NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikahi Dua Tuan Muda

Bab 1

"Bagaimana, Pah? Rumah kita jadi disita?"

Kedatangan pria paruh baya itu disambut dengan sebuah pertanyaan oleh sang istri. Bu Messa, wanita berusia 50 tahun itu menunggu jawaban dari sang suami dengan wajah yang terlihat begitu cemas.

"Ya, Messa. Keputusan Tuan Abian sudah tidak bisa diganggu gugat. Ia akan menyita rumah serta aset berharga lainnya, dua hari lagi. Kecuali ...."

Pak Herdinan menoleh ke salah satu sudut ruangan, di mana sang putri kesayangan tengah duduk dengan kaki menyilang di atas sofa empuknya.

"Kenapa Papah melihatku seperti itu?" tanya Allea Mahda–gadis berusia 21 tahun itu dengan raut wajah heran.

"Kecuali apa, Pah?!" Bu Messa pun tak kalah penasaran setelah melihat reaksi pria paruh baya itu.

"Tuan Abian bersedia menyerahkan kembali rumah serta aset berharga lainnya kepada kita, asalkan kita bersedia menyerahkan Allea kepadanya," tutur Pak Herdinan dengan raut wajah kusut.

"Apa?!" pekik Allea dan Bu Messa secara bersamaan. Mereka saling lempar pandang dengan mulut terbuka lebar.

"Tidak-tidak, itu tidak mungkin! Aku tidak mau!" tolak gadis cantik itu mentah-mentah dengan kedua tangan bersedekap di dada.

Bukan hanya Allea, Bu Messa pun tampak begitu berat menerima tawaran tersebut. Secara Tuan Abian sudah tua. Usianya sudah menginjak kepala enam, bahkan lebih tua dari Pak Herdinan. Sudah tidak cocok bersanding dengan Allea yang usianya terpaut sangat-sangat jauh.

"Masa iya sih, Pah. Allea harus bersanding sama Tuan Abian?"

"Papah juga bingung, Mah. Tapi seperti itulah permintaan Tuan Abian," sahut Pak Herdinan.

Pria paruh baya itu menjatuhkan diri ke sofa. Bersandar di sana, sembari menatap kosong ke arah dinding.

"Pokoknya aku tidak mau, Pah! Suruh Kalila aja tuh yang nikah sama Tuan Abian! Udah bangkotan, bau tanah, masih aja doyan sama anak gadis!" celetuk Allea dengan wajah menekuk.

"Diam kamu, Allea!" bentak Pak Herdinan dengan wajah tegas menatap gadis cantik itu.

"Kalau kedengaran sama Tuan Abian, bisa-bisa Papah dikirim ke penjara! Lagian, Papah jadi begini 'kan gara-gara mengikuti semua keinginan kamu! Jadi, tidak ada salahnya jika kamu berkorban sedikit untuk Papah! Menikahlah dengan Tuan Abian, maka hidupmu pun akan terjamin," tutur Pak Herdinan, mencoba meyakinkan Allea.

Pak Herdinan ketahuan melakukan tindakan korupsi di perusahaan tempat ia bekerja untuk yang ke-dua kalinya. Jika yang pertama, Tuan Abian yang selaku pemilik perusahaan itu masih bersedia mengampuni semua perbuatan Pak Herdinan.

Namun, tidak kali ini. Pria itu sudah tidak bisa mentolerir prilaku Pak Herdinan dan berniat membawa perkara ini ke jalur hukum. Menyita seluruh harta serta aset berharga Pak Herdinan.

Pak Herdinan yang ketakutan, memohon untuk meminta pertimbangan dan akhirnya terciptalah sebuah kesepakatan. Sebagai ganti rugi, Pak Herdinan harus menyerahkan anak gadisnya kepada pria tua itu.

"Di mana Kalila?" tanya Pak Herdinan, sesaat kemudian.

"Di dapur lah, di mana lagi?" sahut Bu Messa dengan kedua bola mata yang memutar.

"Bilang sama dia, bikinin aku kopi." Pria paruh baya itu bangkit dari posisinya, kemudian melenggang begitu saja memasuki kamar utama untuk mengganti pakaiannya yang sudah dibasahi oleh keringat dingin.

