NovelToon NovelToon

I Adopted Paranormal Dad

Bab 1

Seorang gadis kecil hanya bisa menatap foto kedua orang tuanya dengan penuh kerinduan. Air matanya mengalir deras di pipi, menandakan kekosongan besar di dalam hatinya. Gadis berusia sepuluh tahun itu menangis sesegukan, berusaha menahan rasa sakit yang terus menghimpit dadanya.

"Eh? Sepertinya aku familiar dengan kejadian ini.." Pikir gadis kecil itu kebingungan seraya menatap pantulan dirinya di foto pernikahan sepasang suami istri dengan dahi mengernyit.

Disana terpantul wajah imut seorang gadis berusia sepuluh tahun dengan wajah sembap. Mata hijau yang terlihat bengkak akibat terlalu lama menangis, hidung belepotan ingus, pipi tembam yang basah akan air mata.

"Bukannya aku meninggal di ruang operasi? Jangan bilang aku hidup lagi?" Pikir gadis kecil itu seraya menatap kedua tangannya yang mengecil. Seketika mulutnya menganga. Jangan-jangan, dia terlahir menjadi bocah sepuluh tahun?

"Mulai sekarang, kau tanggung jawabku."

Suara berat seorang pria memecah kesunyian. Wajahnya tampan, tapi sorot matanya dingin, nyaris tanpa emosi.

Reixa Rheantari mendongak, menatap pria itu dengan tatapan penuh kebencian.

"Aku masih ingat kejadian ini samar-samar. Dan bajingan itu terlihat lebih muda dan menjengkelkan." Pikir Reixa seraya menatap seorang pria dewasa dengan tajam dan penuh dendam.

"Kalau nggak berniat merawatku, nggak usah sok-sokan mau ngurus!" bentaknya sambil bangkit berdiri. Tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar kamar, meninggalkan pria itu dalam diam.

Pria itu menghela napas panjang, wajahnya tetap tanpa ekspresi meski ada kerutan tipis di dahinya.

"Reixa!" teriaknya sambil menyusul. "Jangan membuatku kerepotan dengan tingkah kekanak-kanakanmu itu!"

Reixa berlari menyusuri trotoar, napasnya terengah-engah. Kebenciannya kepada pria itu membakar semangatnya untuk menjauh sejauh mungkin. Dia membenci paman angkatnya, Alarick Mareha.

Bagaimana bisa ia menyerahkan hidupnya pada pria yang tidak pernah peduli? Ingatan masa lalunya membanjir: Alarick yang selalu abai, terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan tidak pernah hadir ketika ia sangat membutuhkan seseorang.

Reixa tahu betul bagaimana kisah ini akan berakhir. Ia pernah menjalani hidup bersama pria itu, hanya untuk mendapati dirinya meninggal seorang diri di rumah sakit pada usia sembilan belas tahun. Tidak ada yang peduli, bahkan Alarick sekalipun.

Namun kini, ia kembali hidup. Dan kali ini, ia bersumpah tidak akan membiarkan dirinya terluka lagi oleh pria yang sama.

"Alarick bangsat! Alarick janchuk! Babi! Anjing! Kali ini gue nggak bakal biarin lo ngancurin hidup gue lagi, asu!!!" Teriak Reixa sambil berlari kencang, menghilang diantara kerumunan pejalan kaki.

Reixa berdiri di pinggir jembatan, tubuh kecilnya tampak kaku, seolah menahan beban yang tidak terlihat. Senja yang seharusnya menenangkan malah membuatnya semakin tertekan, sementara pikirannya penuh dengan kenangan pahit yang terus menghantuinya.

Dia tak menyangka akan kembali ke usia sepuluh tahun, setelah sebelumnya dia meninggal dan terbangun di usia empat belas tahun. Dan kali ini dia kembali di usia sepuluh tahun. Empat tahun lebih awal daripada beberapa siklus pengulangan kehidupan. Kesempatan bagus untuk menyelidiki alasan sebelum dirinya tewas di tangan beberapa orang yang dia percaya di masa depan.

