Cewek dengan rambut hitam sepunggung berjalan menuju sekolah melalui sebuah gang sempit. Bukan tanpa sebab ia berjalan menuju sekolah. Ban mobil yang ia kendarai tiba-tiba saja bocor dan membuatnya berakhir seperti ini.
Cewek itu begitu riang dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya. Hari ini adalah hari pertamanya pinda ke SMA Garuda.
Tapi, langkahnya tiba-tiba berhenti saat telinganya menangkap suara erangan dan juga suara ... Orang berkelahi? Cewek itu meremas rok sekolahnya pertanda ia sedang takut. Bagaimana jika orang itu melihatnya lalu menangkapnya? Dia mengedarkan pandangan kesegala penjuru gang itu.
Suara pukulan tersebut terdengar lagi membuat ia penasaran akan siapa si pelaku itu. Dengan langkah berat ia berjalan di gang sempit tersebut hingga akhirnya terbelalak saat melihat seorang cowok tengah dikroyok oleh 5 orang berjenis kelamin yang sama. Ia menutup mulutnya tidak percaya lalu perlahan mundur. Namun ternyata takdir baik sedang tidak memihaknya.
Sebab, Ia menginjak—ranting pohon yang entah jatuh dari mana—saat hendak pergi.
"Siapa di sana?!"
Suara itu membuat matanya semakin membola, salah satu pelaku itu pasti mendengarnya. Dengan sekuat tenaga ia berlari meninggalkan gang itu. Namun sayang, kelima orang itu telah melihatnya hingga ikut berlari mengejarnya.
"Woy! Berhenti lo!!"
Cewek itu berlari dengan perasaan takut yang terlihat sekali di wajahnya. Keringat dingin sudah menetes di pelipisnya.
"Mama... Meira gak mau mati sekarang," gumamnya, bergetar di sela-sela larinya.
Cewek bernama Meira itu menoleh kebelakang dan kembali terbelalak saat kelima cowok itu sudah dekat dengannya.
"Woy sialan! Berhenti lo!!"
Nafas Meira memburu, dengan sekuat tenaga ia mempercepat larinya hingga kelima orang itu terlihat sedikit jauh.
"Ya Allah... Ampuni dosa Meira kalo Meira memang bakalan mati hari ini... Tolong jaga Mam---Aakkhh, hhmmpptt...." Meira semakin takut saat dirinya ditarik oleh seseorang yang tidak dia kenali. Mulutnya di bekap sehingga membuat Meira memberontak.
"Sssttt...." desisan yang terdengar itu membuat Meira berhenti memberontak. Hingga akhirnya bekapan tersebut lepas dari mulutnya. Meira membalikkan badan untuk melihat siapa orang itu. Detik berikutnya matanya kembali terbelalak untuk kesekian kalinya.
"Ini bukannya orang yang dikroyok tadi?! Ya, ampun gantengnya!" pekiknya dalam hati, memuja cowok beriris tajam namun sangat tampan itu.
"Kam---"
"Ssttt!"
Mulut Meira bungkam saat cowok itu kembali mendesis. Dengan tiba-tiba cowok itu menarik tangannya ke tempat yang sedikit gelap hingga membuatnya was-was.
"Kamu mau--"
"Diam." Meira menunduk, takut ketika cowok itu menatapnya tajam dengan suara yang begitu menyeramkan di telinga Meira.
Cowok itu menarik tangan Meira hingga akhirnya Meira berada di sampingnya. Meira melihat cowok tersebut yang sesekali mengintip dari balik tembok tempat persembunyian mereka.
"Sialan! Kita kehilangan jejak cewek itu!" Jantung Meira berdetak cepat saat mendengar suara orang yang tadi mengejarnya.
"Dia pasti bersembunyi di sekitar sini. Kita cari dia sekarang!" genggaman tangan Meira di tangan cowok jangkung itu kian mengerat hingga tanpa sadar cowok tersebut menoleh padanya.
"A-aku takut," cicitnya namun masih bisa didengar. Cowok itu hanya menatap datar tanpa berniat menenangkan Meira.
Cowok itu kembali mengintip di balik tembok. Merasa aman, akhirnya ia pun menarik tangan Meira keluar dari persembunyian, namun Meira hanya diam tidak berkutik dengan kepala menunduk.
"Ayo!"
Kepala Meira perlahan terangkat, hingga akhirnya menatap cowok yang memiliki tatapan tajam itu. Setetes cairan bening jatuh dari pelupuk matanya.
Bisa di lihat cowok itu menghela nafas berat.
"Gak usah nangis." dia berujar dingin yang membuat Meira sontak menyeka airmata.
Meira dan cowok itu pun keluar dari balik tembok dengan pelan, waspada kelima orang itu akan datang. Sebenarnya cowok ini bisa saja menghadapi kelima cowok tadi, namun kehadiran Meira membuat dia ragu dengan beberapa perkiraan yang akan terjadi.
"Anak Garuda?"
Dengan ragu Meira mengangguki pertanyaan cowok datar itu.
"Naik!" perintah cowok tersebut saat dirinya—cowok itu—sudah berada di atas motor sport merah hitam kebanggaannya.
"Gimana caranya? Entar paha aku keliatan lagi," ucapnya polos.
Cowok itu membalasa dengan decakan.
"Nih." sebuah jaket denim berlambang kepala Singa mengaum disodorkan padanya hingga Meira tersenyum.
"Makasih," seru Meira dengan senyum manis namun cowok itu hanya diam.
Motor sport itu pun membelah jalanan menuju SMA Garuda. Hingga beberapa menit kemudian keduanya telah sampai di depan gerbang sekolah elit itu.
Meira turun dari motor sport tersebut dengan memegang pundak cowok itu. Detik berikutnya dia tersenyum lalu mengucapkan terima kasih tanpa balasan apa-apa dari cowok jangkung dan tampan tersebut.
Mata Meira jatuh pada seragam yang di gunakan cowok tersebut dan juga lambang kelas yang ada di lengan kanannya, menunjukkan angka romawi XII.
