"Nayla !"
Suara cempreng dari seorang gadis membuyarkan lamunan Nayla Zahira Aditama. Gadis berusia 17 tahun itu sontak menoleh, menepis rasa gugup yang masih melekat di wajahnya. Dengan cepat matanya menangkap sosok gadis berkacamata dengan rambut sebahu yang berlari tergesa, diikuti seorang gadis berhijab yang tersenyum sambil sedikit terengah.
Nayla tersenyum kecil. Rasanya familiar dan menenangkan melihat dua sahabatnya itu.
"Baru sampai Nay?" tanya si gadis berkacamata, Tania Wijaya yang memang dikenal cerewet dan blak-blakan.
"Iya, kalian juga baru, ya?" sahut Nayla ringan.
"Udah dari tadi malah. Kita nungguin kamu di depan gerbang, tapi gak muncul-muncul juga. Tiba-tiba aja kamu udah di parkiran," jawab Tania, melirik curiga.
Alika Ramadhani yang berdiri di sampingnya ikut mengangguk. "Tadi kamu bareng siapa ke sekolah? Kayaknya bukan mobil bokap kamu, deh," tanyanya sambil mempersempit jarak seolah ingin lebih tahu.
Nayla langsung mematung beberapa detik. Ia tak tahu harus menjawab apa.
"Eh… itu… cuma nebeng, kok," ucapnya ragu, memalingkan pandangan.
"Itu siapa? Jangan-jangan kamu pindah hati dari Dafa?" celetuk Tania dengan ekspresi menggoda, alisnya naik-turun seperti ingin menggali rahasia terdalam Nayla .
"Apaan, sih! Bukan, 'lah. Itu, tuh...."
"Hai Nay!"
Suara familiar milik Dafa memotong percakapan mereka. Spontan ketiganya menoleh.
"Hai, Daf," sahut Nayla singkat, berusaha menjaga nada suara agar tetap netral.
"Lama gak ketemu, aku kangen, Sayang. Liburan ke mana aja?" tanya Dafa sambil mengusap lembut kepala Nayla . Sentuhan itu terasa asing di kulit kepala Nayla , padahal dulu adalah hal biasa.
Nayla tersenyum kecil. "Gak ke mana-mana. Cuma nemenin Kakek sama Nenek aja," jawabnya datar sambil mulai melangkah pelan menuju gedung kelas.
Dafa mengikuti di sampingnya, seolah tak menyadari perubahan sikap Nayla . "Pantesan waktu itu aku ke rumah kamu tapi kamu gak ada. Nyokap kamu bilang kamu pergi," lanjutnya.
"I-iya," balas Nayla, sedikit gugup. Ia melirik sahabatnya. "Udah, ya Daf. Aku ke kelas dulu. Yuk, Nia, Lika!" ujarnya lalu menarik tangan Tania dan Alika agar segera masuk.
"Entar kita makan bareng pas istirahat, ya?" teriak Dafa saat mereka hampir masuk kelas.
"Eeem… lihat nanti, ya Daf. Takutnya aku udah janji tapi gak bisa," jawab Nayla setengah hati.
"Gak masalah, Sayang," ucap Dafa santai sebelum akhirnya pergi setelah kembali mengelus kepala Nayla .
Setelah Dafa pergi, ketiga sahabat itu duduk di bangku mereka.
"Lo kenapa Nay? Kok gue liat lo agak beda ke Dafa. Kalian abis cekcok?" tanya Tania langsung, seperti biasa tanpa basa-basi.
"Gak kok gue gak hindarin dia," elak Nayla cepat.
"Yakin? Lo liat juga kan Lika? Sikap Nayla ke Dafa gak kayak biasanya," Tania menoleh ke Alika .
"Iya sih. Biasanya kalian lengket kayak perangko," tambah Alika sambil memperhatikan ekspresi Nayla yang tampak canggung.
"Ah gak! Gue dan Dafa baik-baik aja," Nayla mencoba tetap tenang, walau hatinya mulai tak karuan.
"Tap...!"
"EVERYBODY SEMUANYAAAA!"
Suara melengking khas Zia langsung memecah keheningan kelas. Tania langsung memutar matanya malas.