Dia mengingat betapa Alarick, paman angkatnya, hanya memanfaatkannya demi keuntungan bisnis. Pria itu memaksanya menjalani perjodohan yang tidak diinginkannya, hingga akhirnya menemui ajal dengan cara yang mengenaskan di tangan orang-orang berkuasa.

"Ini adalah jembatan yang sering dilewati orang itu. Jika firasatku benar, aku berharap bisa bertemu dengannya lebih awal dan menyelamatkannya." Pikir Reixa.

Dan sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya.

"Ini kehidupanku yang ke dua puluh," bisiknya lirih, suaranya hampir tidak terdengar di tengah deru angin. "Aku harap kali ini aku bisa mati dengan tenang."

Dengan langkah kecil, Reixa mulai mengambil ancang-ancang untuk melompat. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, sebuah tangan kekar mencengkram lengannya dengan erat. Dia terkejut dan menoleh, menemukan seorang pria berdiri di dekatnya. Tatapan pria itu dingin, penuh ketegasan, namun wajahnya yang tampan memancarkan aura yang tidak biasa.

Reixa mengerutkan kening, mencoba mengenali sosok ini. Mata ungunya yang tajam, rambut hitam yang sedikit berantakan, dan caranya menatap seolah membawa ingatan masa lalu yang samar-samar kembali ke permukaan.

"Nak, seberat apa pun masalahmu, jangan pernah berpikir untuk bunuh diri!" tegur pria itu dengan nada tegas.

Reixa terdiam sejenak, suara itu terdengar familiar. "Dia... Suaranya mirip dengan seseorang di masa lalu," pikirnya.

"Jangan ikut campur, Om! Kalau cuma mau nasehatin, mending pergi aja sana!" balasnya ketus, berusaha menutupi getaran dalam hatinya.

Pria itu menghela napas panjang, lalu jongkok sehingga matanya sejajar dengan Reixa. "Nak, dengarkan aku. Hidup itu penuh pilihan. Ada banyak cara untuk bahagia, meski sekarang kau belum melihatnya," ucapnya, suaranya menjadi lebih lembut dan menenangkan.

Mata Reixa mulai berbinar, seolah menemukan harta karun yang sudah lama hilang. "Ah, dia! Dia pria itu!" batinnya berseru.

Dia teringat, pria ini pernah hadir dalam kehidupannya sebelumnya—dua kali, untuk lebih tepatnya. Di salah satu kehidupan, pria ini merawatnya dengan penuh kasih sayang, namun sayangnya dia ditemukan tewas dengan luka tusuk di tubuhnya. Sementara di kehidupan lainnya, pria ini meninggal kelaparan setelah kehilangan pekerjaannya akibat fitnah yang keji. Dan akhir hidupnya selalu tragis.

Air mata Reixa mulai menggenang. Tapi sebelum dia sempat mengucapkan sepatah kata, suara lantang memotong pikirannya.

"Reixa!" panggil Alarick, suaranya penuh otoritas.

Reixa berbalik dan melihat pria itu mendekat. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memeluk pria asing di hadapannya, tangisnya pecah. "Om, hiks... hiks... Aku nggak punya ayah dan ibu... Aku sendirian... hiks... Om mau jadi ayahku, ya? Mau, ya? Ya, Om? Om ganteng, deh, pliss~ Aku nggak mau tinggal sama Paman yang wajahnya mirip babi hutan itu!"

"Reixa! Apa yang kau lakukan?! Pulang sekarang!" bentak Alarick, suaranya cukup keras hingga menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Bisik-bisik mulai terdengar, beberapa orang berhenti untuk menyaksikan keributan itu.

"Nggak mau!!" teriak Reixa sambil menangis. "Paman jahat! Aku benci Paman! Kalau Paman nggak ngijinin aku sama Om ganteng ini, aku akan lompat ke sungai sekarang juga!"

