NovelToon NovelToon

Pelabuhan Cinta Sang Pangeran Es

Galen Haidar Bramantyo

"Ini adik Gayen?"

Galen yang menginjak usia tiga tahun terlihat menggemaskan. Tubuhnya masih sangat bulat. Matanya yang bulat, berbinar indah. Ekspresinya begitu menggemakan saat pertama kali melihat Arabella.

"Nama adik Gayen ciapa, Mama?" tanya Galen.

"Arabella, Sayang," jawab Aluna lembut.

"Ayabeya?" Galen mengulang perkataan Aluna.

"Arabella, Galen."

"Iya, Mama. Ayabeya."

Semua orang yang ada di tempat itu tertawa mendengar celotehan Galen. Memang anak itu bicaranya masih cadel.

"Sini, Sayang. Biarin Arabella bobo." Elgar duduk di sofa, menyuruh Galen untuk mendekat.

Tidak membantah, Galen berlari ke dekat Elgar, lantas Elgar mengangkat tubuh Galen, mendudukkan putranya di atas pangkuannya.

"Galen senang punya adik?" tanya Arleta tangannya terulur mengusap kepala Galen.

"Cengang, Oma. Gayen cengang punya adik cantik kaya Ayabeya," jawab Galen polos.

"Nanti kalau Galen sudah besar, jagain adenya ya," pinta Aluna pada putranya.

"Otey, Mama," seru Galen.

"Anak Mama memang paling pinter," puji Galen.

"Mama," panggil Galen.

"Iya, Sayang," sahut Aluna.

"Gayen boleh minta cucu?"

Aluna terkekeh begitu juga yang lainnya.

Galen lantas turun dari pangkuan Elgar, lantas melompat-lompat di ruangan rawat VVIP itu.

"Hoye, Gayen punya adik. Hoyee," seru Galen sambil melompat-lompat membuat semua orang tertawa.

Bayi perempuan yang ada di box bayi tiba-tiba menangis membuat tawa mereka berhenti. Juga fokus semua orang teralihkan.

Galen berlari ke dekat box bayi melihat adiknya menangis. "Sssttt, jangan belicik!"

Semua orang kembali dibuat tertawa oleh tingkah menggemaskan Galen.

Hingga empat belas tahun berlalu begitu cepat, anak kecil gendut yang sangat menggemaskan itu telah berubah. Usianya sudah hampir delapan belas tahun. Galen tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan, mewarisi ketampanan dari Elgar, ayahnya. Sorot matanya begitu tajam, hingga mampu membuat musuh-musuhnya menunduk. Tubuhnya tinggi dan tetap, otot-otot tubuhnya terbentuk dengan sempurna. Tidak salah tempat tinggalnya memiliki fasilitas gym pribadi, Galen memanfaatkan tempat itu dengan sangat baik.

Di usianya itu Galen sudah memiliki perasaan terhadap lawan jenis. Ia menyukai seorang gadis bernama Safira Nadira. Anak sahabat dari kedua orang tuanya. Tumbuh dari kecil membuat rasa cinta itu tumbuh dalam diri Galen, tetapi tidak dengan Safira. Perempuan itu menganggap hubungan mereka hanya sebatas kakak beradik. Padahal usia mereka hanya terpaut beberapa bulan saja.

Safira tahu perasaan Galen padanya? Jawabannya, Iya. Safira tahu, tetapi Safira memilih laki-laki lain. Seorang siswa dari sekolah lain.

-

-

Saat jam istirahat, Galen memilih ke rooftop, bisa dibilang tempat itu menjadi tempat favorit dirinya dan juga tiga temannya, Zayn, Alden, dan Sam.

Galen berdiri di dekat pembatas rooftop sekolahnya. Jangan ditanya bagaimana penampilannya, jauh dari kata rapih. Dua kancing atas seragam Galen sudah terbuka, jas sekolah dan dasinya entah ke mana. Di jarinya juga terselip satu batang ber nikotin yang menyala. Sekolahnya memperbolehkan siswanya merokok?

