu, beberapa belas tahun kemudian kota-kota mulai berhenti berperang dan berubah menjadi tempat perdagangan.

Pada Abad tersebut pun menjadi titik dimana Dewa-Dewi mulai kembali mendengarkan doa manusia, melirik dari celah-celah dunia dan kayangan untuk sekali lagi menaruh harapan kepada para Pemimpin di Dunia para Mortal.

Sebuah Abad ketika putri seorang Walikota bertemu dengan sang Enimalis, sosok yang dikenal oleh beberapa orang sebagai The Witch of Orgin.

Sebuah pertemuan yang telah ditakdirkan untuk menyambut masa depan cerah, momen pemberian Kutukan sekaligus Berkah untuk perempuan yang sampai keturunannya pun tidak diperbolehkan untuk mendapat kebebasan ataupun kebahagiaan.

Beberapa tahun sebelum manusia kembali dilihat oleh Dewa-Dewi, daratan tenggara Michigan masihlah belum dikuasai oleh Kerajaan Felixia. Bahkan nama Keluarga tersebut jarang dikenal karena nama Kota yang mereka kelola lebih tenar, terutama di kalangan orang puritan.

Untuk dikatakan sebagai sebuah kerajaan, saat itu Keluarga Felixia masihlah terlalu kecil dan hanya memiliki satu kota yang luasnya hanya beberapa kilometer saja. Terletak di antara bagian tenggara dan timur laut Benua Michigan, berbatasan dengan laut dan memiliki danau yang digunakan sebagai nama Kota tersebut.

Sejak dahulu kala, wilayah yang dikelola oleh Keluarga Felixia tersebut merupakan Negara Kota Independen yang dikhususkan sebagai pusat peribadatan dari salah satu Dewi yang pernah memberikan pengetahuan kepada penduduk Michigan.

Dalam perjanjian yang telah disepakati oleh beberapa generasi para Raja Kota pendahulu, tempat tersebut tidak boleh dikuasai dan harus dipertahankan operasionalnya sebagai pusat peribadatan orang-orang puritan di tenggara daratan.

Sumber pendapatan kota selain dari para jamaah adalah pertanian, lalu ada juga tambak-tambak dan perdagangan.

Kota tempat tinggal para puritan, itulah bagaimana orang-orang pada waktu itu menyebut Kota Millia. Sebuah tempat yang diolah oleh Gereja Keluarga Felixia, dinamai Millia, berdasarkan nama Danau Suci di tempat tersebut.

Dalam waktu lama, Kota yang merupakan pusat dari sebuah kepercayaan itu juga menjadi tempat pengungsian bagi mereka yang ingin kabur dari peperangan. Untuk mereka para wanita dan anak-anak lari dari kekejaman, pilihan tempat mencari keselamatan setelah Kota Miquator.

Secara letak Kota Millia memang berada di perbatasan antara banyak negeri kuat, salah satunya adalah Kota Miquator dan Kekaisaran. Namun untuk banyak alasan, penduduk asli Kota tersebut serta pemimpinnya selalu menghindari konflik.

Bukan hanya karena adat yang telah ada sejak dahulu, namun memang karena sifat dari orang-orang dibawah pimpinan Felixia adalah orang-orang lemah dan pengecut.

Meski ada ribuan pasukan melewati teritorial Kota tersebut, Raja Kota yang berasal dari Keluarga Felixia tidak akan menghalau atau memberikan bantuan. Membiarkan dan bertingkah netral, lalu hanya membuka pintu gerbang jika ada orang-orang yang lelah dengan peperangan dan ingin bertobat. Seperti itulah wujud dari Kota yang berfungsi sebagai pusat Religius, inti dari kepercayaan Dewi Asmali Oraș Mondial.

Selain menjadi pusat kepercayaan, sejak saat itu pun Kota yang dipimpin oleh Keluarga Felixia tersebut telah menjadi titik berkumpulnya para Roh dari Dunia Astral. Entah dari Roh Tingkat Rendah sampai Kudus, secara rutin melalui siklus tahunan atau bahkan ratusan tahun para Roh akan datang dan menyuburkan tanah serta sumber daya lainnya di kota.

Karena itulah, meski tanpa bantuan dari negara lain dan sumbar daya dieksploitasi secara terus menerus oleh penduduknya, Kota Millia tidak pernah mengalami kekurangan.

Panen mereka selalu berhasil karena iklim stabil dan tanah yang subur, hasil tambak selalu melimpah, serta sumbangan dari para jamaah, itulah sumber-sumber pendapatan mereka.

Tetapi layaknya sebuah pepatah yang sering orang-orang dengar, bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya kekal, kedamaian yang orang-orang di Kota Millia nikmati pun berakhir ketika para Raja yang masih muda mengingkari perjanjian serta ikrar leluhur.

Pergantian Raja Kota di negeri tetangga yang terjadi secara berkala dalam waktu beberapa tahun saja membuat Kota Religius tersebut tidak dipedulikan lagi keistimewaannya. Lalu pada akhirnya, Millia pun ikut terlibas dalam sebuah klimaks peperangan antara dua negeri besar yang telah menguasai banyak Kota, Kerajaan Garados dan Kerajaan Jakall.

Layaknya orang-orang gila, para prajurit di bawah kepemimpinan Raja Garados dan Raja Jakall menjadikan tempat suci tersebut sebagai medan perang. Hanya karena berada di perbatasan antara kedua kubu, Raja yang masih sangat muda dari kedua belah pihak sama sekali tidak mendengarkan nasihat Tetua mereka dan membakar kota.

Entah itu sebuah bisikan dari Iblis seperti yang disebut-sebut dalam sejarah atau tidak, yang jelas sebuah pembantaian tercatat terjadi di Kota tersebut. Orang puritan, anak kecil, perempuan, bahkan para buruh serta penjaga, semuanya terlibat dalam peperangan yang tidak seorang pun dari kota tersebut tahu untuk apa itu dilakukan.

Raja Kota ⸻ Kepala Keluarga Felixia pada saat itu pun terbunuh, keturunannya dibantai dan dicari-cari sampai ke pelosok kota oleh kedua kubu. Mengatasnamakan keadilan dan tujuan mulia untuk menyatukan daratan, orang-orang biadab yang masuk ke Kota Suci tersebut dengan beringas membunuh penduduk sipil dan saling mengayunkan pedang untuk menumpahkan darah orang puritan serta yatim piatu.

Pada hari dimana api membakar kota dan orang-orang puritan di sana, sebuah Ikrar Suci dari seorang perempuan terucap. Sumpah untuk menyerahkan hidupnya sendiri serta keturunannya kepada Leluhur mereka, lalu dengan seluruh jiwa dan raganya ia berdoa.

Doa pertama yang didengarkan oleh Dewa-Dewi kayangan setelah sekian lama tidaklah murni sebuah harapan, di dalamnya tercampur kutukan dan amarah dari sosok perempuan yang dikenal sebagai Ratu Pertama tersebut.

Di tengah kobaran api yang membakar teman-teman dan dikelilingi genangan darah keluarganya, ia menghadap ke arah langit yang pada saat itu balik melihat ke arahnya.

“Jika memang dunia sekejam ini kepada kami, maka berikanlah semua kekejaman itu kepadaku saja! Aku akan menanggung semua itu! Kebencian! Dendam! Penderitaan! Aku dan keturunan ku akan merangkul semuanya! Karena itu, aku mohon dengan jiwa dan raga ini! Dewi kami! Asmali Oraș! Berikan kekuatanmu padaku untuk melindungi orang-orang di kota dan membunuh mereka semua!!”

