NovelToon NovelToon

Mendadak Jadi Istri Miliarder

01

°

°

°

"Apa kamu bilang...? Batal...? Astaghfirullah...! Kamu ini sudah tidak waras atau bagaimana, Risna! Membatalkan pernikahan setelah semua terlanjur begini? Terus mau ditaruh mana muka orangtuamu ini, Risna...!" teriak Bu Rahma dengan hati bergemuruh dikuasai amarah.

"Daripada setelah menikah nanti kita bercerai, Bu," jawab Risna.

"Iya, tapi masalahnya pernikahan kalian tinggal dua hari lagi. Dan semua sudah siap, apa kamu sanggup menanggung malu Risna! Pikirkan itu!" Bu Rahma berkata dengan emosi memuncak.

"Jangan terlalu emosi, Bu. Ingat, nanti darah tinggi Ibu kumat." Pak Rusli memperingatkan.

"Astaghfirullah al'adziiim!" Bu Rahma beristighfar seraya menepuk dadanya yang terasa sesak bagai terhimpit beban yang sangat berat. Ya memang berat, karena pasti jika pernikahan dibatalkan tentu akan menanggung rasa malu yang tak terbayangkan oleh mereka sebelumnya.

"Sebenarnya ada apa ini, Risna? Kenapa kamu tiba-tiba berubah seperti ini? Tidakkah kamu memikirkan perasaan Bapak dan ibu, hahhh!" marah Bu Rahma lalu menghempaskan bahu anak gadisnya dengan kasar.

"Risna, sekarang dengarkan bapak dan jawab dengan jujur! Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu untuk membatalkan pernikahan ini?" tanya Pak Rusli. Beliau berusaha sabar menghadapi anak gadisnya.

"InsyaAllah, Risna sudah mantap, Pak," jawab Risna sambil menunduk.

"Ya sudah kalau begitu besok kita datang ke rumah Pak Deni untuk memberi kabar," ucap Pak Rusli.

Sementara Bu Rahma dengan hati mendongkol terpaksa mengikuti saran suaminya. Dalam hati Bu Rahma sangat kecewa dengan keputusan anak gadisnya. Bagaimana tidak kecewa, calon suami Risna adalah pemuda yang baik, mapan, tampan, dan dari keluarga terpandang. Padahal jika seandainya anaknya berjodoh, setidaknya bisa mengangkat derajat keluarga mereka.

Bu Rahma menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai emosinya, sebelum akhirnya masuk ke dalam kamarnya dan memikirkan alasan yang tepat untuk mengabarkan hal tersebut.

°

Keesokan harinya Bu Rahma dan Pak Rusli, mendatangi kediaman keluarga Pak Deni. Tak butuh waktu lama hanya dua puluh menit perjalanan, tibalah keduanya di rumah calon mantan besan mereka.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, silakan masuk Pak, Bu." Pak Deni yang kebetulan berada di ruang tamu meyambut kedatangan calon besannya dengan suka cita, meskipun hatinya diliputi pertanyaan.

"Maaf, Pak Rusli dan Ibu Rahma. Hal penting apa yang sekiranya membuat Anda berdua datang kemari?" tanya Pak Deni dengan tutur kata yang sangat sopan.

Sebelum menjawab Pak Rusli terlihat gugup dan menoleh pada Bu Rahma seolah meminta istrinya saja yang berbicara. Sayangnya Bu Rahma tidak menanggapi. Wanita itu justru sibuk memilin ujung bajunya dengan tangan bergetar.

"Ada apa sebenarnya ini, Pak, Bu?" Bunda Marini seakan menangkap adanya keraguan dan sesuatu yang sulit untuk diungkapkan dari sikap kedua tamunya tersebut.

Tegang bercampur gelisah tercetak jelas pada wajah tua Pak Rusli. Bahkan beliau langsung menundukkan kepala tak sanggup menerima tatapan yang begitu mengintimidasi dari tuan rumah.

"Maafkan kami, Pak Deni beserta keluarga. Sebenarnya kami merasa malu jika harus datang ke rumah Bapak. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena kami tidak bisa melanjutkan pernikahan ini." Pak Rusli akhirnya memberanikan diri untuk berbicara pada pokok permasalahan.