Jelas tidak!

Mereka sembunyi-sembunyi. Tetapi jika ada teman sekolah yang melihatnya pun mereka tidak akan berani menegur. Jika ketahuan oleh guru maupun kepala sekolah, mereka hanya akan mengatakan 'iya' dan besoknya mereka ulangi lagi.

"Sial!" Galen mengumpat dalam hati, manakala mata elangnya menangkap sosok Safira di bawah sana.

Sedang apa perempuan itu. Dia bukan lagi siswa di Astrea Highschool. Dia sudah lulus.

Mata elangnya menangkap tajam pria yang baru saja berlari menyusul Safira. Jangan ditanya seberapa gelap aura Galen saat itu.

Galen menghisap rokoknya dalam-dalam, sebelum mengepulkan asap rokok yang terbang bersama kemarahannya. Ia kembali dibuat frustrasi oleh keberadaan Safira. Padahal dirinya sudah bersusah-payah untuk bisa melupakan juga menghindari gadis itu.

Diamnya Galen memancing rasa ingin tahu salah satu temannya. Temannya bernama Zayn mendekat ke arahnya.

"Liatin apa sih?" Zayn merasa penasaran dengan apa yang dilihat oleh Galen, hingga membuat sahabatnya itu tidak bergeming. Pertanyaan Zayn terjawab dengan sendirinya ketika melihat Safira sedang berjalan di bawah sana. Zayn melipat bibir untuk menahan tawanya.

"Cantik ya dia," puji Zayn yang langsung mendapatkan tatapan horor dari Galen, membuat Zayn meringis. "Tapi sayangnya, tipe dia itu bukan kaya kita yang berandalan. Tipe dia tuh kaya itu." Zayn menunjuk seorang laki-laki seumuran dengan mereka, yang berjalan di samping Safira. "Anak pinter, meskipun gue juga tahu lo pinter bahkan lebih pinter, tapi tuh anak kalem."

Ya Safira memilih seorang siswa dari sekolah lain. Mereka bertemu di acara olimpiade. Namanya Evan. Sikap Galen dan Evan memang sangat bertolak belakang.

Keduanya masih fokus memerhatikan Safira dan Evan di bawah sana. Marah itu jelas, tetapi Galen memilih untuk biasa saja, meskipun ekspresi wajahnya menunjukkan ada rasa tidak rela, juga kemarahan. Terlihat dengan jelas amarahnya bagai bom waktu yang bisa meledak kapan pun.

"Mau berhenti? Gak ingin dikejar atau direbut gitu?" tanya Zayn terkesan sedang mengejek Galen.

Zayn tidak mendapatkan jawaban, justru ia mendapatkan tatapan yang begitu tajam dari Galen.

"Sorry, sebaiknya gue pergi saja." Zayn memilih menjauh dari mara bahaya. Tapi kembali berhenti dan berbalik menghadap Galen. "Masih banyak gadis diluaran sana. Jangan gara-gara ditolak satu gadis, dunia lo seakan berhenti."

Zayn adalah satu-satunya teman yang tahu akan perasaan Galen pada Safira, tetapi ia juga tahu bagaimana Galen. Dia bukan tipe pemaksa. Jika Safira lebih memilih Evan maka itu yang akan terjadi.

"Shut up!" hardik Galen membuat Zayn terkekeh geli.

BRAK

Pintu rooftop terbuka, memunculkan Safira dan Alvin dari baliknya.

"Anj*ng!" umpat Sam yang terkejut karena pintu rooftop terbuka dengan keras bahkan minuman di tangannya sampai tumpah.

Semua orang menoleh ke arah pintu, terkecuali Galen. Tanpa melihat, Galen tahu yang baru datang itu Safira. Semilir angin memberitahu lewat aroma parfum yang biasa Safira pakai.

"Pergi! Gue mau bicara sama Galen, berdua!" tekan Safira.