Pada hari itulah, sebuah perjanjian terucap antara Dewi Kota dan salah satu keturunannya.

Dua berkah pun turun ke dunia setelah sekian lama. Berkah pertama adalah wewenang yang didapat perempuan untuk menjadi Ratu dari semua penghuni Dunia Astral, lalu yang Kedua adalah berkah sekaligus kutukan yang diberikan kepadanya untuk bisa menurunkan wewenang tersebut kepada keturunan perempuannya.

Pada hari dimana sang Ratu pertama kalinya menerima berkah tersebut, ribuan Roh dari Dunia Astral seketika datang dari gerbang di penjuru daratan dan menghakimi orang-orang yang menyerang Kota.

Seakan-akan mereka semua terhubung, para Roh tersebut memiliki amarah dan kesedihan sang ratu. Paham apa yang dihendaki oleh Ratu Pertama meski tanpa saling bercakap satu kata pun.

Penutup dari kekacauan tersebut adalah turunnya sang Roh Agung Baja, Nova El Luna, yang jatuh ke tangan seorang pemuda asing dari tempat yang jauh.

Dialah orang pertama yang dikenal sebagai Luke, orang dari Luciana (terang) karena orang-orang pada saat itu melihatnya diselimuti cahaya dari Pedang Roh Nova El Luna. Sosok Pahlawan yang pertama kali dikenal oleh masyarakat Felixia dan menjadi sekutu terkuat sang Ratu Pertama pada masa tersebut.

Terikat dengan Roh Agung dan Ratu Pertama, pemuda dengan nama tunggal Luke tersebut memimpin Felixia untuk bangkit dan mengubah sifat-sifat pengecut penduduknya.

Sebuah tempat yang dulunya acuh terhadap kekacauan dalam satu tahun berubah drastis, menjelma menjadi Kota Militer dari para Penyihir dan Ksatria Roh.

Loyalitas dari rasa kesatuan sebagai korban benar-benar kuat, berkah dari sang Dewi memalui Ratu Pertama pun membangun koneksi kuat antar individu satu dengan yang lain. Dengan mengorbankan kebebasan satu perempuan yang menjadi Ratu mereka, orang-orang Felixia mendapat kekuatan yang besar dan mulai menyerang semua negeri di sekitarnya untuk menghentikan peperangan.

Jika seseorang ksatria ataupun prajurit berjuang untuk sang Ratu, secara otomatis mereka akan bisa menggunakan kekuatan dari para Roh jika berada di dekat Kota. Entah itu di dalam kota siapa pun, itu tidak ada pengecualian selama mereka secara nyata berjuang untuk Felixia. Karena itulah, pasukan Felixia yang dipimpin oleh Luke tersebut tidak pernah kalah dalam peperangan melindungi kota selama Ratu mereka masih hidup.

Apapun yang musuh gunakan untuk menyerang, Ksatria Felixia akan selalu bangkit kembali dan mendapat dorongan semangat serta kekuatan dari kota yang mereka lindungi. Itulah Ballad Igrad, salah satu hak yang mereka dapat dari sang Ratu untuk menyatukan kekuatan Kota.

Memperluas wilayah, pasukan Felixia terus mengumpulkan orang-orang yang merasa tertindas dan orang-orang puritan yang menderita karena peperangan kejam tak berujung. Itu terus berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan setelah Ratu Pertama dan Luke meninggal dan diteruskan oleh keturunan mereka.

Pada keturunan ketiga sejak Ratu Pertama, Keluarga Rein yang dulunya merupakan bagian dari Kerajaan Jakall masuk ke dalam hierarki Kerajaan Felixia dan menyumbangkan wilayahnya. Mereka menjadi timbangan, mengatur kerajaan menggantikan Keturunan Murni Keluarga Kerajaan Felixia yang mulai kehilangan kebebasan karena kekangan para Tetua.

Yang pertama kali menerima Keluarga Rein adalah Generasi Ketiga Luke, dengan alasan para Tetua di Ibukota benar-benar merebut kebebasan Ratu pada saat itu dan memperalatnya. Bahkan ada sebuah kejadian dimana Ratu dituntut untuk menikah kembali setelah Raja meninggal dunia di medang perang.

Meski pada akhirnya posisi Raja dikosongkan sampai sang Tuan Putri pada masa itu menikah dan naik takhta bersama pasangannya, tetap saja dengan jelas dominasi dari para Tetua tampak pada hierarki Kerajaan Felixia. Lambat laun, Ikrar dari Ratu Pertama untuk melindungi mulai pudar dan yang tersisa hanyalah amarah yang ada.

Pada generasi ketiga sejak Ratu dan Luke pertama itu, Felixia secara aktif mengikuti peperangan dan menjatuhkan Kerajaan Garados dan Jakall dengan peperangan yang hanya memakan waktu satu tahun. Tirai dendam pendahulu mereka diakhiri dengan kematian para keturunan utama Garados dan Jakall, lalu hanya menyisakan kerabat jauh dari mereka saja.

Pengampunan tersebut pun bukan tanpa alasan. Rein yang pada saat itu membantu Felixia dalam berperang sempat mengancam akan keluar dari aliansi jika pembantaian Kerajaan Musuh diteruskan. Untuk menjamin keseimbangan yang ada hasil dari perbedaan pendapat, pada akhirnya dibentuk pembagian wewenang antara Tiga Keluarga Utama Keluarga Kerajaan Felixia dan pihak Negara Vasal.

Itulah sejarah penuh berdarah Kerajaan Felixia, Negeri yang pada awalnya dipimpin oleh Ratu Roh. Namun seiring berjalannya waktu, orang-orang pengecut yang disebut tetua malah mendominasi dan hanya bisa memerintah dari tempat aman.

.

.

.

.

Pada waktu itu Dewi telah mendengarkan serta mengabulkan doa dari salah satu leluhur Felixia, menjadikan anak perempuan di antara mereka sebagai seorang Ratu dan membimbing keturunannya sampai sekarang.

Ketika waktu yang dijanjikan semakin dekat, perjanjian akan kembali diingatkan kepada mereka semua. Tuntutan dari Ikrar haruslah dipenuhi.

Apa yang telah terucap tidak bisa ditelan kembali, perjanjian yang sudah dilupakan oleh keturunan serta sekutunya pun tidak bisa dihilangkan begitu saja. Selama kekuatan tersebut masih bersemayam di dalam keturunan langsung sang Ratu Roh, Ikrar akan terus berlaku dan Kerajaan Felixia kelak akan dituntut untuk memenuhinya.

Sosok mulia tersebut memberikan berkah kepada Ratu Pertama dan pengikutnya tidaklah secara cuma-cuma, namun dengan jelas menyebutkan biaya yang harus dibayar kelak.

Entah para keturunannya mengingat itu atau tidak, namun dengan jelas Dewi Asmali Oraș menuntut dua hal dari orang-orang Felixia sebagai balasan atas dua berkah yang dirinya berikan.

Tuntutan pertama adalah mencangkup keturunan Ratu Pertama. Bagi ia yang disiapkan untuk menjadi Ratu berikutnya, maka dirinya akan menjadi wadah dari sang Dewi. Meski tidak mengambil alih tubuh dan menjadi inkarnasi penuh, namun dengan jelas setelah menjadi wadah maka kebebasan pun hilang secara bertahap sampai menjadi Ratu Roh sepenuhnya.

Lalu, tuntutan kedua adalah tentang kekuasaan yang Ratu dan keturunannya miliki. Kelak yang akan datang, pada hari yang dijanjikan dalam Catatan Dunia kekuasaan tersebut haruslah diserahkan kepada seorang Individu yang dikehendaki sang Dewi.

