NovelToon NovelToon

Mahar Untuk Nyawa Ibu

Mari bercerai, mas!

Di tengah panasnya matahari siang, Raina berdiri mematung di depan pintu ruang ICU. Matanya sembab, wajahnya pucat, dan tangan gemetar memeluk map rekam medis ibunya. Dalam map itu tertulis jumlah biaya operasi yang harus dibayar paling lambat tiga hari ke depan: angka yang mustahil ia capai, bahkan jika ia bekerja siang malam seumur hidup.

Raina hanyalah anak dari seorang pembantu rumah tangga. Ibunya telah mengabdi lebih dari dua puluh tahun di rumah keluarga Prawira—keluarga konglomerat yang hidupnya tak pernah mengenal kata “kekurangan.” Mereka tinggal di dunia yang sama, namun berdiri di kutub yang berbeda.

Gadis itu sudah bekerja serabutan ke sana- Kemari sejak lulus SMU tahun kemarin,demi membantu biaya rawat jalan ibunya.Namun hari ini kenyataan menamparnya.Mau sekeras apapun ia bekerja siang malam, angka nominal yang di butuhkan sang ibu dalam waktu dekat tidak akan sanggup ia dapatkan.

Hingga ia berada di satu titik dimana ia harus kehilangan harga dirinya, menikah dengan tuan Aditya demi mahar biaya operasi sang ibu.

Sementara itu, di rumah megah dengan halaman seluas lapangan bola, Aditya Prawira duduk di samping ranjang sang eyang yang sudah lanjut usianya.

“Aditya...,” suara parau itu terdengar nyaris tak ada, “Eyang minta satu hal saja sebelum pergi... nikahi lah Raina.Dia gadis yang baik,eyang ingin kamu bahagia dengan seseorang yang bisa menjagamu dengan hati.”

Aditya terdiam.Ia menyayangi eyang lebih dari siapa pun.Tapi menikahi Raina? Anak pembantu? Gadis yang bahkan tidak pernah bicara lebih dari tiga kalimat dengannya?

Namun wajah sang eyang, yang semakin hari semakin menua seolah menggantungkan harapan terakhirnya pada permintaannya itu. Dan Aditya terjebak dengan keadaan yang sulit.Di satu sisi ia masih mencintai mantan kekasihnya.

Mereka berpisah karena perbedaan pendapat, yang mungkin saja jika waktu itu Di antara keduanya tidak terbangun ego yang tinggi, mungkin Hubungannya masih berlanjut hingga pelaminan.

✧༺♥༻✧♛┈⛧┈┈•༶*:..。o○ ○o。..:*

Dua hari kemudian, di sebuah kantor KUA kecil di pinggiran kota, pernikahan itu berlangsung dalam diam.

Tak ada gaun mewah. Tak ada pelaminan. Tak ada tamu undangan. Hanya ijab kabul dan beberapa saksi. Raina mengenakan kebaya sederhana , sedangkan Aditya mengenakan setelan jas abu-abu dengan mata yang kosong.

Mahar pernikahan itu adalah biaya operasi sang ibu. Sebuah mahar yang menyelamatkan satu nyawa, tapi merampas kebebasan dua jiwa.

Setelah pernikahan.

Tak ada pelukan hangat, apalagi senyum manis yang menandai pagi mereka. Bahkan sekadar percakapan pun terasa mewah — nyaris tidak pernah terjadi.

Meski begitu, Raina tak pernah alpa menjalankan perannya sebagai istri. Setiap pagi, ia bangun lebih awal. Menyiapkan sarapan, meski tahu tak akan disentuh. Meletakkan dasi dan jas kerja Aditya dengan rapi di sisi tempat tidur. Menyetrika bajunya, merapikan meja makan, menyeduh kopi seperti yang pernah sekali disebut Aditya—kopi hitam, tanpa gula.

Hari demi hari berlalu. Bulan berganti tahun. Raina tetap menjalankan rutinitas itu. Dalam diam. Dalam dingin. Dalam rindu yang bahkan belum sempat tumbuh, tapi sudah layu.

Tak ada yang tahu, apakah Raina melakukannya karena cinta yang diam-diam tumbuh... atau karena ia hanya terbiasa menjalankan perannya, seperti kontrak yang tertulis di atas kertas.

Namun, setiap sarapan yang tak disentuh, adalah bukti sunyi dari rasa yang tak pernah diberi kesempatan untuk hidup.

...----------------...

Tepat setelah 2 tahun pernikahan.

Raina bersandar lemah di dinding ranjang kamarnya. Tubuhnya masih dibalut pakaian hitam dari pemakaman sang ibu, namun pikirannya telah jauh melayang, tenggelam dalam gelombang kenangan dan duka yang tak berkesudahan. Sejak kembali dari pemakaman tadi siang, ia hampir tak berkata sepatah kata pun. Hanya suara koper yang berderit saat dibuka dan pakaian yang dilipat tergesa yang menjadi saksi dari keputusannya malam itu.

