NovelToon NovelToon

PENGHIANATAN SANG ADIK

Noda Adikk Tiri

Aku turun dari mobil dengan buru-buru. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan, seharusnya aku sudah hampir sampai kantor. Sialnya, naskah penting yang harus dikurasi hari ini tertinggal di rumah. Sambil berkejaran dengan waktu, aku memutar balikkan kendaraan dan menginjak pedal gas kuat-kuat.

"Ah, kenapa harus ketinggalan, sih?" gumamku sambil memasukkan kunci kedalam lubang pintu.

Entah aku memang gugup, atau memang pintu di depanku terasa aneh? Aku yakin tadi aku meninggalkan rumah dalam keadaan terkunci, sebab tadi pagi Dimas suamiku izin keluar terlebih dahulu.

Namun saat aku memutarnya, pintu jelas sekali tidak terkunci. Mungkin suami ku sudah pulang atau ada barang yang tertinggal ? Jika benar, kebetulan sekali.

Tak mau berpikir macam-macam, aku segera memutar gagang pintu dan mendorongnya kedalam.

"Sayang...!" aku memanggil suamiku dengan sumringah. "Kamu sudah pulang, atau ada ketinggalan sesuatu?" tanya ku sambil menyusun berkas yang tergeletak diatas meja ruang tengah.

Setelah dipastikan semua naskah sudah dimasukkan kedalam totebag, pandanganku mengedar ke seluruh ruangan, berharap suamiku muncul entah darimana.

Akan tetapi, lelaki pujaan hatiku tak kunjung terlihat meskipun aku sudah menunggunya dari tadi. Hingga dua atau tiga detik, mataku berhenti pada pintu kamar yang tertutup.

Pikir Ariana mungkin suaminya ada didalam kamar. Kemudian dia berjalan mendekati pintu ruangan dimana kami selalu tidur bersama.

Langkahku sengaja buat mengendap-endap. Pasti sangat menyenangkan melihat ekspresi wajah wajah suamiku. Membayangkan saja sudah bisa membuatku gemas.

Awalnya aku ingin mendorong pintu dengan keras, tapi tiba-tiba langkahku terhenti saat mendengar suara aneh dari dalam.

Wajah isengku berubah menjadi penasaran yang besar. Suara lenguhan terdengar tidak asing. Ya, itu sama persis seperti yang terjadi saat kami bergumul madu kasih tadi malam.

Aku masih mencoba berfikir positif, ku mendekatkan telingaku ke pintu. Aku berharap dugaanku salah. Bisa jadi Dimas sedang menonton adegan panas didalam.

Namun semakin aku menyimak, semakin berdebar pula jantungku dibuatnya. Aku berharap suara lenguhan itu berasal dari video, tapi jelas sekali.... suasananya terdengar sangat nyata.

"Ah, ouch-ya, disana, Mmph..."

Mata mendelik mendelik, debaran di dadaku seperti genderang yang kehilangan irama saat mendengar suara seksi penuh gairah seorang wanita terdengar jelas melalui celah pintu.

'Siapakah itu? Apakah mungkin diam-diam Dimas membawa panggilan kerumah?' batinku

Otakku mendadak beku. Jika itu benar, mungkin aku akan mengamuk saat itu juga. Aku berpikir itu adalah kemungkinan terpahit yang akan aku terima, sayangnya tidak.

Sebab diantara suara nafas kasar yang saling bertukar, nama seorang wanita yang aku kenal dengan baik keluar dari mulut suamiku.

"Ayunda, kamu pinter banget puasin aku".

Sudah cukup! Aku tidak bisa menunggu lagi didepan pintu sampai dua binatang itu selesai.

BRAKK!!

Aku menendang pintu dengan sekuat tenaga. Mungkin karena amarahku naik ke ubun-ubun, aku merasa tanagaku meningkat. Pintu yang tadinya tertutup rapat, sekarang terbuka lebar setelah menciptakan suara yang keras.

"Binatang kalian!" teriakku sambil menunjuk dua manusia yang lansung menutupi tubuh mereka dengan selimut.

Sepertinya bukan hanya aku yang terkejut. Sebab Dimas dan adikku juga terlihat kaget dan panik.

Aku menatap mereka dengan nafas naik turun dan darahku seakan sudah mendidih dikepalaku.Tanganku mengepal disamping rok yang aku kenakan.

Entah bagian mana yang membuatku murka. Entah mengetahui suamiku selingkuh, atau Ayunda yang bermain api dengan kakak iparnya.

Aku adalah Ariana Safitri, wanita berusia 28 tahun yang dikhianati oleh suami dan adikku sendiri.

"Jadi ini yang kalian lakukan kalau, aku gak ada dirumah?" Suaraku bergetar. Menahan air mata yang memaksa keluar yang menyesakkan.

