Aku menghela napas dalam-dalam, memejamkan mata saat angin sore hari berhembus lembut di wajahku. Lima tahun sudah aku merantau, meninggalkan Desa Duren dengan setumpuk harapan dan janji–janji pada diriku sendiri. Sekarang, di atas bak truk tua yang berguncang pelan, aku kembali. Aroma tanah basah dan dedaunan durian menguar memenuhi rongga hidung, membangkitkan kenangan manis yang lama terpendam.
“Boni!” Suara riang memecah lamunanku. Kusibakkan kelopak mata, dan di bawah pohon rambutan yang rindang, kulihat sosok kecil yang kukenal betul. Yuni dengan senyumnya yang selalu mampu meruntuhkan dinding beku dalam hatiku. Wajahnya berseri, baju pink muda yang dikenakannya menambah kilau pipinya yang merekah.
Perlahan melangkah turun dari truk dan Yuni segera merentangkan tangannya.
“Selamat datang, pulang kampung!” serunya riang, seolah tak mengenal lelah.
Aku menahan senyum. “Terima kasih, Yuni. Lama menunggu ya?”
Ia mengepakkan tangan di depan pipinya, seakan meredam gelombang kebahagiaan yang meluap. “Sejak pagi, Boni! Kami semua sudah siap menyambutmu.”
Langkahku terhenti sebentar. Di kejauhan, barisan rumah panggung berjejer rapi di samping kebun durian warisan kakek. Atap genting merah berkilauan, dinding kayu bersih dan di depan terdapat balai desa berdiri sederhana tetapi tegar. Hampir tak ada perubahan selain papan baru bertuliskan “Selamat Datang Kembali, Putra Desa”. Hatiku tersentuh. Rindu yang kubendung selama ini pun mencuat.
Aku meraih tas ransel lusuh yang tergeletak di pangkuanku. “Terima kasih semua,” ucapku, suaraku serak oleh haru. Di antara kerumunan, kuperhatikan kakek menegakkan tubuh ringkihnya. Matanya berkaca-kaca, tangan yang dulu kuat mencabut durian kini gemetar sedikit saat melambaikan sapaan.
Kakek melangkah menghampiriku. “Boni…” suaranya parau. Kulangkah cepat dan memeluknya erat. Tubuhnya kecil, namun hangatnya bagai matahari sore menembus dingin.
“Ah, kakek!” Ratapku teredam. “Aku… aku pulang.”
Ia mengelus rambutku, matanya memerah. “Selamat pulang, cucuku. Desa Duren merindukanmu.”
Dari belakang, sorak tawa keluarga dan tetangga menyusul. Aku tersipu, merasakan kehangatan yang tak pernah kurasakan di kota besar. Lima tahun mengejar mimpi dan bekerja keras, kini semua berpijar dalam satu kata yaitu pulang.
Saat kerumunan mereda, aku berjalan ke kebun durian. Di bawah pohon yang rindang, daun-daun basah meneteskan embun. “Durian duluan, Boni?” tawar Yuni sambil mengulurkan keranjang anyaman.
Aku mengangguk, menarik parang kecil yang terikat di pinggang ransel. Gerakanku luwes, mengiris tali pengikat buah matang. Sekilas, aku teringat masa kecil saat kakek melatihku memanen durian, ajakan pertama untuk mencintai desa ini. Kulakukan dengan hati-hati, sepenggal kulit berduri terbuka seketika aroma manis dan pahit menyeruak.
Yuni menahan napas segar. “Aromanya… seperti rumah.”
Aku mengangguk pelan. “Seperti rumah.”
Kami memetik beberapa buah dan duduk di tikar bambu, memakan durian sambil tertawa. Setiap suapan bagai musik gemulai, mengenyangkan dan meleburkan penat. Yuni menatapku dengan lekat. “Jadi, apa kabar di kota, Boni?” katanya, suaranya lembut tapi tegas.
Aku menarik nafas panjang. “Aku… belajar banyak. Bekerja di percetakan. Hari-hariku sibuk, tapi selalu ada rindu.”
Ia menunduk, menunggu kelanjutan. Aku menatap pandangan beningnya, merasakan keberanian merangkak naik. “Rindu Desa Duren.” kataku pelan, “dan kehilangan… kehilangan banyak momen di sini.”