Pria asing itu, yang sampai sekarang hanya menjadi penonton, akhirnya buka suara. "Nak, sudah, ya. Jangan bertindak seperti ini. Aku yakin pamanmu menyayangimu," bujuknya dengan nada lembut, mencoba meredakan situasi.

Namun, Reixa menggeleng keras. "Nggak mau! Aku nggak mau pulang kalau bukan sama Om ganteng ini! Paman cuma tahu marah-marah! Aku baru kehilangan ayah dan ibu! Aku kesepian, hiks... hwaaa!!!"

Tangisannya semakin menjadi-jadi, membuat suasana semakin canggung di antara mereka bertiga. Saverio, pria asing itu, merasa terjebak dalam drama keluarga yang tiba-tiba melibatkan dirinya. "Apa salahku sampai harus terjebak dalam situasi seperti ini?" pikirnya sambil menatap ke arah senja, berharap ada jawaban.

🐾

"Aku Saverio Archandra," pria itu memperkenalkan dirinya dengan canggung, wajahnya jelas menunjukkan ketidaknyamanan. Bagaimana tidak, kini ia berdiri di dalam mansion mewah dengan dua orang yang memperhatikannya dari dua sudut pandang berbeda: seorang pria dewasa menatapnya tajam seolah menghakimi, sementara seorang gadis kecil dengan rambut ash green menatapnya penuh binar kekaguman yang nyaris berlebihan.

"Sudah kuduga! Dia pria itu dalam versi muda! Om Saverio~ Kau benar-benar tampan! Sangat berbeda dengan di beberapa kehidupanku yang dulu! Aku akan menjadi anakmu dan memastikan kau hidup layak kali ini!" Dalam hati, Reixa memekik kegirangan, meskipun wajahnya berusaha tetap tenang.

Saverio menghela napas berat, mencoba memahami kekacauan yang menimpanya. "Oh, Tuhan. Apalagi ini?" pikirnya dengan pasrah. Gara-gara gadis kecil ini—yang baru saja dicegahnya bunuh diri di jembatan—ia malah terjebak dalam drama keluarga yang terasa seperti skenario picisan.

Bocah itu dengan mata berbinar penuh tekad, mengancam akan melompat ke sungai jika ia tidak mengikutinya pulang. Dan sekarang, ia harus berurusan dengan pria dewasa yang terlihat seperti singa penjaga, seolah-olah siap menerkam jika ada salah gerak.

"Tidak ada yang masuk akal," gumam Saverio dalam hati. Ia tidak bisa melihat masa depan yang pasti dari anak kecil ini—sesuatu yang jarang terjadi dalam hidupnya. Biasanya, ia selalu memiliki firasat tentang setiap orang yang ia temui. Namun, gadis ini seperti anomali.

"Jadi, kenapa kau bisa bertemu dengan Reixa?" Alarick membuka percakapan dengan nada dingin, sorot matanya menusuk.

Saverio tidak gentar. Ia melipat kedua tangannya dan menjawab dengan nada tegas, "Itu pertanyaan yang harusnya aku ajukan padamu. Kenapa anak sekecil ini berpikir untuk bunuh diri? Kau pamannya, bukan? Harusnya kau tahu apa yang dia butuhkan."

Kalimat itu membuat Alarick terdiam sejenak, rahangnya mengeras.

"Karena dia suka memarahi aku, Om," Reixa tiba-tiba angkat bicara, nada suaranya terdengar polos, tapi juga penuh sindiran. "Dia bilang tangisanku ini berisik."

Saverio melirik gadis kecil itu, sementara Alarick tampak kehilangan kata-kata.

Reixa melanjutkan, suaranya terdengar lebih tajam, "Memangnya kalau melihat orang tua mati, aku harus tertawa dan bahagia, ya, Om?"

Kata-kata itu menusuk seperti belati. Saverio bisa merasakan hawa dingin yang menyelimuti ruangan, membuat suasana semakin tegang. Ia mengalihkan pandangannya pada Alarick, yang kini terlihat terpojok oleh kejujuran kejam dari seorang anak kecil.