Di akhir waktu Kontrak yang telah ditentukan dalam Catatan Dunia, hal mutlak itu harus dipenuhi. Pada saat itu juga, semua berkah yang telah diberikan kepada keturunan Ratu Pertama dan para pengikutnya secara otomatis akan dikembalikan kepada pemilik aslinya.

Sekarang ini, pada masa yang jauh dari kisah para pendahulu Felixia, saat tahun telah menyentuh angka 2.699 dalam Kalender Pendulum.

Di celah dimensi antara Dunia Nyata dan Dunia Astral, pembicaraan terkait penyerahan kekuasaan tersebut pun dimulai. Antara Dewi Asmali yang membuat kontrak dengan Ratu Pertama, dan sang Penata Ulang Dunia, Dewi Helena yang mengizinkannya untuk melakukan kontrak tersebut.

Prolog Arc 03 "War of Altair Vega" (Part 02)

Pada semestinya untuk ikut campur urusan makhluk mortal adalah pantangan bagi para penduduk kayangan. Namun pada momen ketika Dewi Asmali mendengarkan doa dari Ratu Pertama Felixia dan mengabulkannya, itu adalah sebuah pengecualian yang diberikan oleh sang Penata Ulang Dunia.

Sebuah toleransi pertama sejak diberlakukannya Perjanjian Kuno untuk tidak ikut campur urusan takdir para Mortal.

Pada tempat dimana konsep waktu tidak stabil, ruang berantakan dan susunan informasinya sangat jauh dari bentuk dunia yang konkrit, kedua Dewi saling bertatap muka setelah puluhan ribuan tahun berlalu di antara mereka.

Perempuan berparas muda duduk di atas peti mati, melipat kedua kakinya ke depan dan memasang mimik wajah muram seakan tidak menikmati pertemuan tersebut. Ia memiliki warna rambut hitam panjang bergelombang sampai punggung dan sebagian telah memutih, kornea matanya menyala ungu, dan kulit tampak pucat.

Seakan menyesuaikan dengan tempatnya duduk, sang Penata Ulang Dunia mengenakan gaun berenda dengan kesan gotik yang kental, serta hiasan pita ungu pada bagian samping kepala. Pada kedua tangannya terdapat sarung tangan tipis berwarna hitam panjang sampai siku, serta kedua kaki pun mengenakan sepatu kayu yang mungil.

Berdiri di atas puing yang melayang di Celah Dimensi, Dewi Asmali menatap lawan bicaranya dengan sorot mata tak tenang layaknya seorang bawahan yang dipanggil oleh pimpinannya setelah melakukan kesalahan.

Penampilan sang Dewi Kota tersebut sangat mirip dengan rupa Putri Arteria, dari ujung rambut sampai kaki. Memiliki rambut biru langit, mata ungu, dan bahkan tinggi badannya serta suara pun mirip.

Namun, bukan berarti sang Dewi datang ke Celah Dimensi dengan meminjam tubuh Tuan Putri Arteria. Ia berdiri di sana dalam bentuk Astral, menggunakan salah satu kekuatan yang dimilikinya sebagai sosok yang mengatur Dunia Astral dan menjadi pemimpin para Roh.

“Duduklah ….”

Dengan satu kata dari Dewi Helena, sebuah sofa tercipta di atas puing-puing tempat Dewi Asmali berdiri. Untuk sesaat Asmali memalingkan pandangannya, merasa ada yang sedikit berbeda dari sosok penguasa kayangan yang memanggil dirinya untuk bertemu.

Seraya merapikan gaun abu-abunya, Dewi Asmali duduk dengan sopan dan segera bertanya, “Sejak kapan engkau berpenampilan seperti itu dan meniru para manusia, wahai pemimpin bangsa kami?”

“Apa … yang kamu maksud, wahai salah satu Dewi ku?” Helena berhenti melipat kakinya ke depan, ia mulai duduk di ujung peti dan menggantung kedua kakinya. Sembari memasang seringai lebar, ia kembali bertanya, “Apa kamu juga penasaran dengan penampilan yang diriku gunakan saat ini?”

“Hmm, sedikit ….” Menyadari ada yang sedikit janggal dari perkataan Helena, sang Dewi Kota kembali menatap lawan bicaranya dan bertanya, “Hmm, juga? Berarti ada lagi yang tahu engkau telah terbangun setelah sekian lama?”

“Beberapa waktu lalu diriku sudah bicara dengan Lileian, untuk menyiapkan waktu yang dijanjikan itu. Karena itulah diriku menggunakan wujud ini untuk persiapan tersebut.”

Mendengar jawabannya, Aslami merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan. Arti dari waktu yang dijanjikan juga berdampak besar bagi dirinya, berarti sudah semakin dekat untuknya menarik perlindungan yang telah diberikan kepada Kerajaan Felixia. Bagi Dewi yang sangat mencintai kota dan semua penduduk negerinya, itu bukanlah hal yang menyenangkan.

“Apa benar … jiwa itu yang engkau cari, wahai pemimpin kami?” tanya Dewi Asmali.

“Hmm, memang dia.”

Helena menatap ke arah ruang kosong di Celah Dunia, sedikit teringat dengan masa lalu dan membuatnya tersenyum tipis. Itu bukanlah ekspresi senang atau bahagia, namun lebih cenderung penyesalan dan kesedihan.

Perlahan menurunkan tatapannya dan kembali melihat ke arah Asmali, sang Penata Ulang mengendus ringan dan berkata, “Meski diriku tidak melihatnya secara langsung, ia memang berada dalam semesta yang diriku tata ini.” Mimik wajah muram perlahan berubah menjadi senyum senang, memperlihatkan ekspresi yang tidak pernah dirinya perlihatkan kepada semua makhluk kayangan. Sembari mengangkat telunjuknya ke depan mulut, dengan riang ia kembali menyampaikan, “Bergembiralah kalian para makhluk kayangan! Setelah sekian lama akhirnya perjuangan anak-anak Korwa itu berhasil. Tujuan kalian diriku ciptakan sudah semakin dekat.”

“Korwa? Makhluk setengah-setengah yang ditugaskan untuk ratusan pengulangan dunia di dasar dimensi? Apa itu benar-benar nyata? Jujur saja diriku tidak merasakan dampak pengulangan meski telah diberitahu,” ucap Asmali dengan ragu.

Meski pun diperintah untuk berbahagia, Dewi Kota tidak merasakannya. Bukan karena ia tumpul terhadap perasaan seperti itu, namun ia memang tidak tahu tujuan serta alasan penciptanya melakukan hal merepotkan seperti itu.

Helena tampak sedikit kecewa melihat salah satu ciptaannya tidak merasakan kesenangan yang sama dengannya. Memalingkan pandangan, setelah menghela napas ia pun berkata, “Engkau tidak merasakannya karena engkau termasuk bagian dari takdir dunia, itu selalu bergerak menyesuaikan perubahan dan melindungi kalian ….”

Meski diberitahu hal tersebut, Asmali tetap tak mengerti karena itu diluar bidang pengetahuannya. Ia adalah Dewi Kota yang tahu segalanya tentang kota, karena itulah pengetahuan terkait dunia secara mendasar tidaklah dirinya miliki.

Melihat ekspresi bingung salah satu makhluk ilahi ciptaannya, Helena menatapnya dan sembari mengangkat telunjuknya ke depan menjelaskan, “Bagi mereka yang berada di luar susunan takdir yang telah diriku buat, pengulangan yang dilakukan Korwa berkali-kali itu sangatlah menyakitkan. Sebaiknya engkau bersyukur, Asmali. Jika saja engkau berada di posisi Korwa, ego serta keberadaan itu pasti akan lenyap saat proses pengulangan untuk memberikan hasil yang kita nikmati sekarang ini.”