Yuni mengangguk, lalu tersenyum lembut. “Tapi sekarang kau di sini.”
Hatiku bergetar. Ada kelu dan bahagia yang bersarang. Kupandangi langit jingga yang mulai memerah, merasakan janji baru tumbuh. Namun tiba-tiba, gemuruh kendaraan menggema dari arah balai desa. Suara mesin truk dan cekikikan orang asing memecah suasana.
Aku dan Yuni saling berpandangan, kegelisahan mengintip di mataku. Bersama beberapa tetua, seorang pria berpakaian resmi turun dari mobil patrol dengan jas rapi, wajah sangar, serta tas kulit di tangan kanan. Ia berjalan tegap menuju balai desa, diiringi dua ajudan berseragam maskulin.
“Kepala Desa baru.” desis seseorang di sampingku.
Kepala Desa kami yang dulu sudah menjabat puluhan tahun meninggal dan kini pejabat baru ditugaskan oleh pemerintah kabupaten. Aku menelan ludah dan naluriku bergidik. Selama lima tahun merantau, aku mendengar banyak kisah soal pejabat baru yang suka memaksakan kehendaknya sendiri.
Pria itu berdiri di panggung balai desa, membuka kotak suaranya. Suaranya keras, penuh percaya diri.
“Selamat sore, Warga Desa Duren. Saya Arman Satria, Kepala Desa yang baru. Saya diutus untuk membangun kemajuan desa, termasuk konversi kebun durian menjadi kebun kelapa sawit yang lebih produktif. Kita butuh kemajuan ekonomi!” katanya, menatap warga dengan tatapan dingin.
Seketika, suara bisik cemas menyebar. Kelapa sawit? Di kebun durian kami? Aku merasakan adrenalin melonjak. Kupandangi Yuni, ia meneguk ludah, alisnya berkerut.
Seorang tetua maju, menegur dengan nada tegas. “Pak, petani durian sudah menghidupi kami puluhan tahun. Sawit bukan tradisi kami.”
Arman tersenyum sinis. “Itu pemikiran lama. Saya dibayar perusahaan besar. Mereka ingin sawit dan saya akan penuhi.”
Aku merasakan darah memuncak. Lima tahun aku bercerita tentang kebun ini, tentang cita rasa durian desa Duren yang melangit. Sekarang, semua terancam.
Hatiku tersentak, tetapi ada bara semangat yang menyala. Yuni menatapku dengan mata kami bertemu dan seketika kami tahu apa yang harus dilakukan.
Ketika Arman menutup pidatonya dan turun panggung, aku melangkah maju bersama Yuni. Detak jantungku selaras dengan langkah kakiku.
“Pak Arman.” panggilku dengan lantang. Ia berhenti, menoleh dengan angkuh. Warga menahan napas, menanti apa yang terjadi.
Aku menarik napas, berusaha setenang mungkin. “Saya Boni, putra Desa Duren. Saya pulang setelah lima tahun merantau. Jika sawit menggantikan durian, apa yang akan kami wariskan pada anak cucu kami?”
Arman menatapku sambil terbahak-bahak pelan. “Idealisme anak kampung. Saya harus mengisi dana desa dan menunjukkan hasilnya.”
Sebelum ia mematikan pembicaraan, Yuni menyela dengan suara gemetar namun tegas. “Kami bersedia bekerja sama, Pak. Tapi tolong pertimbangkan tradisi dan kenangan nenek moyang kami.”
Suasana seketika menjadi hening. Aku merasakan detak jantung Arman perlahan melunak. Namun, angin desa seakan bersuara, menggenggam tanganku dan tangan Yuni. Bara keberanian menautkan langkah kami.
Arman melirik sejenak pada warga yang mulai bersorak mendukung kami. Beberapa anak muda mengangkat poster “Pertahankan Durian desa Duren”. Gelombang dukungan mulai menggema.
Akhirnya, dengan nada kompromi yang samar-samar, Arman mengangguk: “Baiklah! Kita bicarakan lebih lanjut di rapat desa besok. Tapi ingat, saya tetap punya keputusan akhir sendiri.”