Tidak membantah ataupun berkomentar, Zayn, Alden, dan Sam pergi dari rooftop.

"Safira bilang berdua. Lo gak mau jadi setan, 'kan?" Tanpa meminta izin lebih dulu, Zayn juga menarik Evan pergi dari tempat itu.

"Galen—"

"Cepet bicara! Jangan basa-basi!" Galen menukas ujaran Safira.

"Galen!" Safira menarik lengan Galen, memaksa laki-laki itu melihat ke arahnya.

"Apa?"

"Lo kenapa? Telepon gue gak kamu angkat, chat gue juga gak lo bales?" tegur Safira.

"Itu mau lo, 'kan," ucap Galen. "Lo yang suruh gue untuk lupain perasaan gue sama lo."

"Tapi gak begini caranya?" ucap Safira.

"Terus bagaimana?" tanya Galen marah membuat Safira bungkam seketika.

Galen memilih untuk pergi, tetapi kembali terhenti kerena ucapan Safira.

"Besok gue berangkat ke Paris. Gue mau lanjut study di sana," ucap Safira.

Galen berbalik, "Ya sudah pergi saja. Itu mau lo dari dulu, 'kan?"

Tidak ada kata apapun yang Galen ucapkan. Ia langsung pergi dari rooftop, meninggalkan Safira begitu saja. Tidak peduli, itu yang Galen lakukan agar perasaannya terhadap Safira cepat hilang.

Galen berniat kembali ke kelasnya, tetapi di tengah jalan langkahnya terhenti karena seseorang menabrak tubuhnya. Tubuhnya yang tegap tidak bergeser sedikitpun. Justru orang yang menabraknya terjatuh ke lantai.

"Aww!" pekik orang itu.

Lucyana Evangelista

"Awwww!"

Pekikan itu membuat pandangan orang di sekitar tempat itu menoleh. Mereka melihat seorang gadis terjatuh hingga terduduk di lantai, tetapi tidak ada yang berani membantu lantaran tidak ingin berurusan dengan Galen. Mereka hanya bisa melihat dan menantikan apa yang akan dilakukan oleh Galen pada gadis berkacamata itu.

Galen sendiri mengalihkan pandangannya ke asal suara. Ia melihat seorang gadis terduduk di lantai karena menabraknya. Galen memandang malas, tanpa berminat membantu gadis itu. Sudah sering gadis di sekolahnya bertingkah konyol hanya demi menarik perhatiannya.

Galen masih berdiri di tempat yang sama, mata tajamnya masih mengarah pada gadis di depannya, menatap setiap gerakannya, hingga gadis itu berdiri tegap tepat di hadapannya.

"Ma-af ..." Ucapan gadis itu terhenti dalam sekejap, matanya membulat, terkejut melihat tubuh tegap yang berdiri di hadapannya, tetapi tidak berani menatap wajahnya.

Merasa penasaran gadis itu lantas mendongak, matanya kembali membulat, melihat laki-laki berdiri tegap di hadapannya dengan menunjukan tatapan penuh permusuhan.

Galen sendiri bersikap datar saat pandangannya bersirobok dengan mata bulat gadis yang kini berdiri di hadapannya. Memandang malas gadis itu, tetapi moodnya yang sedang berantakan membuat Galen bertambah kesal.

"Punya mata nggak!" bentaknya.

"Punya!" Gadis itu spontan menjawab lantaran terkejut dengan teriakan Galen membuat orang-orang di sekitarnya tertawa.

Galen bertambah kesal dengan gadis itu dan memilih untuk pergi, tetapi baru akan menggerakan kaki, gadis itu justru menghadangnya.

"Tunggu!" Gadis itu menghadang langkah Galen sambil merentangkan kedua tangannya.

Galen sontak menghentikan langkahnya, kembali menatap mata gadis itu dengan rahang yang mengeras, ekspresi wajahnya menujukkan kemarahan yang siap meledak kapan pun.