Bu Messa hanya bisa memandangi punggung Pak Herdinan yang semakin menjauh dengan tatapan sedih, hingga bayangan pria itu menghilang di balik pintu kamar.

Sepeninggal Pak Herdinan.

"Mah, bagaimana ini? Masa iya aku harus nikah sama Tua Bangka itu?" ucap Allea dengan lirih, menatap Bu Messa yang kini bersiap melangkahkan kakinya ke dapur untuk menyusul Kalila–Anak angkat yang ia adopsi sejak lahir dari sebuah rumah sakit.

Bu Messa menghembuskan napas berat. "Ya, mau bagaimana lagi, Lea? Papahmu sudah tak punya pilihan lain, kecuali kamu memang ingin Papah mendekam di penjara dan kita menjadi gembel di sini," tutur Bu Messa.

Allea terdiam dengan wajah kusut. Pikirannya berkecamuk. Pilihan yang begitu sulit untuk ia putuskan, menjadi gembel atau hidup terikat bersama pria tua yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Pikirkan dengan baik, Sayang. Ini demi kehidupan kita semua," ucap Bu Messa lagi sambil menepuk pundak Allea pelan.

Allea menghembuskan napas kasar. Menatap Bu Messa dengan tatapan tidak suka.

Bu Messa hanya bisa pasrah. Ia kemudian meninggalkan Allea di ruangan itu sendirian dan kini melangkah menuju dapur.

"Kalila, bikinin Papahmu kopi!" titah Bu Messa kepada Kalila yang sedang sibuk mencuci piring dan gelas kotor yang menumpuk di atas westafel.

Kalila April, seorang wanita cantik berusia 22 tahun, memiliki kehidupan yang kurang beruntung. Dibuang ibu kandung, diadopsi oleh keluarga Pak Herdinan sejak lahir, tetapi hanya dijadikan sebagai anak pancingan.

Kata orang jaman dulu, jika ingin cepat punya momongan, maka pasangan itu harus mengadopsi seorang anak untuk dijadikan sebagai anak pancingan.

Pak Herdinan yang awalnya ragu, akhirnya memberanikan diri untuk mengambil langkah tersebut karena sudah lama menikah bersama Bu Messa, tetapi tak kunjung dikasih momongan.

Ternyata cara itu benar-benar berhasil. Hanya selang beberapa bulan setelah Kalila diadopsi, Bu Messa pun akhirnya dinyatakan positif hamil.

Sejak saat itu kehadiran Kalila sama sekali tak dianggap oleh mereka. Ia acap kali mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan, jauh berbeda jika dibanding Allea.

"Baik, Mah." Seketika Kalila menghentikan aktivitasnya. Mencuci bersih tangannya kemudian mengeringkan dengan menggunakan lap yang menggantung tak jauh dari tempatnya berdiri.

Dengan begitu lincah, Kalila melakukan tugasnya, membuat kopi hitam kesukaan Pak Herdinan. Hanya beberapa menit kemudian, kopi pun siap untuk dihidangkan.

Gadis cantik itu berjalan menghampiri Bu Messa yang kini duduk termenung di meja makan dengan kedua tangan memangku wajah. Perlahan meletakkan gelas kopi tersebut sambil memperhatikan ekspresi wajah Bu Messa.

"Ini, Mah, kopinya. Aku yang anterin atau —" Belum selesai Kalila bicara, Bu Messa segera memotong ucapannya.

"Biar aku saja!" Wanita paruh baya itu menghembuskan napas kasar. Meraih gelas kopi hitam yang masih panas itu, lalu membawanya ke ruang utama.

"Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Kenapa akhir-akhir ini aku lihat ekspresi wajah mereka terlihat begitu kusut. Baik Papah, Mamah dan juga Lea," gumam Kalila dalam hati.

Setelah Bu Messa menghilang dari pandangannya, Kalila pun kembali melanjutkan aktivitasnya. Membersihkan peralatan masak serta makan yang masih dalam kondisi kotor.

Di ruang utama.

Bu Messa meletakkan kopi hitam buatan Kalila ke atas meja dan tepat pada di saat itu, Pak Herdinan tiba dan segera duduk di sofa dengan ekspresi raut wajah yang telihat masih kusut.

"Itu kopinya, Pah."