Aku menahan napas. “Terima kasih, Pak! Kami akan hadir dan menyampaikan aspirasi warga.”
Saat Arman berlalu, aku menoleh ke Yuni. “Kita baru memulai.” bisikku. Ia mengangguk mantap, lalu menyentuh pundakku.
Embun pagi belum sempat benar-benar menguap ketika aku tiba di balai desa untuk menghadiri pertemuan darurat yang dipanggil oleh ketua RT. Jalanan masih sepi, hanya suara dedaunan kembang sepatu dan cumi-cumi burung hantu yang masih tersisa di pepohonan. Namun di pelataran balai desa, sudah berkumpul puluhan warga seperti petani, pedagang kaki lima, hingga anak-anak yang penasaran. Di antara mereka, wajah-wajah penuh penasaran dan kecemasan, pertanda bahwa kabar buruk sudah lebih dulu sampai.
“Boni!” panggil Pak Wira, ketua RT. Tubuhnya tegap meski usianya sudah lanjut, raut wajahnya serius. “Ayo masuk, kita mulai.”
Aku mengangguk dan menyusup perlahan ke barisan belakang. Di meja panjang terbuat dari kayu jati, terpajang beberapa berkas resmi dan sebuah papan pengumuman yang belum sempat kudekati. Panas mentari yang baru meniti puncak atap membuat udara di halaman bergemuruh, memacu detak jantungku.
Suara ketukan palu kayu oleh Pak Wira memecah kerumunan. “Assalamualaikum, warga Desa Duren.”
“Waalaikumsalam,” jawab warga serempak.
“Kita berkumpul di sini untuk menanggapi kabar terbaru tentang kebijakan Pemerintah Kabupaten yang melibatkan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit (IUPKS) di wilayah kita.” ujarnya dengan nada rendah. “Ada surat edaran resmi yang menugaskan Desa Duren membuka lahan seluas…
Warga terkejut. “Luasnya berapa, Pak?” tanya Pak Boy, petani durian yang sehari-hari kujumpai di kebun.
“Sebesar … dua ratus hektar,” jawab ketua RT sambil menatap berkas di hadapannya. “Surat ini menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten telah mengeluarkan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit untuk lahan di Desa Duren, termasuk sebagian kebun durian kita.”
Gelombang kaget menyusul dengan gumaman, bisik-bisik dan suara serak menyatakan, “Itu… lahan kita!”
Hatiku mencekam. Dua ratus hektar? Kebun durian warisan kakek sendiri saja belum sebesar itu. Belum termasuk pekarangan warga yang terbengkalai di pinggir jalan yang selama ini dialihfungsikan menjadi kebun kolaborasi.
“Kami baru menerima salinan surat beberapa jam lalu.” ketua RT melanjutkan. “Kami diundang ke kantor kecamatan sore nanti untuk membahas perencanaan lebih lanjut.”
Kegaduhan pun merebak. Seorang ibu tua menangis tertahan, suaranya terputus. “Bagaimana nasib panen durian tahun ini? Bagaimana nasib anak cucu kami?”
Aku merasakan desakan di dadaku. Namun aku tahu, reaksi spontan harus diimbangi rencana matang. Aku menatap Yuni di sisiku dengan mata lembutnya kini diselimuti beban. Dia mengangguk, seakan memberi sinyal untuk tenang.
Setelah kerumunan perlahan mereda, aku menjelaskan dengan suara tenang namun tegas. “Saudara-saudaraku, kita tidak boleh panik. Pertama, IUPKS ini hanyalah izin awal, masih akan ada tahapan perizinan lanjutan, analisis dampak lingkungan, sosialisasi, hingga persetujuan DPRD setempat. Kedua, kita akan hadir sore ini di kantor kecamatan, membawa suara kita secara terorganisir.”
Seorang pemuda berani maju. “Boni benar! Jika kita hanya berteriak, pemerintah akan menganggap kita tidak memiliki data. Kita butuh bukti, data luas kebun durian kita, sertifikat tanah dan dukungan tertulis warga.”
Beberapa warga lain setuju, anggukan demi anggukan mengepakkan semangat.