"Minggir!" perintahnya dengan suaranya yang berat.

"Sebentar," kata gadis itu.

Semua orang di dekat keduanya syok, napas mereka seolah berhenti melihat keberanian gadis, yang merupakan siswi baru di sekolah.

Berani banget itu anak. Gue yang satu angkatan dan satu kelas sama Galen saja nggak berani ngelakuin itu. Ini anak baru, apalagi kelas 10 lancang banget ngehadang langkah Galen. Cari mati dia.

Apa dia nggak tahu kalau Galen paling nggak suka ada yang menghalangi jalannya?

Wajarlah, dia anak baru. Jadi tidak tahu.

"Minggir!" ucap Galen pelan tapi penuh tekanan.

"Tu-tu-nggu dulu!" cegah gadis yang memiliki nama Lucyana Evangelista itu. "Aku minta maaf. Aku nggak sengaja nabrak Kakak."

"Gue bilang minggir!" sentak Galen, tidak perduli dengan permintaan maaf Lucyana. Galen kembali ingin melangkah, tetapi gadis itu tidak memberikan jalan untuknya.

"Sebentar, Kak," cegah Lucyana. "Aku cuma mau tanya letak toilet kok."

Semua orang yang mendengar pernyataan Lucyana seketika menganga. Menganggapnya lancang karena melontarkan pertanyaan konyol itu pada Galen.

Ekspresi Galen berubah menggelap, setelahnya mendengkus kesal lantaran gadis di depannya mencegah langkahnya hanya untuk bertanya letak toilet.

Galen berdecak kesal, lantas mengangkat tangannya, menarik lalu kemudian membaca nama yang tertera pada id card yang menggantung di leher gadis itu, Lucyana Evangelista.

"Haloo! Kak! Kamu baik-baik saja?" Lucyana menggerakkan tangannya ke kanan dan kiri tepat di depan wajah Galen, semakin membuat orang di sekelilingnya makin sulit untuk bernapas.

Tetapi mereka tidak ingin menghentikan Lucyana, mereka justru tertarik untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Galen padanya. Yang jelas bukan sesuatu yang baik.

"Aku anak baru dan —"

"Bisa baca nggak?" Galen menukas ujaran Lucyana. Salah satu tangannya menunjuk ke sisi kanannya.

Lucyana mengikuti arah yang Galen tunjukkan. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada papan besar yang tergantung dengan tulisan toilet. Setelah itu kembali melihat ke arah Galen. Ia meringis mendapati ekspresi wajah Galen yang seolah ingin memangsa dirinya.

"Terima kasih, Kak," ucap Lucyana. "Aku pergi dulu."

Tidak tahan dengan tatapan mengerikan Galen, Lucyana memilih menyingkir, seolah membuka jalan untuk Galen. Setelahnya berlari kecil menuju toilet. Namun, di tengah perjalanan, Lucyana berbalik seraya melambaikan tangan juga berseru.

"Sampai jumpa, Kak. Namaku Lucyana Evangelista. Kakak bisa panggil aku Ana," ucapnya tanpa menghentikan langkahnya.

DUK

Karena terus melihat ke arah Galen, Lucyana tidak melihat sekitar, hingga kakinya menyenggol tempat sampah.

Orang-orang yang melihatnya pun tertawa, tetapi tidak dengan Galen. Pemuda-pemuda itu justru mendengkus melihat tingkah konyol Lucyana. Tidak ingin berlama-lama, Galen memilih untuk pergi.

Lagi-lagi moodnya kembali berantakan saat mata tajamnya melihat Evan berjalan ke arahnya. langkahnya pun terhenti saat kekasih Safira itu menghadang langkahnya disusul oleh tiga temannya sendiri.

"See, lo boleh pintar dan kaya, tampang lo juga oke. Tapi sayangnya lo kalah untuk mendapatkan Safira. Dia lebih milih gue," ejek Evan.

