NovelToon NovelToon

Ternyata Hanya Kamu Cintaku

Back Story

Isabella Rostgomerry

Gadis itu berusia 21 tahun. Penampilannya selalu sederhana, tanpa riasan berlebihan, tapi tetap terlihat manis dengan caranya sendiri. Ia sedikit cuek terhadap tren atau penilaian orang, namun bukan berarti tomboy. Ada sisi lembut dan kehangatan yang membuat siapa pun betah di dekatnya.

Sejak kecil, ia tumbuh bersama kakak laki-lakinya, Jonathan Edward Parker pria berusia 32 tahun yang selalu menjadi tempatnya bersandar. Mereka berdua pernah merasakan kerasnya hidup di panti asuhan. Namun alih-alih menyerah pada keadaan, mereka memilih bangkit bersama, memupuk mimpi yang sama: mencari kehidupan yang lebih baik.

Berbekal talenta mereka dalam musik suara merdu sang adik dan petikan gitar sang kakak keduanya kini melangkah berani ke dunia luar. Mereka melamar pekerjaan di kafe-kafe yang baru buka, berharap ada tempat yang memberi mereka kesempatan untuk mengubah nasib.

Alexander James Carter.

Alex, pria tampan berusia 33 tahun, kini memikul tanggung jawab besar sebagai pengelola perusahaan ekspor-impor milik keluarganya sebuah warisan yang dibangun ayahnya, Benjamin Carter, dengan kerja keras bertahun-tahun. Ibunya, Victoria Eleanor Bennett, selalu mendukung penuh agar putra semata wayangnya itu menjadi penerus yang layak.

Berbekal pendidikan yang tak main-main, Alex menyelesaikan gelar Bachelor of Science in Economics (B.S.E.) dan Master of Business Economics (M.B.E.) di kampus bergengsi yang sama, O****d University. Namun, di balik prestasi akademiknya yang cemerlang, Alex menyimpan kenyataan pahit: bidang itu bukanlah pilihannya sendiri. Ekonomi dan bisnis hanyalah bentuk kompromi sebuah cara untuk memenuhi ekspektasi orang tuanya dan menjaga nama baik keluarga.

Di luar dunia korporat, ada sisi Alex yang jarang diketahui banyak orang. Ia seorang pencinta musik. Beberapa alat musik ia kuasai, tetapi gitar selalu menjadi favoritnya tempat di mana ia bisa menumpahkan segala emosi yang tak pernah ia tunjukkan di depan publik. Musik baginya adalah pelarian, juga rumah kedua di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa tekanan.

ELISABETH GRACE HAMILTON.

Grace adalah teman satu sekolah Alex sewaktu kecil, meskipun mereka tak pernah berada di kelas yang sama. Alex nyaris tak mengenal Grace secara dekat, sementara diam-diam Grace sudah memperhatikan sosoknya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Baginya, Alex kecil sudah memiliki pesona yang sulit diabaikan ketampanan yang menonjol di antara teman-teman seusianya.

Kedua keluarga mereka memiliki hubungan yang cukup dekat. Orang tua Grace dan keluarga Alex kerap saling berkunjung, terutama karena mereka sama-sama memiliki anak tunggal. Setiap pertemuan terasa hangat dan penuh keramahan, meski ada satu hal yang selalu menjadi catatan bagi keluarga Grace. Alex jarang terlihat di rumah. Kesibukannya di luar jam sekolah membuat interaksi antara dirinya dan Grace tak pernah benar-benar terjalin.

Namun, di balik kunjungan-kunjungan ramah itu, terselip sebuah rencana diam-diam dari orang tua Grace. Mereka sangat mengenal keluarga Alex dan tahu betul bahwa putra Benjamin Carter itu bukan hanya tampan, tapi juga cerdas. Kesempatan untuk mendekatkan kedua anak itu semakin terbuka ketika perusahaan Mr. Benjamin sempat menghadapi masalah besar. Ayah Grace, yang saat itu memiliki pengaruh dan sumber daya, turun tangan membantu menyelamatkan perusahaan tersebut. Bagi keluarga Grace, bantuan itu bukan hanya soal bisnis ada harapan tersembunyi untuk menjodohkan putri mereka dengan Alex, apalagi mereka tahu betapa Grace menyukai pria itu sejak lama.