Zia atau Kezia Nathania masuk dengan gaya khasnya yaitu melambai-lambaikan kipas tangan pink dan langkah seperti di runway. Tak butuh waktu lama untuk menarik perhatian seluruh kelas.
"Kalian tau gak? Ada berita baru loh!" serunya antusias.
"Apa Zia?" tanya Nia dari barisan bangku depan.
"Guru baru gantiin Pak Yoko! Ganteng parah, dan katanya masih jomblo!" jawab Zia dramatis.
"Galak gak tuh?" celetuk seorang siswa dari belakang.
"Galak atau gak, gak penting. Yang penting enak dipandang biar semangat ngerjain soal MTK," balas Zia cepat. Beberapa siswi langsung tertawa dan mengangguk setuju.
"Dia dapet info dari mana sih?" bisik Alika ke Nayla dan Tania.
"Kayaknya punya orang dalam," sahut Tania santai.
"Dia cucu kepala sekolah, wajar aja tau semua kabar," timpal Nayla, mengingatkan.
"Oh iya! Duh gue bisa lupa," Tania nyengir dan garuk-garuk kepalanya.
Nayla hanya tersenyum kecil. Ia kemudian membuka buku catatannya yang masih bersih.
"Menurut gue sih guru baru atau lama sama aja. Kalo emang gak suka pelajarannya, ya tetap aja gak suka," komentarnya sambil mencoret-coret sudut buku.
"Jangan gitu Nay. Siapa tau guru barunya bisa bikin lo berubah pikiran soal MTK," kata Tania.
"Kayaknya gak deh. Gue dari dulu juga trauma sama angka," balas Nayla malas.
"Pamali loh. Siapa tau nilai kamu bisa naik. Jangan ngomong yang negatif terus," nasihat Alika .
"Ustadzah mode aktif, nih," bisik Tania.
"Eh, ini beneran," bela Alika dengan cemberut.
Tawa kecil keluar dari mulut mereka bertiga, tapi tak berlangsung lama karena...
"HEI! ADA KEPALA SEKOLAH!" seru Rudi, ketua kelas.
Semua siswa refleks duduk rapi di bangku masing-masing. Bahkan Zia pun langsung duduk dengan manis walau masih sempat membetulkan rambutnya.
"Selamat pagi, Anak-anak," sapa Kepala Sekolah saat memasuki kelas.
"Selamat pagi, Pak," jawab mereka kompak.
"Pak Yoko pindah tugas ke Singapura. Mulai hari ini, kalian akan diajar oleh guru baru. Silakan masuk Pak."
Semua kepala serempak menoleh ke arah pintu.
Tap Tap Tap
Langkah pelan namun pasti terdengar dari arah pintu. Sepatu pantofel menginjak lantai keramik dengan ritme tenang. Tak lama, sosok pria berperawakan tinggi, berkulit bersih, dan berwajah tegas namun ramah, masuk ke ruangan.
Spontan, hampir semua siswi menahan napas. Tania mencolek lengan Nayla .
"Eh Nay, liat deh!" bisiknya tergesa.
"Apa sih?" jawab Nayla malas.
"Itu guru MTK kita yang baru? Wajahnya tuh duh!" Tania menepuk-nepuk dadanya sendiri sambil tersenyum lebar.
Nayla hanya memutar bola matanya dan kembali menunduk, pura-pura sibuk menulis.
"Silakan perkenalkan diri, Pak," ucap Kepala Sekolah.
"Terima kasih, Pak," balas pria itu sopan.
Deg!
Seketika jantung Nayla seperti jatuh ke perut. Ia spontan menengadah dan menatap pria di depan kelas.
"Perkenalkan, nama saya Rayyan Alvaro Mahendra. Umur saya dua puluh lima tahun. Saya guru pengganti Pak Yoko. Saya berharap kita bisa bekerjasama dengan baik."
Nayla membeku. Wajah itu, suara itu, senyum itu, semuanya terlalu familiar.
Apa yang dia lakukan di sini?!
Pertanyaan itu berputar-putar dalam benak Nayla. Napasnya mulai tak beraturan. Apalagi saat tatapan Rayyan menembus langsung ke arahnya, disertai senyum tipis yang hanya mereka berdua pahami artinya.