Tangannya gemetar saat satu per satu baju dimasukkan ke dalam koper. Tidak ada keraguan, hanya kekosongan. Ia ingin pergi, menjauh, karena ia bertahan di rumah ini, karena ibu.

Demi ibunya_sekarang beliau telah pergi, ia merasa tidak punya alasan untuk tetap tinggal.

Matanya sembab, nyaris bengkak. Air mata terus menggenang, seolah tak ingin berhenti. Di pangkuannya, sebuah bingkai foto yang sudah lama terpatri di meja samping ranjang. Ia menatap wajah ibunya dalam foto itu dengan lirih, seakan berharap sosok itu bisa menjawab semua luka yang menyesakkan.

“Maaf, Bu…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.

Tangannya mengusap permukaan kaca foto itu, perlahan, penuh rindu. Lalu, dengan hati-hati, ia letakkan figura itu di antara tumpukan pakaian dalam koper. Benda itu menjadi yang terakhir ia masukkan—dan mungkin, yang paling berat. Karena bukan hanya sekadar barang. Itu adalah satu-satunya yang masih terasa hangat dari seseorang yang kini telah pergi selamanya.

Dengan satu tarikan napas dalam, Raina menutup koper itu. Bunyi klik resleting terdengar jelas di antara keheningan malam, seperti penanda sebuah bab yang telah usai. Tapi juga, mungkin, awal dari pelarian yang belum ia tahu ke mana akan membawanya.

"Mari Bercerai, Mas."

Hening.

Hanya suara detak jam dinding dan rintik hujan di luar jendela yang menemani kesedihan Raina malam itu. Satu koper besar telah penuh dengan pakaian dan kenangan yang tidak ingin ia bawa pergi, tapi harus.

Tangannya gemetar saat menarik resleting koper. Matanya sembab. Satu hari penuh ia habiskan di pemakaman, mengantar ibu kandungnya ke tempat peristirahatan terakhir—tanpa sosok suami di sisinya.

Langkah kaki berat terdengar dari arah koridor. Sepatu kulit menggesek marmer dingin, mendekat… dan berhenti di ambang pintu.

Aditya berdiri di sana. Tegap. Dingin. Seolah tidak ada yang salah. Seolah semua baik-baik saja.

Raina tidak menoleh. Ia hanya berdiri membelakangi suaminya, mencoba menelan tangis yang sudah tak punya tempat lagi di dadanya.

“Aku minta maaf,” suara Aditya lirih, nyaris tak terdengar.

Baru kali ini ia mendengar kata itu dari mulut Aditya. Tapi semua sudah terlambat.

Dengan suara yang bergetar, namun penuh keberanian, Raina berkata pelan namun tegas,

“Mari bercerai, Mas.”

Sunyi.

Aditya tak langsung menjawab. Nafasnya mulai memburu, jemarinya mengepal di sisi tubuh.

“Apa kamu bilang?” suaranya meninggi, nyaris menggelegar.

“Mari bercerai,” ulang Raina tanpa menoleh. Kali ini lebih mantap, lebih mantap dari sebelumnya.

Langkah kaki Aditya mengikis jarak di antara mereka. Raina mundur satu langkah.

“Jadi ini maumu?” suaranya keras, tapi dalam matanya ada kepanikan yang tidak bisa ia sembunyikan.

“Kamu bisa menikahi wanita yang kamu cintai. Bukankah itu yang kamu—”

Belum sempat kalimat itu selesai, Aditya menarik tengkuknya kasar dan… menciumnya. Dalam. Memburu. Memaksa. Seolah ingin menghapus kata-kata yang baru saja keluar dari bibir Raina.

Raina memberontak, dadanya sesak. Tapi Aditya tak melepasnya. Baru ketika ia melihat Raina hampir kehabisan nafas, barulah ia melepaskan.

Raina terisak. Air matanya mengalir lagi. Tangannya menyentuh bibir yang bergetar karena emosi dan luka.

“Kenapa kamu… melakukan itu…”

Aditya menatapnya lekat-lekat. Matanya merah. Rahangnya mengeras.

“Kamu pikir sesederhana itu keluar dari hidupku? Kamu pikir kamu bisa pergi begitu saja setelah masuk dalam hidupku?!”

“Aku tidak punya alasan lagi bertahan, Mas… Ibu sudah tiada. Kamu bahkan… bahkan tidak datang ke pemakamannya…”

Suaranya pecah. Duka dan kecewa bercampur jadi satu.

Aditya membanting tangannya ke dinding. Dentumannya menggema.

BRAKK!

Pintu kamar dibanting keras hingga gagangnya bergetar. Raina tersentak, tubuhnya refleks memeluk koper yang baru saja ingin ia bawa keluar.