Jonathan Edward Parker.

Edward atau Ed, begitu orang-orang memanggilnya adalah kakak sekaligus tumpuan hidup bagi Isabella. Bagi Bella, Edward bukan hanya seorang kakak, tetapi juga keluarga satu-satunya yang tersisa di dunia ini.

Musibah itu terjadi bertahun-tahun lalu, saat orang tua mereka dan adik kedua mereka mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang dari Greeley City menuju Everton. Hari itu, Edward dan Bella kebetulan tidak ikut bersama mereka sebuah kebetulan yang menyelamatkan nyawa, tapi sekaligus meninggalkan luka mendalam. Di usia 13 tahun, Edward harus menerima kenyataan pahit menjadi yatim piatu, sekaligus memikul tanggung jawab menjaga Bella yang masih kecil.

Sejak saat itu, mereka tinggal di sebuah panti asuhan di kota Everton. Masa-masa sulit itu menempa Edward menjadi sosok kakak yang tangguh dan penuh kasih. Salah satu hal yang selalu memberinya semangat adalah musik. Musik menjadi pelariannya, juga tempatnya menyalurkan segala kegundahan yang tak pernah ia tunjukkan pada Bella.

Berkat kecintaannya pada musik, Edward memutuskan untuk menekuni dunia itu secara serius. Bersama beberapa sahabat, ia membentuk sebuah grup musik yang kini tampil secara rutin di Huckleberry Roasters Cafe. Di sana, setiap petikan gitarnya seolah bercerita tentang perjuangan hidupnya dan cinta yang tak tergantikan untuk adik satu-satunya.

Mr. Benjamin dan Ms. Victoria.

Tuan Benjamin Carter dan Nyonya Victoria Eleanor Bennett adalah orang tua Alex. Kehadiran Alex dalam hidup mereka menjadi anugerah yang tak ternilai, apalagi ia lahir ketika usia Victoria hampir menginjak 40 tahun. Benjamin dikenal sebagai pebisnis ulung, sementara Victoria adalah seorang desainer busana ternama yang kini memiliki butik sendiri di Lerimar Square sebuah butik yang kerap dikunjungi kalangan sosialita.

Hubungan keluarga mereka dengan keluarga Grace sudah terjalin cukup lama. Saat perusahaan Benjamin pernah terjebak dalam masalah besar, ayah Grace turun tangan membantu menyelamatkan bisnis itu. Sejak saat itu, Benjamin merasa ada utang budi yang tak pernah terbalas. Maka ketika muncul tawaran perjodohan antara anak-anak mereka, Benjamin menyetujuinya tanpa banyak pikir panjang.

Namun, keputusan itu diambil tanpa sepengetahuan Alex dan Grace, karena pada saat itu mereka masih terlalu kecil untuk memahami apa pun. Di balik kesepakatan tersebut, Victoria sebenarnya sempat merasa ragu. Ia tak sepenuhnya setuju dengan perjodohan, terutama karena melihat Alex masih anak-anak yang seharusnya bebas menentukan jalan hidupnya kelak. Namun sebagai istri, ia memilih mendukung keputusan suaminya dan menjaga keharmonisan kedua keluarga.

Ada Rasa Dalam Pandangan Pertama

Bella terbangun karena cahaya matahari yang menyilaukan menembus celah tirai jendelanya. Ia mengerang pelan, lalu memejamkan mata kembali. Namun, cahaya itu terus mengganggu. Dengan malas, ia membuka matanya dan melirik ke sekeliling kamar.