"Riana, tenang dulu. ini gak seperti yang kamu pikirkan. Kita__"

"APA?" teriakku memotong ucapan Dimas yang belum selesai. "Kalian apa?"

Aku menatap keduanya secara bergantian, berulang kali untuk menunjukkan bahwa kemarahan ku tidak bisa diajak kompromi.

Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi menanggapinya. Marah, kecewa, semuanya masuk menjadi satu kedalam panci, lalu direbus sampai mendidih.

"Kalian tega?" Seruku dengan suara tercekat. "Kenapa, kamu lakuin ini sama Kakak, Ayunda?"

Pandanganku bergeser dan berhenti pada sosok perempuan yang terpaut di bawahku tiga tahun. Ya, dia adalah adik perempuan ku yang selama ini sangat aku sayangi.

"Kakak selalu mengalah sama, kamu. Apa yang kamu mau selalu kakak kasih walaupun kakak juga butuh! Tapi sekarang apa?" Bibirku bergetar saat mengatakannya.

Aku sengaja memberi jeda. Selain tidak ingin terdengar suara menangis, Aku juga berharap Ayunda mengucapkan kata maaf dan sikap merasa bersalah atas apa yang dia lakukan.

Jika gadis itu memohon, mungkin kemarahanku akan sedikit berkurang padanya . Itulah harapan terakhirku, meskipun masih masih besar rasa sesaknya.

Namun, terlalu naif. sebab, saat Ariana menatap Ayunda, tidak ada terlihat raut wajah bersalah disana, malah yang terlihat menyeringai ke arah Ariana..

"Ayunda!" tangan Ariana mengepal, dan kakinya bergerak sendiri ke arah perempuan yang belum sempat berpakaian.

PLAKK..!!

Sebuah tamparan keras aku hadiahkan di pipi mulus Ayunda.

"Selama ini aku selalu mengalah sama kamu! Aku selalu diam saat kamu merebut apa-apa punyaku. Tapi sekarang, suamiku juga mau kamu rebut, Ayunda?" dadaku naik turun menahan amarah yang memuncak. "Aku kakakmu, Ayunda!"

Ayunda bergeming sambil memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan ku tadi. Perlahan wajahnya diangkat, dan menatapku dengan tatapan tajam.

"Berani-beraninya kamu menamparku!" ucap Ayunda, terdengar begitu keras. "Heh! Kamu itu cuma anak angkat Mama dan Papa. Kamu bukan Kakaku! Ngerti?"

PLAKK...!!

Aku kembali memberikan anak itu sebuah tamparan yang lebih keras dari yang tadi.

Aku mendengar hal itu rasanya sakit hati. Ia berpikir apakah karena aku anak angkat, sehingga Ayunda bisa bersikap seenaknya seperti itu?

"Kau!" Ayunda mendelik saat tatapan kami bertemu.

Sekarang kemarahan Ayunda semakin besar. Bisa dilihat pupil matanya yang terlihat menghitam, dengan gigi yang saling menekan satu sama lain.

"Keparat!" umpat Ayunda, sebelum tangannya diangkat untuk menarik rambutku kuat-kuat. "Dasar anak angkat gak tau di untung! Pembawa sial!"

Aku meringis merasakan perih di pangkal rambut yang Ayunda jambak. Tak mau hanya diam, akupun membalasnya dengan menarik rambut Ayunda tak kalah kuat. "Dasar gila! Kamu pikir aku takut, hah?"

"Argh! Lepas!" pekik Ayunda.

"Nggak akan aku lepasin!" balasku.

"Anak pungut sialan!"

Aku sudah tidak peduli. Bahkan jika Ayunda mengatai ku dengan kalimat terburuk pun, aku sama sekali tidak peduli. Karena menurutku setiap yang ada di dalam diri adikku adalah sampah, termasuk setiap kata yang keluar dari mulutnya.

"Argh! Lepasin dasar anak pungut keparat!"

Aku membiarkan Ayunda berteriak dan memaki diriku dengan sepuasnya, karena aku tidak akan melepaskan jambakanku pada rambut Ayunda.

Aku selama ini selalu mengalah dan diam. Akan tetapi, sekarang tak sama. Karena kali ini Ayunda sudah benar-benar melewati batas.

"Perempuan jalang gak tahu diri!" umpat ku. Selama hidupku, baru kali ini aku berkata kasar padanya. "Aku sumpahin, kamu bisulan seluruh badan!"

Kutarik rambut Ayunda semakin kuat, sampai-sampai membuat anak itu meringis kesakitan. Tapi tetap saja aku gak peduli.

"Argh, sakit!" pekiknya.

Cukup lama kami saling tarik menarik rambut satu sama lain. Apa yang dilakukan oleh satu-satunya pria disana?

Ya, Dimas yang bodoh itu hanya bergerak kesana-kemari dengan bingung.

Siapa yang akan dia bela? Sudah jelas, seharusnya aku.