Asmali tetap tidak bisa merasa berterima kasih kepada pengorbanan Korwa dan para salinan dari dimensi dasar yang disebut dengan anak-anak Korwa. Bagi dirinya, hal tersebut hanyalah sebuah peran yang diberikan oleh Penata Ulang Dunia kepada salah satu ciptaannya. Tidak lebih dan tidak kurang.

Meskipun benar seperti apa yang telah dikatakan oleh Helena, diumpamakan Asmali mendapat tugas tersebut di dasar dimensi, ia tidak akan protes atau bahkan mengutuk penciptanya tersebut dengan kata-kata.

Karena memang seperti itulah seharusnya para makhluk kayangan bertindak, mematuhi sosok yang lebih tinggi derajatnya dari mereka.

“Lalu, di mana Korwa sekarang, wahai pemimpin kami? Jika tugas yang diembannya telah selesai, mengapa ia tidak menemui engkau atau kembali ke kayangan? Apakah Korwa juga memiliki Inkarnasi atau wadah di Dunia Nyata seperti diriku dan Lileian?”

Mendapatkan pertanyaan tersebut, mimik wajah Helena kembali muram. Seakan ada sesuatu tidak sesuai rencananya, ia menurunkan telunjuk dari depan mulut dan mulai menggigit kuku jempol tangan dengan kesal.

“Sayangnya Korwa yang kita ketahui masih tertidur. Jika dirimu ingin menemuinya, ada salah satu salinannya di Dunia Nyata.” Helena berhenti menggigit kuku, bersiap menjentikkan jari dan bertanya, “Ingin diriku kirim kamu ke sana? Kalian cukup saling mengenal dan akrab, bukan?”

“Ti-Tidak usah. Kalau hanya salinan, bukannya mereka berbeda?”

“Benar juga.” Helena menurunkan tangan ke atas pangkuan, lalu dengan ekspresi kesal ia pun mengeluh, “Jika saja Korwa bisa bertemu dengan jiwa itu sekali lagi, mungkin ia akan meloncat-loncat kegirangan. Andai saja Mahia tidak protes soal koordinasi dan skenario yang telah disusun diriku, mungkin jiwa mulia tersebut akan lahir di tempat yang lebih baik dan tidak terlalu membebani Korwa. Kenapa … anak itu tidak suka kalau diriku yang berada di sisinya?”

Perkataan yang keluar dari mulut Dewi Helena benar-benar membuat Asmali heran. Sifat dan perilaku tersebut sangat mirip dengan para Mortal. Bagi dirinya yang telah tinggal ratusan tahun dengan para manusia, Asmali bisa memahami hal tersebut dengan sangat jelas. Ia tahu kalau ekspresi yang Dewi Helena perlihatkan adalah wajah yang muncul ketika seorang perempuan jatuh cinta.

“Wahai pemimpin kami, boleh diriku ini bertanya sesuatu?”

“Hmm, silahkan saja.” Helena menyangga dagunya dengan punggung tangan, lalu dengan mimik wajah sedikit angkuh menyampaikan, “Apa kamu ingin bertanya tentang keringanan soal perjanjian kita? Asal engkau tahu, diriku sama sekali tidak ingin mengubahnya kecuali kamu menawarkan hal yang lebih menarik.”

“I-Itu juga ingin diriku minta dari Anda ….” Asmali sedikit tersentak dan memalingkan pandangan, merasa penciptanya tersebut tahu bentul sifat dan kecemasan yang dirinya rasakan sekarang. Kembali menatap lurus ke arah sang Penata Ulang, Dewi Kota dengan nada sedikit ragu bertanya, “Namun, ada hal lain yang ingin diriku ini ketahui terlebih dulu. Jiwa itu …, pemuda yang bernama Odo Luke itu sebenarnya siapa? Kenapa Anda sampai mengorbankan banyak hal untuknya?”

“Mengorbankan?”

Helena kembali menurunkan tangan ke atas pangkuan, mengguncang-uncang kakinya dan sedikit memalingkan pandangan untuk memikirkan jawaban yang tepat. Sebagai Penata Ulang Dunia dirinya memang mahakuasa, namun tidak mahatahu karena unsur tersebut tidak dimilikinya. Ingin menyampaikan hal tersebut kepada Asmali, ia merasa hal tersebut tidak perlu diketahui oleh salah satu ciptaannya tersebut.

Dalam tatapan dan nada dasar, Helena hanya menjelaskan, “Kata yang engkau pilih itu sangat salah. Jiwa yang begitu mulia tersebut, sosok yang telah mencapai Awal Mula itu ….” Perkataan sang Penata Ulang terhenti, merasa sedikit ragu untuk memberitahukannya karena bisa saja merusak aliran takdir yang telah ada.

Namun saat melihat mimik wajah penasaran Asmali, rasa ragu itu hilang karena Helena paham akan percuma untuk menghentikan orang penasaran untuk tahu. Sembari memasang senyum tipis layaknya Ibu yang melihat anaknya telah tumbuh, Helena menjelaskan, “Kamu tahu, Asmali …. Semesta ini diriku tata ulang hanya untuk membentuk kembali jiwanya yang terpencar. Jika diumpamakan dari sudut pandang sahabat dekat kamu, dunia ini adalah altar sihir untuk ritual pemanggilan jiwa tersebut. Diriku …, kami, dan kamu …, kita semua telah memaksanya turun dari singgasana tertinggi. Hanya dengan keberadaan kita, kemuliaannya turun.”

Asmali tidak bisa menangkap arah pembicaraan, tidak mengerti kenapa bisa hanya satu jiwa memiliki nilai setinggi itu di mata sang Penata Ulang. Mengingat ada sebuah tempat terlarang bagi para makhluk kayangan di lapisan dimensi yang sangat tinggi, dengan nada bingung ia pun kembali bertanya, “Singgasana tertinggi? Wahai pemimpin kami, ja-jangan bilang kalau itu … dari dimensi yang bahkan tidak bisa dijamah oleh kami? Arsh tempat Anda berasal?”

“Lebih tinggi dari itu, jauh di luar imajinasi dan pemikiran kalian. Ketika jiwa tersebut benar-benar mengingat siapa sebenarnya dirinya, maka itu adalah awal baru bagi kalian semua. Sama saja dengan akhir.”

“Awal …? Akhir? Apa maksudnya?”

Pembicaraan benar–benar keluar dari awal tujuan mereka saling bertemu. Meski begitu, Asmali merasa apa yang dibicarakan sekarang lebih penting daripada membahas waktu tenggang dari perjanjian di masa lalu. Ini adalah pertama kalinya ia mendengar sang Penata Ulang berbicara sangat panjang.

Bahkan saat membuat Penjanjian Kuno dengan para Iblis, Dewi Helena hanya mengucapkan beberapa kalimat dan kembali ke Celah Dimensi.

“Awal sesungguhnya dari Dunia Selanjutnya ini,” sampai Helena.

Ia bertepuk tangan satu kali, memanipulasi ruang dan memindahkan dirinya beserta Asmali ke dimensi yang telah diciptakan saat baru saja bangun. Asmali dipindahkan bersama sofa tanpa sedikit pun guncangan, sedangkan Dewi Helena duduk pada sofa di seberang meja yang ada di hadapannya.