Ketua RT menghela napas. “Boni, bisa kau dan tim Pengawal Duren bantu mengumpulkan dokumen sertifikat tanah, data luas kebun, serta pendataan warga terdampak, sebelum sore?”
Aku mengangguk cepat. “Tentu, Pak! Saya akan hubungi Anton, Rafi, Sari, dan Ilham. Kita harus bergerak cepat.”
Pertemuan ditutup dengan doa singkat dipimpin oleh Pak Haji Salim. Suara merdu membaca ayat Al-Qur’an mengalun, menguatkan semangat. Setelah itu, warga bubar, bergegas ke rumah masing-masing untuk bersiap.
Di rumah, aku menyalakan ponsel dan mengirim pesan grup WhatsApp Pengawal Duren:
[Boni]: “Urgent! Data lapangan dan sertifikat tanah dibutuhkan untuk rapat kecamatan sore ini. Yuni, bawa berkas di lemari, Sari bantu input data ke Excel, Rafi cek satelit Google Earth untuk luas kebun, Anton & Ilham hitung rata-rata panen tahun lalu, aku akan hubungi ketua RT untuk akses arsip desa.”
Beberapa detik kemudian:
[Yuni]: “Oke! Aku ambil berkas sekarang.”
[Sari]: “Siap, aku sudah buka laptop.”
[Rafi]: “Sedang cek citra satelit, kirim koordinatnya.”
[Anton]: “Kami mulai survei lapangan.”
[Ilham]: “Hitung data panen, aku kirim estimasi dalam 30 menit.”
Aku menyalakan kipas angin di ruang tamu, lalu bergegas ke meja belajar. Segumpal kertas sertifikat tanah tertumpuk rapi di sudut. Kakek memang selalu menata arsipnya dengan baik. Kuambil berkas satu per satu, kemudian kulipat dengan hati-hati dan kugabung di map biru tebal.
Tiba-tiba pintu diketuk. Yuni masuk dengan ransel dan nampan berisi dua gelas kopi pahit dengan cairan hitam pekat yang kami butuh setelah berlari-lari pagi ini. “Ini kopi, Boni.” katanya dengan lembut.
Aku menoleh dan tersenyum. “Makasih, Yun.” Secangkir kopi yang menenangkan meresap perlahan ke tubuh, membakar kantuk. Kubalas perlahan, lalu kembali fokus pada sertifikat tanah.
“Batas barat kebun durian kita tepat sejajar tunggul pepaya itu.” ujar Yuni sambil menunjuk peta kertas. “Jaraknya sekitar seratus meter sampai pagar bambu, tanpa adanya pohon sawit.”
“Aku akan foto sertifikat ini dan kirim ke grup.” kataku sambil membuka kamera ponsel. Kupotret halaman depan dan belakang, memastikan kualitas gambar jelas.
Di layar ponsel, aku mengetik:
[Boni]: “Foto sertifikat sudah dikirim. Mohon diperiksa, ada 120 bidang milik warga plus 30 bidang milik desa.”
Beberapa detik muncul balasan.
[Rafi]: “Data satelit selesai. Total luas 150 hektar area kebun durian. Foto citra dikirim.”
[Anton]: “Data panen rata-rata per hektar 2 ton per musim, dikirim spreadsheet.”
Semua bergerak efisien. Kami mencocokkan data satelit Rafi dengan sertifikat fisik. Sari memasukkan angka ke lembar kerja Excel di laptop dengan kolom A untuk nama pemilik, kolom B untuk nomor sertifikat, kolom C untuk luas lahan dan kolom D untuk hasil panen. Data terurus rapi, siap dipresentasikan di rapat sore nanti.
Sementara itu, kukabarkan pada ketua RT lewat telepon.
[Boni]: “Pak, data tengah kami susun. Selesai sekitar jam dua siang. Tolong siapkan ruang rapat di kantor kecamatan.”
[Pak Wira]: “Baik, Boni. Saya kontak Camat sekarang.”
Setelah memastikan semua siap, aku mengajak Yuni duduk di teras depan. Teduhnya atap teralis bambu membawakan kesejukan. “Yun, terima kasih bantuanku. Kita ini tim hebat.”