"Udah. Tenang dulu, kalian", ucapnya setelah bergeming cukup lama. "Riana, lepasin rambut Ayunda".

Reflek ekor mataku mendelik pada Dimas. Bukan cuma aku yang menjambak disini, tapi kenapa laki-laki keparat itu hanya menyuruh aku melepaskan jambakan itu?

"Aduh, lepas. Ini sakit!"

Pandanganku beralih pada Ayunda yang terus merengek.

'Bukan cuma aku yang sakit, tapi aku juga' batinku.

"Ariana..."

Panggilan Dimas sama sekali tidak aku gubris. Jika dia hanya menyuruh ku untuk melepaskan rambut Ayunda, lebih baik lupakan saja. Karena aku tidak akan melakukannya.

"ARIANA! Aku bilang lepasin rambut Ayunda!"

Tiba-tiba lenganku ditarik dari samping. Otomatis cengkeramanku di rambut Ayunda terlepas, dan aku berbalik...

PLAKK...!!!

Tiba-tiba pipiku mendapatkan tamparan yang tak terduga, dan Dimas yang melakukannya.

Aku melongo beberapa detik. Rasanya otakku berhenti bekerja. Sebentar, apakah barusan aku benar-benar ditampar oleh suamiku sendiri hanya karena membela perempuan jalang itu?

"Kamu nampar aku, Dimas?" ucapku dengan nada tak percaya. "Kamu-"

"Ariana". Dimas terlihat mencoba meraih tanganku. Namun saat itu juga aku tepis dengan kasar.

"Jangan sentuh aku", kataku. "Kamu lebih memilih belaian Ayunda? Aku istrimu, Dimas! Istri sahmu".

"Riana, dengerin aku dulu. Aku bisa-"

"Cukup!" ku tepis tangan Dimas yang lagi-lagi ingin meraih tanganku. "Aku beneran gak habis pikir sama kalian. Terutama kamu, Dim".

Mataku terasa semakin panas. Sesak didalam dada seakan tidak ada apa-apanya saat ini, luka yang aku rasakan sudah melebihi kapasitas yang bisa aku rasakan.

"Riana--"

"Sekarang pilih", potongku cepat. Aku menatap Dimas dengan lekat. Setelahnya aku berkata, "Kamu pilih ninggalin dia, atau pilih ceraikan aku sekarang juga?"

Aku berharap Dimas masih memiliki sedikit kewarasan di dirinya dan memilih meninggalkan Ayunda. Namun, ada apa dengan sikap keraguan itu?

Dahiku mengernyit, hanya melihat dia bimbang saja sudah berhasil membuat aku muak. Jelas sekali, dia tidak bisa memberikan keputusan.

"Oke, maka ceraikan aku sekarang!" Ucapku pada akhirnya.

Bukan aku mengalah, tapi memang sejak awal aku tidak bisa menang.

"Kamu tidak bisa meninggalkan Ayunda, kan?".

Pelan tapi pasti, kulihat Dimas mengangguk.

Astaga! Rasanya aku ingin menggulung bumi saat ini juga. Kutarik napas dalam-dalam. Entah apa yang akan terjadi, semua rasa sakit hati yang tadi seperti hilang begitu saja ditimpa dengan sekap acuh yang luar biasa.

Setelah memberi jeda sebentar, aku mengangguk-angguk meski hati terasa begitu berantakan.

"Jadi, kamu milih pisah sama aku? Oke, aku jabanin".

Tak mau menunggu reaksi dari Dimas dan Ayunda, aku bergegas menuju lemari dan menurunkan koper dari sana. Kemudian, baju-baju yang ada di dalam sana aku keluarkan dan aku masukkan dengan sembarang kedalam koper.

Sesekali aku lirik Ayunda. Terlihat perempuan itu tersenyum, jelas sekali dia merasa sudah menang dariku. Atau... Dia mengira aku mengemasi baju-baju ini dan aku yang akan pergi?

Sayangnya, tidak! Maaf Ayunda, tapi orang yang harus pergi dari sini adalah kalian.

BRUAKKK!!

Kulempar setengah penuh kearah Dimas. "Pergi dari rumahku!" ucapku tegas. "Kamu memilih Ayunda, kan? Jadi, pergi dari sini sekarang!"

Hening. Bisa kulihat dua binatang yang bersampul manusia itu melotot kaget dengan tindakanku. Bukan hanya Dimas, tapi Ayunda juga mendelik tidak percaya.

"Jangan, kurangajar kamu, ya!" pekik Ayunda. "Satu-satunya yang harus keluar dari rumah ini ya, kamu! Rumah ini milik, Kak Dimas!"

"Oy, ya ?" aku memiringkan kepala dengan sikap meremehkan. "Sayang banget, rumah ini aku yang beli dan atas namaku. Kamu pikir rumah ini milik cowok mokondo ini? Haha, jangan ngimpi!"