Galen menatap Evan malas. Ingin sekali dirinya memukul Evan, tetapi tidak ia lakukan. Mereka ada di area sekolah.

"Masih kurang pukulan gue waktu itu?" tanya Galen sarkas.

Evan hanya tersenyum sinis seolah sedang mengejek Galen. "Ayolah, kita bisa berteman, bukan.

"I have no interest in being your friend," tekan Galen.

"Ayo —"

"Apa perlu gue kasih tahu sama Safira, kalau lo menang Olimpiade karena sogokan uang yang nggak seberapa itu!" ancam Galen menbuat Evan terdiam seketika.

Setelah mengatakan kalimat itu, Galen pergi dengan diikuti oleh ketiga temannya diiringi tawa ejekan.

Evan meradang lantas mengangkat tangannya seolah sedang memukul angin. Ekspresinya begitu kesal, terlihat dari tarikan napasnya yang tidak beraturan.

Sebuah pertanyaan pun muncul di benak Evan, dari mana Galen tahu semua itu?

Sementara itu, di dalam toilet, Lucyana sedang mendapatkan bullying dari kakak kelasnya. Padahal dirinya tidak tahu apa kesalahannya. Kania Ariesta, nama yang tertera di id card siswi cantik itu.

Setelah masuk ke dalam toilet, tidak lama Kania dan dua dayangnya datang. Kania langsung mengunci pintu toilet, membuat Lucyana terkejut.

"Ada apa, Kak?" tanya Lucyana gugup karena tatapan Kania dan dua temannya itu.

Bukannya menjawab Kania justru mendorong Lucyana hingga tubuh belakang Lucyana menubruk tembok.

"Awww!" pekik Lucyana. Tangannya terulur untuk menjangkau rasa sakit yang ia rasakan di punggungnya.

"Amara, isi wastafelnya sampai penuh!" perintah Kania pada salah satu temannya.

"Beres!" Amara melakukan apa yang Kania suruh.

Lucyana berdiri dalam kebingungan melihat apa yang dilakukan oleh Kania dan dua temannya, tetapi setiap kali ia bertanya dirinya tidak mendapatkan jawaban, justru yang ia dapat hanya cacian dan juga makian.

"Sini!" Kania mencengkeram rambut Lucyana yang terikat layaknya ekor kuda, menariknya menuju depan wastafel.

"Kakak, lepasin. Arghht." Rambut Lucyana ditarik oleh seorang siswi cantik yang merupakan kakak kelasnya itu.

"Jangan mimpi!" Siswi cantik itu menenggelamkan kepala Lucyana ke dalam wastafel yang penuh dengan air lantas menariknya kembali.

"Hahhh, hahah!"

Belum sempat Lucyana menarik napas, ia kembali ditenggelamkan dan kembali ditarik membuat Lucyana terbatuk-batuk juga kesulitan untuk bernapas.

"Ini akibatnya jika lo udah kecentilan sama pacar gue!" sentak Kania.

"Tapi aku tidak tahu siapa pacar Kakak? Aku anak baru, aku belum kenal siapapun," bantah Lucyana. Ia berucap dengan susah payah.

"Jangan bohong! Mau gue tenggelemin kepala lo lagi, hah!" ancam Kania tanpa melepaskan rambut Lucyana.

Lucyana menggeleng sembari menangis.

"Beneran, Kak. Aku nggak kenal sama pacar Kakak," ucap Lucyana lagi.

"Lo pikir gue bakalan percaya!" Kania melepaskan cengkraman tangannya di rambut Lucyana, lalu mendorong gadis yang merupakan adik kelasnya itu ke tembok, tangannya terangkat u lewat mencengkram leher Lucyana. "Dengernya, pacar gue itu Galen Haidar Bramantyo!"

"A-ku ngga-k kenal," ucap Lucyana. Nada bicaranya terputus-putus karena cekikan di lehernya.

"Kania, lepasin dia! Wajahnya udah merah banget. Kalau dia mati bagaimana?" ucap Amara takut.