Langkah kaki Aditya kembali bergema, kali ini lebih berat… lebih menekan. Udara di ruangan seketika berubah dingin, seolah menyerap sisa-sisa keberanian yang Raina kumpulkan selama ini.

Aditya berdiri di depan pintu, menatapnya dengan sorot tajam yang tak pernah ia tunjukkan selama dua tahun pernikahan mereka. Matanya membakar, rahangnya mengeras, dan tangan yang tadi mengepal kini mencengkram gagang pintu seperti hendak menghancurkannya.

“Kamu nggak akan ke mana-mana tanpa izin dariku.”

Suaranya dalam, pelan… tapi tajam seperti bilah pisau yang mengiris pelan-pelan.

Raina mematung. Napasnya tercekat. Ia tahu, Aditya bukan tipe pria yang mudah dikalahkan—terutama oleh perasaan. Di balik setelan mahal dan wajah tenangnya, ada ego yang menara tinggi. Aditya tidak terbiasa ditinggalkan. Tidak terbiasa ditolak. Terlebih oleh perempuan yang selama ini ia anggap tak punya pilihan selain menuruti kehendaknya.

“Aku bukan tahananmu, Mas…” ucap Raina lirih, berusaha menyembunyikan getar di suaranya.

Aditya melangkah pelan ke arahnya, membiarkan keheningan mengisi jeda di antara mereka. Sikapnya tetap tenang, tapi ada bara yang tak bisa ia padamkan di balik ekspresi dinginnya.

“Bukan tahanan?” Ia tertawa sinis.

“Tapi kamu lupa, Rain… Semua yang kamu pakai, semua yang kamu miliki—termasuk kebebasanmu—ada di tanganku. Jangan pikir karena kamu sudah berani bicara cerai, kamu bisa seenaknya keluar dari hidupku.”

Raina mundur satu langkah. Dinding membatasi punggungnya, dan tak ada jalan untuk pergi.

Di mata Aditya, ucapan 'cerai' bukan hanya penolakan. Itu adalah bentuk pembangkangan—sesuatu yang tak pernah ia terima dari siapapun.

Ia menatap Raina lama, seolah menantangnya untuk melawan lebih jauh.

“Kita belum selesai,dan ingat!! kecuali aku yang memintanya__selamanya kamu tetap tinggal ”

Kata-katanya seperti palu yang mengetuk akhir dari semua niat Raina untuk pergi malam itu.

Dan di dalam ruang megah yang kini terasa sempit itu, Raina sadar… keluar dari pernikahan ini tak semudah mengucapkan dua kata: "Mari bercerai." Ada kertas kontrak yang mengikatnya.

Kontrak perjanjian.

Tiga hari sudah berlalu sejak Raina mengajukan permintaan cerai. Dan selama tiga hari itu pula, Aditya menghilang tanpa jejak. Bukan kabar, bukan penjelasan, bahkan sekadar suara pun tak ada. Namun anehnya, rumah itu justru semakin dijaga ketat. Bodyguard berdiri di setiap sudut, mengunci semua pintu keluar seolah Raina adalah tahanan, bukan seorang istri.

Raina duduk diam di depan balkon kamarnya. Mata sayunya menatap lurus ke arah gerbang yang dijaga ketat. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi pikirannya bergemuruh. Dada sesak oleh amarah yang tak sempat diteriakkan. Betapa ironis. Selama dua tahun pernikahan, ia hidup dalam bayang-bayang, nyaris tak dianggap. Dan kini, saat ia ingin pergi, pria itu datang kembali hanya untuk mengurungnya, memperlakukannya seperti milik yang tak boleh hilang.

Tak ada air mata yang jatuh. Tangisnya telah habis bersama malam-malam sepi yang dulu ia tangisi sendirian. Yang tersisa hanyalah luka, kecewa, dan kemarahan yang mengendap di dada, menyesakkan seperti kabut hitam yang tak pernah reda.

Selama tiga hari itu, Raina mengunci diri. Ia menolak makan. Hanya air putih yang ia teguk sesekali, sekadar menjaga tubuhnya tetap bertahan. Bujukan dari kepala pelayan hanya ia balas dengan diam. Lidahnya kelu, suaranya seperti tertinggal bersama harga dirinya yang dulu dirampas perlahan-lahan.

Wajah cantiknya kini tampak tirus. Kulitnya pucat, dan tubuhnya melemah. Ia seperti bayangan dirinya sendiri—kosong, rapuh, dan hampir hilang. Bahkan untuk berbicara pun kini terasa berat, seolah tak ada lagi yang pantas ia ucapkan.

Dan hari ini, Aditya kembali.

Mobil mewahnya melaju perlahan memasuki pekarangan, memecah keheningan yang terasa dingin. Raina menyaksikannya dari balik jendela, matanya tak berkedip menatapnya.