"Huaammhh... jam berapa sekarang, sih?" gumamnya sambil menguap lebar.

Pandangan matanya tertuju ke jam dinding—jarumnya menunjukkan pukul 09.00 pagi.

Tak lama, terdengar suara dari luar kamar, diiringi ketukan di pintu.

"Bell... Bella... Tok, tok, tok... Ayo bangun. Tok, tok, tok... Bella! Huh, susah amat sih dibangunin."

"Iyaaa, Bang Ed, aku udah bangun kok. Ada apa, sih? Kayak ada kebakaran aja!" sahut Bella setengah kesal.

Ia turun dari tempat tidur, berjalan malas ke arah pintu, dan membukanya sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.

"Ada apa sih, Bang?" tanyanya dengan nada malas.

Edward berdiri di depan pintu dengan wajah setengah serius.

"Gimana, katanya kamu mau ikut Abang ke toko musik? Ayo, siap-siap. Kata si Paul, ada toko musik baru buka di State Street. Katanya sih, tempatnya lumayan besar dan lengkap juga."

"Duh, Bang Ed... baru juga jam sembilan pagi," jawab Bella sambil menunjuk ke arah jam dinding di kamarnya.

"Aku juga belum nyiapin sarapan, belum bersihin kamar, belum beresin rumah. Walaupun cuma rumah kontrakan, tetap aja harus bersih dan rapi."

Rumah yang mereka tinggali adalah rumah kontrakan sederhana dengan tiga kamar kecil. Meski mungil, rumah itu cukup nyaman dan asri. Ada teras kecil di depan, halaman sempit yang dihiasi tanaman hias dan pohon peneduh, serta carport yang cukup untuk satu mobil tamu. Selain Bella dan Edward, terkadang Paul juga ikut menginap di rumah itu. Sebenarnya, Paul punya rumah sendiri warisan dari orang tuanya tapi karena lokasinya jauh dari tempat kerja, ia memilih tinggal bersama Edward yang kebetulan juga rekan kerjanya.

"Ah, sudahlah... Jangan pikirin sarapan atau beres-beres. Sekarang kamu mandi, terus kita langsung berangkat," kata Edward tegas, tapi nada suaranya tetap santai.

"Bang Ed... ngapain sih pagi-pagi amat? Paling juga tokonya baru buka jam sebelas. Daripada kita nunggu di sana lama, mending aku beresin rumah dulu. Lagian Abang juga belum sarapan, kan? Nanti maag-nya kambuh lagi."

Edward mendesah pelan, lalu menatap adiknya dengan ekspresi geli.

"Kamu tuh ya, persis ibu-ibu bawel. Udah waktunya cari calon suami, lho. Mau Abang cariin?" godanya sambil menyeringai.

"Pfft... justru abang yang harusnya cari calon istri! Ingat umur, Bang... udah 32 tahun, lho!" balas Bella sambil tertawa geli.

"Dasar anak ini, enggak mau kalah ya. Ya udah, kamu mau bikin sarapan apa? Kasih tahu Abang kalau udah siap, ya."

___

"William, saya ingin membahas jadwal pengiriman barang ke luar negeri minggu ini. Apa yang sudah kamu siapkan?"

"Saya sudah membuat daftar jadwal pengiriman, termasuk pengiriman ke Asia dan Eropa, Bos. Saya juga sudah menghubungi pihak logistik untuk memastikan bahwa semua barang sudah siap untuk dikirim."

"Coba saya ingin lihat daftar tersebut. Apa kamu sudah mengurus dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk ekspor, seperti Sertificate of Origin dan komersial invoicenya?"

"Sudah Bos. Saya juga sudah menghubungi pihak bea cukai untuk memastikan bahwa semua prosedur ekspor sudah dipenuhi."

 "Bagus. O,ya coba kamu pantau pengiriman barang dan pastikan bahwa semua barang sampai di tujuan dengan selamat. Apa kamu sudah menghubungi pihak logistik untuk memantau."