Kepala Sekolah lalu menyerahkan kelas pada Rayyan dan berpamitan keluar.
"Baik, sebelum kita mulai pelajarannya, saya absen dulu," ucap Rayyan sambil membuka buku. Tapi belum sempat menyebut satu nama pun, tangan seseorang terangkat tinggi.
"Ada apa?" tanya Rayyan menoleh.
"Saya Kezia Nathania, cucu Kepala Sekolah. Boleh tanya satu hal?"
"Silakan."
"Pak masih single?"
Rayyan tersenyum. "Sepertinya itu tidak berhubungan dengan pelajaran kita."
"Tapi penting dong. Kita harus tahu status guru kita. Biar kalau ada yang pengen curhat atau nanya PR, kita bisa tau batasan. Ya gak teman-teman?"
"Setuju!" jawab para siswi kompak sambil tertawa.
"Jadi udah punya pacar belum, Pak?" tanya Zia dengan mata berbinar.
Rayyan menarik napas pelan. "Saya tidak punya pacar."
Kelas langsung riuh. Para siswi bersorak, beberapa bahkan sampai berdiri dari tempat duduk.
Namun Rayyan melanjutkan dengan kalimat pendek yang membuat semuanya terdiam.
"Tapi saya sudah punya istri."
Kelas mendadak senyap. Zia tampak terkejut, mulutnya setengah terbuka. Sebagian besar siswi mendesah kecewa.
Namun bukan Nayla namanya jika tak memberikan reaksi yang berbeda. Ia mematung, matanya membelalak. Bukan karena patah hati. Tapi karena kalimat itu disampaikan sambil menatapnya langsung tepat di kedua matanya.
Dan senyum di wajah Rayyan? Masih sama, masih sulit ditebak. Tapi entah kenapa, hanya Nayla yang bisa merasakannya senyum seorang suami pada istrinya.
Nayla melirik ke sekeliling, khawatir jika ada yang memperhatikan tatapan si guru baru yang terasa terlalu intens padanya. Ia akhirnya menarik napas lega saat menyadari tidak ada satu pun siswa yang menyadari arah pandang Rayyan. Dengan perasaan sedikit lega, Nayla kembali memandang pria itu dengan tatapan kesal. Sementara Rayyan hanya membalasnya dengan senyum menyebalkan yang terkesan menggoda.
Nayla nyaris membelalakkan mata. "Apa-apaan sih dia!" rutuknya dalam hati. Kesalnya meningkat, baik kepada pria di depannya maupun pada hidupnya yang rasanya makin aneh sejak pagi ini.
"Yaaah, ternyata udah punya istri," celetuk seorang siswi, kecewa.
Rayyan hanya bereaksi datar, sama sekali tak terganggu. “Ada lagi yang ingin ditanyakan? Kalau tidak, kita mulai pelaj...”
“Pak!” seru Zia mengacungkan tangan tinggi-tinggi.
Rayyan memandang Zia tajam. “Ada apa lagi, Kezia?” tanyanya, jelas terdengar malas.
“Apa Bapak ada niat buat nambah istri? Siapa tau di sini ada yang rela jadi istri kedua,” ujar Zia tanpa rasa bersalah.
“Huuuuu!!” Suara sorakan langsung menggema.
“Apa? Gue cuma nanya, kok,” balas Zia, santai menatap teman-temannya.
Rayyan menghela napas panjang, mencoba menahan kesal yang mulai menguar. “Maaf, untuk saat ini saya belum ada rencana menambah istri. Saya ingin menjaga perasaan istri saya,” ucapnya, kali ini sembari melirik ke arah Nayla .
Nayla semakin panik karena kembali menjadi pusat perhatian guru itu. “Nay, lo ngerasa gak sih kalau Pak Rayyan dari tadi ngeliatin kita?” bisik Tania.
Nayla seketika menegang. Ia buru-buru melirik Rayyan, yang kini tampak menatap Zia. “Lo salah lihat kali Nia. Buktinya sekarang dia gak ngeliat ke arah kita,” sanggah Nayla, mencoba meyakinkan.