"Jadi dia senior aku?" batin Meira, bertanya.
Cowok itu masuk melewati Meira dengan motor sport merahnya, membuat siswi SMA Garuda menahan nafas saat sang most wanted sekolah memasuki area.
"Eh, aku belum tanya siapa namanya. Ya ampun Meira, gitu aja lupa, sih!" gerutu Meira. Lupa bertanya akan nama cowok dingin berwajah tampan itu.
Meira merosotkan bahunya dengan helaan nafas kecil lalu memasuki gerbang, tanpa sadar bahwa jaket yang diberikan cowok tadi masih terikat di pinggangnya hingga mengundang berbagai macam tatapan.
####
Tiga orang cewek berjalan beriringan menuju kantin sekolah dengan cewek berambut hitam sepunggung berada di tengah. Terlihat sebuah jaket denim yang ada di tangan cewek itu.
"Eh, Mei, btw jaket Kak Alka, kok, bisa ada sama lo?" tanya Bella—cewek berambut coklat di curly sepunggung, sahabat baru Meira di SMA Garuda.
"Iya, Mei. Padahal yang kita tau tuh, yah, Kak Alka gak bakal pernah mau barang-barang miliknya di pinjam, walaupun sama temannya sendiri." Dita—cewek berambut hitam sepundak—ikut menambahi.
Meira tersenyum lalu menjawab.
"Nanti Meira cerita, yah." Kedua teman barunya mendesah kecewa. Padahal mereka sangat penasaran bagaimana jaket Sang Singa SMA Garuda ada pada Meira.
"Kita mau duduk di mana nih, guys?" tanya Bella saat mereka sudah ada di dalam kantin.
"Duduk di sana aja, yuk! Gak terlalu nampak," sahut Dita menunjuk meja kosong yang ada di sudut kanan.
Bella mengangguk setuju. "Yuk," ajaknya.
"Mm... Dita, Bella, kalian duluan aja, yah? Meira mau ke toilet dulu, kebelet hehe." Bella dan Dita terkekeh lalu mengangguk dan berjalan menuju meja yang mereka tempati, bersamaan dengan itu Meira berjalan menuju toilet dengan jaket Alka yang masih berada di tangannya.
"Jadi namanya Kak Alka?" batin Meira entah kenapa merasa senang.
####
Helaan nafas lega keluar dari bibir Meira setelah ia menyelesaikan panggilan alamnya. Cewek itu kembali berjalan menuju kantin dengan langkah pelan disertai nyanyian-nyanyian kecil dari bibirnya. Di pertengahan koridor, Meira berhenti lalu menatap sekitar.
"Jalan kantin kemana, yah? Kok aku bisa lupa, sih? Aduh... Meira! Jadi orang itu jangan pelupa dong!" gerutunya pada diri sendiri saat melupakan jalan menuju kantin padahal tadi jalan ke toilet ia ingat.
Meira mengambil nafas dalam lalu menghembuskannya pelan.
"Ya Allah jangan bikin Meira tersesat, yah?" cewek itu tersenyum lalu kembali melangkah. Di depan sana, ia melihat ada dua persimpangan tanpa petunjuk arah.
Langkah Meira kembali berhenti dengan alis berkerut bingung.
"Ini belok kanan atau kiri, yah? Kok pakai ada dua belokan segala, sih? Gak bisa apa satu doang?!" Meira kembali menggerutu dengan bibir cemberut.
"Ya Allah, Meira lapar... Tapi belum ketemu kantin juga." cewek itu cemberut, lalu kembali menatap dua belokan di depannya.
"Kalo aku belok kanan terus nyasar ke tempat seram gimana? Ah, belok kiri ajalah!" Meira melangkahkan kakinya ke belokan kiri, namun baru di ujung belokan ia kembali berhenti.
"Kalo misalnya tempat seram itu ada di sebelah kiri gimana dong? Ah, belok kanan ajalah!" cewek itu berbalik lalu memantapkan langkahnya ke kanan tanpa berhenti lagi.
Di ujung belokan kanan, langkah Meira kembali berhenti lalu mengedarkan pandangan. Terdapat warung tidak terlalu besar di sana, dan yang membuat Meira bingung adalah, kenapa semua pengunjungnya laki-laki?
Lalu di mana Dita dan Bella?
Meira maju satu langkah. Suasana di warung itu begitu ramai dengan suara tawa anak laki-laki. Hingga akhirnya sebuah suara membuatnya tertegun di tempat.
"Wah, ada cewek, guys!" Meira menatap ke arah cowok berambut ikal dengan tampilan acak-acakan namun sedikit tampan.
"Wah, mana?"
"Siapa?"
"Jangan bercanda lo!"
"Mana mungkin ada cewek berani ke sini!"
Diam-diam Meira meringis mendengar sahutan-sahutan cowok itu.
"Gue beneran. Noh, di ujung lorong!" cowok yang berseru itu menunjuk Meira dengan dagu, kontan semua mata anak laki-laki yang ada di sana serempak menatap Meira yang membeku di kakinya.
Cewek itu meneguk kasar ludahnya saat seorang cowok berambut gondrong terikat dengan penampilan acak-acakan seperti yang tadi menghampirinya.
"Hay, manis. Cari siapa?"
Meira tersenyum kikuk lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sepertinya ia salah masuk tadi dan terdampar di tempat yang benar-benar seram.
"A-aku... Mmm... A-ku...."
"Santai aja kali." Cowok itu menepuk pelan kepala Meira hingga sang empu tersentak kaget.
Cowok gondrong—dengan name tag Bagus Baskara—tertawa melihat kelucuan wajah Meira saat kaget. Mata cewek itu membulat dengan bibir sedikit terbuka.
"Huu, modus lu, Gus!"
"Anak orang jangan bikin baper, woy!"
Bagus hanya tersenyum lebar ke teman-temannya lalu kembali menatap Meira yang sepertinya ketakutan.