"Baik Bos, saya akan memastikan bahwa semua informasi tentang pengiriman sudah terupdate dan dapat diakses oleh tim."

"Baik, saya percaya kamu bisa melakukannya."

"Will, apakah ada hal lain yang perlu saya ketahui tentang jadwal minggu ini?"

 "Tidak ada, Bos. Saya sudah memastikan bahwa semua jadwal kerja sudah teratur."

"Ok, berarti siang ini rapat dengan klien tidak ada ya. Siang ini saya ada keperluan, kalau ada yang menanyakan, besok saja lansung ke ruangan saya."

"Baik Bos, apakah perlu saya antar Bos?"

"Tidak usah saya pergi sendiri saja."

___

"Bang, Bang Paul kemana? Dari tadi enggak kelihatan," tanya Bella sambil menengok ke sekeliling rumah.

"Dia pulang ke rumahnya dulu," jawab Edward santai.

"Oh, jadi kita berdua aja yang berangkat?"

"Iya, dia udah ke sana beberapa hari lalu. Kebetulan lewat State Street, katanya toko musik barunya lumayan lengkap. Makanya aku penasaran. Siapa tahu ada yang cocok kalau harganya pas, ya... bisa langsung dibeli."

"Iya, Bang. Siapa tahu juga masih ada harga promo, kan tokonya baru buka."

"Tapi kita enggak bisa lama ya. Sore nanti harus ke kafe."

"Tenang aja, aku cuma mau liat-liat dulu kok."

Setibanya di toko musik, Edward agak kesulitan mencari tempat parkir. Setelah berputar-putar, akhirnya ia menemukan satu slot kosong agak jauh dari pintu masuk.

Bella menunggu di teras toko, berdiri santai sambil sibuk membalas pesan di layar ponselnya. Jarinya menari di atas touchscreen sementara matahari pagi menyinari wajahnya yang segar tanpa riasan.

Edward berlari kecil menghampiri adiknya, lalu mereka berjalan masuk bersama.

"Wah, tokonya luas banget ya, Bang," ujar Bella penuh antusias.

Toko itu memanjakan mata para pecinta musik. Gitar berbagai jenis dan merek tergantung rapi di dinding. Deretan keyboard modern dan klasik berjajar di sisi kanan ruangan, sementara di sisi lain, rak-rak dipenuhi aksesoris musik, mikrofon, efek suara, hingga piringan hitam vintage. Aroma khas kayu dari gitar dan bau cat baru menyatu dengan musik instrumental lembut yang diputar dari speaker membuat siapa pun betah berlama-lama di dalamnya.

Bella melangkah ke bagian aksesoris, jemarinya sibuk memutar-mutar ujung rambut kebiasaan yang selalu muncul saat ia merasa bersemangat.

Sementara itu, Edward berdiri tak jauh dari sana, namun matanya tidak fokus pada alat musik. Ia memandangi seseorang dari kejauhan sosok yang terasa familiar. Seolah ia pernah melihat pria itu, entah di mana.

Tak lama, Bella meminta izin ke toilet. Edward mengangguk, masih larut dalam pikirannya.

Saat itulah, seorang pria muncul dari balik rak drum elektrik. Tingginya semampai, berkulit bersih, dengan wajah tegas namun bersahabat.

"Hai, maaf... apa kamu yang sering tampil di Huckleberry Roasters Café?" sapanya, suaranya hangat dan sedikit heran.

Edward sempat terkejut, tapi segera mengangguk.

"Ah, iya... betul. Itu aku."

"Perkenalkan, aku Alexander. Tapi panggil saja aku Alex. Namamu?"

"Aku Edward, atau biasa dipanggil Ed Tuan."

"Wah, jangan panggil aku 'tuan', ya. Kita kan seumuran. Berapa umurmu?"

"Umur? Hmm... tiga puluh dua."