Jdeeerrrr

Bagai petir menyambar di tengah hari yang terik. Meski lirih, namun perkataan Pak Rusli terdengar sangat jelas mengingat suasana di rumah saat itu sangat hening. Pak Deni dan Bunda Marini langsung menatap ke arah Pak Rusli dengan sorot mata tajam menyiratkan kemarahan dan kekecewaan, namun Pak Deni berhasil menguasai dirinya. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Bu Marini.

"Apa maksud Bapak tidak bisa melanjutkan pernikahan ini? Apa itu artinya..." Bunda Marini tidak sanggup berkata lagi, tenggorokannya terasa tercekat, dan bibirnya bergetar hebat, wajahnya berubah pias.

"Maafkan anak kami, Pak, Bu. Risna mengatakan belum siap untuk menikah dan meminta pernikahan ini dibatalkan." Pak Rusli menambahkan ucapannya dengan kepala tertunduk.

Suasana menjadi hening seketika, atmosfer udara di ruang tamu rumah Pak Deni seolah kosong dan berhenti dalam sekejap. Menampilkan helaan napas panjang dan dalam dari masing-masing individu yang berada di ruangan itu.

"Astaghfirullah... bagaimana bisa begini, Pak? Pernikahan mereka tinggal besok. Seharusnya kalau memang belum siap kenapa dulu menerima pinangan kami? Lalu ini...?" Bunda Marini tidak sanggup melanjutkan lagi kata-katanya. Beliau bahkan hampir saja limbung, andai Pak Deni sang suami tidak segera menahan tubuhnya.

"Sabar, Bun. Nanti kita cari solusinya bersama-sama," hibur Pak Deni kepada Bunda Marini.

"Tidak bisa begitu dong, Yah! Mereka tidak bisa mempermainkan kita seperti ini. Bukan masalah nominal yang sudah kita keluarkan, tapi ini menyangkut tanggung jawab dan harga diri." Bu Marini berkata dengan berapi-api bahkan sampai berdiri dari duduknya.

Tidak ada yang berani menyahut, semua sibuk dengan pemikiran masing-masing. Ketegangan begitu mewarnai ruang tamu di rumah Pak Deni.

"Bagaimana Anda berdua mendidik anak gadis Anda menjadi seorang yang plin-plan dan tidak punya pendirian. Seharusnya kalau memang belum siap menikah, kan bisa bicara jujur sebelum semuanya terlanjur! Saya benar-benar kecewa dengan keluarga ini," kata Bunda Marini dengan menahan kekecewaan yang mendalam.

"Sekarang, silakan Anda berdua tinggalkan rumah kami, karena semua sudah jelas dan tidak ada lagi yang perlu dibicarakan! Assalamualaikum." Bu Marini lalu berdiri dengan gestur mempersilakan tamunya untuk pergi. Biarlah dikatakan tidak sopan karena telah mengusir tamu, tetapi hatinya sudah terlanjur kesal dan amarah yang memenuhi aliran darahnya.

Dengan rasa tidak nyaman dan menanggung malu, pada akhirnya, Pak Rusli dan Bu Rahma meninggalkan kediaman Pak Deni.

°

Akmal datang dengan wajah bingung, dia sempat melihat sekilas calon mertuanya keluar dari halaman rumahnya. Akmal saat itu baru saja tiba menjemput Arbi sahabatnya dari bandara, dan merasakan aura keheningan yang mencekam di dalam rumahnya

"Ada apa ini, Yah? Tadi aku lihat seperti ada Pak Rusli keluar dari sini?" tanyanya pada sang ayah.

"Risna membatalkan pernikahan kalian," ucap Bunda Marini di sela kesedihannya.

"A-a-pa...! Membatalkan pernikahan? Apa benar ini, Yah?" tanya Akmal pada Pak Rusli.

"Iya benar, Nak! Risna bilang, 'Dia belum siap menikah,'" jawab Pak Deni lirih, tetapi terdengar jelas oleh semua yang ada di dalam ruangan itu termasuk sahabat karib Akmal yaitu Arbi.

"Astaghfirullah al'adzim...! Jadi Kak Akmal batal menikah?" celetuk April adik Akmal yang tiba-tiba datang entah darimana.