"Meira Annastasia...." nada cowok gondrong itu seperti mengeja nama Meira. Dengan cepat Meira menyilangkan tangan di depan dada saat mata cowok itu mengarah pada name tag bajunya.
Bagus kembali tertawa hingga membuat Meira mengernyitkan alis.
"Santai aja kali. Gue cuma liat name tag lo doang, bukan 'itu' lo."
Walaupun Meira sudah tahu, ia tetap saja merasa malu hingga tampak warna kemerah-merahan di pipinya.
"Gemes sih, gue pengen cubit pipi lo." Mata Meira melotot saat mendengar ucapan Bagus. Terlebih saat tangan cowok itu hendak mencubit pipinya jika saja ia tidak cepat menghindar.
"Ma-maaf... A-aku tadi cuma salah j-jalan. Pe-permisi."
Meira membalikkan badannya berniat meninggalkan tempat itu. Namun cekalan Bagus di tangannya membuat ia berhenti dan kembali berbalik.
"Plisss... Jangan apa-apain aku. A-aku cuma salah jalan." Bagus terkekeh lalu mengacak rambut Meira hingga sang empu menatapnya tidak suka.
"Siapa yang mau apa-apain lo, sih?"
"Terus? Kenapa tahan aku? Aku kan mau pergi dari sini." dengan sekuat hati Meira memberanikan diri berbicara tanpa gugup di depan Bagus. Walau sebenarnya lututnya sudah lemas.
Bagus tidak menjawab, sebab matanya jatuh pada sebuah jaket yang ada di lengan Meira. Alis cowok itu mengernyit saat jaket tersebut tidak asing di matanya. Sekali tarikan jaket itu sudah berada di tangan Bagus.
"Eh? Kamu apa-apaan, sih?! Kembaliin jaket itu! Itu punya orang tau!" Meira berusaha mencapai jaket tersebut. Tinggi badannya yang hanya sebatas bahu cowok itu menyebabkan Meira harus berjinjit.
Bagus menjauhkan jaket itu dari Meira lalu merentangkan jaket itu di hadapannya.
"Guys, sini lo semua!" panggil Bagus kepada teman-temannya. Sekitaran 6 anak laki-laki langsung berlari ke arah mereka membuat Meira sedikit takut.
"Kenapa, Gus?"
"Eh, Itu jaket kok gak asing, yah?"
"Punya siapa itu?"
Bagus menatap satu persatu temannya lalu fokus pada jaket berlambang kepala Singa mengaum bermata tajam itu. Detik berikutnya mata Bagus membola saat melihat nama yang tertera di bawah lambang kepala Singa tersebut. ALKAVERO MAHARDIKA. Tulisan itu begitu tebal hingga membuat semua anak laki-laki tersebut saling memandang satu sama lain.
"Kok, jaketnya si Bos ada di lo, Gus?" tanya Cowok beralis tebal dengan rambut coklat.
"Bukan gue, tapi cewek ini," jawab Bagus, menunjuk dengan dagunya pada Meira yang tertunduk.
Semua mata mengarah pada Meira.
"Lo kenal sama Alka?" tanya seorang cowok berambut hitam pekat yang sedikit acak-acakan namun sangat tampan. DEVAN ARDEON, itu yang Meira dapat baca dari name tag cowok tersebut.
Meira menggeleng pelan hingga membuat Devan mengernyit heran. Cowok itu mengambil jaket yang ada di tangan Bagus.
"Terus kenapa jaket ini bisa ada di lo?" tanya Devan lagi. "Selama 17 tahun gue temenan sama Alka, gak pernah tuh, dia mau minjemin gue barang-barangnya. Bahkan yang terkecil sekalipun," lanjutnya.
Meira semakin menunduk. Dia ingin menjawab namun lidahnya terasa keluh saat merasakan tatapan mengintimidasi dari Devan.
Devan menghela nafas lalu menepuk kepala Meira pelan hingga cewek itu menatapnya. Ada raut takut di sana hingga membuat Devan sedikit tidak enak.
"Gak usah takut gitu. Kita gak makan orang, kok, santai aja."
Meira menghela nafas lega kemudian tersenyum kecil pada Devan.
Meira menceritakan kejadian tadi pagi yang ia lihat dan alami dengan Alka hingga membuat Devan dan teman-temannya mengerti.
"Alka dikroyok?" sahut salah satu di antara mereka. Meira mengangguk sebagai jawaban.
"Kok, Alka gak kasih tau kita, sih?!" kini Bagus yang angkat suara, terlihat kilatan amarah di mata cowok itu.
"Kalian semua tenang aja, Alka gak kasih tau kita karna pasti dia bisa selesaiin ini sendiri. Lo tau kan, gimana prinsip Alka?" seru Devan.
"Selagi bisa menghadapi sendiri, tidak usah merepotkan orang lain!" serempak mereka menjawab, membuat Devan tersenyum dan mengangguk. Itulah prinsip Alka. Dia tidak pernah mau merepotkan orang lain selagi masih bisa menyelesaikannya sendiri.
"Jadi lo ke sini mau ngapain?" Devan beralih pada Meira.
"Tadi a-aku mau ke kantin. Tapi lu-lupa jalannya ke mana." Meira masih saja gugup walau tetap berusaha memberanikan diri.
"Lo anak baru di Garuda?"
"Iya."
Devan mengangguk. Pantas saja dia tidak tahu bagaimana Alka.
"Mau gue anterin ke kantin?"
"Eh? Ga-gak usah, Kak! Aku tau, kok, sekarang," sahutnya kikuk.
Devan mengangguk saja. Toh, dia juga tidak mau memaksa cewek itu.
"A-aku duluan Kak. Tolong bilang ke Ka-kak Alka, makasih udah minjemin jaketnya ke aku." Devan terkekeh lalu menjawab.
"Ngapain harus gue kalo orangnya aja ada di belakang lo?"