Itu adalah ruang dengan gaya kerajaan yang megah, memiliki lampu hias dan perabotan yang terbuat dari tembaga, perak, dan emas. Pada dinding-dinding terdapat lukisan-lukisan yang menurut Asmali tampak aneh, berisi tempat dengan gedung-gedung tinggi yang belum pernah dirinya lihat sebelumnya.

Saat Dewi Kota melihat sekeliling, terdapat beberapa malaikat yang tampak mengenakan seragam pelayan rumahan. Itu sedikit membuat Asmali terkejut, ia tidak mengira kalau penciptanya akan meniru gaya peradaban milik para makhluk mortal.

“A-Awal? Anda sebelumnya berkata Awal Dunia Selanjutnya, bukan?” Asmali segera kembali menatap Dewi Helena, lalu dengan sedikit cemas kembali menanyakan, “Apa maksudnya itu awal dari semesta kita?”

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Helena bertepuk tangan dan memerintahkan para malaikat untuk menyiapkan camilan karena pembicaraan akan berlangsung lama. Meski pada kenyataannya mereka berdua tidak memerlukan makan.

Sosok-sosok ilahi yang berada di ruangan tersebut mulai bergerak, layaknya pelayan dari keluarga bangsawan mereka membawakan manisan dan minuman teh berkelas.

Melihat semua itu, Asmali benar-benar tidak menyangka kalau sang Penata Ulang Dunia akan menunjukkan rasa tertarik seperti itu kepada peradaban para mortal. Bahkan sampai membuat para malaikat yang memiliki sikap dan tugas sebagai pelayan dari rumah bangsawan, layaknya seorang penguasa aristokrat.

Sebelum Asmali menanyakan hal tersebut, Helena mengangkat cangkir keramik berisi teh hangat yang telah disediakan untuknya. Memasang senyum tipis, ia meminumnya dengan anggun dan terlihat begitu menikmati hal tersebut seakan memiliki indra seperti para mortal.

Setelah meletakkan kembali cangkir ke atas piring cawan, Dewi Helena berkata, “Kamu tahu, dunia ini sebenarnya bahkan belum memiliki awal karena muncul dari sisa-sisa Dunia Sebelumnya. Dengan kata lain, tidak sempurna ….”

“Ti-Tidak sempurna?!”

Kata yang keluar dari sang Penata Ulang terdengar layaknya vonis dari sang jaksa dalam pengadilan, begitu mutlak dan membuat Dewi Kota terebut sesaat terperangah. Mendengar itu dari sosok yang menciptakan dunia, itu membuat Asmali tidak bisa menyanggah. Meski tak ingin mengakuinya bahwa dunia memang tak sempurna, ia hanya bisa menerima ketentuan tersebut.

“Benar, semesta ini tidaklah sempurna. Karena itulah diriku ingin dirinya menyempurnakannya dan membuat awal bagi segalanya. Karena itulah …, satu kali lagi diriku harus membunuhnya. Seperti saat itu ….”

“Me-Membunuh?!! Kenapa Anda malah membunuhnya⸻?!”

“Itu harus, hal ini telah ditetapkan sejak dulu. Kamu tahu, Asmali …. Dunia ini sudah terlalu banyak dilumuri dosa, baik oleh kita ataupun jiwa-jiwa di Dunia Nyata, Astral, maupun Neraka.”

“Ka-Kalau itu diriku paham! Banyak kejahatan dan hal buruk di dunia ini! Namun, kenapa Anda harus membunuhnya?! Bukannya Anda telah mengorbankan banyak hal untuk menghidupkannya kembali?”

“Untuk mengangkat semua dosa, Anak Tuhan perlu disalib terlebih dahulu.”

Asmali terdiam, amarah yang sesaat naik ke permukaan berganti dengan rasa bingung. Lalu, itu pun keluar dari mulutnya dalam bentuk pertanyaan, “A-Apa yang Anda katakan?”

“Itu … salah satu cara pandang dari kepercayaan di Dunia Sebelumnya. Untuk mengangkat dosa manusia, mereka harus membunuh Tuhan mereka supaya jiwanya bisa diangkat ke surga bersama dosa-dosa seluruh umat, dan dibersihkan. Karena itulah, untuk memulai awal yang baru ia harus mati sekali lagi …, sebagai Juru Selamat.”

“Ta-Tapi, itu terlalu ….”

“Tentu kematiannya pun harus sesuai dengan syarat yang ada. Kita … tidak bisa langsung menarik jiwanya dari raga, ada ketentuan yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Karena itulah, panggung diorama telah diriku susun. Tentu … dengan kalian dan diriku ini semua sebagai pemeran. Diriku berharap …, kalian dapat memenuhi harapanku. Sampai waktu dimana harus melaksanakan peran tersebut, diriku akan melihat semuanya dari tempat ini.”

“Wahai Pemimpin kami …, itu ….”

“Diriku mengandalkan kalian, wahai para makhluk yang diriku ciptakan.”

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Catatan :

Prolog dulu. Selagi Author masih punya waktu.

Mari kita mulai Arc paling panjang dari seri ini.

[72] The Prepare 1 of  3 (Part 01)

 

 

 

 

“Jika dunia ini dipenuhi oleh dosa, maka diriku akan menyucikan segalanya. Jika memang di hati orang-orang dipenuhi dengan kebencian dan sifat buruk, maka diriku akan menerima semua itu.”

 

 

Seorang perempuan dari kalangan puritan mengatakan hal tersebut tanpa tahu kekejaman dunia yang sesungguhnya, tanpa tahu bahwa dunia tempatnya dilahirkan hanya dipenuhi kekejaman tanpa akhir. Sebuah dunia tidak sempurna penuh dosa dan kutukan.

 

 

Jelek, buruk, dekil, menjijikkan, memuakkan, dan menggelikan ⸻ Meski setiap orang pernah menganggap dunia adalah tempat yang menyenangkan dan bersyukur telah diberikan kesempatan untuk hidup, namun ketika mereka dewasa pandangan semacam itu akan berakhir.

 

 

Anak-anak tidak akan menjadi anak-anak untuk selamanya, mereka akan semakin bertambah dewasa dan paham bahwa dunia dipenuhi hal buruk ⸻ Hukum rimba dimana yang kuat berkuasa, sifat tamak dari orang-orang berkuasa, ketidakberdayaan yang lemah, dosa yang terus bertambah setiap saatnya dan hiruk pikuk kehidupan yang penuh masalah.

 

 

Saat bertambah dewasa dan memahami dunia, anak-anak sadar betapa menyenangkan saat mereka masih polos dan tidak tahu apa-apa tentang kenyataan. Mereka akan bertanya-tanya, mengapa dulu mereka sangat berharap untuk cepat dewasa?

 

 

Lalu, pada akhirnya meninggalkan penyesalan dalam hati.

 

 

Putri Duyung, sebuah dongeng yang sering diceritakan kepada anak-anak oleh orang tua atau kakek-nenek mereka. Sebuah kisah cinta menyedihkan yang membuat seorang perempuan menjadi rusak, kisah pengkhianatan dari orang yang dicintai.

 

 

Dalam cerita sang Putri Duyung rela membuang siripnya sebagai ganti kedua kaki untuk berjalan di darat. Namun, pengorbanan itu malah dibalas dengan pengkhianatan sang Pangeran yang malah lebih memilih wanita lain.

 

 

Menyedihkan, menggelikan dan tampak bodoh bagi sebagian orang dewasa saat kembali mendengar cerita tersebut. Anak-anak tidak tahu apa-apa dan tidak ingin mencari tahu, mereka hanya menganggap cerita tersebut sebagai cerita pengantar tidur dan dilupakan ketika mereka terbangun di pagi hari.