Akmal langsung syok dan terpaku di tempatnya berdiri, saat mendengar perkataan sang bunda. Dia begitu terpukul, apalagi ayahnya juga membenarkan bahwa Risna calon istrinya membatalkan pernikahan mereka.

Akmal tampak begitu frustasi dengan berbagai pertanyaan memenuhi benaknya. Padahal besok mereka akan menikah tapi mempelai wanitanya malah membatalkan pernikahan. Lalu apa kata orang nanti?

°

°

°

Hallo readers setiaku...😍

Selamat berjumpa kembali di cerita baru Moms TZ . Semoga betah menemani Moms ya.

Jika suka silahkan like dan tekan permintaan update, tetapi jika tidak suka cukup tinggalkan dan jangan meninggalkan jejak apapun!

Berkarya tidak mudah, mohon dukungannya, terimakasih 🙏🙏🙏😍😍😍

02

°

°

°

Suasana mendung menyelimuti kediaman keluarga Pak Denny. Begitu dingin dan sunyi selaras dengan penghuninya yang memilih bungkam, namun pikiran mereka terisi oleh berbagai praduga. Tak ada kehangatan bahkan Bu Marini masih merasakan dadanya berdenyut nyeri mengingat pernikahan putranya yang dibatalkan sepihak.

Bunda Marini menatap putranya yang malang dengan sendu. Akmal, pria yang cukup tampan, mapan dan punya karier cemerlang. Akan tetapi, sungguh miris, putra kebanggaannya itu justru dicampakkan oleh wanita sehari sebelum pernikahan. Padahal semua segala persiapan sudah seratus persen selesai, tinggal akad besok dan dilanjutkan dengan resepsi.

Sebagai seorang ibu, tentu beliau merasa tak terima itu begitu saja, dan menganggap ini sebagai penghinaan yang seakan mencengkeram erat sanubarinya, hingga terlalu sulit untuk meleburnya. Ditambah ego yang tinggi kian membelenggu batinnya. Netranya mulai berembun dengan pandangannya yang sedikit berkabut membuatnya terpejam untuk sesaat.

Pak Deni sebagai kepala keluarga berusaha tetap kuat dan tenang, meski harga dirinya tercabik-cabik. Siapa orangtua yang rela putra kebanggaannya dicampakkan begitu saja.

Sementara itu, dengan langkah terhuyung, Akmal mendudukkan dirinya dengan sembarangan di sofa. Ia meraup mukanya dan membiarkan telapak tangan itu menutupi wajahnya, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Meski berusaha untuk kuat dan baik-baik saja, tak dapat dipungkiri hatinya terasa bagai ditusuk belati yang tajam. Nyeri dan sangat menyakitkan. Ia tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa untuk melanjutkan hari-harinya esok.

Akmal mengingat kembali pertemuannya dengan Risna. Keduanya diperkenalkan oleh salah seorang sepupunya. Pribadi Risna yang malu-malu juga lemah lembut tutur katanya, membuat Akmal terpesona. Beberapa bulan saling mengenal, Akmal menyatakan perasaannya. Bak gayung bersambut, ternyata Risna juga menyimpan perasaan yang sama. Akmal kemudian membawa Risna ke rumah, memperkenalkannya pada kedua orangtua dan kehadirannya langsung diterima dengan baik oleh Pak Deni dan Bunda Marini.

Singkat cerita, karena sudah merasa cocok dan yakin dengan pilihan hatinya, Akmal pun menyampaikan keinginannya untuk meminang Risna. Tentu saja hal itu disambut baik oleh kedua orang tua mereka masing-masing dan langsung menentukan hari pernikahan. Bahkan Risna sendiri yang memilih kebaya dan gaun pengantinnya.

Setelah sekian lama hatinya mulai terbuka untuk seorang wanita, tapi kini harus merasakan kepahitan dan mirisnya lagi dia ditolak di hari menjelang pernikahan. Sebagai lelaki sejati, Akmal merasa dilemparkan jauh ke dasar jurang yang dalam. Terhempas dan tercampakkan bagai sampah yang tak berguna. Namun rasa cintanya pada Risna mengalahkan logika. Meski tak terima, tapi dia masih berharap gadis pujaannya berubah pikiran. Begitulah kira-kira yang terpikirkan olehnya.