Ayunda terlihat kesal. Tapi lagi-lagi aku tidak peduli.

"Kamu udah tahu kan, sekarang?" ucapku lagi. "Tunggu apa lagi? Mending sekarang kalian segara angkat kaki dari rumahku!"

Serangan Mama dan Ibu Mertua

"Ariana ...."

"Apa?!" ku pelototi Dimas yang kini menampilkan wajah memelas.

Dari tampangnya, aku bisa melihat jika pria keparat ini ingin memohon padaku. Namun aku tidak peduli, siapa suruh dia lebih memilih Ayunda, daripada aku istrinya sendiri.

"Janganlah begini, Riana. Aku mau tinggal dimana?"

"Dimana?" mataku semakin mendelik. "Terserahlah . Mau tidur di kolong jembatan kek, atau dimana kek, aku gak peduli!"

Aku melihat Dimas menelan ludahnya dengan susah payah. "Tolonglah, Riana. Biarkan aku tinggal disini sebe--"

"Heh, Dimas! Rumahku bukan dinas sosial yang menampung sembarang gelandangan, ya!" potongku cepat. Bahkan sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, karena aku bisa menebak kalimat apa yang akan keluar dari mulut sampahnya itu.

"Lagian kamu sendiri yang bilang lebih memilih Ayunda daripada aku", ucapku sambil menunjuk perempuan disamping Dimas.

"Aku gak bilang milih Ayunda". Bisa kulihat Dimas berusaha memberikan penjelasan. "Aku memang bilang gak bisa ninggalin Ayunda, tapi bukan berarti aku mau cerai dari kamu. Aku masih cinta sama kamu, Riana".

"Halah, mulutmu!" kulipat kedua tangan di depan dada. Bola mataku bergeser ke sembarang arah, sengaja mengindari wajah-wajah yang membuatku muak jika aku tetap menatapnya.

"Tolong pikirkan lagi, Riana".

Mendengar hal itu, sontak aku langsung menoleh. Mataku keheranan dengan apa yang barusan Dimas katakan.

"Dipikirkan apanya?" ucapku setengah berteriak. "Jadi kamu mau aku menerimamu dan Ayunda?"

Dimas memberikan anggukan kepala. "Poligami kan gak di larang di a--"

"Pria gila!" lagi-lagi aku menghentikan ucapan Dimas.

"Aku gak mau!"

"Tapi, aku juga gak mau menceraikan kamu".

"Lah, yaudah. Kalau gitu biar aku yang gugat cerai kamu!"

"Riana!"

"Apa?" kali ini suaraku lebih tinggi dari sebelumnya. "Riana, Riana, Riana! Itu saja yang bisa kamu omongin! Aku gak mau denger apapun lagi. Lebih baik kamu pergi dari rumahku sekarang!"

Tatapan sendu dari Dimas sama sekali tidak menggoyahkan hatiku. Sungguh kali ini aku benar-benar merasa menjadi orang yang sangat kejam.

Aku mencintai Dimas, tentu saja. Kalau tidak, bagaimana aku bisa hidup dengannya selama lima tahun tanpa nafkah yang pasti selama ini?

Rasa sayangku masih ada tentunya. Namun seolah-olah semua pengorbanan yang aku berikan justru membuat pria mokondo itu hidup bersantai sambil menyenderkan kepalanya.

Selama ini, mungkin dia berpikir rasa cintaku akan membuatku akan memaafkan segala kesalahannya. Sayangnya dia sudah melewati batas.

Dia lembut, tapi aku tidak bisa berkompromi dengan yang namanya perselingkuhan. Sebesar apapun rasa sayangku pada Dimas, semuanya akan sia-sia jika dia berani mendua.

Ku tarik nafasku dalam-dalam. Marah-marah sejak tadi membuat leherku semakin tegang. Setelah memejamkan mata dan menenangkan diri sebentar, aku kembali menatap Dimas dan Ayunda secara bergantian.

Lalu, dengan nada tenang aku berujar, "Mending kalian cepat keluar dari sini. Aku merasa energiku sudah habis meladeni kalian".

"Ria--"

"AKU BILANG KELUAR!"

Emosi yang dengan susah payah aku tenangkan, kembali melonjak.

Kuambil koper yang dari tadi hanya tergeletak tanpa tersentuh. Lalu kulempar kuat-kuat koper itu hingga mengenai dada Dimas.

"PERGI! AKU GAK MAU LIHAT KALIAN LAGI!"

Kupikir Dimas akan membujuk atau memohon sekali lagi. Namun ternyata rusak, sebab saat aku lihat, dua binatang berbentuk manusia dihadapan ku seperti pasrah saja.

Entah karena Dimas sudah menyerah, atau tangan Ayunda yang melingkar di lengannya membuatnya merasa aman?

Ku pandangi mereka satu persatu. Wajah Dimas terlihat sendu penuh penyesalan. Namun perempuan disampingnya justru mengangkat naik sudut bibirnya.