 

 

Namun, apakah benar begitu?

 

 

Menjadi bui laut tanpa mendapatkan cinta dari pria yang dirinya kasihi. Putri Duyung hanya mendapat kesedihan, kesakitan, lalu merintih di ujung perbatasan antara dua dunia, laut dan daratan.

 

 

“Apakah engkau tidak merasa kasihan?” Sebagai pendengar ataupun pembaca, mungkin itulah yang diharapkan dari sang Putri Duyung dari Pangeran yang dirinya cintai.

 

 

Sebagai seorang penikmat dari kisah yang menyedihkan itu, kita seakan mengadili dari satu sudut pandang. Bahwa Putri Duyung adalah kisah tragedi, kisah menyedihkan seorang perempuan yang pria terkasihnya direbut oleh wanita lain.

 

 

Namun, apakah benar Putri Duyung benar-benar merasa demikian? Mungkin saja, ia hanya ingin merasakan daratan dan hanya menjadikan Pangeran sebagai alasannya naik ke permukaan. Namun ketika dirinya tahu daratan tak seindah yang dirinya kira, Putri Duyung menyesal dan memilih untuk kembali ke laut.

 

 

Meski hanya sebagai bui yang lenyap begitu saja karena perjanjian yang telah dirinya buat sebelum pergi ….

 

 

Bisa saja, meski diliputi kekecewaan Putri Duyung merasa bahagia karena bisa memenuhi mimpinya untuk pergi ke daratan. Ia juga bisa kembali ke lautan dan berakhir di sana, tempatnya berasal.

 

 

Lalu, dimana letak kesedihannya?

 

 

Ya, itu adalah sang Pangeran. Pangeran lah yang membuat kisah Putri Duyung menjadi sedih.

 

 

Sebuah kisah yang hanya berisi kebahagiaan saja, apa yang akan tersisa dalam benak para penikmat? Apa yang bisa diingat kembali? Apa kesannya?

 

 

Cerita yang memberikan kesan kuat pasti memiliki unsur kesedihan, karena hal itu secara sadar ataupun tidak pasti diharapkan oleh setiap orang.

 

 

Penderitaan seseorang adalah hiburan bagi orang lain. Meski terdengar kejam, itu adalah sebuah fakta samar yang ada di setiap diri seseorang. Naluri sebagai makhluk hidup untuk menikmati nasib buruk orang lain.

 

 

Tak perlu munafik dan berkata dirimu berbeda. Setiap orang, satu atau dua kali pernah merasa bersyukur atas kesialan atau kegagalan orang lain.

 

 

Itulah dunia, seperti itulah orang-orang yang tinggal di dalamnya. Mengubah kenyataan sesuai kepentingan mereka, menikmati kesedihan orang lain, mengkhianati dan menyesali ….

 

 

Terlalu banyak hal buruk yang ada, kata-kata bahkan tak cukup untuk menggambarkannya. Namun, meski dunia ini begitu buruk kita akan terus tetap hidup sampai jiwa ini kembali pada tempatnya berasal.

 

 

Terus hidup, membuat kesalahan, membuat dosa, dendam, mendendam, mencintai, dicintai, berkeluarga, dan melakukan banyak hal lainnya sampai semuanya berakhir.

 

 

Dunia tidak akan berubah seberapa keras pun kita berusaha, itu berubah dengan sendirinya ketika kita mengubah sudut pandang. Layaknya perkataan dari orang bijak di masa lalu, bahwa dunia hanyalah seluas kaki pernah melangkah dan mata memandang. Jika kita semakin jauh melangkah dan melihat ke depan, maka dunia pun akan berubah.

.

.

.

.

Musim panas datang menggantikan musim semi dengan sinar terik. Hujan masih silih berganti dengan hari cerah, membuat embun pada dedaunan tampak seperti permata berkilau saat terpapar sinar. Taman dengan rerumputan pendek, bunga-bunga mekar di antara tanaman herbal yang terbentang, serta burung-burung hinggap di pagar mengincar cacing-cacing yang menyuburkan tanah.

 

 

Di antara semua yang tampak damai tersebut, seorang pemuda mengayunkan pedang kayunya dan mencucurkan keringat. Bahkan sebelum matahari terbit sepenuhnya, ia telah berdiri di sana dan terus menempa tubuh, mengasah keahlian, lalu dengan tekun mengembangkan kemampuannya.

 

 

Puluhan, ratusan, bahkan sampai ribuan kali pemuda itu terus mengayunkan pedangnya. Tubuh penuh keringat membuat pakaiannya tampak melekat, membuat lekuk kasar dari otot-otot di balik tunik tipis terlihat jelas.

 

 

Kedua telapak tangannya kasar dan keras, kulitnya pun sedikit menghitam karena terus terkena paparan sinar matahari. Meski begitu, seakan tidak memedulikan hal tersebut sang Pemuda terus melatih tubuhnya.

 

 

Tak jauh dari tempat pemuda itu berlatih, seorang perempuan rambut biru panjang duduk di atas teras dengan tatapan sayu. Ia hanya terdiam tanpa memanggil, memasang senyum tipis dan tampak bahagia. Menyangga kepala dengan kedua tangan, sang perempuan mengawasi tanpa satu pun niat untuk mengganggunya.

 

 

Sesekali ia membuka mulut dan ingin memanggil. Namun, itu hanya berubah menjadi hela napas karena dirinya paham tak memiliki hak untuk menegur pemuda itu.

 

 

“Itu hal yang baik untuknya, diperlukan untuknya. Diriku tak bisa mengganggu.”

 

 

Meyakinkan diri dengan kalimat yang tak terucap dari mulut lembutnya, sang Roh Agung pun hanya terdiam dan menunggu pemuda itu selesai. Melamun, tanpa mengerti apa yang sebenarnya ingin pemuda itu lakukan dengan melatih tubuh sangat tekun seperti itu.

 

 

“Vil, sedang apa kau melamun di sana?!”

 

 

Mendengar pemuda itu memanggil namanya, sang perempuan sedikit tersentak dan sadar waktu telah berjalan cukup lama. Matahari sudah mulai meninggi, sinarnya memapar daratan dan mengusir embun bagi pada dedaunan.

 

 

Merapikan gaun abu-abu yang sedikit kusut serta membenarkan renda yang terlipat, Vil bangun dan segera menuruni tangga teras. Satu, dua, dan saat langkah ketiga setelah turun. ia pun berhenti dan menatap ke arah pemuda. Dengan tatapan sayu Vil bertanya, “Melatih tubuhmu sampai seperti itu …, memangnya Odo ingin ikut terjun ke medan perang? Sama seperti ayah kamu, Dart Luke ….”

 

 

Odo melepas pakaian atas, meletakkannya ke bahu dan berjalan naik dari rerumputan halaman, menuju Roh Agung tersebut di atas jalan susunan batu. Berdiri di hadapannya, pemuda rambut hitam tersebut sekilas menatap tajam. Seakan-akan melihat masuk ke dalam pikiran perempuan yang ditatapnya.

 

 

“Persiapan, ini hanya persiapan ….” Perkataan tersebut terdengar hanya sebagai alasan semata, lalu dengan nada sedikit enggan memberitahu yang sebenarnya ia pun mengelak, “Seperti yang kau tahu …, musim gugur atau dingin nanti aku harus pergi ke Kota Pien’ta. Melaksanakan kewajiban seorang Viscount.”

 

 

Pemuda yang lahir dari kalangan bangsawan tersebut terlalu muda untuk menyandang gelar tersebut. Meskipun dirinya berasal dari keluarga Marquess Luke, gelar Viscount tampak terlalu berat untuk ditanggung oleh anak sepertinya.