"Dia mati pun gue nggak peduli!" Kania menolak untuk melepaskan Lucyana. "Dia udah lancang godain Galenku."

"Tapi —"

BRAK BRAK

"Buka!"

Gedoran dan suara lantang di depan pintu toilet itu mengalihkan perhatian Kania dan dua temannya. Kania dengan cepat melepaskan cengkraman tangannya di leher Lucyana.

"Buka, Sialan!"

Kania kenal jelas siapa pemilik suara itu.

"Buka!" perintah Kania pada Amara.

Amara mengangguk, lantas membuka pintu toilet. Namun … BRAK! Pintu toilet yang terbuka dengan cepat membuat Amara tidak sempat menghindar. Tubuh Amara terkena pintu kamar mandi membuatnya terduduk di lantai toilet yang basah.

"Aaaaa!" Amara menjerit lantaran seragamnya basah.

Bersamaan dengan itu masuklah seorang gadis yang langsung menatap tajam Kania.

"Beraninya main keroyokan!"

Arabella Quenza Bramantyo

BRAK

"Beraninya main keroyokan!"

Perempuan cantik, dengan tubuh tinggi semampai, berkulit putih, berbalut seragam sekolah khas itu, berdiri seolah menantang Kania. Rambutnya yang bergelombang tergerai indah dengan sebuah jepitan kecil terpasang di sisi kanan kepalanya. Meskipun kecil, tetapi jangan ditanya seberapa mahal harga benda kecil berbentuk kupu-kupu itu.

Bibir indahnya mengukir senyuman mengejek, melihat Amara jatuh terduduk di lantai yang basah, membuat seragam Amara basah dan juga kotor. Mata bulatnya bersinar indah, tetapi sorot matanya menunjukkan permusuhan pada Kania.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Kania sinis.

"Orang ngapain kalau mau ke toilet?" tanya balik gadis itu sambil memainkan rambutnya yang dicurly dengan jari telunjuknya.

Kania tidak terima ada yang berani padanya. Apalagi gadis itu merupakan adik kelasnya. "Lo yang namanya Arabella, 'kan?" tanya Kania geram.

"Yes"

"Lo juga yang suka kencentilan sama Galen, 'kan?" tuduh Kania.

Kening Arabella mengernyit bingung, sebelum akhirnya menyunggingkan senyuman sinis.

"Kenapa memangnya? Dia juga nggak keberatan," ujar Arabella dengan santai, masih dengan memainkan rambutnya.

"Lo —"

"Sttt, jangan berteriak! Telinga gue sakit," tukas Arabella.

Ucapan Arabella membuat suasana langsung menjadi hening.

Orang-orang mulai berdatangan mendengar keributan di toilet, ingin melihat Arabella kembali membuat Kania, si tukang bully tidak berkutik. Hanya Arabella, anak kelas 10 yang berani melawan aksi bully Kania.

Mata Arabella melihat Lucyana sedang terisak di belakang tubuh Kania.

"Mending kalian lepasin dia. Kecuali kalau memang kalian mau gue bikin malu seperti biasa," ancam Arabella masih dengan mempertahankan senyuman.

Kania terdiam, tangannya mengepal kuat, mengingat bagaimana Arabella selalu saja lolos darinya, bahkan membalikan keadaan.

"Awas lo! Jika lo masih berani deketin Galen lagi, lo akan berakhir lebih dari dia." Kania menunjuk Lucyana lantas memilih untuk pergi meninggalkan Arabella dan Lucyana yang mulai kedinginan.

"Kita lihat saja, siapa yang akan berakhir menyedihkan," tantang Arabella.

Kania dan dua temannya berbalik, menatap Arabella penuh permusuhan, tetapi Arabella justru tersenyum manis pada mereka. "Husss, pergi sana!"

Arabella berbalik, tetapi bukan untuk menolong Lucyana. Dia masuk ke dalam salah satu bilik untuk mengosongkan kandung kemihnya yang terasa penuh. Selesai dengan itu, Arabella keluar dari bilik itu.