Tania menatap ke depan, lalu mengangguk kecil. “Berarti nanti-nanti bisa aja dong ada rencana ke sana, Pak?” pancing Zia lagi.
Rayyan menarik napas berat. “Baik kita cukupkan sesi tanya-jawabnya. Sekarang saya mulai absen,” ucapnya seraya meraih daftar nama.
Satu per satu siswa disebut. Hingga akhirnya...
“Nayla Zahira Aditama .”
“Iya, Kak.”
Seketika suasana kelas hening. Semua mata tertuju pada Nayla .
Rayyan tersenyum geli, sementara Tania memelototi sahabatnya. “Lo barusan manggil Pak Rayyan apa, Nay?”
“Hah? Emang kenapa?”
“Lo manggil dia ‘Kak’. Sadar gak sih?”
Nayla membelalakkan mata. “Gak ah. Gue manggil ‘Pak’ kok.”
“Tapi semua orang denger Nay!” Tania tak kalah yakin.
“Serius gue gak sadar...” gumam Nayla, mulai malu sendiri.
“Sudah! Yang di belakang jangan ribut! Kalau masih ingin mengikuti pelajaran saya, diam!” suara Rayyan terdengar lebih keras, membuat kelas kembali tenang. Nayla dan Tania langsung menunduk malu.
Saat itu, Nayla menutup mata sejenak. Pikiran dan ingatannya kembali melayang ke kejadian dua minggu lalu...
“Ada apa Yah?” tanya Nayla yang tengah membantu ibunya memasak di dapur.
“Kakek kamu telpon, katanya pengen ketemu,” jawab Tama, ayahnya.
“Kenapa gak nelpon aku langsung?” tanya Nayla , heran.
“Tadi sempat telpon tapi HP kamu gak aktif.”
“Oh iya. Lupa lagi dicas jadi dimatiin,” jawab Nayla tersenyum.
“Makanya, jangan main HP terus!” semprot Manda, ibu sambungnya sambil melirik sinis.
Senyum Nayla langsung menghilang. Tama mencoba menengahi. “Man anak zaman sekarang ya pasti begitu, jangan disamakan sama kamu.”
“Eh kok jadi bawa-bawa aku! Aku cuma nasehati aja,” ujar Manda.
Tama menghela napas. “Udah Nay. Nanti setelah bantu Mama, kita langsung berangkat ya?”
Nayla mengangguk. Tama menoleh ke istrinya. “Kamu ikut ke rumah Ayah Man?”
“Gak ada acara sama ibu-ibu komplek,” tolak Manda.
“Ya udah.”
“Heh! Jangan melamun! Cepet selesaikan kerjaannya! Mama gak mau Pandu kelaparan!” teriak Manda.
“Iya Ma.”
Tama yang sempat hendak kembali untuk memberi sesuatu ke Nayla mengurungkan niatnya ketika melihat Manda sedang memarahinya. Ia hanya bergumam dalam hati, “Maafkan Ayah Nay...”
Dalam perjalanan.
“Sebenarnya Kakek kenapa sih Yah? Kok Ayah sampai nginep?” tanya Nayla .
“Cuma kurang enak badan. Tapi katanya kangen kamu juga.”
Nayla tersenyum kecil.
Setengah jam kemudian mereka tiba di rumah keluarga besar. Dua mobil sudah terparkir di halaman. “Kok rame? Kakek ada tamu ya?”
“Mungkin.”
Setelah masuk, mereka disambut tiga orang asing. Salah satunya adalah pria muda yang dari tadi menatap Nayla .
“Nayla, kenalin ini Hendra dan Mila, anak sahabat Kakek dulu,” ucap Herman .
Nayla menyapa sopan. “Cantik banget,” puji Mila.
“Terima kasih Tante.”
“Ini anak Tante, namanya Rayyan ,” lanjut Mila.
Rayyan dan Nayla saling berjabat tangan. “Rayyan .”
“Nayla .”
Malam harinya
Nayla menyuguhkan teh pada sang Kakek. Namun, suasana berubah saat Herman mulai bicara soal masa lalu.