Akmal kemudian bangkit dari duduknya dan membawa langkahnya keluar rumah.

"Mal, kamu mau ke mana?" tanya Arbi sang sahabat yang dari tadi berada bersamanya.

"Aku ingin menemui Risna dan mendengar sendiri darinya dan juga alasannya membatalkan pernikahan kami," jawab Akmal.

Arbi sang sahabat tentu saja tidak membiarkan sahabatnya sendirian. "Aku ikut," kata Arbi.

Sebagai sahabat tentu dia tidak akan membiarkan sahabatnya itu sendirian menghadapi masalah. Maka dia pun mengikutinya. Jadilah mereka pergi berdua ke rumah Risna.

°

Di sinilah mereka sekarang berada. Akmal duduk berdampingan dengan Arbi dan tepat berhadapan dengan Risna. Sementara Pak Rusli dan Bu Rahma masing-masing duduk di kursi single di samping sang anak.

 Akmal menatap Risna dengan pandangan sulit diartikan. Tanpa basa-basi dia pun memulai percakapan. "Benarkah itu Ris? Benarkah kamu ingin membatalkan pernikahan kita? Apakah kamu sudah yakin dengan keputusan yang kamu ambil?" tanya Akmal. Dalam hati ia berharap Risna merubah keputusannya.

"Iya, benar. Aku sudah yakin dan mantap. Sebaiknya memang pernikahan kita batalkan saja, daripada setelah kita menikah akhirnya harus bercerai," jawab Risna.

"Tapi kenapa begitu mendadak, Ris? Bukankah jarak dari aku melamarmu sampai kita akan menikah ada rentang waktu satu bulan? Lalu kenapa baru sekarang? Katakan padaku apa alasanmu!" Akmal terlihat emosional tangannya mengepal kuat, namun Arbi langsung memegang erat pergelangan tangan Akmal agar jangan sampai lepas kendali.

"Aku masih muda dan aku belum siap untuk menikah, itu saja," sahut Risna.

"Masih muda, ya?" gumam Akmal. Dia tersenyum getir mendengar jawaban Risna.

"Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu, aku terima. Aku lega karena mendengarnya langsung dari kamu. Terimakasih untuk waktu bersamaan kita. Dan mengenai apa yang sudah aku berikan padamu, aku ikhlas. Aku anggap itu sebagai sedekah bagi orang yang membutuhkan!" Perkataan Akmal begitu tenang namun penuh penekanan di akhir kalimat yang diucapkannya.

Pak Rusli dan Bu Rahma merasakan ucapan mantan calon menantunya itu bagaikan ujung pisau tajam yang mengoyak jantungnya. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha menahan rasa malu akibat ulah anak gadisnya.

 Akmal langsung berdiri dan pamit, setelah menyelesaikan ucapannya. Namun dia hanya bersalaman dengan calon mantan mertuanya, tanpa sedikitpun menoleh ke arah Risna. Akmal keluar rumah diikuti Arbi di belakangnya.

Setelah kedua tamunya pergi, Bu Rahma menjerit keras, meraung meluapkan rasa sesak di dada yang sejak tadi ditahannya. Suara tangisnya menggema memenuhi seluruh ruangan rumahnya.

"Puas kamu, Risna! Sudah puas kamu sekarang mempermalukan orangtuamu, hahhhh...!!" Bu Rahma kembali meraung. Sementara Pak Rusli hanya bisa diam dan berusaha menenangkan istrinya.

°

Akmal masuk ke dalam rumah dengan lesu dan kepala tertunduk. Arbi merangkulnya untuk memberi dukungan, setidaknya dia selalu ada di saat sahabat itu sedang terpuruk.

Bunda Marini menyambut kedatangan keduanya, lalu bertanya. "Bagaimana, Sayang? Apa Risna tetap pada pendiriannya?"

"Hemmm...begitulah," jawab Akmal singkat.

Beberapa saat suasana menjadi senyap, ketiganya sibuk dengan pikiran dan berbagai spekulasi yang ada

Begitupun dengan Arbi. Dia seperti memikirkan sesuatu, sebagai sahabat, dia ingin berbuat yang terbaik. Sampai akhirnya dia menyuarakan idenya. "Mal, aku punya ide. Bagaimana kalau kamu menikah saja dengan Anaya?" celetuk Arbi.