Mata Meira mengerjap, otaknya mencerna kalimat yang baru saja Devan lontarkan. Perlahan tubuh mungil itu menoleh kebelakang, dan tampaklah sesosok cowok tampan berwajah datar di hadapannya. Meira meneguk kasar ludahnya lalu tersenyum kikuk pada cowok berwajah datar itu.
"H-hai. Kak Alka."
Alka hanya menatap datar pada Meira, setelah itu ia melangkah melewati Meira tanpa sepatah kata pun.
Meira kembali mengerjap tidak percaya dengan mulut sedikit terbuka melihat hal itu.
Cewek itu mencebikkan bibirnya kesal lalu kembali memanggil Alka, hingga langkah cowok itu terhenti. Entah dari mana keberanian dalam dirinya tiba-tiba saja muncul ke permukaan. Rasa gemas Meira pada cowok itu mungkin jauh lebih besar dari pada rasa takutnya.
"Kak Alka!" panggilnya, namun Alka hanya diam tanpa berbalik. Hal itu sontak membuat Meira memberenggut kesal. Kenapa cowok itu sulit sekali bicara? Pikirnya.
"Ish... Kak Alka, orang itu kalo dipanggil, yah, nyahut, bukan cuma diam," serunya ringan. Tanpa memperdulikan teman-teman Alka yang melongo melihat keberanian Meira.
Perlahan, tubuh jangkung itu berbalik menatap dingin pada Meira. Namun entah setan apa yang merasuki Meira hingga dengan beraninya melangkah ke hadapan Alka.
"Nah, gitu dong. Kan, enak ngomongnya kalo berhadapan gini, kayak di film-film yang biasa aku nonton. Saling berhadapan, bicara, terus pandang-pandanga--"
"Udah?" mulut Meira sontak berhenti mengoceh, saat suara serak basah khas Alka menyela celotehannya.
"Hah?" bukannya menjawab, Meira malah melayangkan tatapan bingung ke Alka hingga cowok itu menghela nafas jengah.
"Urus dia, Van!" perintah Alka pada Devan yang diangguki cowok itu. Alka kembali berbalik dan melangkah meninggalkan Meira.
"Lo gak jadi ke kantin?" tanya Devan, berusaha mengalihkan perhatian Meira dari Alka. Meira menatap Devan sejenak lalu mengambil jaket Alka yang ada pada Devan, kemudian berlari menghampiri Alka yang duduk di salah satu kursi warung tersebut.
Devan terperangah tidah habis pikir dengan keunikan dan keberanian cewek itu. Begitu pun dengan Bagus dan yang lainnya.
"Kak Alka kok, pergi, sih? Kan, aku belum selesai ngomong," ujar Meira dengan bibir mengerucut sebal lalu duduk di hadapan Alka.
Alka menatap tajam cewek yang menurutnya gila ini. Namun balasan cewek itu di luar ekspektasi Alka. Bukannya takut, Meira malah menunjukkan cengirannya.
Apakah aura menakutkan Alka tidak berpengaruh pada seorang Meira?
"Ih, Kak Alka! Kok, Meira dikacangin, sih?!" Alka memutar bola matanya malas lalu beralih pada handphone. Mungkin bermain game lebih baik daripada menghadapi bocah di hadapannya ini.
"Kan, Meira dicuekin lagi. Emang salah Meira tuh, apa, sih? Kok, perasaan dari tadi dicuekin mulu sama Kak Alka. Apa karna bedak Meira luntur? Rambut Meira berantakan? Hidung Meira jerawatan? Aduh! Kaca mana kaca?!" Meira sibuk sendiri dengan segala keanehannya hingga membuat Alka menggertakkan giginya menahan kesal.
"Kaca aku mana, yah? Tadi perasaan ada di saku, kok sekar---hmmppptt."
"Ish... Kwak Alkwa jwahat!" Alka memutar bola matanya malas. Tadi satu cireng berhasil dia gunakan menyumpal mulut Meira hingga akhirnya cewek itu berhenti mengoceh. Namun sepertinya pemikiran Alka salah, karena Meira kembali berceloteh setelah cireng itu habis.
"Wah... Enak juga yah, cirengnya! Meira suka. Ini buatan siapa, sih? Enak banget. Cireng di deket rumah aja gak seenak ini, emm... Nanti aku beli di sini aja, deh. Gimana, kak? Aku boleh gak ke sini?" Meira menatap penuh harap pada Alka yang masih saja sibuk dengan game-nya.
"Ck. Tuh, kan, aku dicuekin lagi."
Alka menyimpan ponselnya ke atas meja sedikit kasar. Memandang dingin pada Meira yang juga menatapnya namun dengan senyum lebar.
"Pergi!" mulut Meira sukses terbuka saat satu kata yang terlontar dari bibir ranum Alka.
"Pergi? Dari tadi aku ngomong panjang lebar, terus dicuekin, giliran udah ngomong malah disuruh pergi. Kenapa semesta selalu jahat sama aku?" tanyanya, mendaramatis.
"Pergi atau lo tau akibatnya?" Meira mencebikkan bibir lalu berdiri dari duduknya.
"Yaudah aku pergi. Tapi ini aku kembaliin jaket Kak Alka."
Meira menyodorkan jaket denim itu kepada Alka namun sang empu hanya menatap tanpa berniat mengambilnya.
"Cuci!"
"Kok, di cuci segala?! Kan, pakainya gak cukup satu hari. Pakainya juga di pinggang doang, gak di badan."
"Kalo gitu buang!" Meira menggeleng tegas. Iya kali jaket sekeren ini dibuang cuma karena ada yang meminjam.
"Gak, mending aku cuci, dari pada dibuang."
Alka mengangkat bahunya acuh lalu kembali fokus pada handphone-nya.
"Besok aku balikin kalo udah kering, yah, kak. Aku pergi dulu, jangan rindu, yah, berat. Kak Alka gak akan kuat, biar Meira aja." Alka kembali menggertakkan gigi. Bibirnya mengatup rapat membentuk satu garis tipis.
Siapa sebenarnya cewek sok akrab ini? pikirnya.