“Dulu Kakek dan sahabat Kakek sepakat menjodohkan anak. Tapi karena anak kami sama-sama laki-laki, akhirnya kami ingin menjodohkan cucu.”
Nayla langsung tak nyaman.
“Hendra datang untuk melamar kamu Nay. Menikah dengan Rayyan.”
Deg!
Hati Nayla terasa terhenti. “Tapi aku masih sekolah, Kek...”
“Semua bisa diatur yang penting kamu bahagia. Kakek cuma ingin melihat kamu hidup layak sebelum Kakek pergi.”
“Kakek jangan ngomong gitu,” lirih Nayla .
“Kamu sudah cukup sabar dengan perlakuan Manda. Kakek cuma ingin kamu bebas.”
“Aku bisa tinggal di sini Kek.”
“Tapi kamu gak pernah benar-benar pindah. Kamu pulang karena Ayah kamu. Sekarang saatnya kamu pikirin dirimu.”
Rena nenek Nayla, masuk ke ruangan. “Ayah kamu juga setuju Nayla .”
“Ayah?” gumam Nayla .
Tama mengangguk. “Rayyan anak baik. Ayah yakin dia bisa bahagiakan kamu.”
Seminggu kemudian
Pernikahan sederhana itu pun dilangsungkan hanya keluarga dan kerabat dekat.
“Nak Rayyan, Ayah titip Nayla . Dia anak baik cuma kadang keras kepala,” ucap Tama.
“InsyaAllah Yah. Saya akan jaga dan bimbing dia.”
Nayla menatap keluarganya satu per satu, lalu masuk ke dalam mobil. “Kami pamit. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Nay! Lo mikirin apaan sih?” sentak Tania sambil menepuk bahu Nayla .
“A-apa?”
“Pak Rayyan manggil lo ke depan, buat ngerjain soal!”
Nayla menoleh dan melihat soal di papan tulis. “Mampus!” desisnya.
“Nayla Zahira Aditama ! Cepat maju ke depan!” suara Rayyan menggelegar.
Nayla berjalan dengan gugup. Ia sama sekali tidak menyimak pelajaran tadi.
“Ayo kerjakan!”
Nayla menelan ludah, lalu menoleh pelan. “Maaf, Pak. Saya tidak bisa,” ucapnya sambil menyunggingkan senyum manis.
Rayyan menatap tajam. “Bagaimana bisa tidak bisa! Saya sudah jelaskan tadi! Jangan melamun kalau sedang belajar!”
Nayla tertunduk. “Gara-gara Kakak juga ini!” rutuk nya dalam hati.
“Sudah, duduk kembali! Andre, kamu yang kerjakan.”
Nayla menyerahkan spidol lalu duduk. Tapi sebelum sampai tempat duduknya...
“Dan kamu, Nayla ! Istirahat nanti ke kantor! Temui saya!”
Nayla memejamkan mata. “Mampus gue…”
Nayla mengembuskan napas panjang. Ia kemudian berbalik dan menatap Rayyan.
"Baik, Pak."
"Bagus.
"Saya boleh duduk?" tanya Nayla yang langsung diangguki oleh Rayyan.
Nayla berjalan dengan lemas ke mejanya, ia kemudian duduk di sana di mana Tania dan Alika tengah menatapnya dengan pandangan iba.
"Sabar ya Nay," ucap Alika yang duduk di belakang. Nayla hanya mengangguk.
"Lagian Lo lagi mikirin apa, sih? Dari tadi ngelamun terus," tanya Tania.
"Gue gak lagi mikirin apa-apa, kok," jawab Nayla, berbohong.
"Jangan-jangan nyokap tiri Lo makin semena-mena ya?" tebak Tania yang sudah tau bagaimana nasib sahabatnya itu.
"Gak kok cuma lagi banyak pikiran aja," jawab Nayla.
"Kalo ada masalah cerita dong Nay. Kali aja kita bisa bantu ya kan Nia," ucap Alika.
"Bener," sahut Tania.
Nayla tersenyum kecut. "Gimana gue mau cerita, kalau gue ini udah nikah sama cowok nyebelin yang sekarang jadi guru Matematika itu," gumam Nayla dalam hati, merenungi nasibnya. Ia yang harusnya bebas menikmati masa remajanya malah jadi istri dan harus nurut dengan suami.