Tanpa pikir panjang, Pak Herdinan langsung meraih kopi hitam tersebut, lalu menyeruputnya. Ia tidak sadar bahwa kopi tersebut ternyata masih panas dan seketika kopi itu menyembur keluar dari mulut Pak Herdinan.

"Aaarrghh!"

***

Bab 2

"Aaarrgkhhh!" Pria paruh baya itu mengerang akibat kepanasan. Lidahnya melepuh dan terasa sakit sekali. Ia sangat marah. Benar-benar sangat marah.

"Aduh, Pah. Papah ini bagaimana sih? Sudah tahu kopinya masih panas. Masih diseruput juga," celetuk Bu Messa sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah sang suami.

Pria paruh baya itu mendengus kesal, kemudian melemparkan gelas yang masih berisi kopi panas tersebut ke dinding ruangan dengan begitu keras. Hingga ....

Praaannkkk!

Gelas itu mengenai dinding dan kini jatuh ke lantai dengan kondisi terpecah belah. Beling-beling tajam kini menghambur di lantai ruangan dan siapa pun yang menginjaknya, pasti akan terluka.

"Ya ampun, Papah." Bu Messa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa hari terakhir sikap Pak Herdinan memang berubah drastis. Terlebih setelah mendengar ancaman dari Tuan Abian yang berniat memenjarakan serta membuatnya bangkrut.

"Kalilaaa!" teriak Bu Messa dengan nyaring, hingga terdengar dengan begitu jelas di telinga gadis itu.

Lagi-lagi ia harus menghentikan aktivitasnya. Berjalan dengan cepat, menyusul ke arah suara yang berasal dari ruang utama.

"Heh, Kalila! Ayo, bersihkan gelas ini!" titah Bu Messa setibanya Kalila di ruangan itu.

"Ba-baik, Mah." Gadis itu mengangguk patuh dan segera membersihkan beling-beling tajam tersebut dari lantai ruangan.

***

Malam pun tiba. Jam sudah menunjukkan pukul 00.00 waktu setempat. Semua orang sudah terlelap di alam mimpinya, termasuk Kalila.

Gadis itu tertidur dengan pulas di atas kasur lusuh miliknya yang terdapat di dalam sebuah ruangan sempit berukuran 2x3 meter. Ruangan yang selama ini menjadi tempatnya beristirahat. Melepaskan penat setelah seharian bekerja di rumah itu, tanpa digaji sepeserpun.

Namun, tidak dengan Pak Herdinan. Pria itu masih terjaga dan rasanya begitu sulit untuk memejamkan mata. Ia melirik ke samping dan tampaklah Bu Messa tengah tertidur dengan lelapnya, bahkan sampai mendengkur.

"Heh, enak sekali dia tidur sampai mendengkur! Seakan tak ada masalah sama sekali. Sementara aku, sama sekali tak bisa memejamkan mata barang sedetik pun," sungut pria paruh baya itu dengan wajah yang menekuk.

Satu detik, satu menit, satu jam, hingga tak terasa panggilan shubuh pun tiba. Namun, pria itu masih tak mampu memejamkan kedua netranya.

Hingga,

Drrrttt ... drrrttt!

Ponsel yang tergeletak di atas nakas, bergetar dengan hebat dan berhasil membuyarkan lamunan pria paruh baya itu. Ia menatap layar ponsel yang menyala dengan mata lelah. Sebuah nama yang tak asing terpampang di sana dan Pak Herdinan pun bergegas menerima panggilan itu.

"Y-ya, Tuan?"

"Aku akan datang ke rumahmu pagi ini untuk menjemput putrimu, Herdinan."

Deg!

Kedua netra Pak Herdinan membola. Ia tak percaya bahwa pria tua itu akan datang secepat ini untuk menjemput putrinya.

"Ta-tapi, Tuan—" Belum selesai Pak Herdinan bicara, pria angkuh yang bicara di seberang telepon, malah menyela ucapannya.

"Pukul 09.00 pagi, aku akan tiba di sana," sela pria itu, lalu memutuskan panggilannya sesuka hati.

"Ta-tapi, Tuan! Tuan Abian, saya—"

Tut ... tut ... tut!

"Arrghhh!" Pak Herdinan frustrasi. Ia melemparkan ponsel berharga mahal miliknya ke lantai kamar dengan begitu keras hingga hancur berkeping-keping.