"Apaaa...? Anaya sahabat Adzana yang somplak bin nyeleneh itu?" tanya Akmal disertai gelak tawa. Sepertinya Akmal sudah lupa bahwa sesaat lalu dia baru saja dilanda gundah gulana.

"Siapa Anaya itu, Nak Arbi?" tanya Bunda Marini.

"Dia sahabat sejati Adzana, Bun," jawab Arbi.

"Dan kamu, Mal, jangan meremehkan gadis itu! Meskipun rada somplak tapi dia itu teman yang setia. Dia juga pekerja keras dan menjadi tulang punggung keluarganya, menanggung semua kebutuhan ibu juga kedua adiknya yang masih sekolah." Arbi berhenti sejenak, dia memejamkan mata lalu menghembuskan napas kasar.

"Naya itu anak yatim dan kalau kamu menikahi dia, bukankah itu akan menjadi ladang amal buat kamu?" Arbi menatap Akmal, ingin tahu reaksi sahabatnya itu

"Kalau begitu bunda setuju banget. Bagaimana denganmu, Mal? Kamu setuju, kan?" tanya Bunda Marini.

"Bunda kan belum mengenalnya, kenapa main setuju saja?" Akmal merengut.

"Setidaknya kita bisa terhindar dari rasa malu, dan uang kita tidak terbuang sia-sia," ucap Bunda Marini.

"Bunda yakin dia gadis yang baik. Dan cinta bisa hadir seiring berjalannya waktu, apalagi dia itu sahabat Adzana, pasti sudah sangat mengenalnya," lanjut Bunda Marini.

"Entahlah, aku tidak yakin, Bun. Aku masih belum bisa berpikir jernih, pikiranku masih kacau," ucap Akmal lirih.

°

°

°

°

°

03

°

°

°

Nada dering telepon berbunyi nyaring dari ponsel, membangunkan seorang gadis bernama Anaya Putri yang tertidur pulas di atas ranjang dengan busa empuk. Dengan mata masih terpejam, dia segera meraih ponselnya dan mengangkat panggilan tanpa melihat nama si penelpon.

"Assalamualaikum, Gas. Ada apa malam-malam telepon? Apa Ibu sakit?" tanya Anaya masih dengan mata terpejam.

"Maukah kamu menikah denganku?" tanya seseorang dari seberang telepon.

"Haahhh... Anda siapa?" Sontak mata Anaya terbuka dengan lebar, dan ia sangat terkejut saat melihat layar ponselnya yang tertera nomor asing. Ia lalu bangkit dari tidurnya dan duduk dengan tegak.

"Maaf, Anda salah sambung!" Gadis itu berniat memutuskan panggilan

"Tunggu...! Aku sungguh-sungguh mengajakmu untuk menikah, dan aku tidak bercanda, aku serius dengan ucapanku. Please menikahlah denganku." Suara itu terdengar memohon, membuat Anaya mengernyit.

"Heeeh... Siapapun Anda, saya tidak peduli! Kita tidak saling mengenal, kenapa mengajak saya menikah? Maaf, sebenarnya Anda ini siapa? Tengah malam membangunkan orang tidur dan berbicara ngelantur. Anda ini mengigau atau apa?" tanya Anaya dengan intonasi tinggi.

"Maaf, jika aku mengganggu tidurmu, tapi aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku, dan bukan mengigau atau apapun itu," jawab Akmal.

"Saya tidak mengenal Anda! Lagi pula darimana Anda tahu nomor ponsel saya? Pasti Anda mendapatkannya secara acak kan? Dan Anda pasti ingin menjebak saya, untuk kepentingan Anda sendiri!" Anaya tetap keukeuh pada pemikirannya sendiri.

"Lagipula saya belum ingin menikah, saya adalah tulang punggung keluarga dan masih harus membiayai kedua adik saya yang masih sekolah. Memangnya Anda sanggup menanggung beban keluarga saya? Lebih baik Anda menikah sama orang lain saja!" sambung Anaya.