Saverio menghela napas lagi. "Ini akan menjadi perjalanan yang panjang," pikirnya, setengah menyesal karena menyerah pada ancaman bocah kecil itu di jembatan tadi.

Bab 2

Malam hari, di kediaman Alarick

"Nggak mau! Aku tidurnya sama Om Saverio!" seru Reixa keras sambil memeluk erat pria yang masih berusaha memahami situasi aneh ini.

"Dia hanyalah orang asing, Reixa! Jangan kekanak-kanakan seperti ini!" balas Alarick, frustrasi dan lelah menghadapi sikap keponakannya yang sulit diatur.

Reixa tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. Matanya yang berlinang air mata justru menatap Alarick penuh tantangan. "Pelukannya mirip ayah aku, Paman! Ayah aku yang nggak boleh aku tangisi!" jeritnya penuh amarah.

Saverio, yang berada di tengah drama ini, hanya bisa menghela napas. "Ini bukan hidupku lagi. Aku sudah masuk ke dimensi lain," pikirnya dalam hati. Pelarian tidak mungkin dilakukan; gadis kecil itu memeluknya sekuat tenaga, seolah takut kehilangan.

Alarick mencoba melunak. Suaranya berubah lembut, berusaha meredam emosi Reixa. "Tapi, ayahmu mempercayakan aku untuk merawatmu, Reixa. Aku hanya berusaha memenuhi permintaan terakhir mereka," ucapnya dengan penuh kesabaran.

Namun, bukannya tenang, Reixa malah berteriak lebih keras. "Nggak!! Pesan orang hidup aja sering diabaikan, apalagi pesan orang yang udah mati. Pokoknya aku mau Om Saverio!!!" serunya keras, membuat suasana semakin tegang.

Saverio akhirnya berbicara, suaranya penuh usaha untuk tetap tenang meskipun di dalam hati dia sudah ingin melarikan diri. "Nak," panggilnya lembut, "darimana kau mendengar kata-kata seperti itu?"

Reixa menatapnya dengan polos, seolah pertanyaan itu benar-benar penting. "Dari sinetron yang tante dan nenek tonton. Itu, loh, yang selingkuh-selingkuhan itu," jawabnya tanpa ragu.

Saverio terdiam, nyaris tidak percaya dengan jawabannya. Sebelum sempat bereaksi, Reixa dengan riangnya memperbaiki posisi duduknya. Dia duduk di pangkuan Saverio dengan santai, lalu bersandar di dadanya seperti menemukan tempat paling nyaman di dunia.

Alarick hanya bisa memijat pelipisnya dengan frustrasi, sementara Saverio yang kini menjadi "sandaran hati" mendadak ini, hanya bisa pasrah. "Aku harus melapor ke polisi atau psikiater?" pikirnya, mencoba memahami logika di balik kejadian malam ini.

Alarick menatap keduanya dengan tatapan penuh tekanan. Di satu sisi, ia bertanggung jawab atas keselamatan Reixa sebagai wali sah. Namun, melihat gadis kecil itu bersikeras seperti ini membuatnya merasa seperti menghadapi benteng baja.

“Reixa, kau harus mengerti. Pria ini punya kehidupan sendiri. Tidak adil menyeretnya ke dalam masalah kita,” ujar Alarick, suaranya tegas namun penuh ketegangan.

“Kalau Paman tahu nggak adil, kenapa Paman selalu ngatur hidup aku?! Aku mau hidup sama Om Saverio! Paman nggak boleh larang!” Reixa menjawab, kali ini dengan lebih banyak air mata.

Saverio yang mendengar percakapan itu hanya bisa menarik napas panjang. Ia menatap Alarick sejenak, mencoba menenangkan situasi. “Pak... Alarick, ya? Kita bisa bicara baik-baik. Saya yakin gadis kecil ini hanya sedang emosional. Biarkan dia tenang dulu,” katanya pelan sambil sedikit menepuk punggung Reixa yang terus memeluknya erat.