Prankkk!

Hal itu berhasil membuat Bu Messa terbangun dari tidurnya. Wanita paruh baya itu tersentak kaget dan langsung duduk di tepian ranjang.

"Ada apa, Pah? Kenapa ribut-ribut?!" pekiknya sambil mengucek mata. Wanita paruh baya itu kembali tersentak kaget setelah melihat ponsel berharga belasan juta, hancur berkeping di sisi ranjang.

"Kenapa? Kamu masih bertanya kenapa? Kamu malah enak-enakan tidur, seolah tidak terjadi apa-apa, sementara aku terjaga semalaman. Apa kamu tahu, Tuan Abian akan datang pagi ini untuk menjemput Allea. Sekarang puas kamu!" teriak pria paruh baya itu. Sudah tak mampu menguasai kemarahannya.

"Apa?!" Mata Bu Messa kembali membola. Hampir tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh sang suami.

"La-lalu bagaimana sekarang, Pah? Apakah kita akan membiarkan Tuan Abian membawa putri kesayangan kita begitu saja?" tanya Bu Messa dengan mata berkaca-kaca. Matanya terasa memanas dan cairan bening itu mulai menutupi pandangannya.

"Mau bagaimana lagi? Seperti yang aku katakan sebelumnya, keputusan Tuan Abian sudah bulat dan tak bisa diganggu gugat lagi. Satu-satunya cara adalah menyerahkan Allea kepadanya, kecuali kalian memang ingin aku mendekam di pernjara dan membusuk di sana," sahut Pak Herdinan dengan begitu frustrasi.

Bu Messa benar-benar tak mampu membendung kesedihannya lagi. Tangisan wanita paruh baya itu pecah dan kini terisak dengan tubuh bergetar hebat.

"Tidak ada gunanya menangis, Messa. Sekarang bangunkan Allea dan minta dia untuk segera bersiap-siap," ucap Pak Herdinan.

Melenggang pergi meninggalkan ruangan itu dan kini memasuki kamar mandi. Ia ingin melakukan ritual mandinya. Semalaman tak tidur, membuat mata, kepala dan wajah Pak Herdinan terasa memanas.

"Ini tidak mungkin! Kenapa mesti Allea? Kenapa tidak Kalila saja! Ambil saja Kalila, aku akan dengan senang hati menerimanya!" gerutu Bu Messa di sela isak tangisnya.

Setelah puas mengeluarkan kekesalan serta kekecewaannya, Bu Messa pun segera beranjak dari kamar utama dan kini melangkah gontai menuju kamar Allea yang terletak tak jauh dari posisi kamarnya.

Tok ... tok ... tok!

"Allea, kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Bu Messa sambil sesekali mengetuk pintu kamar anak perempuannya itu.

Namun, tidak ada jawaban dari gadis itu. Berkali-kali Bu Messa memanggil, tetapi tetap sama. Masih tak ada jawaban dari putri kesayangannya itu. Hingga tak sengaja tangannya memutar gagang pintu.

Pintu kamar itu tiba-tiba terbuka dan tak tampak siapa pun di dalam ruangan itu. Tempat tidur terlihat begitu rapi begitu pula ruangan tersebut, seakan tak ada yang menempati.

"Lea, kamu di mana, Sayang?" panggil Bu Messa sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Mencoba mencari sosok cantik, pemilik ruangan itu.

"Apa kamu di kamar mandi?" Karena tak ada jawaban, Bu Messa pun bergegas menghampiri kamar mandi pribadi milik Allea. Namun, sama seperti kamarnya, ruangan itu pun kosong. Tak ada siapa pun di sana. Bahkan lantai serta bathub-nya saja masih kering, pertanda belum digunakan sama sekali.

Deg!

Bu Messa memegangi dadanya. Tiba-tiba terlintas pikiran buruk tentang gadis berusia 21 tahun tersebut.

"Di-di mana Allea? Apa Jangan-jangan dia .... Tidak! Ini tidak boleh terjadi!" gumamnya, bermonolog dengan wajah panik.

Bu Messa bergegas keluar dari kamar mandi dan kini kembali ke kamar Allea. Menghampiri ranjang dan memeriksa di sekitaran tempat itu. Tak ada apa pun di sana, hingga ia menemukan sebuah lemari pakaian yang terbuka. Di mana sebagian pakaian milik anak perempuannya itu juga menghilang.