Tak lama setelahnya. Ayunda terlihat menarik lengan Dimas, dan berkata, "Sudahlah, Kak. Mending kita pergi saja dari sini".

Bukan hanya menarik Dimas, perempuan genit itu juga meraih koper yang juga berisi baju-baju yang aku buang tadi dengan sembarang.

Mataku terus mengekor kearah Ayunda. Aku bahkan bisa melihat dengan jelas saat perempuan itu melirik, dan menyeringai ke arahku.

"Kamu pikir udah hebat, hah?" ucap Ayunda, entah apa maksudnya.

Saat aku hanya memandanginya, perempuan itu kembali berkata, "Lihat. Bahkan suamimu sendiri lebih memilih aku! Sadar diri, kamu itu hanya anak pungut yang gak jelas asal-usulnya."

Dadaku semakin sesak. Seolah-olah ada batu yang diantar oleh setiap kata yang diucapkan Ayunda. Sepertinya tidak cukup hanya merebut suamiku, dia bahkan melontarkan kalimat yang paling tidak ingin aku dengar.

Tak menunggu aku menjawab, kulihat dua manusia di depanku berjalan menuju pintu.

Sesekali aku melihat Dimas berbalik dengan tatapan yang sulit ku mengerti. Sedangkan adik tiri ku, melenggang begitu saja seperti seorang pemenang meninggalkan lawan yang sudah kalah.

"Tenang aja, Kak. orangtuaku punya banyak uang, kak Dimas jangan khawatir ".

Itu adalah kalimat terakhir yang aku dengar secara samar dari Ayunda, sebelum akhirnya langkah kaki mereka benar-benar hilang dari pendengaran.

...****************...

...Tik, tok! Tik, tok! Tik, tok!...

Suara jarum jam menemani kekosongan yang aku rasakan. Dadaku benar-benar sakit dan berat. padahal jelas sekali, lubang besar tercipta disana .

Aku terduduk diatas ranjang yang berantakan sambil memegangi kepala. Selimut berserakan, begitu juga dengan bantal yang terlihat berserakan dilantai sembarangan. Membayangkan Dimas dan Ayunda bergumul diatas kasur yang sama denganku, sungguh menyesakkan sekali rasanya.

Seolah-olah belati tajam mengoyak hatiku. Perih, panas, dan hancur. Airmata yang sedari tadi tertahan, kini tak bisa lagi disembunyikan.

Air mata itu.... Mengalir bersama dengan rasa sakit hati yang sangat besar. Tubuhku membeku, meskipun bibirku terisak. Dunia yang dengan susah payah aku bangun, kini seketika hancur. Untuk apa aku hidup sekarang?

Suami sekaligus satu-satunya orang yang aku cintai, memilih pergi bersama dengan adikku sendiri. Sedangkan orangtua...ah, aku tidak bisa mengharapkan apa-apa dari orang dewasa selalu pilih kasih sejak dulu.

Ketegaran yang tadi aku tunjukkan pada Dimas, sebenarnya hanya kepura-puraan saja. Hatiku sejatinya rapuh, tapi aku tahan atas nama harga diri yang terkesan tak lagi berharga.

Aku menangis tanpa suara, rasanya lebih menyesakkan daripada mengeluarkan airmata sambil meraung-raung. Dimas keparat itu berhasil membalikkan mentalku.

Sekarang, bisakah aku menjalani hidup seperti biasanya? Aku menggeleng tak yakin, bahkan masa depan yang tadinya aku impikan, sekarang terlihat suram.

Ketika aku masih termenung tenggelam dalam rasa sakit penghianatan yang sangat dalam, tiba-tiba ponselnya berbunyi.

Awalnya aku ingin mengabaikannya, akan tetapi setelah panggilan berakhir, bel pintu rumahku berbunyi.

Buru-buru kehapus airmata ku di pipi. Bodohnya aku disaat seperti ini, masih mengharapkan jika seseorang di depan adalah Dimas. Aku berharap laki-laki itu sadar dan meminta maaf, maka aku akan memaafkannya .

Sayangnya, Tuhan masih baik. Dia tidak ingin aku kembali pada laki-laki yang tidak tahu diri itu. Akibatnya, saat aku buka pintu, bukan Dimas yang berdiri disana. Melainkan seorang pria muda yang terlihat familiar di kantor.

"Oh, Kenzi. Benara?" tanyaku memastikan. Karena aku tidak begitu yakin, mengingat pria di depanku ini adalah salah satu karyawan magang yang baru masuk dua pekan lalu.

"Benar, Bu", ucapannya sambil mengangguk sopan. Seperti sadar dengan pertanyaan di wajahku, dia langsung berkata "Aku diminta kepala departemen buat mengambil naskah yang akan dikurasi hari ini. Katanya Bu Ariana tidak bisa datang ke kantor hari ini ".