Namun, Alarick tidak merespons. Ia malah menghela napas panjang, lalu berjalan mendekat dan berlutut sejajar dengan Reixa. “Kau tahu, kan, aku hanya ingin yang terbaik untukmu? Aku bukan ayah kandungmu, tapi aku sudah berjanji pada mereka untuk merawatmu. Kau pikir aku tidak sedih melihatmu seperti ini?” katanya dengan suara yang mulai melembut.

Reixa mendongak sedikit, menatap wajah pamannya. “Kalau Paman peduli, kenapa Paman nggak pernah peluk aku? Ayah selalu peluk aku waktu aku sedih. Tapi Paman nggak pernah,” katanya dengan nada getir.

Alarick terdiam. Perkataan itu seperti pukulan telak baginya. Di sisi lain, Saverio menatap keduanya dengan perasaan campur aduk. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di keluarga ini, tapi jelas, ada luka yang dalam di antara mereka.

“Baiklah,” kata Alarick akhirnya, suaranya penuh kelelahan. “Untuk malam ini, kau boleh tidur di kamar bersama... Om Saverio ini.”

“Apa?!” Saverio langsung tersentak, hampir bangkit berdiri. Namun, Reixa sudah bersorak kecil dan semakin erat memeluknya.

“Paman yang terbaik! Aku janji, aku nggak akan menangis lagi malam ini. Terima kasih, Paman!” seru Reixa senang.

Alarick menggelengkan kepala, lalu berdiri dengan gerakan lambat. “Tapi hanya malam ini. Dan kau Tuan Saverio, jangan coba-coba kabur. Aku akan memastikan kau tetap ada di sini sampai aku yakin Reixa tenang.”

Saverio hanya bisa mengangguk pasrah. Dalam hati, ia tahu situasi ini jauh lebih rumit daripada yang terlihat. Dan yang lebih buruk, ia mulai merasa terjebak dalam keluarga yang penuh kekacauan ini.

🐾

Setelah memenangkan perdebatan dengan Alarick, Reixa menatap Saverio dengan binar bahagia yang sulit diabaikan.

“Makasih, Om, udah mau bantu aku. Aku Reixa Rheantari. Om bisa panggil aku Rei,” katanya ceria, seolah lupa pada drama yang baru saja terjadi.

Saverio hanya mengangguk kecil, terlalu lelah untuk memberikan respons lebih. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, gadis kecil itu sudah merebahkan tubuhnya di pangkuannya, membuatnya terpaksa menyesuaikan posisi agar gadis itu tidak terjatuh.

“Eh, tunggu, jangan seenaknya begitu…” Saverio mencoba protes, tapi Reixa malah menyeringai puas sambil memejamkan mata.

“Om harus nyaman sama aku. Aku udah pilih Om jadi ayahku, jadi Om harus terima semuanya. Mulai sekarang, aku bakal sering begini,” ucap Reixa dengan nada penuh keyakinan.

Saverio memijat pelipisnya. Dalam hatinya, dia bertanya-tanya kenapa hidupnya yang biasa-biasa saja kini berubah menjadi telenovela absurd.

“Rei, kau tahu, kan, aku ini cuma orang asing? Kau nggak bisa sembarangan mempercayai orang baru begini,” katanya, mencoba menyuntikkan sedikit logika.

“Tapi Om nggak berbahaya. Aku tahu. Aku bisa lihat dari mata Om,” jawab Reixa ringan sambil memiringkan kepala, posisinya semakin nyaman di pangkuan Saverio.

Saverio menghela napas panjang. “Kalau begitu, bisakah kita istirahat? Hari ini sudah terlalu panjang, dan aku ingin malam ini cepat berlalu.”

Reixa tersenyum kecil. “Baiklah, Om. Tapi aku nggak akan jauh-jauh dari Om. Aku aman di sini.”

Saverio hanya bisa mengangguk pasrah. Malam itu, sambil menatap langit-langit ruangan yang megah namun terasa menyesakkan, ia berharap waktu berlalu lebih cepat. Sayangnya, di sampingnya terdapat seorang gadis kecil sudah tidur dengan nyenyak, tanpa sedikit pun rasa bersalah atas kekacauan yang telah terjadi.