"A-Allea ...."

***

Bab 3

[Mah, aku tidak mau menikah dengan lelaki tua bangka itu. Lebih baik aku mati dari pada harus menikah dengannya!] Tulis Allea di secarik kertas yang ditemukan oleh Bu Messa di dalam lemari pakaian milik anak perempuannya itu.

Hal itu tentu saja membuat Bu Messa begitu terpukul. Ia tidak terima jika putri kesayangannya sudah pergi meninggalkan rumah hanya demi menghindari persyaratan dari Tuan Abian.

Wanita paruh baya itu berteriak histeris sambil memanggil-manggil nama sang buah hati. "Alleaaaa, hiks!"

Teriakan Bu Messa terdengar hingga ke telinga Pak Herdinan yang saat itu tengah asik berpakaian dan Kalila yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan untuk keluarga Pak Herdinan.

Mereka segera menghambur dan menuju ke arah asal suara. Di mana Bu Messa masih menangis histeris sambil memeluk secarik kertas yang berisi pesan dari Allea.

"Ada apa, Mah?" tanya Pak Herdinan, bergegas menghampiri Bu Messa lalu mendekapnya dengan erat.

"Aku menemukan pesan ini di dalam lemari pakaiannya Allea, Pah. Allea sudah pergi! Dia sudah kabur dari rumah," tutur Bu Messa di sela isak tangisnya.

Menyerahkan secarik kertas yang ia temukan di dalam lemari Allea kepada Pak Herdinan.

[Mah, aku tidak mau menikah dengan lelaki tua bangka itu. Lebih baik aku mati dari pada harus menikah dengannya!]

Tubuh Pak Herdinan bergetar setelah membaca isi pesan tersebut. Raut wajahnya seketika berubah. Kini tampak memerah, menahan amarahnya yang semakin memuncak.

Kertas itu dikepal dengan sempurna, hingga otot-otot tangannya menyembul keluar. Rahang Pak Herdinan menegas, pertanda bahwa ia benar-benar marah saat itu.

"Keterlaluan Allea! Dasar anak tidak tahu diuntung!" geram Pak Herdinan.

Seketika Bu Messa menghentikan tangisannya. Menyeka buliran bening itu, lalu menatap wajah Pak Herdinan dengan raut wajah kesal.

"Kenapa Papah berkata seperti itu? Wajar saja jika Allea pergi sebab ia tak ingin menikah dengan Tuan Abian! Dia juga punya pilihan hidup, Pah. Lagi pula ini 'kan memang salahnya Papah, jadi sepatutnya Papah lah yang bertanggung jawab, bukan dia!" Bu Messa mulai berceloteh, membela anak perempuan mereka.

"Diam kamu, Messa. Apa kamu sudah lupa. Aku menyilap uang perusahaan 'kan juga karena tuntutan gaya hidup kamu dan juga Allea. Kalian selalu minta makan di restoran mahal, beli barang branded, beli perhiasan mahal, jalan-jalan hingga ke luar negeri. Padahal kalian sudah tau bahwa gajiku tidak mencukupi untuk itu, tetapi kalian tidak pernah mau tau. Jadi, salahkah jika aku meminta sedikit bantuan kepada Allea untuk mengalah dan menikah dengan Tuan Abian?" tutur Pak Herdinan dengan suara yang meninggi.

Bu Messa menghembuskan napas berat. Ia terdiam sesaat karena apa yang dikatakan oleh suaminya itu memang benar adanya. Selama ini mereka terlalu berfoya-foya, mengikuti gaya hidup bak seorang sosialita.

"Lalu, bagaimana sekarang, Pah? Bukankah Tuan Abian akan datang sebentar lagi? Sementara Allea sudah pergi entah ke mana," tanya Bu Messa dengan lirih.

"Entahlah, aku juga bingung." Pak Herdinan menghembuskan napas berat. "Mungkin memang sudah takdirku mendekam di penjara dan membusuk di sana. Aku harap kalian semua bisa melanjutkan hidup meskipun tanpa aku," lanjut pria paruh baya itu dengan begitu pasrah.

Bu Messa kembali terisak. Tubuhnya bergetar dengan hebat dan kini berjalan menghampiri sang suami.