 

 

Tampang yang tidak sesuai dengan usianya, pikiran yang dewasa dan cerdas daripada anak-anak seusia dirinya, dan bahkan kekuatan yang dimiliki bisa melebihi sang Ahli Pedang, ayahnya sendiri. Pada usianya yang baru saja menginjak 9 tahun sekitar sebulan yang lalu, pemuda itu terlalu tak wajar dan sangat jauh dari kata anak-anak pada umumnya.

 

 

Tubuh dengan tinggi yang hampir mencapai 180 sentimeter, proposi badan kekar dengan otot yang terbentuk secara merata, serta telapak tangan kasar seperti orang dewasa. Bagi sang Roh Agung yang sudah bersamanya sejak Odo sejak masih bayi, ia merasa pemuda tersebut tubuh terlalu cepat. Bahkan untuk tolak ukur waktu para manusia.

 

 

“Tak ada salahnya jika kamu mempersiapkan banyak hal ….” Vil sedikit memalingkan pandangan dengan diikuti hela napas kecil. Lalu sembari menunjuk ke arah sang pemuda, ia pun dengan nada menegur berkata, “Tapi! Lihat dirimu sekarang! Padahal dulu kamu punya kulit yang tampak cerah dan halus, namun malah menggelap dan kusam seperti buruh! Belakangan Mavis juga mulai khawatir melihat kamu berlatih terus! Ia takut kamu mewarisi sifat suaminya yang selalu memaksakan diri.”

 

 

“Yah ….” Tuan Muda dari Kediaman Luke tersebut memalingkan pandangan, mengingat-ingat kembali kapan pertama kalinya memulai latihan rutin untuk membentuk tubuh. Kembali melihat ke arah Vil dan memegang jari telunjuk perempuan itu yang terarah kepadanya, Odo menyampaikan, “Ini hal yang aku perlukan. Sebagai ganti sihir yang semakin melemah, aku harus melatih tubuhku ini. Tak lucu kalau orang yang mendapat julukan Pembunuh Naga malah menjadi orang lemah.”

 

 

Vil menarik telunjuknya dan segera mengambil satu langkah ke belakang, lalu berbalik dan kembali naik ke atas teras. Sembari berjalan ke arah pintu menara perpustakaan sihir, Roh Agung tersebut menyampaikan, “Sejak kapan Odo tertarik dengan hal menyusahkan seperti itu? Mirip seperti para bangsawan saja …. Bukannya kamu tidak peduli dengan cara pandang orang lain?”

 

 

Langkah Vil terhenti, kembali menoleh dengan rasa penasaran dengan reaksi sang Tuan Muda Luke. Namun seakan perkataan tersebut tidak menyentuh hatinya, sang pemuda hanya memasang wajah datar dan perlahan membuka mulutnya untuk berkata.

 

 

“Aku sekarang memang bangsawan loh.”

 

 

Jawaban tersebut membuat Vil sedikit terkejut. Namun tidak memberikan kesempatan untuknya bertanya, Odo kembali berkata, “Tapi, yah …. Seperti yang diharapkan dari Roh yang aku pilih, kau paham betul apa yang sedang aku pikirkan sekarang.” Pemuda itu mengangkat jari telunjuk ke depan mulut, lalu perlahan menyeringai lebar dan berkata, “Sebentar lagi aku akan memulai perang ku sendiri, untuk itulah latihan rutin ini kulakukan. Jangan bilang ke siapa-siapa ya, Vil ….”

 

 

“Perang? Perang untuk apa?”

 

 

Perempuan rambut biru itu kembali menghadap ke arah sang pemuda. Menatap dengan rasa penasaran, anehnya keinginan untuk menghentikan pemuda itu terjun ke tempat berbahaya tidak muncul dalam hatinya.

 

 

Ingin mengikuti, mengabulkan kehendaknya dan menemani. Layaknya seorang pelayan yang ingin mendukung tuannya, Roh Agung tersebut hanya diisi dengan rasa ingin tahu tentang tujuan pemuda yang menjalin kontrak dengannya.

 

 

“Untuk memperbaiki dunia ke wujud yang seharusnya,” jawab Odo. Ia menurunkan jari telunjuk, sedikit memalingkan tatapan ke arah taman dan kembali berkata, “Ini demi diriku dan keluargaku, dan juga demi semua kebaikan dunia. Mungkin memang terdengar membingungkan untukmu, namun dunia ini sangat memerlukan sebuah perbaikan. Perlu dikembalikan ke bentuk selayaknya ….”

 

 

Kalimat tersebut membuat Vil terdiam, kilas balik ketika dirinya masih menjadi seorang Putri Duyung mulai naik ke permukaan layaknya buih-buih laut. Dirinya kembali mengingat penyesalan dan kesalahan di masa lalu.

 

 

Pada saat itu juga, Vil merasa ada sesuatu yang mulai terhapus dari kehidupannya. Kesedihan dan kesendirian, hal yang selalu dirinya rasakan sejak pertama kali naik ke daratan tersebut perlahan hilang berkat kedatangan Odo dalam hidupnya.

 

 

“Terserah saja ….” Vil memalingkan pandangan dan mengendus ringan. Dengan nada seakan-akan tidak peduli, ia pun berkata, “Diriku adalah Roh yang kamu kontrak! Selama itu masih berlaku, Mantan Penguasa Laut Utara ini akan selalu berada di pihak mu …. Selama itu tidak bertentangan dengan kehendak Penyihir Cahaya, diriku akan selalu membantu Odo.”

 

 

Sembari tersenyum ringan Odo pun meledek, “Malu-malu kucing seperti itu, padahal kau ikan ….”

 

 

“Berisik kamu, dasar wadah kadal!” balas Vil.

 

 

Seakan telah memastikan sesuatu, Odo memasang senyum tipis dan sesaat memejamkan mata. Tampak senang, lega, dan kembali membuka matanya dengan wajah yang berseri-seri.

 

 

“Terima kasih, Vil.” Setelah mengatakan itu dengan suara pelan, Odo menatap tajam ke arahnya dan menyampaikan, “Sebentar lagi persiapannya akan selesai. Setelah itu, kita akan bertempur untuk memenuhi salah satu janji ku. Sebaiknya … kau juga sedikit mengasah kemampuan sihirmu, Vil.”

 

 

“Hmm, tentu!” Vil mengacungkan jarinya, lalu dengan ceria ia menyampaikan, “Diriku juga sudah menyiapkan beberapa hal dengan tongkat Veränderung.”

 

 

“Baguslah, aku tak sabar menunggu apa yang kau siapkan.”

 

 

Setelah mengatakan hal tersebut, Odo melangkahkan kakinya menuju Mansion. Meninggalkan sang Roh Agung yang kembali termenung karena kembali memikirkan perkataan sang pemuda soal peperangan yang akan dimulainya.

 

 

Sebelum menginjakkan kaki di Mansion, pada teras dari bangunan utama kediamannya tersebut telah menunggu salah satu Kepala Pelayan, Julia Shieal.

 

 

Nekomata dengan satu ekor tersebut membawakan handuk untuk sang Tuan Muda, membungkuk hormat dan memberikannya dengan penuh kesopanan. Berdiri di hadapan perempuan yang sekarang malah lebih pendek darinya, Odo memasang senyum hangat dan mengambil handuk untuk menyeka keringat.

 

 

“Bukannya sudah ku bilang sebelumnya? Mbak Julia tak perlu terlalu sopan seperti itu. Meski sekarang aku seorang Viscount, Mbak Julia sudah aku anggap kakak sendiri kok.”