...

Alarick duduk di ruang kerjanya, memandangi jendela dengan tatapan kosong. Cahaya lampu temaram membuat bayangannya memanjang di lantai kayu, menciptakan suasana yang penuh tekanan.

Di belakangnya, Yudha, asisten setianya, berdiri dengan tangan terlipat, menatap atasannya yang tampak tenggelam dalam pikirannya.

"Selidiki pria bernama Saverio Archandra, yang dibawa pulang oleh Reixa," perintah Alarick akhirnya, suaranya datar namun tegas.

Yudha mengerutkan kening, bingung. "Kenapa, Tuan? Bukankah pria itu justru membuat Nona Reixa lebih tenang?" tanyanya dengan nada hati-hati.

Alarick mendesah, lalu mengusap wajahnya dengan lelah. "Dia hanya orang asing, Yudha. Orang asing yang tiba-tiba saja dipercaya Reixa, sementara aku, pamannya sendiri, dianggap seolah tak berarti. Kakakku mempercayakan aku untuk merawat anaknya, tapi dia..." Alarick menghentikan ucapannya, mengendalikan emosinya. "Aku harus tahu siapa pria itu. Tidak ada ruang untuk kesalahan."

Yudha terdiam sejenak, lalu memberanikan diri untuk berbicara. "Mungkin Anda terlalu keras terhadap Nona Reixa, Tuan. Anak seusianya perlu lebih banyak kasih sayang, bukan hanya aturan yang ketat."

Wajah Alarick mengeras, tetapi ia tidak menanggapi. Ia hanya melirik sekilas ke arah Yudha, memberi tanda bahwa pembicaraan selesai.

Yudha membungkuk hormat. "Kalau begitu, saya akan segera menyelidiki pria itu. Sekarang, izinkan saya undur diri," katanya sopan sebelum berbalik meninggalkan ruangan.

Ketika pintu tertutup, Alarick kembali memandang keluar jendela. Pikirannya penuh dengan berbagai kekhawatiran yang membebani hatinya. "Reixa, apa yang sebenarnya kau pikirkan?" bisiknya pada dirinya sendiri.

Bab 3: Janji

Allarick membawa Reixa ke sebuah kedai bubur sederhana di dekat taman kota. Aroma kaldu hangat menyambut mereka, sementara suasana pagi membuat tempat itu terasa menenangkan. Gadis kecil itu langsung menyantap buburnya dengan lahap, seolah melupakan kenyataan pahit bahwa baru kemarin ia kehilangan kedua orang tuanya.

Namun di balik cengiran polosnya, mata Reixa tetap berkaca-kaca. Baginya, momen ini terasa begitu berharga. Allarick masih hidup. Neneknya belum datang untuk merusak keadaan. Tidak ada pertengkaran, tidak ada adu domba—hanya ketenangan sederhana yang belum pernah ia nikmati dalam siklus hidup sebelumnya.

Benar. Ini bukan saatnya untuk terus meratapi masa lalu. Ia harus fokus. Ia harus mencari cara agar tidak terjebak pada pola yang sama, mencatat poin-poin penting yang masih ia ingat. Dan yang terpenting: ia harus menemukan pria itu. Saverio Archandra—paranormal tuli yang pernah memperlakukannya seperti sahabat, bahkan lebih. Sosok yang mengisi kekosongan ayah dalam hidupnya. Kali ini, Reixa ingin menemukannya kembali. Ia ingin menjadi anaknya.

“Paman.” Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat Allarick menoleh. Sejak tadi, ia memperhatikan gadis kecil itu melamun sambil menghela napas berat, seolah bahunya menanggung beban yang bukan miliknya.

“Aku mau cari ayah baru.”

Allarick hampir menyemburkan minumannya. Ia menatap Reixa dengan wajah campur aduk, alisnya berkedut keras.