Yuni tersenyum tipis. “Kita harus bisa, Boni. Kalau kita kalah di tingkat administrasi, mereka akan pakai angka-angka ini untuk melawan kita.”
Aku mengangguk setuju. “Betul. Sore nanti, kita akan sampaikan data dan tuntutan warga dengan tegas.”
Sebelum kami beranjak, di kejauhan kulihat dua petugas desa mengibarkan spanduk baru di depan kantor desa dengan spanduk berwarna putih dengan huruf hitam tebal bertuliskan:
“PENGUMUMAN: IUPKS DESA DUREN NO. 012/2025 – KONVERSI 200 HA KE SAWIT”
Dua petugas menggeser tiang bambu, menancapkannya di tanah. Warga yang lewat menahan napas, beberapa mengambil foto dengan ponsel, lalu ada yang berbisik dengan cepat.
Aku menahan amarah. Spanduk itu dipasang tanpa melalui forum desa! Ini langkah provokatif, seolah-olah pemerintah sudah final dan warga harus ikhlas menerima.
“Yun!” seruku pelan, memanggil Yuni. Kami bergegas menghampiri.
“Ini—ini tidak bisa dibiarkan!” teriak Yuni saat kami tiba di depan spanduk. “Ini belum dibahas di rapat desa!”
Seorang petugas, Pak Hasan, memalingkan wajah. “Perintah atasan, Mbak. Kami hanya melaksanakan.”
Aku melangkah ke depan, menatap spanduk. “Pak Hasan, spanduk ini menyesatkan. Kami masih dalam proses sosialisasi. Pasal 10 Perda 5/2024 menyebut, ‘Setiap penerbitan IUPKS wajib disertai rapat terbuka desa sebelum pemasangan pengumuman permanen.’ Seharusnya kalian konsultasi!”
Pak Hasan terdiam, kemudian menyahut terbata: “Maaf, Pak. Saya tidak tahu aturan itu secara detail…”
Aku menepuk bahu Pak Hasan. “Bapak manusia baik. Tapi tolong rapatkan tim kalian. Ini urusan warga semua.”
Dia mengangguk, kemudian bersama kami melepas tiang spanduk. Warga yang menonton bertepuk tangan ringan, sebuah kemenangan kecil melawan kekuatan administratif.
Kami membawa spanduk terlepas ke posko sementara Pengawal Duren. Percikan semangat terbakar kembali. Yuni menuliskan “CABUT SPANDUK IUPKS” di papan tulis kayu, lalu kukomandoi.
[Boni]: “Tim! Kita harus presentasi data, tunjukkan aturan, dan tuntut pencabutan IUPKS sementara sampai ada persetujuan warga. Siapkan argumen hukum dan teknis. Kita rapat di posko pukul dua nanti.”
Semua menyahut, “Siap!”
Sore hari tiba. Kami berkumpul di kantor kecamatan, ruangan rapat tertata dengan meja melingkar, kursi lipat, proyektor, dan layar putih. Di sana sudah menanti Camat Andi Prasetyo, Kabid Pertanian, perwakilan Dinas Kehutanan, serta pengacara desa, mereka semua tampak serius. Pihak desa utusan kami ditemani ketua RT dan tokoh masyarakat.
“Kami Persilakan perwakilan Desa Duren memulai,” kata Camat Andi membuka rapat.
Aku berdiri di depan, Yuni di sampingku menyalakan proyektor. Slide pertama menampilkan judul:
“TINJAUAN DATA KEBUN DURIAN DESA DUREN DAN DAMPAK PENERBITAN IUPKS NO. 012/2025”
Aku menarik napas dan memulai presentasi:
“Bapak-Ibu hadirin sekalian, saya Boni, mewakili warga Desa Duren. Berdasarkan data satelit dan sertifikat tanah, total luas kebun durian kami adalah 150 hektar, bukan 200 hektar. Sebanyak 120 hektar adalah milik warga, 30 hektar milik desa, dan sisanya 20 hektar adalah lahan kritis—bukan area produksi. Apabila IUPKS No. 012/2025 diberlakukan, maka setidaknya 50–80 hektar kebun durian warga akan dialihfungsikan tanpa persetujuan mereka…”
Kulanjutkan dengan tabel pendapatan petani durian (berisi harga durian, jumlah panen, dan pendapatan rata-rata per keluarga), membandingkannya dengan perkiraan pendapatan sawit. Data membuktikan bahwa secara ekonomi jangka panjang, durian tetap lebih menguntungkan, karena harga premium dan kelangkaan varietas lokal. Yuni lalu memaparkan kerusakan ekologis dengan perluasan sawit akan merusak saluran irigasi, mempersempit habitat satwa dan meningkatkan erosi tanah.