Aditya keluar dari mobil dengan setelan kantor yang masih rapi. Langkahnya tegap, ekspresinya dingin, nyaris tanpa emosi. Para pelayan buru-buru berbaris, menunduk dalam, menyambut sang tuan rumah. Tapi ia hanya melewati mereka tanpa sepatah kata pun, membawa aura dingin yang langsung memenuhi seisi rumah.

Tanpa banyak bicara, Aditya menuju kamar Raina. Ia mengeluarkan kunci serep—ia tahu Raina tak akan membukakan pintu untuknya. Dalam sekali putaran, pintu terbuka, dan di hadapannya berdiri kenyataan pahit: seorang istri yang kini hanyalah bayang-bayang dari wanita yang dulu ia abaikan.

Raina tidak menoleh. Ia tetap duduk di kursi balkon, seperti tak merasakan kehadirannya. Namun dalam diamnya, ada perlawanan. Dalam tenangnya, ada luka yang tak tertolong. Dan dalam tatapannya yang kosong, ada satu harapan yang nyaris padam—harapan untuk bebas.

.

.

"Kenapa mas, memperlakukanku seperti tahanan?" Suara Raina nyaris tak terdengar, serak dan pelan, namun cukup jelas untuk menusuk ruang sunyi kamar itu. Suara itu bukan hanya berasal dari bibirnya, tapi dari luka yang menganga di hatinya.

Aditya perlahan melangkah mendekat, wajahnya datar, seperti tak terusik oleh nada pilu istrinya. Ia berlutut, menyibak anak rambut yang jatuh di wajah Raina. Namun tangan itu segera ditepis oleh Raina dengan gerakan cepat.

"Aku tetap mau pergi," ucap Raina lirih tapi tegas. "Tolong lepaskan aku. Sudahi drama ini. Kita jalani hidup masing-masing."

Raina meraih tangan Aditya, mencoba menggapai sedikit saja belas kasih yang dulu pernah ia kenal. Namun yang didapat justru dorongan keras hingga tubuhnya membentur dinding. Nafasnya tertahan, tubuhnya bergetar. Namun tatapannya tetap menantang.

"Aku ingin lihat, hidup seperti apa yang bisa kau jalani tanpaku!" desis Aditya. Sorot matanya tajam, penuh bara. "Bahkan rumah satu-satunya yang selalu kau banggakan itu… sudah bukan milikmu lagi."

Senyum sinis mengembang di bibir pria itu, seperti luka yang dipaksa terbuka.

"Bohong!" Raina membentak, meski suara hatinya mulai goyah. "Itu rumah peninggalan Ibu. Tak seorang pun berhak mengambilnya."

Aditya tak membalas. Ia berbalik dan keluar dari kamar, membiarkan Raina tenggelam dalam ketidakpastian. Sekitar tiga puluh menit kemudian, pria itu kembali dengan map di tangannya.

"Silakan," katanya, melemparkan map itu ke lantai. "Sekarang kau punya dua pilihan: keluar dari sini dan menjadi gelandangan, atau tetap di sini sebagai istri yang patuh."

Belum sempat Raina merespons, Aditya kembali menambahkan, suaranya dingin dan menusuk.

"Dan jangan lupa... tentang kontrak pernikahan kita. Kau tidak lupa, kan, apa isinya?"

Jantung Raina berdegup tak beraturan. Ingatannya melesat ke masa lalu—di ruang tunggu rumah sakit, saat ia buru-buru menandatangani berkas yang disodorkan asisten Aditya. Waktu itu, pikirannya hanya penuh oleh kekhawatiran terhadap ibunya yang sedang dioperasi. Ia tak membaca satu kata pun dalam kontrak itu.

Matanya mulai berkaca-kaca saat Aditya mengutip salah satu klausul:

Pihak kedua tidak dapat mengajukan gugatan cerai tanpa persetujuan pihak pertama. Jika dilanggar, pihak kedua wajib membayar denda sebesar dua miliar rupiah dan bersedia diproses hukum atas dasar penipuan perjanjian.

Lutut Raina melemas. Tubuhnya merosot ke lantai. Air matanya jatuh tanpa suara. Baru kemarin ibunya dikuburkan, bahkan tanah di pusara masih basah. Dan hari ini, ia kembali dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan: pernikahan yang tak hanya hampa, tapi juga menjelma jerat yang mencekik.

Aditya berjongkok, menyamai tinggi tubuh Raina yang kini tak berdaya.

"Jadilah istri yang baik... Oh, satu hal lagi," katanya, menepuk bahu Raina dengan ringan namun menyakitkan. "Nasib para karyawan, ada di tanganmu."

Raina menggeleng dengan getir. "Bahkan iblis pun tak sekejam ini, Mas!" jeritnya diiringi tangisan.

Aditya tersenyum tipis. "Bagus. Kalau kau sudah tahu, berarti kau tahu bagaimana harus bersikap." Ia mencengkeram pipi Raina dan menatapnya dalam-dalam. "Sekarang temani aku makan!"