"Ah, ya". Ku simpan rapat-rapat masalah yang baru saja terjadi. Benar aku harus bisa bersikap profesional soal pekerjaan. "Masuk dulu, aku akan ambilkan berkasnya didalam".

Menuruti permintaanku. Biasa kulihat Kenzi berjalan mengekor dan masuk kedalam.

"Duduk dulu!" ucapku seraya mempersilahkan Kenzi untuk duduk.

Kemudian aku menuju kamar. Tak sadar, sepertinya aku meninggalkan tas di sana. Dadaku begitu sesak saat Kemabli masuk ke sarang cinta yang kini sudah terbakar dengan api penghianatan.

Napas kutarik dalam-dalam. Airmata yang sudah kering tidak boleh keluar lagi. Ingat, jangan sampai masalah pribadi dibawa kerana pekerjaan. Meski ternyata itu sulit sekali.

Setelah menarik kembali airmata yang hampir turun, aku kembali keluar sambil mengeluarkan naskah dari dalam tas.

"Ini naskah yang perlu dikurasi hari ini", ucapku sambil menyerahkan lembaran kertas pada Kenzi.

"Baik, Bu." ucapnya sopan. Selanjutnya dia menaruh kertas-kertas itu kedalam tas, lalu bangkit. "Kalo gitu, saya balik ke kantor dulu, Bu".

Aku tersenyum kecil dan mengiyakan. "Maaf aku gak bisa datang ke kantor, malah ngerepotin kamu".

"Nggak masalah, Bu", ujarnya. Setelah tiba di depan pintu, kulihat Kenzi berbalik. "Kalo gitu, saya permisi".

"Ya, hati-ha__"

"Oh, jadi ini kelakuan kamu, Riana!"

Mataku mendelik seketika. Sontak aku langsung menoleh kearah sumber Suara yang terdengar menggelegar.

Rupanya, wanita yang telah membesarkan aku dengan pilih kasih terlihat berjalan tergopoh-gopoh kearah kami.

"Kamu sudah menuduh suamimu berselingkuh dengan adikmu sendiri dan ngusir mereka, supaya kamu bisa bawa cowok lain ke rumah, kan?"

Aku menganga. Darimana pikiran itu berasal? Wanita ini baru datang, dan langsung marah-marah. Apa yang sebabnya sudah diceritakan oleh Ayunda?

"Dia..." kuliah, Mama tiriku menunjuk-nunjuk Kenzi yang terlihat bingung. Lalu kembali berkata, "Dia simpanan mu, kan? Kamu sengaja nuduh suami dan adikmu sendiri, buat nutupin kelakuanmu, kan?"

"Apaan sih, Ma? Datang-datang nuduh sembarangan," ucapku.

"Halah! Ngaku saja kamu?" usai memberiku tatapan menyebalkan, lalu dia beralih memandang Kenzi. "Heh! Denger ya, perempuan ini sudah punya suami. Kamu jangan mau jadi simpanannya!"

Kenzi terlihat bingung. Dia sesekali melirik ke arahku untuk meminta penjelasan tentang situasi macam apa ini. Tentu, aku hanya bisa meminta maaf lewat isyarat mata.

"Heh! Aku lagi ngomong sama kamu!" bentak Mama tiriku pada Kenzi.

"Mama! Dia pegawai di kantorku! Mama jangan malu-maluin, lah".

"Diem kamu, Riana!"

Kutelan ludah dengan kasar. Setelah anak dan menantunya bersikap seenaknya, kini wanita itu sama sembarangannya.

Sementara kulihat, Kenzi terlihat mengangguk-angguk. Sepertinya dia sudah bisa mengerti apa yang terjadi. Namun tidak seperti bayanganku, aku pikir Kenzi akan langsung mengelak dan menghindar, akan tetapi....dia malah tersenyum dan sopan.

"Maaf, Bu. Aku memang pegawai magang di kantornya Bu Ariana. Dan aku datang kesini buat mengambil berkas ", ucap Kenzi dengan tenang.

Terlihat Mama tiriku memutar bola mata. Entah dia tidak percaya atau kadung malu menuduh Kenzi sembarangan tadi.

Tak kunjung mendapatkan tanggapan dari wanita itu, Kenzi kembali tersenyum dan berpamitan. Namun lagi-lagi belum sempat ia berbalik, tiba-tiba dari arah seberang terdengar teriakan yang lain .

Ya Tuhan, apalagi sekarang?

"ARIANA! Berani-beraninya kamu usir anakku seperti itu!"

Ah, ini dia satu lagi. Ibu mertua yang selalu merajakan anak mokondonya itu.

Ipar adalah maut

Hati yang sakit kini merambat ke urat leher. Kepalaku pening, leher terasa sangat kaku setelah mendengar teriakan bertubi-tubi dari dua wanita yang memaki sejak tadi.