"Yang di belakang! Diam dan dengarkan!" ucap Rayyan tegas sambil menatap ke arah Nayla dan kedua sahabatnya.
Nayla, Tania, dan Alika langsung diam. Mereka menatap ke depan dan mulai memperhatikan penjelasan dari Rayyan. Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul 10.00 tepat. Suara bel tanda istirahat berbunyi, membuat para siswa bernapas lega.
"Baiklah, pelajaran cukup sampai sini. Lusa kita ulangan harian, jadi persiapkan diri kalian."
"Yah! Masa udah langsung ulangan, sih, Pak?" protes seorang siswa.
Rayyan menatap tajam siswa itu. "Saya tidak menerima penolakan. Terima kasih, sampai jumpa lusa!" ucapnya tegas lalu keluar kelas.
"Huft! Gila tuh, Guru! Wajahnya aja kayak malaikat, ngajarnya kayak malaikat pencabut nyawa," celetuk Tania bergidik.
"Emangnya Lo udah pernah diajar malaikat pencabut nyawa, Nia?" tanya Alika polos.
"Itu ibarat, Lika!" ucap Tania kesal.
"Tapi emang ya, Pak Rayyan serem. Baru masuk udah mau ulangan aja," ucap Lisa.
"Mana suasana jadi kayak uji nyali di kuburan," ucap Nana.
"Iya setuju banget. Gue gak jadi suka sama Pak Rayyan deh," timpal Lisa.
"Lagian Pak Rayyan udah punya istri juga," sahut Nana.
"Tapi gak masalah, yang penting cakep. Asal kita fokus waktu dia ngajar aman," ucap Zia.
"Kalau disuruh ngerjain soal gimana? Entar kayak Nayla lagi," ucap Nana.
"Iya gimana tuh?" sambung Lisa.
Nayla tidak memperdulikan semua ucapan teman-temannya. Ia bangkit setelah membereskan barang-barangnya lalu berjalan keluar.
"Mau ke mana Nay?" tanya Tania.
"Gue mau ke kantor. Takutnya Pak Rayyan makin marah," jawab Nayla.
"Mau kita temenin gak?" tawar Alika.
Nayla menggeleng. "Gak usah."
"Oke kita tunggu di kantin ya! Gue laper," ucap Tania. Nayla mengangguk.
"Mau kita pesenin sesuatu dulu?" tanya Alika.
Nayla diam sejenak. "Boleh, siomay-nya Pak Slamet aja ya."
"Oke entar gue pesenin," sahut Alika.
"Doain gue, semoga Pak Rayyan gak hukum gue berat-berat," ucap Nayla.
"Sip!" seru Alika dan Tania sambil mengacungkan jempol.
Nayla berjalan ke kantor guru. Setelah melihat Rayyan di meja dekat jendela, Nayla mendekat. Rayyan yang tadinya menatap keluar, kini menoleh.
"Duduk!" ucap Rayyan tegas.
"Terima kasih Pak," ucap Nayla sambil duduk.
"Apa kamu tau kesalahanmu?" tanya Rayyan.
"Karena saya tidak bisa jawab tugas tadi," jawab Nayla pelan.
"Apa hanya itu?" tanya Rayyan lagi, tatapannya tajam.
Nayla mengerutkan keningnya, bingung.
"Baik saya bantu ingatkan. Pertama, kamu panggil saya 'Kak'. Kedua, kamu melamun. Ketiga, kamu tidak bisa jawab soal."
Nayla mengembuskan napas panjang. "Maafkan saya, Pak."
"Ingat! Ini sekolah, jangan lupa status kamu," ucap Rayyan tajam.
"Baik, Pak," Nayla menunduk.
"Kalau kamu masih gak bisa jawab tugas, hukumannya akan lebih berat."
Nayla bingung. "Memangnya saya mau dihukum apa Pak?" tanyanya polos.
"Sepertinya kamu sangat ingin tau," ucap Rayyan menatap dalam.
Nayla geleng cepat. "Bu-bukan begitu, Pak. S-saya hanya..."