"Tuh kan, aku tiga puluh tiga. Jadi udah sepantaran. Senang kenalan sama kamu, Ed."

"Eh, iya... maaf kalau tadi agak kaku. Aku emang nggak biasa diajak ngobrol santai sama orang baru."

"Enggak masalah. Aku juga terbiasa pakai bahasa formal di tempat kerja, kadang kebawa ke luar," jawab Alex, tertawa kecil.

"Kamu kerja di mana?"

"Aku manajer operasional senior perusahaan ekspor-impor internasional, tapi musik itu duniaku yang lain. Makanya aku betah nongkrong di cafe tempatmu tampil. Aku penikmat musik."

"Wah, makasih udah suka permainanku."

"Alat musik apa yang kamu kuasai?"

"Aku lumayan main gitar akustik. Tapi yang paling aku suka tetap... gitar."

"Kita sama berarti," sahut Ed dengan senyum.

Tak lama kemudian, Bella keluar dari toilet. Ia sempat celingukan mencari Edward. Saat pandangannya menangkap sosok kakaknya yang sedang berbincang dengan pria lain, langkahnya terhenti.

Sejenak Bella terpaku. Pria itu... siapa? Matanya membulat, hatinya terasa melompat.

Pria itu tampak begitu menawan dalam balutan jas hitam elegan dan kemeja putih bergaris yang pas membalut tubuh atletisnya. Ia tampak seperti seorang eksekutif muda yang sukses, namun senyumnya menyiratkan kelembutan dan keramahan.

Bella menghampiri keduanya.

"Bang, tadi aku nyariin. Ternyata di sini."

Edward menoleh. "Eh, Bell... kenalin ini temen baru abang."

Pria itu mengulurkan tangan dengan sopan, matanya yang biru terang menatap langsung ke arah Bella.

"Hai, aku Alex."

Bella tersenyum, sedikit gugup. "Aku Isabella. Tapi panggil saja Bella, Om."

Alex tertawa lepas. "Om? Waduh, setua itukah aku di matamu? Aku ini seumuran abangmu. Panggil aja aku Kak Alex, ya."

Bella tersenyum malu. Suara Alex terdengar begitu nyaman, dan cara dia memandangnya membuat waktu seakan melambat sesaat.

Dalam hati Bella, ada rasa yang tak bisa ia namai. Sesuatu yang hangat dan samar, seperti desir pertama jatuh cinta.

Menulis Diari

Alex dan Edward sudah cukup lama tenggelam dalam obrolan topiknya tak jauh-jauh dari musik. Suasana di dalam toko seolah hanya milik mereka berdua. Gelak tawa ringan dan antusiasme mereka membuat Bella merasa tersisih. Ia pun memilih menjauh pelan-pelan dan berpura-pura tertarik melihat barang-barang promo di rak sebelah. Namun, sesekali matanya tetap mencuri pandang ke arah Alex. Entah mengapa, ada sesuatu yang berbeda ia rasakan dalam hatinya perasaan yang belum pernah muncul sebelumnya.

Tak terasa waktu merambat cepat. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore ketika Edward memanggil adiknya.

"Bel, ayo pulang!" serunya.

Alex menoleh dan bertanya, "Sebenarnya kalian ke sini mau beli apa, sih?"

Edward menjawab santai, "Aku lagi cari efek gitar yang original. Tapi kayaknya belum ada diskon, harganya masih normal."

"Memangnya berapa harganya?" tanya Alex dengan alis sedikit terangkat.

"Kalau yang kualitasnya bagus, sekitar 1230 dolar."

Alex mengangguk pelan. "Emang sepenting itu buat kerjaanmu?"

"Menurutku sih, penting banget," jawab Edward mantap.

Alex tersenyum kecil, lalu berkata, "Kalau gitu, tunjukkan padaku di mana letaknya. Aku mau beliin untukmu."