"Kak Devan, Kak Bagus!" sontak pemilik nama yang sedang asik bermain catur menoleh pada Meira saat mendengar suara cempreng cewek itu.
"Meira duluan, yah. Masalah tadi aku udah maafin Kakak, kok, karna udah buat aku takut. Gak usah dipikirin." Meira sempat melempar cengiran sebelum benar-benar pergi.
Devan dan Bagus melongo melihat tingkat sok kenal cewek yang kini telah hilang di hadapannya. Mata keduanya juga jatuh pada Alka yang biasa saja.
####
"Lo semua siap?" tiga kalimat yang keluar dari bibir ranum Alka membuat semua anggota The Lion mengangguk semangat.
Malam ini mereka akan menyerang kelompok geng motor musuh bebuyutan mereka yang tak lain adalah Geng Srigala.
Jaket denim kebanggan The Lion melekat sempurna di tubuh mereka yang atletis. Headband berlambang kepala Singa melingkar indah di kepala Alka, tak lupa pula dengan kain merah bertuliskan Captain Of The Lion di lengan kirinya sebagai tanda bahwa dialah sang ketua The Lion.
Alka mengeratkan headband di kepalanya lalu memandang Bagus yang menyisir rambut gondrongnya dengan tangan.
"Ikat rambut lo, Gus," seru Alka memerintah, yang mendapat tatapan dari Bagus.
"Biarin gini aja kali, Al. Keren nih gue gondrong gini." Bagus dengan bangga menyisir rambutnya seraya bersiul memandang cermin kecil di tangan kirinya.
Alka memutar bola matanya malas dan bersikap acuh dengan keluar dari basecamp diikuti oleh anggota The Lion lain. Kecuali Devan yang menahan Bagus.
"Ngapain lo nahan gue?" mata Bagus memicing curiga pada Devan.
"Ikat rambut lo! Kan, gak lucu kalo anak Geng Srigala ngejambak rambut lo," dengus Devan jengah.
"Iya juga, yah. Sia-sia dong krimbat gue tiap hari kalo rambut gue dijambak sama tangan penuh najis anak Geng Srigala."
Devan memutar bola matanya malas.
"Udah sana ikat!"
"Ck. Iya, iya."
Devan pun ikut keluar meninggalkan Bagus yang sibuk mengikat rambut gondrongnya. Tidak berselang lama cowok itu juga ikut menyusul teman-temannya yang sudah berada di atas kendaraan masing-masing.
"Lama amat sih lo, Gus," celetuk Ezra,—cowok berambut hitam agak ikal.
"Nih, rambut gue diikat dulu!" seru Bagus.
"Cukur botak aja Gus biar gak lama." Bagus bersiap melayangkan sepatunya kepada Ezra, jika saja suara serak basah khas Alka tidak menyela mereka.
"Berantem atau gak ikut?!" Bagus menghela nafas mendengar suara dingin itu. Dia pun melangkah ke motor Harley hitamnya.
Deru suara motor mulai terdengar kala Alka lebih dulu menyalakan mesin motornya, diikuti oleh teman-temannya. Tidak lama kemudian serombongan motor Ninja Sport dan Harley bergabung membelah jalan kota Jakarta dengan dipimpin oleh cowok tampan berdarah dingin. Alkavero Mahardika.
Tatapan Alka begitu tajam walaupun tertutupi kaca helm full face hitam yang ia gunakan. Rahangnya yang mengeras pertandah bahwa ia kini menahan amarah yang siap meledak kapan saja.
Sejak pulang dari sekolah ia mendapat kabar bahwa salah satu anggota Srigala melakukan pengkroyokan dan pemerasan terhadap salah satu anggota junior The Lion. Itu yang membuat Alka murka hingga bertekat akan menghabisi Geng Srigala malam ini.
Tidak terasa 30 menit berkendara, mereka telah sampai di depan sebuah gudang senjata yang tidak terpakai lagi. Srigala dan The Lion memang sudah merencanakan tempat yang terbaik untuk melakukan pertumpahan darah, dan inilah pilihannya.
Alka turun dari motor sport merah hitam miliknya, diikuti oleh Devan, Bagus dan yang lain.
Di depan sana sudah ada sekitar 15 anggota Srigala dengan pakaian kebanggan mereka. Lambang kepala Srigala terjahit indah di bagian punggung jaket mereka. Alka maju mendekat pada ke 15 anggota Srigala yang memandangnya tajam.
"Langsung atau basa-basi?" tanya Alka.
Salah satu dari ke-15 cowok itu maju satu langkah dengan seringai sinis di bibir gelapnya.
"Keep Calm, Alka. Jangan terburu-buru, gimana kalo kita ngopi dulu?" Alka berdecih sinis lalu memandang mereka satu persatu.
Sepersekian detik selanjutnya, satu tendangan mendarat sempurna di perut cowok yang baru saja berbicara pada Alka. Cowok itu tersungkur akibat serangan tiba-tiba.
"Sambutan The Lion!" tukas Alka, santai. Lalu kembali ke teman-temannya.
"Ezra, Malik, Adnan, Arnold, Tian!" Alka menyebut satu persatu nama anggotanya. Kelima pemilik nama itu serempak menyahuti Alka.
"Habisin mereka!" titahnya yang diangguki semangat oleh kelima cowok itu.
Tinju demi tinju, tendangan demi tendangan mereka layangkan ke 15 cowok itu. Pertarungan antara 15 melawan 5 masih berlangsung. Alka dan anggota The Lion yang tersisa hanya menonton mereka dengan bersedekap dada, ada juga yang menyemangati ke-5 orang suruhan Alka.
Tentu bukan sembarang anggota yang Alka panggil. Ke-5 cowok itu bukanlah anggota biasa dalam The Lion hingga membuat Alka memberikan kepercayaan untuk menghabisi ke-15 anggota Srigala untuk saat ini.
Tidak urung ke-5 anggota The Lion juga mendapatkan serangan, namun itu semua tidak sebanding dengan serangan yang didapatkan Geng Srigala.