Para pejabat mencatat dengan serius. Seorang perwakilan Dinas Kehutanan mengangkat tangan:
“Data ini sangat membantu. Namun, kami harus memverifikasi ulang di lapangan. Mungkin ada kawasan hutan desa yang terlewat…”
Aku mengangguk. “Silakan. Kami persilakan tim teknis mengecek titik koordinat yang sudah kami lampirkan di slide 7.”
Camat Andi kemudian menutup presentasi.
“Baik! Berdasarkan paparan Desa Duren, IUPKS No. 012/2025 akan ditinjau ulang. Kami akan tunda sosialisasi lanjutan hingga verifikasi lapangan selesai, mohon kerjasama warga untuk dampak minimal. Rapat berikutnya dijadwalkan dua minggu lagi.”
Desa gemuruh tepuk tangan. Sebuah kemenangan kecil, namun krusial.
Setibanya di halaman kecamatan, aku memandang Yuni. “Kita berhasil menunda, setidaknya untuk sementara.”
Dia tersenyum lelah namun puas. “Iya. Namun ini baru babak awal.”
Aku berjalan menyusuri lorong tanah setapak, menggenggam parang tua di tangan kanan, ransel kecil berisi perbekalan di punggung, dan tas kecil berisi catatan di pundak kiri. Di sisiku, kakek melangkah mantap, meski tubuhnya ringkih, semangatnya tak pernah surut. Setiap langkahnya berirama, seolah irama lagu masa lalu yang menemani biji durian tumbuh sejak puluhan tahun lalu.
“Kau ingat caranya, Boni?” tanya kakek, suaranya serak tapi tegas.
Aku mengangguk, menoleh padanya. “Ingat, Kakek. Potong pada pangkal tangkainya, jangan sobek meski buahnya terkulai berat.”
Sekonyong-konyong, kakek berhenti dan menepuk batang pohon di depannya. Daun-daun bergoyang pelan, menebarkan aroma harum yang khas, cukup manis untuk membelai ingatan lamaku, cukup tajam untuk mengimbas kenangan kelam beberapa hari lalu.
“Pohon ini yang paling tua.” ujar kakek. “Usianya hampir lima puluh tahun. Ditanam waktu kakek dan ayahmu masih muda.”
Aku menatap batangnya yang menebal, kulit kayu berkerut seperti wajah tua yang bersahaja. “Durian ini yang paling manis,” kataku pelan. “Kakek dulu panen sendiri setiap musim.”
Kakek mengangguk. “Ya, dulu aku dan ayahmu memanen bersama. Kau masih kecil waktu itu. Kini, saatnya kau menggantikanku.”
Kupandangi mata kakek yang sayu—terpancar kebanggaan dan getar kelelahan. Aku menghela napas lalu melangkah maju. Kuposisikan parang di pangkal tangkai buah bergantung rendah. Dengan satu ayunan, tangkai terpotong halus. Buah seberat hampir sepuluh kilogram itu jatuh ke atas tikar daun kering, berguling perlahan. Bunyi gemerisik pecahan daun bergema, menggetarkan udara pagi.
“Bagus.” puji kakek. “Sekarang serahkan padaku untuk membukanya.”
Kupaparkan buah dengan hati-hati di sisi akar, lalu kakek menancapkan pisau pendek di celah kulitnya. Tangan penuhnya bergetar sedikit, hasil dari latihan puluhan tahun. Dengan gerakan terukur, kulit durian yang berduri terbelah tiba-tibaaroma kental menyeruak, menusuk hidung dengan manis tak tertahan. Kakek merentangkan ujung pisau, memisahkan dua belahan, lalu mengangkat satu petak ke bibir. Pelan, ia mencelupkan ujung bibirnya, menari-nari rasa manis dan lembut di lidahnya.