"Terima kasih," ucap Lucyana sontak membuat Arabella menoleh ke arahnya.

"Ngapain lo masih di sini?" tanya Arabella.

"Nungguin kamu. Aku belum bilang makasih karena udah nolong aku," ucapnya.

Kening Arabella mengernyit, ia heran ada orang seperti itu. Padahal kondisi Lucyana sudah sangat kacau. Pakaiannya sudah basah. Dia bisa sakit karena hal itu. Harusnya dia bisa pergi lebih dulu, tetapi dia malah memilih untuk menunggu.

"Gue nggak nolongin lo. Gue ke sini karena kebelet pipis, bukan sengaja ke sini untuk nolongin lo," ucap Arabella. Memang benar, Arabella ingin ke toilet, tetapi pintu dikunci dari dalam dan ada seseorang yang mengatakan padanya jika Kania dan temannya sedang membully siswi baru.

"Nggak apa-apa. Tapi secara nggak langsung kedatangan kamu membuatku tertolong," ucap Lucyana.

"Terserah lo aja," balas Arabella datar.

"Oh iya namaku Lucyana, kamu bisa panggil aku Ana." Lucyana mengulurkan tangannya ke hadapan Arabella.

Arabella menatap uluran tangan Lucyana dengan alis yang terangkat sebelah seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Sesaat kemudian Arabella menyambut uluran tangan Lucyana.

"Arabella," ucapnya.

Senyum membingkai di wajah Lucyana.

"Ganti seragam lo!" suruh Arabella setelah tangan mereka terlepas. Setelahnya ia pergi begitu saja tanpa berkata apa pun lagi pada Lucyana.

"Tunggu!"

Langkah Arabella berhenti dan berbalik, kembali melihat ke arah Lucyana. "Apa?" tanyanya lembut tetapi penuh ketegasan.

"Kamu kenal sama yang namanya Galen Haidar Bramantyo?"

Arabella tidak langsung menjawab, keningnya pun mulai dipenuhi dengan kerutan. "Emmmm … kenal? Dia anak kelas dua belas. Memangnya kenapa?"

"Tadi mereka juga mengatakan aku sudah menggoda Galen. Tapi ... aku sama sekali nggak mengenalnya. Kamu bisa menunjukkannya padaku laki-laki yang bernama Galen itu?" tanya Lucyana.

"Dia adalah salah satu laki-laki yang amat gue sayang." Setelah mengatakan kalimat itu Arabella keluar dari kamar mandi, meninggalkan Lucyana sendiri dalam kebingungan.

Anak kedua dari pasangan Elgar dan Aluna itu memiliki paras yang sangat cantik, mirip sekali dengan Aluna. Arabella sudah kelas 10. Semenjak satu bulan ia masuk ke sekolah itu. Tapi kecantikan, juga keberaniannya, mampu menarik perhatian banyak orang.

Ketika masuk ke sekolah itu, Arabella juga sengaja menyembunyikan identitasnya dan dengan sengaja tidak memakai id cardnya. Tidak ada yang tahu jika Galen adalah kakaknya, kecuali, guru, kepala Sekolah, juga teman-teman kakaknya. Makanya Kania mengira ia menggoda Galen. Arabella melakukan itu hanya ingin mengetahui siapa saja yang mau tulus berteman dengannya, tanpa embel-embel nama Bramantyo di belakangnya.

BRAK

"Kak Galen!" Arabella masuk ke kelas kakaknya, tetapi tidak mendapati sang kakak.

Arabella mengedarkan pandangannya ke bagian dalam kelas. Matanya tertuju pada salah satu siswi di kelas itu. Di mana, Kak Galen?" tanyanya.

"Tidak tahu. Cari saja sendiri," jawab siswi itu dengan nada sinis.