"Tidak mau, aku maunya sama kamu, dan aku akan menggantikanmu bertanggungjawab atas keluargamu juga menyekolahkan adik-adikmu! Percayalah padaku, please!" Di seberang telepon, Akmal tampak hampir putus asa.

"Hahahaha...!" Anaya tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan pemuda tersebut.

"Heh...Anda pikir saya percaya? Sekarang Anda bicara seperti itu, tapi setelahnya pasti Anda akan ingkar janji. Itu sudah banyak terjadi di sekitar saya. Awalnya saja manis karena....eeehh?" Ucapan Anaya terhenti, ketika suara di seberang telepon mendadak berubah menjadi suara perempuan.

"Tolong, dengarkan saya ya, Nak. Seorang ibu dengan tulus meminangmu untuk menjadi pendamping anak lelaki saya. Dia pria yang baik, dan sangat setia," Bunda Marini mengambil alih ponsel Akmal, karena merasa gemas dengan perdebatan mereka.

"Sebenarnya besok adalah hari pernikahannya, tapi pihak mempelai wanita tiba-tiba membatalkan pernikahan tanpa alasan yang jelas. Jadi saya mohon, tolonglah kami dari rasa malu yang akan kami terima."

Anaya mendengarkan tanpa sedikitpun menyela perkataan ibu itu dari seberang telepon. Entah kenapa rasanya ada sesuatu menggelitik hatinya dan ia merasa bersimpatik pada ibu itu.

"Dan mengenai dirimu yang menjadi tulang punggung keluarga, insyaAllah anak saya akan mengambil alih tanggungjawab tersebut. Dan setelah menikah nanti, jika kamu kurang merasa cocok dengan anak saya, kamu boleh menggugatnya."

"Bun...! Aku tidak seburuk itu!" Terdengar suara protes dari seberang.

"Bagaimana, Nak? Tolong beri jawaban secepatnya, karena waktu sudah mepet tinggal besok. Saya sangat berharap kamu mau menerimanya," ucap Ibu itu penuh harap.

"Tapi, Bu. Saya belum mengenal putra Ibu, bagaimana mungkin saya menikah dengannya?" Ada rasa ragu menggelayut di hati Anaya.

"Percayalah, Nak! Kamu tidak akan menyesal, jika menikah dengannya. Saya yang akan menjamin dan kalau perlu saya akan membuat perjanjian tertulis untuk kalian," ucap Ibu itu meyakinkan.

Anaya menggigit ibu jarinya, pikirannya kacau tetapi dia tidak punya waktu banyak untuk berpikir. Satu kata 'iya' atau 'tidak' akan menentukan nasibnya ke depan.

Anaya memejamkan mata, mengambil napas dalam-dalam dan meniupkannya kasar. Keputusannya malam ini akan merubah hidupnya.

Sementara di tempat lain sedang harap-harap cemas menunggu keputusan dari Anaya.

Dia adalah Akmal Pratama, dan besok adalah hari yang sangat bersejarah dalam hidupnya. Dia akan mengakhiri masa lajangnya bersama seorang gadis yang sangat dicintainya.

Namun sehari penjelang pernikahan tiba-tiba pihak calon mempelai wanita datang bersama orangtuanya membatalkan pernikahan mereka.

Sakit dan kecewa tentu Akmal rasakan. Waktu, tenaga, dan pikiran tercurah untuk mewujudkan pernikahan impiannya, apalagi dia sudah menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk pernikahannya tersebut.

Akmal terus menatap layar ponselnya berharap segera mendapatkan jawaban. Dia duduk gelisah sambil meremas jemari tangannya dengan pikiran berkecamuk.

"Bagaimana, Nak? Apa keputusanmu?" tanya Bunda Marini dengan tidak sabar.

Hening dan tidak ada suara. Maka dengan segera Bunda Marini mengambil kesimpulan

"Baiklah, diammu berarti iya dan kamu setuju menikah dengan anak saya," kata Bunda Marini.

Klik

Anaya tampak terkejut mengetahui sambungan telepon telah terputus, padahal dia belum memberikan jawaban. Tak lama kemudian muncul pemberitahuan pesan di aplikasi whatsap miliknya.

Anaya segera membukanya, dan seketika matanya membulat dengan mulut terbuka. "Hahhh...apa-apaan sih, ini? Aku kan belum bilang iya, tapi kenapa si ibu itu mengambil kesimpulan sendiri?"