 

 

Mendengar hal tersebut, Julia menggelengkan kepala dan menyampaikan, “Maafkan saya, Tuan Muda. Ini sudah perintah Nyonya, saya tidak bisa membantahnya. Karena kedekatan saya dan Fiola dengan Anda, para Shieal lain mulai menganggap remeh Anda. Tidak menghormati dan bahkan memperlakukan Anda dengan santai, layaknya setara. Bagi Anda ataupun kami para Shieal, hal tersebut tidak baik.”

 

 

Mendengar ketentuan yang telah ditetapkan tanpa mendengar pendapatnya, Odo merasa seperti dipaksakan dengan perbedaan kasta yang harus dijunjung oleh keluarga bangsawan. Orang yang biasanya akrab dan merawatnya sejak kecil layaknya seorang kakak yang penuh kasih sayang telah berubah, menjadi pelayan yang setia dan kaku seperti sekarang.

 

 

“Bahkan kalian lebih mementingkan perbedaan kasta, ya?”

 

 

Setelah bergumam kesal seperti itu, Odo segera mengembalikan handuk dan berjalan melewati Julia. Rasa kesal benar-benar tampak pada mimik wajahnya, sampai kening dan alisnya mengerut. Seakan tidak menghiraukan rasa kesalnya, Julia berjalan mengikuti Tuan Mudanya masuk ke dalam Mansion.

 

 

Dalam langkah kakinya menuju kamar, untuk sesaat Odo merasa banyak hal yang telah berubah dalam lingkungannya hanya dalam waktu lebih dari satu bulan terakhir. Sejak hari pertunangan dan pemberian gelar terlewat, hampir semua orang di lingkungan Mansion menatapnya dengan cara yang berbeda. Bahkan dua Kepala Pelayan yang biasanya memperlakukannya dengan akrab pun sekarang terus berbicara formal, dengan alasan yang Nekomata tersebut sampaikan sebelumnya.

 

 

Sesampainya di depan pintu kamar, Odo menghentikan langkahnya dan berbalik. “Kau ingin terus mengikutiku sampai ke dalam, Julia?” tanyanya dengan nada ketus.

 

 

Tidak dipanggil dengan imbuhan ‘Mbak’ seperti sebelumnya, Julia sedikit tersentak dan paham Tuan Mudanya tersebut menyerah untuk mengingatkan. Seharusnya ia senang karena bisa menghormati Odo sebagaimana mestinya seorang pelayan. Namun ketika pemuda di hadapannya berbicara dengan nada layaknya asing dengan jarak yang lebar, dalam hati Julia terasa sedikit sakit yang menyengat.

 

 

“Ti-Tidak … Saya akan membawakan pakaian untuk Anda.”

 

 

Julia mengucapkan itu dengan gemetar. Tanpa berani menatap mata Tuannya, Kepala Pelayan tersebut pun segera pergi dari hadapannya dan berjalan menuju dapur. Sinar matahari yang masuk melalui kaca hias membuat perempuan itu diwarnai dengan biru, seakan memberitahukan kesedihannya.

 

 

“Tch! Bertingkah layaknya bangsawan memang melelahkan ….”

 

 

Odo membuka pintu dan berjalan masuk ke kamarnya. Setelah melempar tunik ke atas tempat tidur, ia langsung menarik kursi dan duduk di depan meja. Bersandar dengan rasa letih serta beban pikiran memenuhi kepala, Putra Tunggal Keluarga Luke tersebut menghela napas dengan penuh keresahan.

 

 

Untuk sesaat ia melihat isi kamarnya dan termenung. Meski ditinggal dalam kondisi berantakan hanya dalam waktu beberapa jam saja, kamar miliknya sekarang tampak rapi. Seprai sudah diganti dengan yang baru, jendela serta gorden dibuka untuk membiarkan udara dan cahaya matahari masuk, lalu perkamen serta perkakas yang sebelumnya berserakan pada lantai pun sudah dirapikan.

 

 

Sekilas mengingat kembali ada sebuah noda tinta pada lengan pakaian Julia, pemuda rambut hitam tersebut menghela napas ringan ketika tahu yang merapikan adalah Nekomata tersebut. Ia paham bahwa suasana canggung yang ada juga tidak diinginkan oleh Julia, namun memang tuntutan situasi.

 

 

Mendongak dan melihat langit-langit kamar, Odo sesaat terdiam dan merasa harus terlebih dahulu menyelesaikan masalah yang ada di lingkungannya. Ia bangun dari tempat duduk dan membuka lemari, lalu mengambil sarung tangan untuk menutupi angka romawi di telapak tangan yang sekarang telah berubah menjadi bentuk C, tanda jumlah Nyawa Cadangan di Dunia Kabut telah mencapai seratus.

 

 

Sebelum memakai sarung tangan kanan, sesaat Odo terdiam dan menatap telapak tangannya sendiri dengan sedikit penasaran. Dalam perhitungan normal ketika dirinya pertama kali mendapat konsep Nyata Cadangan dari Mahia, angka pada telapak tangannya terus bertambah dan bahkan dalam satu hari bisa sampai tiga kali.

 

 

Namun, sekarang angka tersebut berhenti pada angka seratus dalam bilangan romawi. Sebagai ganti jumlah angka tersebut berhenti bertambah, warna pada Rajah di telapak tangannya berubah dari hitam menjadi merah darah dan malah mulai menghisap Mana dalam tubuhnya secara berkala.

 

 

Kondisinya sekarang yang terus mengalami penurunan kemampuan sihir pun karena hal tersebut. Membuatnya harus lebih mengasah kemampuan fisik, sebab tidak tahu cara untuk mencegah Mana miliknya terhisap ke Dunia Kabut melalui jalur pada Rajah di telapak tangannya. Jika terus dibiarkan, tak ada jaminan Odo tidak akan kehilangan kemampuan sihirnya.

 

 

Berusaha mengaktifkan Inti Sihir untuk mengumpulkan semua Mana pada telapak tangan, apa yang bisa Odo ciptakan hanyalah percikan listrik kecil. Bahkan itu tidak bertahan untuk sepuluh detik dan lenyap dengan cepat.

 

 

Keterbatasan tersebut bukan hanya dalam bidang menggunakan sihir, namun juga manipulasi Mana untuk teknik pemadatan pun terganggu sangat parah. Itu sudah sampai pada titik dimana ia benar-benar tidak bisa menciptakan pedang dengan teknik tersebut.

 

 

“Mungkin .... kalau aku mati dan mengurangi satu angkanya, bisa saja efek ini hilang dan Rajah ini berhenti menyerap Mana. Tapi …, sayangnya belakangan ini tidak ada situasi yang membuatku sampai mati. Terlebih lagi …, aku juga bukan maniak bunuh diri.”

 

 

Lekas memakai sarung tangan kanan, Odo mengaktifkan sihir dimensi penyimpanan pada salah satu alat sihirnya tersebut. Ia memakai alat sihir serupa pada tangan kiri, lalu mengaktifkan lingkaran sihir sejenis yang ada di punggung sarung tangannya..

 

 

“Hmm, asal ini masih bisa ku akses dengan Mana minim, kurasa tak masalah untuk sekarang.”

 

 

Pemuda rambut hitam tersebut mengulurkan kedua tangannya ke depan, melihat lingkaran sihir pada punggung kedua sarung tangan. Berbeda dengan sebelumnya saat Odo masih menggunakan satu sarung tangan sebagai akses dimensi penyimpanan, dua alat sihir yang dirinya kenakan sekarang memiliki fungsi lain.

 

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!