Tidak berselang lama ke-15 cowok itu tumbang di hadapan The Lion. Alka menyeringai puas melihatnya. Setelah itu Alka berjalan dengan santai ke 15 anggota Srigala.
"Kemana Petra?" tanyanya dengan suara rendah terkesan dingin.
Cowok berambut coklat terang yang terkapar di tanah mendecih sinis menatap ke atas di mana Alka berdiri.
"Petra gak--uhuk! Uhuk!" cowok itu terbatuk kala dengan tak bermanusiawinya Alka menginjak dadanya.
"Kasi tau gue atau mati?!" cowok itu meneguk kasar ludahnya. Tiba-tiba saja bulu kuduknya meremang mendengar desisan dingin milik Alka.
"Pe-petra di-di dalam," jawabnya terbatah, karena kaki Alka masih berada di atas dadanya.
Erangan kesakitan terdengar saat Alka menekan kakinya di atas dada cowok itu lalu masuk ke dalam gudang diikuti oleh teman-temannya.
"PETRA?!"
"KELUAR LO PENGECUT?!"
Bukan Alka yang berteriak. Melainkan Devan dan Bagus. Semua anggota The Lion mengobrak-abrik gudang itu. Hingga tidak lama kemudian muncul 3 cowok lagi yang mereka yakini adalah anggota geng Srigala.
"Ternyata mereka mau main-main dulu?" gumam Devan, sinis, yang masih bisa di dengar oleh mereka.
"Mana Petra? Suruh dia keluar dari persembunyiannya kalo emang dia cowok!" timpal Bagus, kesal. Tangannya sejak tadi sudah gatal ingin menghantam seseorang namun tampaknya Geng Srigala ingin bermain-main dulu.
"Petra? Lo mau ketemu petra? Langkahin dulu mayat kita!" seru salah satu dari 3 cowok itu.
The Lion tergelak melihat kepercayaan diri ketiga cowok bodoh itu.
"Biar gue yang maju, Al, tangan gue udah gatel pengen ninju orang sejak tadi." Alka mengangguk, mengiyakan ucapan Bagus.
"Gue bantu," sahut Devan namun Bagus menggeleng.
"Gak. Ini bagian gue."
Devan mendelik lalu membiarkan Bagus melangkah menghadapi ketiga cowok itu.
Hingga beberapa menit kemudian ketiga cowok itu tumbang. Tentu saja itu membuat Bagus tertawa kemenangan.
"Sok-sokan bilang langkahin mayat gue dulu. Baru diserang satu orang aja udah tepar juga!" cowok gondrong itu mencibir dengan kekehan.
"Gimana nih, Al? Petra gak juga keluar-keluar sejak tadi," tanya Adnan.
"Ada yang bawa petasan?" semuanya saling memandang mendengar pertanyaan Alka.
Petasan?
Untuk apa?
"Buat apa, Al?" tanya Malik.
"Ledakin!"
Semuanya mengangguk mengerti.
"Gue sih gak ada petasan, tapi kalo korek ada," sahut Ezra. Cowok itu merogo saku jaketnya dan mengeluarkan korek gas berwarna hitam.
"Sini."
Ezra pun memberikan korek yang biasa ia gunakan untuk merokok ke Alka.
Alka mengambil batu berukuran sedang lalu menghantamnya ke korek itu. Detik berikutnya suara ledakan terdengar menggema di dalam gudang kusam itu.
"Lo pasti udah bosen nunggu, yah? Makanya ledakin korek segala." sosok yang mereka incar saat ini telah ada dengan sekumpulan anggota Geng Srigala yang jumlahnya lebih banyak dari The Lion namun hanya beda tipis.
"Keluar juga lo pengecut. Dari mana aja lo? Salam perpisahan dulu sama keluarga lo?!" bukannya marah, cowok berambut hitam dengan netra coklat itu terkekeh mendengar Bagus. Namun terdengar seperti kekehan ejekan.
"Rupanya lawan gue kali ini gak sabaran, yah?" cowok itu melangkah maju ke hadapan Alka hingga jarak mereka hanya tersisa 3 meter.
"Apa kabar? Sang Singa SMA Garuda." senyum miring terpampang jelas di bibir cowok itu, berbeda dengan Alka yang setia dengan wajah datar dan tatapan tajamnya.
"Sang Singa SMA Garuda." cowok itu berucap seperti mengeja julukan yang tidak lain adalah julukan milik Alka. "Apa kabar? Baik-baik aja kan, sama saudara lo itu?" cowok itu mengakhiri ucapannya dengan seringai mengejek.
"Ah, gue lupa. Lo kan, gak diakuin saudara sama dia." Cowok itu berbisik dan berakhir tersenyum miring.
Alka menatap tajam cowok di depannya ini, bukannya Alka tidak bisa melawan, dia hanya menunggu waktunya untuk berbicara.
"Apa kabar nyokap lo? Masih bisa bangun?" Petra terkekeh. "Ck, ck. Lo emang anak berbakti, Al." semua anggota Srigala ikut tertawa.
"Yah, berbakti-lah. Kan, anak Mama."
"Berbakti tapi kok, malah main ke sini, yak?"
"Mendingan pulang, gih. Sembunyi aja di ketek nyokap lo!"
Alka berdecih sinis mendengar semua itu, kakinya bergerak satu langkah kedepan hingga jarak dirinya dan Petra semakin dekat.
"Petra Yuanda...." Alka mengulangi gaya bicara Petra dengan mengeja nama cowok itu. "Mau gue anak Mama. Anak Papa. Atau apapun, lo gak berhak ikut campur." Alka menjeda lalu tersenyum miring. "Nyokap lo sendiri apa kabar? Baik-baik aja, kan, sama pemuas-nya?"
Perkataan Alka sukses membuat Petra menggeram tertahan. Tanpa ba-bi-bu, dia menyerang Alka namun sayang, gerakannya bisa dibaca oleh Alka hingga tangannya di tangkis dengan keras.