"Bagaimana kami bisa melanjutkan hidup tanpamu, Pah? Kami bahkan tidak bisa apa-apa. Bukankah Papah tau sendiri bahwa selama ini hidup kami bergantung padamu," tutur Bu Messa, memegangi tangan Pak Herdinan dengan erat sambil menyandarkan kepalanya di sana.

Tanpa sepengetahuan pasangan itu, Kalila mendengarkan percakapan mereka dari balik pintu.

"Ya Tuhan, ternyata inilah yang menyebabkan sikap semua orang mulai berubah. Baik Papah, Mamah dan juga Allea, akhir-akhir ini begitu sensitif," gumam Kalila dalam hati.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Baik Pak Herdinan maupun Bu Messa terlihat semakin tegang. Sebentar lagi Tuan Abian akan tiba, itu artinya habislah riwayat mereka.

"Kalila, apakah semuanya sudah disiapkan?" tanya Bu Messa kepada Kalila dengan wajah panik. Kedua tangannya saling meremas, satu sama lain dengan keringat dingin yang terus bercucuran.

"Sudah, Mah," sahut Kalila dengan begitu tenang.

Sebagai penyambutan untuk kedatangan Tuan Abian, Bu Messa meminta Kalila menyiapkan makanan ringan serta minuman untuk pria tua itu. Semua yang kini disajikan di atas meja adalah makanan dan minuman terbaik yang ada di rumah mereka.

Benar saja, hanya berselang beberapa menit kemudian, tiba-tiba terdengar suara deru mobil mewah yang ditumpangi oleh Tuan Abian, memasuki halaman rumah.

Ketegangan pun semakin terasa. Terlebih jika melihat ke wajah pasangan Pak Herdinan dan Bu Messa saat ini.

"Tuan Abian sudah tiba, Pah. Bagaimana ini?" ucap Bu Messa dengan bibir bergetar.

"Jangan panik, Mah. Terus tersenyum dan cobalah untuk berpura-pura bahwa kita baik-baik saja," sahut Pak Herdinan. Mencoba menenangkan Bu Messa, padahal ia pun sebenarnya begitu ketakutan dengan kedatangan pria berkuasa itu.

Tak berselang lama, pria itu pun akhirnya tiba dan kini berdiri tepat di hadapan Pak Herdinan dan Bu Messa yang tengah tersenyum dengan keterpaksaan.

"Selamat datang, Tuan Abian. Ma-mari, silakan duduk," ucap Pak Herdinan dengan terbata-bata, menyambut kedatangan pria tua itu dan mempersilakannya untuk duduk di sofa.

Tuan Abian, pria tua dengan rambut memutih. Tubuhnya tinggi dan masih tegap. Meskipun sudah berusia 60 tahun, tetapi wajahnya masih terlihat tampan. Ya, meskipun sudah dihiasi dengan guratan-guratan tanda penuaan di kulit wajahnya.

Pria tua itu mendaratkan bokongnya di sofa dengan raut wajah datar. Tak ada ekspresi apa pun yang terlihat di sana. Sangat tenang, akan tetapi tidak bagi Pak Herdinan dan Bu Messa. Pria tua itu terlihat begitu menakutkan dibanding apa pun saat ini.

Tepat di saat itu, Kalila datang dengan membawa sebuah nampan di tangannya. Nampan berisi minuman yang memang sudah disediakan untuk pria tua itu. Gadis itu berjongkok, lalu meletakkan gelas minuman yang tadi ia bawa ke hadapan Tuan Abian.

"Silakan diminum, Tuan." Kalila tersenyum kemudian bangkit dari posisinya.

Masih tak ada ekspresi apa pun yang terlihat di raut wajah Tuan Abian. Bibirnya pun masih merekat satu sama lain. Seolah terkunci dengan begitu sempurna. Namun, tidak dengan netra tua dengan manik berwarna abu-abu tersebut.

Ia tak bisa melepaskan tangkapan kedua netranya kepada Kalila, bahkan hingga gadis itu menghilang dari balik dinding sekat yang memisahkan satu ruangan dengan ruangan lainnya.

Tuan Abian sama sekali tak tertarik pada minuman yang kini tersaji di hadapannya. Pria tua itu lebih tertarik kepada gadis yang telah membuat minuman tersebut.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!