Langkah Aditya meninggalkan kamar seperti gema petir yang membelah ruang hati Raina. Marah, bingung, namun tak bisa berbuat apa-apa, Raina mengepalkan tangannya, menggosok lantai dengan geram. Tapi tetap bangkit, menuruti perintah suaminya.

Di ruang makan, meja sudah dipenuhi aneka masakan. Aneh, hampir semuanya adalah makanan kesukaannya. Dari ayam goreng kampung, sop iga, hingga oseng cumi. Ada kenangan dalam tiap hidangan itu, kenangan yang tak pernah lagi dihadirkan sejak lama.

Raina tercekat. Ia tak tahu harus merasa tersentuh atau justru curiga. Dalam balutan luka, kasih itu kadang terasa seperti ilusi.

"Segera duduk! Jangan buang waktuku terlalu lama," perintah Aditya.

Raina menurut. Ia duduk di kursi yang sudah disiapkan pelayan. Tapi mulutnya kelu. Bagaimana bisa ia berbicara setelah perang yang baru saja meletus?

Aditya hanya diam, tapi tatapannya tajam memperhatikan. Itu membuat Raina gugup tak karuan.

"Mas mau makan yang mana? Biar aku ambilkan," gumam Raina, nyaris seperti bisikan. Ia sendiri heran, kenapa masih ada rasa malu dalam dirinya.

"Semuanya."

"Hah?" Raina terperangah. "Segini banyaknya?"

Namun Aditya tidak menoleh. Ia sibuk dengan gawainya. Tanpa menjelaskan apa pun, ia berdiri dan menegaskan,

"Habiskan. Saya ada rapat di kantor."

"Mas, jangan bercanda. Ini bahkan melebihi porsi kuli!" protes Raina, kesal.

Tanpa menghiraukan, Aditya memberi isyarat pada kepala pelayan. "Jika tidak dihabiskan, pecat dia."

Begitu saja, ia pergi, meninggalkan badai yang belum sempat reda.

Kepala pelayan menghampiri dengan wajah memohon. "Nyonya, mohon sekali ini saja... Hidup keluarga saya bergantung pada pekerjaan ini."

Raina menarik napas panjang, hatinya teriris.

"Tenang, Bibi. Panggil semua pelayan. Kita makan bersama."

"Tapi, Nyonya..."

"Aku yang akan tanggung jawab. Daripada makanan ini dibuang, lebih baik kita nikmati bersama."

Dan siang itu, Raina duduk di meja makan bersama para pelayan. Suasana yang sederhana, hangat, dan jauh dari kemewahan—namun terasa lebih manusiawi daripada apa pun yang pernah ia rasakan selama tinggal di mansion itu.

Di tengah kehancurannya, Raina menemukan seberkas kehangatan. Di antara luka dan luka, ia masih bisa merasa hidup. Bukan karena cinta dari suaminya, tapi karena rasa yang sederhana: dihargai, dianggap manusia.

Dan di luar sana, di balik pintu besar yang tertutup, Aditya berdiri diam. Mengintip dari celah jendela, menyaksikan Raina tertawa kecil bersama para pelayan. Bibirnya mengulas senyum samar, entah karena puas, entah karena luka lama yang tiba-tiba terasa akrab kembali.

Yang seharusnya terjadi.

🍂 Diam-diam, di tempat berbeda…

Aditya duduk diam di ruang kerja pribadinya, namun matanya tak lepas dari layar ponsel yang terhubung dengan cctv rumah. Raina, tengah duduk bersama para pelayan, di taman belakang.

Raina terlihat sangat nyaman dan terhibur.Senyum indahnya tak pernah lepas dari setiap ia berbicara.

Entah kenapa, senyum itu justru membuat dadanya terasa penuh. Ada sesuatu yang bergerak di balik kesombongan dan egonya. Sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya—tapi terasa nyata.

Biasanya, Aditya tak pernah peduli. Raina bisa menangis, mengurung diri, atau pergi sekalipun, dan ia tetap akan melanjutkan harinya tanpa gangguan. Tapi hari ini berbeda. Sejak Raina mengatakan ingin bercerai, perasaan tak rela diam-diam menggerogoti hatinya. Ada yang berubah. Ada ruang kosong yang tiba-tiba terasa begitu lebar di dalam dirinya.

Sebuah senyum tipis, tak sengaja terbit di wajah dinginnya. Senyum lega melihat perempuan itu akhirnya....bisa tersenyum lagi. Ternyata, bahagianya Raina bisa membuat hatinya tenang, meski dirinya sendiri belum bisa menjelaskan mengapa.

“Tuan.”

Suara Dika, sang asisten, membuyarkan lamunannya. Aditya sedikit terlonjak, kesal karena kenyamanan batinnya terusik.

“Kau mau cari mati, ya?” dengus Aditya sembari nyaris melempar dokumen di hadapannya.

“Hehe… Tiga kali saya sudah ketuk pintu, Tuan,” bela Dika, senyum kecil terselip di bibirnya.