Aku mengamatinya, merasakan kehangatan yang tumpah. “Rasanya… sempurna.” bisikku.
Kakek tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Inilah hasil kerja keras tanah dan manusia. Setiap tetes keringat memberi makna.”
Aku menyalin beberapa baris catatan tentang kategori buah yang matang sempurna, setengah matang atau kurang matang, lalu menandainya dengan simbol bintang akrilik di catatan. Rencana musim panen kali ini harus lebih terstruktur tentang pendataan jumlah pohon, estimasi kilogram dan catatan kualitas. Ini bukan hanya tentang memetik buah, tapi juga tentang menjaga warisan yang lebih Dalam daripada sekadar duri tajam.
Setelah memanen tiga buah di pohon pertama, kakek membimbingku ke pohon berikutnya. Jalan setapak sedikit menanjak, pohon bertambah rapat. Di antara dedaunan, sinar mentari menembus tipis, menciptakan bayangan kembang-kembang cahaya di tanah. Burung pipit berkicau riang, dan sesekali lebah berdengung mendekati bunga durian yang belum mekar.
“Kita harus cek tiap pohon.” ujar kakek. “Musim ini, kita targetkan minimal dua buah per pohon untuk dijual premium.”
Aku menatap barisan ratusan pohon berdiri kokoh—sebuah kebanggaan keluarga. Sejak masa kakek, lahirlah tetesan air mata pada musim paceklik, tawa bahagia kala masa panen berlimpah, dan kini, tantangan baru dihadang: rencana pengambilalihan lahan oleh Kepala Desa. Tapi kakek tak pernah mengatakan itu di sini. Di kebun ini, hanya ada kita, tanah dan durian. Semua masalah dunia luar bagai hilang, tergantikan suara alam dan kerja tangan manusia.
Kami tiba di pohon kedua, di mana empat buah menggantung rendah. Kuposisikan buah satu demi satu, memotong pangkal tangkai, menatanya di tikar anyaman yang kakek bentangkan. Satu… dua… tiga… empat. Kakek mendekat dan memeriksa kualitas setiap potongan, lalu menanda buah yang terlalu muda atau terlalu tua. Beberapa masuk kategori dua bintang, sebagian tiga bintang.
“Bagus sekali, Boni.” puji kakek. “Kau tumbuh jadi petani durian yang terampil.”
Hati tergetar. Lima tahun merantau, aku mungkin kehilangan banyak hal tentangwaktu bersama keluarga, rasa kebersamaan di desa, aroma lembab tanah kebun durian, namun semua itu terbayar lunas di momen seperti ini. Aku merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar: rantai kehidupan yang menghubungkan masa lalu dan masa depan.
“Kakek.” aku memanggil pelan, “apa kau yakin kita bisa mempertahankan kebun ini?”
Kakek menatap langit yang mulai cerah, awan tipis berarak memediasi cahaya. “Tentang itu, cucuku, kita hanya bisa berusaha. Kelak, generasi berikutmu yang akan memutuskan.”
Aku mengangguk, lalu menatap batang pohon di depan kami. Batang itu setebal satu lengan besar, kulitnya menua seperti cerita panjang. Berikutnya, aku mengulurkan parang ke arah batang, mengangkat mata ke kakek. “Kisah kita akan terekam di kulit pohon ini, kakek. Aku ingin anak cucuku nanti tahu bahwa kita pernah berjuang demi durian.”
Senyum kakek merekah, lalu ia menepuk pundakku. “Dan kau akan simpan catatan ini, tak hanya dalam pikiran, tapi juga di blog desa untuk generasi mendatang.”
Kami tertawa pelan, lalu melanjutkan panen. Setiap buah dipetik dan ditata rapi di atas tikar, siap dibawa ke posko Pengawal Duren untuk dijual atau disimpan. Sambil bekerja, kakek bercerita tentang masa lalunya: bagaimana ia belajar bercocok tanam dari orang tua tetangga, bagaimana ia merontokkan air mata ketika musim hujan yang berkepanjangan membuat buah tak matang, dan bagaimana ia bangkit kembali saat tahun 2004 ketika panen membukakan peluang ekspor pertam…
Cerita-cerita itu menari-nari di telingaku, menemani pagi yang hening. Aku mendengar suara parang memotong tangkai, suara buah terjatuh, dan suara napas kita—irama damai yang sayang dilewatkan oleh orang-orang yang mengejar gemerlap kota.