Rayyan menghela napas, mengambil buku catatannya dan meletakkannya di depan Nayla.
"I-ini apa, Pak?"
"Pelajari semua isi buku itu. Besok saya beri kamu soal."
Nayla membuka buku itu. Matanya membelalak melihat isi penuh angka dan rumus.
"Yang mana yang harus saya pelajari, Pak?"
"Semuanya."
"Apa? Jangan bercanda dong, Kak!" celetuk Nayla spontan.
Tatapan Rayyan langsung tajam. Nayla sadar, ia salah lagi. Ia menunduk dalam, meminta maaf pada guru-guru lain yang melihat.
"Pelajari semua. Tugasnya saya kasih nanti malam!"
Mata Nayla melebar. "Yang bener aja, Pak? Tadi katanya besok?"
"Itu karena kamu melanggar lagi. Sekarang kamu boleh pergi."
Nayla menatap Rayyan yang kembali sibuk.
"Saya permisi, Pak."
"Hm."
Nayla keluar dan menuju kantin. Tania duduk di meja dengan tiga minuman. Ida masih di gerobak Pak Slamet.
"Lama amat si Nayla. Jangan-jangan dia kenapa-kenapa," ucap Tania gelisah.
"Ah kayaknya gak. Di kantor juga banyak orang," ucapnya lagi.
"Kenapa Nia?" tanya Alika sambil membawa tiga piring siomay.
"Gak apa-apa cuma khawatir aja."
Alika menatap ke pintu kantin. "Atau dia ketemu Dafa, makanya lama?"
Tania mengangkat bahu. Mereka mulai makan, hingga seseorang duduk di depan mereka.
Nayla.
"Kok lama amat sih Nay?" tanya Tania.
"Iya," jawab Nayla lemas.
"Lo kenapa? Dan itu apa?" tanya Alika menunjuk buku.
"Buku catatan Pak Rayyan. Gue disuruh pelajarin semua ini dalam sehari," keluh Nayla.
Tania membuka buku itu. "Bercanda 'kan?"
"Siapa yang bercanda, Nia!" Nayla kesal.
"Wah parah banget Pak Rayyan, bener-bener sadis," ucap Tania.
"Ada apa, nih? Kok pada tegang?" tanya seseorang yang duduk di sebelah Nayla.
Ditempat Lain
"Yah Zia! Katanya guru baru kita masih single, tapi nyatanya udah punya istri," seru Lisa.
"Ya mana gue tau. Tapi gak masalah juga. Dia bisa nambah," ucap Zia.
Lisa melotot. "Lo mau jadi pelakor?"
"Kenapa gak? Kalau cowoknya kayak Pak Rayyan, gue siap," jawab Zia.
"Parah lo!"
"Biarin," sahut Zia cuek.
"Tapi kalo kakek Lo tau?"
"Makanya jangan bilang siapa-siapa," bisik Zia.
"Oke, oke."
Di Kantin
Nayla menatap orang di sekitarnya. "Dafa?"
Dafa tersenyum. "Kamu kenapa Sayang?"
"Gak kenapa-kenapa kok."
"Kamu dihukum Pak Rayyan ya?" tanya Dafa.
"Gak disuruh apa-apa, kok."
"Katanya dihukum?"
"Dia cuma disuruh pelajari buku itu dalam sehari," jelas Tania.
Dafa menatap Nayla. "Serius, Sayang?"
Nayla mengangguk.
"Wah parah banget tuh guru," ucap Dafa.
"Mungkin guru itu suka sama Nayla, makanya caper gitu," ucap Arel.
"Maksud Lo?" tanya Dafa.
"Ya, mungkin Pak Rayyan suka Nayla, jadi nyari perhatian lewat hukuman," jelas Arel.
Dafa mengepalkan tangannya. "Awas aja dia ganggu cewek gue. Gue bakal kasih dia pelajaran!"
"Emang Lo berani sama Pak Rayyan?" tanya Tania.
"Berani! Liat aja nanti!"
"Siapa yang mau kamu kasih pelajaran?"
Semua terdiam. Mereka menoleh. Terkejut Rayyan berdiri di samping meja mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!