“Apa? Kau mau cari ayah baru?” tanyanya memastikan, setengah tak percaya. Bagaimana mungkin, baru kemarin kremasi kedua orang tuanya selesai, bocah ini sudah memikirkan hal seperti itu?

Tapi kemudian ia mengerti. Selama ini, ayah Reixa memang tak pernah benar-benar hadir. Bahkan sejak kandungan, iparnya itu tak pernah peduli pada anaknya sendiri. Dan sejak kecil, Allaricklah yang diam-diam mencoba mengisi kekosongan itu. Walau kakaknya sering memarahinya dengan alasan klise—anak perempuan tidak boleh terlalu dekat dengan laki-laki dewasa, termasuk keluarganya sendiri.

Namun Reixa tetaplah seorang anak kecil yang butuh figur ayah. Sementara ayah kandungnya sibuk mengutamakan anak hasil perselingkuhan.

Reixa menatapnya dengan mata bulat polos, lalu tersadar akan ucapannya sendiri. Cengiran kuda pun meluncur di wajah mungilnya sebelum ia kembali menyuapkan bubur.

“Aku salah sebut,” katanya cepat. “Maksudku… Paman mau jadi waliku, kan? Aku tidak mau bersama nenek.”

Nada memelas itu menampar hati Allarick. Insting Reixa benar—semuanya memang selalu berawal setelah kematian ibunya. Ibunya yang sejak awal tidak pernah disukai oleh keluarga besar. Dan kali ini, bocah itu dengan jujur meminta perlindungan darinya.

Allarick menghela napas panjang. Ia tahu betul keluarga iparnya tidak pernah menganggap kakaknya pantas, dan mereka hanya mengincar harta. Apalagi ada asuransi besar yang ditinggalkan. Ia tidak ingin uang itu jatuh ke tangan yang salah. Dan ia tahu, mereka bisa melakukan apa pun demi mendapatkannya—termasuk mengeksploitasi Reixa.

“Baiklah,” jawab Allarick akhirnya, menatap lurus pada bocah itu.

Reixa sontak menyunggingkan senyum sumringah. “Terima kasih, Paman!”

Untuk pertama kalinya setelah sekian banyak kehidupan, Reixa merasa masih ada harapan.

—✳️—

Reixa menepuk-nepuk perut mungilnya yang sudah membuncit, lalu bersendawa kecil dengan wajah puas.

Allarick yang duduk di depannya hanya bisa menatap dengan senyum tipis, tapi jelas tersinggung. Matanya mendelik ketika pandangannya jatuh pada tiga mangkok bubur kosong yang berjejer di atas meja.

“Wah… kau benar-benar melahap tiga mangkok bubur sekaligus? Perutmu itu perut karet, ya?” Allarick berdecak, suaranya penuh ejekan.

Reixa langsung memicingkan mata, tatapannya menusuk penuh kebencian.

“Hey! Jangan mengejekku, Paman. Aku ini masih dalam masa pertumbuhan, tahu!” serunya kesal sambil membuang muka.

Namun, senyum simpul diam-diam mengembang di bibirnya. Sudah lama sekali tidak ada orang yang mengomentari cara makannya. Baik mendiang ibunya maupun neneknya, keduanya tidak pernah peduli—atau lebih tepatnya, selalu membatasi.

Ibunya dulu berkata bahwa perempuan tidak boleh makan banyak, nanti akan jadi gendut. Dan di kehidupan pertamanya, Reixa benar-benar mati muda di usia tujuh belas tahun—karena anemia dan gizi buruk.

Di kehidupan kedua hingga seterusnya, ia belajar makan diam-diam. Sedikit di hadapan neneknya, lalu menghabiskan sisanya di kamar. Kalau di luar rumah, barulah ia bisa bebas melahap apa saja yang ia mau.

Jika dipikir-pikir lagi, neneknya selalu saja membatasi uang sakunya. Itu sebabnya Reixa memilih kabur, bekerja paruh waktu untuk bertahan hidup. Tapi ada hal aneh—meski ia kabur, uangnya selalu saja bertambah dari bulan ke bulan.