“Peraturan tetap peraturan. Kau ingin saya kirim ke pedalaman, hah?”

“Siap salah, Tuan. Atasan selalu benar,” ucap Dika patuh, lalu meletakkan dokumen penting di meja.

Setelah membaca dan menandatangani berkas itu, keduanya pun beranjak menuju restoran mewah untuk pertemuan bisnis. Namun hati Aditya tetap tertinggal di rumah—di kamar tempat seorang perempuan yang kini selalu menghantui pikirannya, duduk dengan mata yang tak lagi berbinar karena dirinya.

🌙 Larut malam…

Malam telah larut. Di luar jendela, suara burung malam bersahutan pelan, mengisi kesunyian dengan irama alam yang menenangkan. Detik jarum jam terdengar jelas, mengisi ruang dengan kesepian yang bersahaja.

Aditya melirik arloji di pergelangan tangan—pukul dua belas lewat. Hatinya tergerak. Tiba-tiba saja, ia ingin tahu… apakah istrinya sudah tidur? Apakah matanya sudah terpejam? Atau masih sembab karena air mata yang tak henti mengalir?

Sebuah keinginan diam-diam menyelinap ke dalam dada: ingin memeluk Raina malam ini. Bukan karena nafsu, bukan karena kuasa—tapi karena rindu yang entah sejak kapan bertumbuh tanpa ia sadari.

“Tidak salah, bukan? Toh aku ini suaminya…” gumamnya lirih, seperti membenarkan langkah kakinya yang mulai melangkah keluar dari ruang kerja.

Perlahan, ia membuka pintu kamar Raina tanpa suara. Dan di sanalah ia melihat pemandangan yang membuat langkahnya terhenti.

Raina tertidur pulas, terlelap dalam damainya malam. Wajahnya yang biasanya dipenuhi amarah dan tangis, kini terlihat tenang—rapuh namun indah dalam kesederhanaan tidur. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Dunia mengecil hanya pada satu titik: sosok perempuan itu.

Dengan pelan, Aditya mendekat. Ia naik ke ranjang, duduk di sisi Raina, lalu menyibak helai rambut yang menutupi wajahnya. Gerakannya begitu lembut, seolah takut membangunkan bulan yang sedang bersembunyi.

Ia lalu masuk ke balik selimut yang sama. Tak ada pelukan, tak ada kata. Hanya diam yang terasa hangat, hanya kebersamaan yang sunyi namun menggetarkan. Di bawah cahaya lampu tidur yang temaram, Aditya menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Dan malam itu—untuk pertama kalinya setelah bertahun- tahun insomnia menghantuinya—Aditya bisa kembali tidur nyenyak. Bukan karena lelah. Tapi karena di sisinya, ada seseorang yang diam-diam mulai ia rindukan, mulai ia butuhkan... dan mungkin, mulai ia sukai.

🌅 Adegan Pagi Hari – Kamar Tidur Aditya & Raina

Raina membuka matanya perlahan. Pandangannya masih kabur, tapi ia bisa merasakan hangatnya sesuatu yang ia peluk erat sepanjang malam.

Awalnya ia mengira itu guling...

Namun saat matanya benar-benar terbuka, ia tersentak pelan.

“Astaga…” bisiknya, panik.

Yang ia peluk bukan guling... tapi dada bidang suaminya sendiri—Aditya.

Selama dua tahun menikah, pria itu nyaris tak pernah menyentuh kamarnya. Bahkan sapaan pun lebih sering terdengar seperti perintah. Tapi pagi ini, ia justru mendapati dirinya tidur memeluk lelaki itu… seolah mereka sepasang pengantin baru.

Raina buru-buru membungkam mulutnya sendiri, nyaris saja ia menjerit. Ia menggeliat pelan, berusaha menarik diri, berharap Aditya masih terlelap.

Sayangnya...

“Sudah sadar dari tadi?” suara berat itu terdengar—datar, namun entah kenapa terdengar hangat di telinganya.

Sebelum sempat Raina menjauh, tangan Aditya menarik pinggangnya, membuat tubuhnya kembali jatuh tepat di atas dada pria itu.

Raina (merah padam):

“Mas! Apa-apaan sih! Lepas...”

Aditya (santai, mata masih setengah terpejam):

“Jangan gerak terlalu banyak. Mas belum siap ditendang dari tempat tidur.”

Raina (meronta pelan, panik):

“Mas tidur di sini semalaman?! Kenapa gak bilang? Kan bisa... saya... pindah kamar... atau... ya... Mas yang—”

Aditya (menatapnya dengan satu alis terangkat):

“Kenapa? Takut jatuh cinta?”

Raina (membelalakkan mata):

“Siapa juga yang jatuh cinta? Mimpi!”

Aditya (tersenyum tipis, suaranya pelan):

“Sayang sekali... padahal pelukannya cukup erat. Sampai Mas susah gerak semalaman.”