"Kamu jadi perempuan, jangan sok, Ariana!" Wanita yang berkata seperti itu adalah Susi, ibu mertua, oh, mungkin akan segera menjadi mantan mertua.

Perawakannya yang gempal, berwajah manis dengan bibir tipis. Untuk paru baya sepertinya , ku akui Bu Susi tergolong cantik. Sayangnya, paras yang cantik itu tidak diimbangi dengan mulut yang bagus.

"Kamu pikir siapa bisa usir anakku seperti itu, hah?" lanjut wanita itu sambil menunjuk ke arahku.

Sesaat aku hanya bergeming dan mengambil nafas dalam-dalam. Jika ditanya siapa, aku adalah pemilik rumah sekaligus seorang istri yang dikhianati oleh suami dan adik sendiri.

Namun belum sempat aku mengatakannya, kulihat Bu Susi beralih ke wanita paru baya lain disana. Dia adalah Endah, Mama tiriku.

"Lihat, kelakuan anakmu, Endah! Ini bukti kalau kamu gak becus didik anak".

Bola mataku bergeser menatap Mama yang nampak mendelik tidak terima.

"Enak aja! Kamu yang gak bisa didik Dimas. Bisa-bisanya dia selingkuh." Balas Mama

Tentu saja, sebagai seorang ibu, Bu Susi akan kesal, meskipun tuduhan terhadap anaknya itu benar. Dari yang aku lihat, mereka akan terus berdebat memperebutkan posisi benar dan salah.

Padahal keduanya sama saja.

Mendengar perdebatan sepertinya tidak akan berakhir, keningku rasanya seperti ditarik. Dua wanita yang seharusnya bersikap bijak, nyatanya malah berlakon seperti anak-anak.

"Urus anakmu ini, Endah!"

"Harusnya kamu yang urus Dimas. Eh, denger ya, aku__"

"Diam!" Aku tiba-tiba berteriak menyela debat. Sejak bertemu mereka, baru kali ini aku meninggikan suara.

Oh, jelas. Dua wanita yang gila hormat itu, langsung melotot ke arahku.

Bahkan di detik selanjutnya, kudengar Mam berkata, "Kamu barusan bilang apa, Riana? Kamu menyuruh aku diem?"

Napas aku tarik dalam-dalam. Mata sengaja aku tutup, masih tidak berani menatap Mama yang jelas sangat marah.

Meski begitu, aku tak terus-menerus menjadi Ariana yang sabar. "Kalian sama saja!" seruku kemudian.

Aku membuka mata, melihat ibu mertua yang nampak kaget. Setelahnya aku berkata, "Anak ini memang selingkuh dariku. Dan Mama___" pandangan ku alihkan ke arah Mama. "Yang jadi selingkuhan Dimas adalah Ayunda, anak kesayangan Mama!"

Bisa ketebak, reaksi kedua wanita itu terlihat sama sekali tidak terkejut. Aku pikir, setidaknya mereka akan berpura-pura dan menunjukkan rasa simpati pada wanita yang diselingkuhi.

Namun apa yang terjadi? Salah satu dari wanita itu malah menaikkan bibir sambil memutar bola mata, menyepelekan perselingkuhan yang dilakukan oleh anaknya sendiri.

"Eh, Ariana. Dimas itu laki-laki, seharusnya kamu itu introspeksi diri kenapa suamimu bisa sampai selingkuh dari kamu". ujar Bu Susi.

Instrospeksi? Aku bahkan tidak tahu jika ada alasan yang dibenarkan untuk selingkuh..

Ketika masih kucoba menahan sesak didada, Mama tiba-tiba menyela, "Benar tu, Riana. Sekarang kamu tahu kan, kenapa perempuan tidak boleh bekerja kalo sudah menikah? Suamimu akan kesepian! Wajar kalo dia cari perempuan lain. Lagian salah kamu sendiri."

Hah? Bibirku menganga lebar. "Ma! Mama yakin ngomong kayak gitu?"

Tiba-tiba mataku terasa panas. Jantungku sakit, seperti ada batu besar yang siap menghantam gumpalan darah didalam disana.

"Kalo aku gak kerja, gimana bayar cicilan motor Dimas?" Sambil menahan sesak, aku kembali berkata, "Kalo aku cuma dirumah nemenin Dimas, kita mau makan apa, Ma?"

Tak peduli dengan reaksi Mama, aku beralih menatap ke Bu Susi dengan berkaca-kaca. "Sekarang aku tanya sama ibu, pernah gak anak kesayangan ibu kasih uang? Siapa yang rutin kasih jatah uang bulanan buat ibu? itu aku, Dimas pake uang itu untuk ibu!"

Dadaku terasa naik turun menahan sesak. Sungguh, aku tidak mengungkit-ungkit soal uang. Selama ini aku ikhlas, tapi mereka yang tidak pernah mau mengerti.