Ketika siang menanjak, matahari semakin terik. Kakek menyeka keringat di dahinya. “Kita sudah memanen 25 buah.” ujarnya sambil memeriksa kantong kain yang penuh. “Bagus. Cukup untuk sore ini. Ayo istirahat.”
Aku mengangguk, lalu mengangkat tas kecil. “Ada air kelapa di pondok sebelah, kakek.”
Kami melangkah ke pondok di tengah kebun terdapat gubuk bambu sederhana dengan bantal jerami dan sebuah meja kayu kecil. Di atas meja tergeletak beberapa kelapa muda. Kakek memecah kelapa dengan pisau pendek, menyerahkan satu ke tanganku. Uap segar meloncat ke udara ketika kelapa itu dibelah, menebarkan aroma manis dan sedikit asam yang menenangkan dahaga.
Aku menyeruput air kelapa, merasakan kesejukan menembus kerongkongan. Kakek melakukan hal yang sama, matanya menutup sejenak dalam kenikmatan sederhana. “Terkadang.” katanya pelan, “Kita lupa bahwa surga itu ada di sekeliling kita.”
Aku menatap debu yang menempel di lantai pondok, lalu menoleh ke kakek. “Surga durian, ya?”
Kakek tertawa pelan, suaranya nyaris bergema. “Surga durian. Kini kau sudah merasakan buahnya. Saatnya kau yang ajari anak cucumu memetiknya.”
Aku mengangguk, api semangat menular di dada. Namun di sudut pikiranku, terselip bayangan arus besar yang mengancam: rencana sawit Kepala Desa yang sempat kucium di rapat kecamatan. Tapi hari ini, kita berdiri di sini, di kebun durian, rumah dari jiwa kita. Dan selagi kita berkeringat, selagi parang menebas tangkai, selagi tenaga dan harapan merambat, surga durian akan tetap ada.
Pesan malam tadi dari Yuni pun terngiang: besok kita akan bentuk tim Pengawal Duren secara resmi. Dengan data dan strategi di tangan, kita akan hadang laju rencana sawit. Namun sebelum segala kerumitan itu tiba, aku ingin menikmati saat-saat ini tentang tangan menebas tangkai, aroma kelapa menyegarkan, dan suara kakek bercerita tentang masa lalu.
Ketika sinar matahari mencapai ubun-ubun, kami berkemas membawa tikar berisi buah. Kubopong tongkat bambu di bahu, kakek memikul tas kain besar, dan kami berjalan pulang ke rumah. Jalan berdebu memantulkan cahaya pagi, dedaunan yang jatuh menari tertiup angin.
Di rumah, Yuni sudah menunggu dengan senyum lebar dan nampan kue tradisional. “Wah, panennya banyak sekali!” serunya riang.
Aku meletakkan buah di halaman, lalu mencium tangan kakek. “Terima kasih, Kakek. Hari ini luar biasa.”
Kakek menepuk bahuku. “Semuanya berkat usahamu, cucuku.”
Yuni membantu mengangkat durian ke rak bambu di halaman, sementara aku dan kakek duduk di teras, menikmati kue lapis dan teh manis. Getar panas mentari menyatu dengan rasa manis, menciptakan harmoni yang membuat hatiku tenang.
“Boni.” ujar kakek tiba-tiba, menatapku sungguh-sungguh. “Besok, kita akan kumpulkan semua panen, timbang, catat hasilnya dan kirim data ke Camat. Jangan lupa ajak semua tetua.”
Aku mengangguk mantap. “Ya, Kakek! Tim Pengawal Duren akan siap.”
Kakek tersenyum bangga. “Bagus! Aku percaya pada kalian.”
Aku meneguk teh dan meresapi kata-kata sederhana itu, ungkapan kepercayaan yang lebih berharga daripada emas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!