Satu bogeman menghantam tulang pipi Petra. Cowok itu tersenyum miring lalu membalas Alka. Dan akhinya pertarungan antara The Lion dan Geng Srigala kembali terjadi.
Semakin lama pertarungan ini semakin sengit. Beberapa anggota The Lion dan Geng Srigala sudah ada yang tumbang bahkan berdarah. Namun tidak dengan Alka yang hanya mendapatkan memar saja di bagian tulang pipi, pelipis dan sudut bibirnya tanpa darah sedikitpun.
Di sinilah aurah Sang Singa akan keluar saat Alka benar-benar emosi. Tapi, mau seemosi apapun Alka akan tetap terkendali. Alka adalah seorang pengendali yang baik. Kecuali dalam satu hal. Tentang ibunya.
Pukulan berkali-kali Alka layangkan di perut Petra hingga cowok itu terbatuk darah.
Dengan kasar, Alka menendang Petra hingga akhirnya cowok itu terkapar lemah.
Petra mencoba bangkit dengan susah payah. Dan berhasil. Dia berdiri dan bersiap melayangkan pukulan kepada Alka, namun kepalan tangannya tertahan saat mendengar suara yang mereka tidak ingin hadapi.
Liw... Liw... *Li*w...
Semuanya kalang kabut, terkecuali Alka tentunya. Cowok itu tetap tenang walau sirene mobil polisi terdengar begitu jelas. Otaknya sibuk memikirkan siapa yang melapor pada polisi? Bukannya tempat ini jauh dari jangkauan polisi dan warga?
Semua anggota Geng Srigala sudah tidak ada di tempat. Sedangkan anggota The Lion masih berdiri menunggu Alka, walaupun terdapat beberapa dari mereka yang memasang wajah panik.
"Kenapa kita gak ikut lari, Al? Kalo kita di tangkap polisi gimana?" tanya Bagus, terdengar sedikit panik.
Alka menatap temannya satu persatu.
"Kalian boleh pergi," jawabnya ringan yang membuat mereka terheran-heran.
"Lo gak takut kalo kita ditangkap?" timpal Devan juga.
"Ini bukan mobil polisi asli." Alka menepuk-nepuk jaketnya yang sempat terkena debu.
"Maksud lo?" tanya Ezra.
"Kalian pikir. Kalo emang ini asli polisi, di mana mereka sekarang? Kenapa gak tangkap kita?" semuanya tampak berfikir hingga akhirnya menyadari sesuatu.
"Jadi ini cuma boongan?!" pekik Bagus, kesal.
"Tapi siapa yang beraninya ngerjain kita?" tanya Adnan, heran.
"Sialan. Lagi asik-asik juga." Tian berdecak kesal karena kegiatannya terganggu.
Alka mengangkat bahu acuh lalu berjalan keluar gudang untuk sekedar memastikan, namun kedatangan seseorang dengan tergesah-gesah membuat tubuh keduanya bertabrakan.
"Aduh..., jidat aku!" pekik orang itu yang ternyata adalah seorang cewek.
"Lo?!"
Senandung kecil keluar dari bibir cewek yang kini duduk di jok mobil depan. Kepalanya sesekali dianggukkan mengikuti lantunan musik. Tiba-tiba saja senandung dan anggukan kepalanya terhenti, digantikan dengan mata sedikit membulat saat sekawanan motor ninja sport dan harley melewati mobilnya. Kernyitan di jidat cewek itu begitu kentara. Malam yang begitu gelap membuatnya tidak bisa mengenali orang-orang itu.
Bertepatan dengan lampu merah, mobilnya berhenti di dekat salah satu cowok bermotor ninja hijau dengan helm full face hitam. Matanya bergerak meneliti di balik kaca hitam mobilnya. Tepat saat itu matanya jatuh pada jaket denim yang cowok itu kenakan. Kernyitan di jidatnya semakin kentara.
"Kok aku gak asing yah, sama jaket cowok itu?" batinnya bertanya. Belum sempat ia melihatnya kembali, lampu merah telah berganti menjadi hijau dan akhirnya sekumpulan motor itu pun pergi.
"Pak, kita ikutin geng motor itu, yah?" pintanya pada sopir pribadinya.
"Itu pasti Kak Alka dan temen-temennya, soalnya jaket itu mirip banget sama punya Kak Alka yang aku jemur di rumah," batinnya kembali bermonolog.
"Tapi Non, Mei. Ini batik buat butik Nyonya gimana?" Meira tampak berfikir, namun saat melihat sekumpulan motor itu sedikit jauh ia langsung mengambil keputusan.
"Kita ikutin aja dulu mereka, Pak. Kalo udah tau mereka kemana baru kita ke butik Mama."
Sopir itu pun mengangguk tanpa menanyakan mengapa Nona mudanya ini ingin mengikuti geng motor yang mungkin berbahaya itu.
Meira menatap keluar kaca saat sekumpulan geng motor itu berhenti tepat di depan sebuah gudang menyeramkan di mata Meira. Dia menoleh ke Pak Hendra—sopir pribadinya.
"Kita ke butik sekarang, Pak!"
"Iya, Non."
Mobil hitam itu meninggalkan gudang tersebut dengan otak Meira yang sibuk bertanya. Benarkah itu Alka?
Selang beberapa menit, Meira turun dari mobil saat telah sampai di depan sebuah butik mewah yang notabene adalah milik Mamanya sendiri.
"Assalamualikum, Mbak Salsa!" Meira berlari memeluk wanita berusia matang yang bernama Salsa, dan disambut baik dengan sang empu.
"Walaikumsalam, Mei, apa kabar?" tanya Mbak Salsa setelah melerai pelukan mereka.
"Mei baik kok, Mbak. Oh, iya. Ini batik yang udah Mama pesan dari Jogja, katanya kasih langsung ke Mbak Salsa." Meira menyerahkan sebuah bingkisan ke Mbak Salsa dan diterima baik oleh wanita itu.
"Makasih yah, Mei." Meira mengangguk dengan senyum cerianya.