Edward langsung mengangkat tangan, menolak dengan gugup. "Eh, enggak usah, Lex. Nanti aja, aku masih nunggu promo. Siapa tahu harganya bisa turun."

"Nunggu promo enggak jelas kapan, bisa aja lima tahun lagi," ujar Alex sambil tertawa kecil, lalu menarik tangan Edward dengan santai. "Ayo, tunjukin di mana letaknya."

Edward sempat ragu, tapi hatinya tidak kuasa menolak. Toh, ia memang sudah lama menginginkan efek gitar itu. Dan kini, benda itu akhirnya menjadi miliknya.

"Thank you, Lex... rasanya ini terlalu berlebihan. Aku jadi enggak enak hati. Gimana aku harus membayarnya? Lagi pula, kamu sendiri enggak beli apa-apa di sini."

Alex hanya mengangkat bahu santai. "Bayarnya gampang. Ajarin aku main musik aja, itu cukup."

Edward tersenyum heran. "Serius? Kamu cuma lihat-lihat tadi, bahkan baru tahu ada toko musik di sini."

"Iya. Tapi sekarang aku jadi tahu, dan dapat teman baru yang jago main musik. Win-win lah."

Alex menepuk bahu Edward dengan ringan. "Oke, Ed. Aku juga mau pulang. Yuk, kita keluar bareng."

Mereka pun meninggalkan toko musik itu bersama. Di lobi depan, Alex menoleh dan bertanya, "Kalian ke sini naik apa? Mau aku antar pulang?"

Edward langsung menggeleng. "Enggak usah repot, Lex. Aku naik motor sama Bella."

Alex tersenyum, lalu menjabat tangan Edward. "Sekali lagi, senang bisa ketemu kamu hari ini. Kalau kamu main musik dan butuh partner, kabari aku, ya."

"Siap, pasti. Eh, nomor WhatsApp kamu berapa?"

Mereka pun saling bertukar nomor, menandai awal dari pertemanan yang tak disangka-sangka.

Sementara itu, Bella sejak tadi hanya berdiri sedikit menjauh, namun pandangannya tak lepas dari Alex. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik pria itu, seakan menyimpan sesuatu dalam diam.

Ketika Edward menyalakan motor dan bersiap pergi, Bella tiba-tiba menahannya.

"Tunggu, Bang. Itu... Kak Alex kayaknya nyetir ke arah kita."

Benar saja, mobil Cadillac hitam milik Alex melaju pelan ke arah gerbang keluar, melewati tempat mereka berdiri. Kaca mobilnya terbuka, dan Alex melambaikan tangan sambil membunyikan klakson ringan.

"Hati-hati di jalan!" serunya, disertai senyum lebar yang memancarkan karisma.

Senyum itu entah kenapa membuat jantung Bella berdetak lebih cepat dari biasanya.

‘Perasaan apa ini...?’ batinnya resah, menatap mobil Alex yang semakin menjauh, namun meninggalkan kesan yang belum bisa ia pahami.

___

Mobil melaju menuju perumahan elite. Sampai tiba didepan pagar rumah mewah yang terbuat dari besi dan kayu solid. Pagar tersebut memiliki tinggi sekitar 3 meter dan dihiasi dengan tanaman hijau yang rapi. Di sebelah kiri pagar, terdapat pos security.

Mobil meluncur perlahan-lahan menuju gerbang rumah. Security tersebut segera mengangkat radio komunikasi dan berbicara dengan seseorang di dalam rumah.

Setelah beberapa detik, gerbang pagar terbuka secara otomatis, dan mobil tersebut memasuki halaman rumah. Security tersebut mengucapkan salam kepada Alex

Mobil meluncur perlahan-lahan menuju garasi rumah, yang terletak di sebelah kanan bangunan utama. Setelah mobil memasuki garasi, gerbang pagar tertutup secara otomatis, dan security tersebut kembali memantau keamanan sekitar.