Mungkin… Allarick yang diam-diam membantunya. Meski begitu, sikap pria itu tetap saja sering membuatnya kesal setengah mati.

Allarick terkekeh, matanya berkilat geli melihat reaksi Reixa. Tanpa banyak bicara, ia berdiri dan membayar pesanan mereka.

“Setelah ini kau mau ke mana?” tanyanya sambil menyimpan dompet ke saku.

Sorot mata Reixa langsung berbinar. Dengan cepat ia mengeluarkan jurus pamungkasnya—pura-pura manis.

“Paman, aku mau jalan-jalan. Boleeh, ya…? Pleaseee… Aku janji nggak lama, kok.”

Allarick menarik napas panjang, lalu menggeleng tak berdaya. “Baiklah.”

“Yeay! Terima kasih, Paman. Kau memang yang terbaik!” seru Reixa melonjak riang.

Allarick menatapnya dengan hangat, tapi tatapan matanya penuh kewaspadaan. Jika benar mimpi itu akan menjadi nyata, ia harus bersiap mulai dari sekarang. Dan untuk saat ini, ia ingin bersantai sejenak.

—✳️—

Setelah puas berjalan-jalan, Reixa akhirnya pulang ke rumah bersama Allarick. Gadis kecil itu langsung menjatuhkan tubuh mungilnya ke sofa, bersandar dengan senyum puas yang masih melekat di wajahnya.

“Paman, terima kasih untuk hari ini,” ucapnya sambil menguap kecil, suara lembutnya terdengar dewasa untuk ukuran anak sepuluh tahun. “Berkat Paman, aku merasa jauh lebih baik.”

Allarick menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. Namun dalam hati ia tidak bisa mengabaikan cara bicara Reixa—begitu matang, begitu berbeda dari anak-anak sebayanya. Mungkin karena sejak kecil ia tak pernah benar-benar dipeluk hangat oleh orang tuanya, hingga kehilangan mereka membuatnya harus cepat dewasa.

Dan mungkinkah itu alasan kenapa Reixa begitu mudah terhasut? Tangki cintanya kosong sejak lama, dibiarkan hampa tanpa kasih sayang. Jika benar begitu, maka Allarick bersumpah akan mengisinya—agar gadis kecil itu tidak lagi menapaki masa depan yang suram.

Ia lalu mendekat dan duduk di sebelah Reixa.

“Reixa,” ucapnya hati-hati, “kalau kau tidak keberatan… maukah kau tinggal denganku?”

Reixa menoleh, menatapnya dalam diam. Dulu, di setiap kehidupannya, ia selalu menolak uluran tangan pamannya. Namun kali ini… ia ingin mencoba. Ia ingin percaya pada pria yang meski keras kepala, selalu ada di sisinya.

“Apa aku boleh tinggal bersama Paman?” tanyanya pelan.

Allarick mengangguk mantap.

“Baiklah, Paman. Aku mau tinggal bersama Paman.”

Senyum tipis terbit di bibir Allarick. Tangannya terulur, menepuk lembut pucuk kepala Reixa—sebelum tiba-tiba berubah menjadi seringai nakal. Tanpa peringatan, ia mengacak-acak rambut ash green keponakannya sampai kusut tak karuan.

“Kyaaa! Jangan acak-acak rambutku, Paman sialan!” jerit Reixa, wajahnya merah padam menahan geram.

Allarick hanya tertawa terbahak-bahak, segera berlari menghindari kejaran bocah itu. Bagi Allarick, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat Reixa marah-marah dengan wajah imutnya.

Suasana rumah yang tadinya dingin, kini dipenuhi tawa dan teriakan kecil—seperti akhirnya menemukan arti sebuah keluarga.

Namun tanpa mereka sadari,sebuah asap hitam tipis keluar dari kotak abu milik ayah Reixa. Asap itu berkumpul di atas kotak sebelum hilang dari sana.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!