Raina (menutup wajah dengan tangan):

“Aaaah Mas Adit! Hentikan... jangan dibahas!”

Aditya tertawa pelan. Suara tawanya dalam dan jarang terdengar—hampir asing bagi Raina. Tapi di pagi yang sunyi itu, suara itu justru menenangkan.

Aditya (menarik tangan Raina perlahan):

“Lain kali, kalau mau peluk, bilang saja. Tak perlu pura-pura tidur.”

Raina (cemberut, tapi matanya tak bisa menyembunyikan malu):

“Mas ini... benar-benar… gila!”

Aditya (menatap wajah Raina yang semakin merah):

“Mungkin. Tapi sayangnya, kau menikah dengan orang gila sepertiku.”

Raina (bergegas bangun menuju kamar mandi)

tak ingin mendengar bualan Aditya.

🛁 di Kamar Mandi –

Aroma lavender dan mawar menguar lembut di udara. Raina membiarkan dirinya tenggelam dalam hangatnya air dan wangi aromaterapi yang ia tuangkan ke dalam bak mandi besar itu. Keletihan yang menggerogoti fisik dan jiwanya seolah menguap perlahan. Saking nyamannya, matanya terpejam, dan tanpa sadar—ia tertidur.

Di luar, Aditya berjalan bolak-balik di depan pintu kamar mandi. Sudah lebih dari setengah jam. Sunyi. Tak ada suara air, tak ada suara dari Raina.

"Raina..." panggilnya pelan, tapi tak ada jawaban.

Aditya mulai panik. Di kepalanya berseliweran pikiran buruk. Ia langsung menekan tombol interkom.

"Bawakan kunci cadangan kamar mandi. Sekarang juga!"

Begitu kunci sampai di tangannya, Aditya langsung membukanya tanpa ragu dan masuk.

Pemandangan yang ia lihat membuat dadanya menegang.

Raina tertidur di dalam bathub, nyaris seluruh tubuhnya tenggelam dalam air berbusa dan wewangian. Bahunya terangkat pelan, nafasnya masih ada—tapi posisinya membuat Aditya langsung panik.

"Raina!" pekiknya sambil berjalan cepat dan mengguncang pelan bahu perempuan itu.

Raina terbangun, matanya membesar seketika, dan...

“Aaaaah!!” jeritnya, lalu buru-buru menenggelamkan diri kembali sambil memeluk dada dengan kedua lengan.

“Kamu GILA ya, Mas!? Ngapain masuk sembarangan!?” Raina panik, wajahnya merah padam.

Aditya, yang sudah basah separuh badan, justru berjongkok dengan wajah kesal.

"Kau yang gila! Aku kira kamu pingsan! Kenapa bisa tidur di air seperti itu?! Mau mati, hah!?"

"Ini bathub, Mas! Aku sedang mandi! Mas gak bisa masuk seenaknya!" Raina memelototinya, masih menutupi tubuhnya.

"Ini rumahku. Kamar mandiku. Istriku. Kenapa aku harus minta izin?" balas Aditya tajam, namun sorot matanya menyiratkan lebih dari sekadar kemarahan—ia benar-benar khawatir.

“Rumah ini memang milikmu. Tapi bukan berarti bisa memperlakukanku se mau mas, "

Aditya menghela napas kasar. Matanya tak lepas dari wajah Raina. Air hangat dan aroma bunga tak mampu menyamarkan ketegangan yang ada.

"Raina... kamu tidak mengerti, ya?" suaranya mulai menurun, terdengar lebih dalam, lebih berat.

"Aku tidak butuh alasan untuk ingin kamu.Kalau Aku mau, aku sudah melakukannya!

Raina terdiam.

Aditya menggenggam pinggiran bathub erat, menunduk sejenak, lalu menatapnya lagi—tatapan tajam, namun ada luka yang dalam di sana.

Suasana sejenak hening. Hanya suara air menetes yang terdengar.

Keduanya saling diam, tapi mata mereka bicara lebih keras daripada kata-kata.

Akhirnya, Aditya berdiri. Ia menarik handuk besar, lalu melemparkannya ke arah Raina—tanpa banyak bicara.

"Pakai itu. Mas tunggu di luar. Kita perlu bicara."

Nada suaranya tetap dingin, tapi kini ada kendali—bukan paksaan.

Raina menghela napas, pelan... dan dalam. Dingin Aditya kadang menyakitkan, tapi hari ini... ia melihat sesuatu yang berbeda: perhatian yang tersamar oleh ego.

Raina keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan. Rambutnya masih basah, dan handuk putih membalut tubuh rampingnya hingga lutut. Embun masih menempel di kulitnya, dingin bertemu udara malam.

Aditya masih duduk di tepi ranjang, dengan punggung tegap membelakanginya. Ia tidak berkata apa-apa, tapi kehadirannya begitu terasa. Diamnya lebih berat dari amarah.