Arabella tersenyum miring lantas mengayunkan langkah memasuki kelas, mendekat ke siswi itu yang menjawab pertanyaannya. Arabella membungkuk, salah satu tangannya bertumpu di meja, tangannya terulur untuk menarik id card milik yang menggantung di leher siswi itu kemudian membaca namanya. "Mia Aulia. Akan gue ingat sikap lo ini sama gue."

Tidak mengatakan apa pun lagi Arabella pun keluar, meninggalkan beberapa siswi termasuk Mia. Tidak peduli juga saat Mia memakinya.

"Balas saja? Biar nggak songong tuh anak," sahut salah satu teman Mia.

"Jangan macam-macam. Kania aja sampai nggak berani bully tuh anak," ucapnya siswi yang lainnya. "Apalagi dari yang gue dengar dia deket banget sama Galen juga teman-temannya."

Arabella jelas mendengarnya, tetapi gadis itu tidak peduli. Ada hal yang lebih penting dari itu. Gadis itu menyusuri koridor sekolah, mengedarkan pandangannya mencari sosok Galen atau setidaknya salah satu temannya.

Langkahnya, terhenti saat matanya menemukan sosok yang sedang dicarinya. Kakak tercintanya ada di lapangan basket outdoor. Tidak menunda lagi, Arabella berjalan ke tempat di mana kakaknya berada.

"Kak Galen!" panggil Arabella dengan berkacak pinggang.

Galen langsung menghentikan permainannya, berjalan ke pinggir lapangan menghampiri adiknya.

"Minta cash," ucap Arabella sembari menunjukkan telapak tangannya ke hadapan sang kakak.

Dua kata itu membuat Galen terkekeh pelan. Apalagi yang sang adik mau kalau tiba-tiba datang mencarinya.

"Buat apa?" tanya Galen.

"Nanti pulang sekolah aku pengin jajan cilok," jawab Arabella polos.

Sebelum Galen merespon perkataan Arabella, matanya menangkap sosok gadis yang menabrak dirinya sebelumnya. Entah ada apa dalam diri Lucyana membuat Galen terus memerhatikan gadis itu.

Arabella yang merasa penasaran, mengikuti arah pandang sang kakak. Mata indahnya melihat sosok Lucyana.

"Anak baru itu, Kak. Namanya Lucyana. Satu angkatan sama aku," ucap Arabella. "Dia habis dibully sama si pick me," imbuh Arabella.

Kening Arabella mengernyit ketika tidak mendapatkan respon dari sang kakak. Arabella lantas menoleh, mendapati sang kakak masih memerhatikan Lucyana.

"Kakak naksir?" Arabella menyenggol lengan sang kakak dengan pundaknya, membuat Galen tersadar.

Alih-alih menjawab pertanyaan sang adik, Galen justru berkata hal lain untuk mengalihkan pembicaraan.

"Ambil di loker. Jangan jajan sembarangan," ucap Galen disambut anggukkan oleh Arabella.

"Makasih, Kakakku sayang." Arabella berjinjit lantas mengecup rahang sang kakak.

Arabella langsung pergi setelah mendapatkan apa yang dia mau. Keduanya tidak sadar jika sedari tadi mereka menjadi pusat perhatian orang di sekitar mereka, termasuk Kania dan dua temannya melihat interaksi mereka.

Semua orang dibuat penasaran dengan kedekatan keduanya. Galen jarang tersenyum, kecuali pada seseorang dulu. Dia adalah Safira, tetapi Safira sudah lulus. Kania kira dia tidak ada saingan lagi untuk mendapatkan Galen, rupanya kini muncul Arabella.

Kania sudah berulang kali mencari tahu siapa Arabella, tetapi indentitas Arabella sangat sulit ia dapatkan.

"Siapa sih tuh anak bau kencur. Nyosor mulu sama Galen!" kesal Kania.

"Lo nggak mau kasih pelajaran sama tuh anak?" tanya Amara.

"Pelajar apa? Dia aja nggak ada takut-takutnya sama kita," ucap Kania frustrasi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!