"Ibu pikir, Dimas punya uang?" Aku menggeleng. "Nggak, Bu. Dimas gak bakal punya uang, kalo gak aku kasih. Dan dia malah selingkuh sama Ayunda, adikku sendiri?"

Untuk sesat, kalimatku tidak dibantah. Begitu tatapanku mengedar bergantian, bisa kulihat Mama dan Bu Susi terdiam. Meski aku yakin, mereka bergeming karena sedang berfikir untuk mengatakan apa.

Benar saja, bibir Bu Susi terbuka. "Mungkin suamimu khilaf. Lagian pasti setiap manusia punya salah".

"Khilaf?" keningku mengernyit. "Selingkuh bukanlah khilaf, dia itu brengsek. Ayunda juga, breng___"

PLAKK!!

Mataku mendelik, sedangkan pipiku terasa panas karena tamparan yang tiba-tiba dilayangkan oleh Mama.

"Kamu bilang adikmu apa, hah?" begitulah yang aku dengar dari Mama, setelah dia menghadiahiku dengan sebuah tamparan. "Dasar anak gak tau di untung!"

Aku bergeming. Daripada tamparan itu, rasa sakit didalam sini jauh lebih terasa besar. Namun setelah semuanya, hatiku sudah mulai kebal .

Bahkan aku sepertinya keberatan jika harus mengeluarkan airmata sejak kalimat tak berempati seperti tadi.

"Kamu itu cuma anak pungut, Ariana! Ayunda anak kandungku!"

Hah, aku hanya membuang nafas dengan berat. Sakit sekali, benar-benar menyesakkan meskipun itu memang kenyataan.

Anak pungut katanya. Lalu kenapa mereka mengambilku jika akan terus diungkit seperti ini? Apa aku pernah minta untuk diadopsi? Entahlah, aku bahkan tidak ingat bagaimana aku bisa berakhir di keluarga itu.

Banyak yang ingin aku katakan, tapi sialnya semua kata-kata seperti tertelan. Bagaimanapun, selama ini mereka yang menghidupiku, walaupun rasanya lebih banyak deritanya daripada bahagia yang kuingat.

Mungkin karena aku banyak diam, Mama lagi-lagi tidak terima. Rambutku tiba-tiba ditarik, sensasi nyeri kembali terasa sama seperti saat Ayunda menjambak ku.

"Dasar anak pungut gak tau diri! Kamu pikir kamu siapa bisa melawan aku, hah? Siapa yang selama ini menghidupi kamu kalau bukan aku..."

Berbagai versi cacian terus menyambangi telinga. Aku hanya meringis, tak segan membalas menarik rambut wanita yang sebagian sudah beruban.

Sementara Bu Susi, entah ekspresi apa yang saat ini dia berikan. Aku tidak tahu, dan memang tidak tertarik untuk mencari tahu.

"Anak, sial__"

"Endah berhenti!"

Beruntung, sepertinya Tuhan masih baik padaku. Sebab sebelum rambutku habis, bisa kudengar suara yang familiar berjalan kearah kami.

"Cukup, Endah. Apa yang kamu lakukan?" Lelaki yang menarik Mama adalah Dito, Pap tiriku, satu-satunya yang paling baik di keluargaku.

"Lepasin, Mas. Aku mau hajar anak pungut sialan ini."

Kulihat Mama terus meronta, meminta dilepaskan sambil menunjuk-nunjuk ke arahku. Ya, sepertinya aku akan habis jika Papa datang terlambat.

"Udah, Endah. Lebih baik kamu pulang, dan tenangin diri dulu".

"Nggak! Aku mau kasih pelajaran sama, Ria___"

"ENDAH!"

Aku terkejut, Papa yang biasanya tenang, membentak seperti barusan. Namun sepertinya bukan hanya aku, tapi Mama juga terlihat ketakutan dengan bentakan suaminya barusan .

Seakan tak mau Mama kembali berulah, papa segera menarik wanita itu. "pulang sekarang!"

Akan tetapi, kulihat Papa juga menoleh kearah Bu Susi. Lalu berkata, "Ibu lebih baik pulang kalau gak mau aku aduin sama, Parjo".

"Riana". Kali ini Papa beralih padaku. "Maaf, tapi kalau sudah tenang , kamu mau datang kerumah buat menyelesaikan masalah ini, kan?"

Dengan gampang aku mengangguk. Walaupun sebenarnya aku tidak mau melihat wajah Dimas ataupun Ayunda.

Ah, kenapa perselingkuhan yang sering aku lihat diberita, sekarang malah menimpa rumah tanggaku? Bahkan tak tanggung-tanggung, suamiku berselingkuh dengan adik iparnya sendiri.

Salahku, kenapa aku tidak bawa jauh-jauh Dimas dan memilih tinggal didekat rumah keluargaku.

Sekarang aku tahu, kenapa orang selalu mewanti-wanti. Karena ipar adalah maut.

****************

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!