Raina buru-buru berjalan ke lemari, menarik pintu geser dengan hati-hati. Ia hendak masuk ke ruang ganti, namun tiba-tiba...

Sebuah lengan kuat melingkar dari belakang, menariknya perlahan—membuat tubuhnya terhenti di tengah langkah.

“Mas, tolong... jangan seperti ini...” suara Raina nyaris berbisik. Ada ketakutan, ada luka yang belum kering, tapi juga ada rasa yang tak bisa ia sangkal.

Aditya tak menjawab. Ia hanya membalikkan tubuh Raina, menatapnya lurus-lurus. Tatapannya tajam, tapi ada badai yang sedang ia sembunyikan di baliknya.

“Lihat aku,” katanya pelan, namun tegas.

Raina menatapnya... dan sejenak, ia lupa.

Sosok pria itu—dingin, angkuh, tapi begitu nyata di depannya—terlalu dekat. Nafasnya, matanya, dan aroma maskulin yang entah kenapa... tak lagi membuatnya ingin menjauh.

Aditya mengangkat dagunya dengan jemari kasar namun hati-hati. Lalu... menciumnya.

Lembut. Tapi menuntut.

“Mas...” bisik Raina di sela-sela ciuman yang membuat lututnya lemas.

“Cukup. Sekali ini saja... jangan menjauh,” ucap Aditya dengan suara rendah yang nyaris terdengar seperti permintaan—bukan perintah.

Raina memejamkan mata. Hatinya gaduh. Logikanya berkata lari, tapi tubuhnya membeku dalam dekap itu.

Namun sebelum semua menjadi terlalu jauh, Raina menyentuh dada Aditya dengan telapak tangannya—menahan, lembut tapi tegas.

“Mas, kita tidak bisa begini... kalau hanya karena emosi. Bukan karena cinta.”

Aditya menatapnya lama. Nafasnya berat. Ia mengangguk—perlahan—dan melepaskan pelukan itu.Namun hanya seperkian detik selanjutnya Ia menariknya kembali.

Aditya berbisik lembut di telinga Raina.

"Aku mau hak_ku, " ucap Aditya serak dengan tangan yang sudah menjalar kemana-mana.

Raina dengn mata terpejam akhirnya pasrah, dan terjadilah yang seharusnya terjadi pagi itu,.

🕰 Satu minggu kemudian…

Aditya nyaris gila sendiri. Fokusnya buyar, pekerjaannya tertunda, dan pikirannya berkeliaran tak tentu arah—semua gara-gara perempuan yang kini duduk santai di rumahnya, menikmati semilir angin di bawah pohon kamboja.

Aditya (menggerutu pelan di ruang kerjanya):

“Bibir itu... senyum itu... kenapa selalu mengganggu pikiranku?”

Ia menghubungi Raina dua kali. Tidak dijawab. Tak lama, ia menekan tombol interkom dan memanggil kepala pelayan.

Aditya (dingin):

“Bawakan ponsel Raina. Sekarang.”

📞 Di taman belakang mansion…

Raina sedang memejamkan mata saat suara langkah kepala pelayan mendekat.

Kepala Pelayan:

“Nyonya, maaf. Tuan muda menelepon. Tampaknya penting.”

Raina menerima ponsel itu, dan langsung mengangkatnya.

Raina (lembut):

“Halo, Mas? Ada apa?”

Aditya (dingin seperti biasa):

“Ponselmu di mana? Dua kali aku telepon, tidak diangkat.”

Raina:

“Maaf… tertinggal di kamar.”

Aditya:

“Aku tunggu makan siang di kantor. Antarkan sendiri.”

Raina (kaget, mengernyit):

“Mas ingin saya bawakan?”

Aditya (serius, suaranya turun satu oktaf):

“Aku tidak sedang meminta, Raina. Aku sedang memerintahkan.”

Raina :

“Baik, Tuan Aditya. Akan saya antar. Tapi Mas yakin bisa makan dengan tenang kalau saya datang?”

Aditya (diam sejenak, lalu pelan):

“Tidak yakin. Tapi dengan melihatmu… setidaknya bisa sedikit meredam kegilaan dalam pikiranku.”

Raina (menahan senyum, hangat di dada):

“Baik, tunggu saya. Saya bawakan rendang dan sayur asam.”

Aditya (mendekatkan ponsel ke telinga, nadanya lebih dalam):

“Dan jangan lupa senyum itu. Karena hari ini... aku butuh alasanku untuk pulang.”

🌹 Notte:

Kadang cinta tidak hadir dalam bentuk kata-kata manis, tapi dalam bentuk perhatian yang membeku dalam keheningan. Dalam perintah yang terdengar dingin, namun di baliknya ada hati yang diam-diam bergetar.

Aditya tak pernah tahu bagaimana harus mencinta. Tapi Raina... sedang mengajarinya perlahan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!