___

Sekitar empat puluh menit kemudian, Edward dan Bella tiba di rumah. Edward langsung membawa efek gitar barunya ke dalam kamar. Rasanya seperti mimpi benda yang selama ini hanya bisa ia impikan, kini resmi jadi miliknya. Gratis pula. Ia menatap kotaknya lama, seolah belum percaya.

“Terima kasih, Tuhan,” gumamnya lirih. “Dan... terima kasih, Alex. Orang kaya, tapi hatinya enggak di atas awan.”

Langit mulai meremang. Waktu menunjukkan hampir pukul lima. Saatnya Edward bersiap untuk berangkat ke kafe. Semua alat musik bandnya sudah ada di sana tinggal membawa gitar listrik kesayangannya yang kini semakin lengkap berkat tambahan efek baru.

Ia keluar kamar sambil menggendong ransel. "Bel, ayo berangkat!" panggilnya.

Bella keluar dari kamarnya, masih mengenakan daster, rambutnya pun masih digerai seadanya.

"Lho, kamu kenapa belum siap?" tanya Edward heran.

Bella menunduk sedikit, lalu tersenyum manja. "Bang, hari ini aku nggak ikut, ya."

"Hah? Kenapa? Kamu sakit?" Nada suara Edward berubah khawatir.

Bella menggeleng pelan. "Enggak, cuma pengin libur aja. Please... please... kasih aku cuti sehari."

Edward tertawa kecil. "Ya udah, kamu istirahat aja di rumah."

"Oh iya, bekal sama vitaminnya udah aku masukin ke ranselmu. Tadi juga aku bikin pastel ayam, tolong dibagi ke anak-anak band, ya."

Edward melongo sejenak, terharu. "Siap, chef Bella!"

Sambil berjalan ke pintu, Edward menoleh sambil menunjuk ke arah kamarnya. "Eh, Bel... efek gitar yang tadi, tolong jangan disentuh dulu. Tunggu yang punya pulang kerja, ya!" candanya sambil nyengir lebar.

Bella mencibir gemas. "Huh! Siapa juga yang mau utak-atik! Inget, itu hasil traktiran!" katanya sebelum kembali masuk dan menutup pintu kamarnya.

Edward tertawa lepas. "Dasar bocah!"

"Bell, aku berangkat dulu ya! Jangan lupa kunci pintunya dari dalam!" serunya sambil melangkah pergi.

---

Di dalam kamarnya yang sunyi, Bella berbaring menatap langit-langit. Hatinya masih tertinggal di toko musik tadi. Bukan karena alat-alatnya. Tapi karena... seseorang.

“Kenapa aku terus kepikiran cowok tadi, sih?” batinnya gelisah.

Ia bangkit dan mengambil benda yang selalu bisa diandalkan untuk menuang isi hati: buku diary kesayangannya.

Lembaran baru dibuka. Pena di tangan pun mulai menari.

---

Dear Diary...

Hari ini, aku bertemu seseorang yang... entah bagaimana, rasanya sulit dilupakan.

Namanya Alexander.

Dia seperti karakter utama di novel-novel favoritku gagah, elegan, tenang... dan punya aura yang sulit dijelaskan. Tatapan matanya bikin jantung deg-degan, tapi bukan yang menyeramkan, lebih ke... bikin nyaman.

Dia bukan cuma ganteng, tapi juga sopan dan hangat. Pembawaannya dewasa, tapi enggak sok tua. Obrolan kami tadi walau singkat, rasanya menyenangkan banget. Aku bahkan sempat berpikir, aku bisa ngobrol sama dia seharian tanpa bosan.

Tapi... satu hal yang bikin aku ragu kami beda usia cukup jauh. Entahlah, masuk akal atau enggak, tapi aku takut berharap terlalu jauh. Apa mungkin ini cuma perasaan sesaat? Atau... aku memang sedang jatuh hati?

Yang jelas, hari ini... hatiku terasa hangat. Dan aku senang sekali bisa mengenal dia. ❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!