Lama Anaya termenung sampai akhirnya, terdengar bunyi klakson di halaman rumah tempat tinggalnya. Tak lama kemudian bel berbunyi .

Ting tong

 Anaya bergegas keluar kamar, lalu menyibak tirai jendela untuk melihat mobil siapa yang datang.Tampak olehnya seorang pria dewasa berusia sekitar empat puluh tahunan, berdiri di depan pintu.

Dilanda rasa penasaran, Anaya memberanikan diri untuk membuka pintu.

"Selamat pagi...Nona Anaya." Pria itu berkata dengan sopan.

"Se-selamat pagi, Anda siapa? Dan ada keperluan apa datang kemari?" tanya Anaya dengan terbata.

"Saya mendapat perintah untuk datang menjemput Anda. Mari, silakan ikut saya. Mempelai pria sudah menunggu Anda di sana," ucap pria itu.

"Hahhh....jadi ini beneran?" gumamnya dalam hati

Selanjutnya Anaya hanya mampu diam terpaku di tempatnya berdiri, pikirannya kosong, lidahnya seakan kelu tak mampu berkata-kata, saat dua wanita memegang kedua lengannya dan membawanya masuk ke dalam mobil.

°

Pagi itu di kediaman Pak Deni, mendung yang sempat menggelayuti kini seolah sirna tanpa bekas. Senyum ceria menghiasi wajah-wajah para penghuni rumah mewah itu. Seakan mereka telah terlepas dari beban berat yang menghimpit.

Bunda Marini menampakkan wajah sumringah, bibirnya terus menyunggingkan senyum merekah. Setelah mengklaim bahwa sahabat dari Adzana itu menyetujui menikah dengan Akmal putranya, beliau begitu bersemangat.

Pak Deni meskipun tidak secara terang-terang menunjukkan sikapnya, tetapi ayah Akmal itu langsung mempersiapkan semuanya. Mulai dari menghubungi seseorang untuk menjemput Anaya, dan juga menjemput keluarga Anaya yang ada di kampung.

°

Hotel yang menjadi akad nikah itu ramai oleh kerabat dekat maupun jauh, dari Pak Deni dan Bunda Marini. Bahkan Ibu Anaya dan kedua adik lelakinya, pun sudah tiba di sana dan tengah beristirahat di salah satu kamar.

Rombongan keluarga Akmal sampai di hotel, lalu menghampiri keluarga Anaya untuk berkenalan. Sedangkan Akmal sendiri sudah datang sejak pagi bersama Arbi. Akmal ingin memastikan moment pernikahannya berjalan lancar tanpa ada kendala, meskipun dirinya menikah dengan gadis yang tidak atau belum ia cintai.

Beberapa saat kemudian Anaya datang dengan wajah bingung, dan langsung disambut oleh pegawai hotel menuju kamarnya. Di sana sudah menunggu MUA yang akan menyulap wajahnya menjadi ratu sehari.

Sementara itu, beberapa saat kemudian di ballroom hotel, Akmal telah siap dengan balutan baju pengantin pria. Wajahnya terlihat berseri dan semakin menambah aura ketampanannya. Disampingnya duduk Pak Deni juga Arbi, serta pejabat setempat sebagai saksi pernikahan. Pak Penghulu telah hadir bersama stafnya, juga Bagas adik lelaki Anaya yang bertindak sebagai wali nikah.

Pukul sembilan tepat akad nikah dimulai. Pak Penghulu segera melakukan tugasnya.

Akmal mengucapkan ijab kabul dengan lantang dalam satu tarikan napas tanpa keraguan, dan kata 'SAH' menggema memenuhi udara di ruangan ballroom hotel tersebut.

°

Ibu Miyatun dan Bunda Marini mengapit mempelai wanita di kiri dan kanan, menuju tempat ijab kabul dilaksanakan. Namun begitu sampai di sana, Anaya langsung terpaku di tempatnya. Mata dan bibirnya membulat sempurna.

"Kak Akmal...? Jadi...???" Anaya langsung membekap mulutnya tak percaya.

°

°

°

°

°

Siapa yang pengin seperti Anaya,,,?😂😂😂

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!