"Oh, iya, Mbak, kalo gitu Mei pamit pergi, yah?"
"Loh, kok, cepat banget? Biasanya kamu suka lama-lama di sini." Mbak Salsa memasang wajah bertanya.
Meira menggaruk pipinya saat merasa tidak enak pada Mbak Salsa.
"Mei, sih, pengen lama-lama di sini, Mbak. Tapi Mei ada urusan yang urgent banget."
"Urusan apa, sih, kok, sampe gak tenang gitu?"
"Aduh... Mbak Salsa, kalo Mbak nanya terus bisa-bisa Mei gak jadi pergi, nih. Mei duluan yah, Mbak! Assalamualikum!"
"Walaikumsalam," balas Mbak Salsa pelan, sedikit aneh dengan anak sahabatnya itu.
####
"Kita ke tempat tadi yah, Pak!" serunya saat sudah duduk di kursi mobil.
"Loh, kok, kesana lagi, Non? Nanti kalo nyonya nyariin gimana?" Pak Hendra menoleh sekilas lalu menyalakan mesin mobil.
Meira menghela nafas seraya memasang sealbeat.
"Nanti biar Mei yang jelasin sama Mama, sekarang ayo, Pak, kita ke sana. Nanti telat lagi." Pak Hendra pun mengangguk pasrah.
####
Meira mengendap-endap di balik beberapa pepohonan di sekitar gudang itu. Beberapa menit kemudian matanya terbelalak saat melihat pertarungan di depannya. Badan Meira seolah kaku, ini pertama kalinya dia melihat adegan action secara live.
Mata Meira tambah membola saat melihat cowok yang masih ia ingat wajahnya. Bagus! Cowok itu begitu keren malam ini. Namun bukan itu yang mencuri perhatian Meira, melainkan cowok yang berdiri di samping Bagus dengan tampang dingin seraya bersedekap dada. Itu Alka. Yah, Meira tidak mungkin salah lihat.
Untuk beberapa menit Meira hanyut dalam kekagumannya saat melihat betapa kerennya Alka malam ini, walaupun dalam keadaan remang-remang sekalipun.
"Ketampanan Kak Alka emang gak manusiawi." batinnya kagum hingga detik berikutnya ia menggeleng. Ia tidak boleh melupakan tujuan awalnya saat ini. Yaitu memastikan apa yang akan mereka lakukan.
Selanjutnya, di penglihatan Meira beberapa cowok tumbang dengan serangan 5 orang cowok yang Meira yakini adalah teman Alka. Terbukti saat ke-5 cowok itu berjalan ke arah Alka.
Setelah itu, lagi-lagi Meira dibuat terbelalak dengan mulut terbuka saat melihat Alka dengan tanpa manusiawinya menginjak dada salah satu cowok tumbang itu. Diam-diam Meira meringis seolah merasakan sakit cowok tersebut.
"Kalo Meira ada di posisi cowok itu pasti Mei udah pingsan," gumamnya rendah.
Meira kembali melangkah pelan saat melihat Alka memasuki gudang itu. Meira menggigit kukunya bimbang, antara ingin masuk atau tetap di sini.
"Masuk gak, yah? Kalo aku masuk terus lewatin cowok yang pingsan itu dan mereka tiba-tiba bangun terus narik kaki aku kayak di film-film horor gimana, dong?" paniknya sendiri.
"Aku tunggu aja kali, yah?" Meira pun menghela nafas lalu mengangguk tegas.
"Ok, Meira! Kamu tetap tunggu di sini!" ucapnya pada dirinya sendiri.
Selang 30 menit tidak ada tanda-tanda Alka akan keluar dari gudang itu. Meira kembali menggigit kukunya sesekali menatap gudang tersebut. Cowok-cowok itu masih setia dengan pingsannya. Haruskah Meira masuk dan melihat apa yang terjadi di dalam sana?
"Bissmillahirrahmanirahim! Ya Allah, lindungi Meira yang imut ini, Aamiin."
Setelah mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, cewek itu pun memberanikan diri memasuki gudang tersebut dengan langkah sangat pelan. Bulu kuduk Meira tiba-tiba saja meremang saat melewati beberapa anak cowok tersebut. Meira meneguk kasar ludahnya lalu dengan cepat memasuki gudang. Namun belum sampai beberapa meter ke dalam, tubuhnya kembali dibuat membeku dengan apa yang ia lihat sekarang. Alka terlihat seperti Raja Iblis yang tidak berhati dengan musuhnya.
Seolah sadar akan posisinya yang mungkin saja terlihat oleh orang-orang itu, Meira dengan cepat bergerak ke samping, mengintip mereka di balik tembok usam.
Meira menutup mulutnya saat melihat musuh Alka berdarah serta beberapa orang lainnya. Devan dan Bagus pun tampak mengeluarkan darah. Meira memalingkan wajahnya saat Alka melayangkan tendangan ke wajah cowok berambut merah. Tubuhnya gemetar ketakutan saat melihat adegan kekerasan.
Selang beberapa menit pertikaian itu pun belum selesai. Matanya menoleh menatap Alka, dan betapa tertegunnya saat melihat siapa lawan Alka kali ini. Cowok dengan rambut hitam dengan netra coklat itu mampu membuat lutut Meira bergetar hingga menjalar ke tangannya entah karena apa.
Dengan tangan bergetar Meira mengambil ponselnya lalu menekan satu aplikasi hingga sirene polisi terdengar.
Liw... Liw... Liw...
Sontak saja beberapa anak cowok dari mereka kabur termasuk cowok yang tadi membuat Meira ketakutan. Saat melihat tidak ada siapapun kecuali Alka dan teman-temannya, Meira berlari masuk ke dalam gudang berniat menghampiri Alka.
Namun belum beberapa langkah jidatnya membentur sesuatu yang keras. Dan Meira yakin itu bukan tembok.
"Aduh..., jidat aku!" Meira memekik antara kesakitan dan terkejut, hingga suara serak basah khas seseorang membuatnya berhenti.
"Lo?!"
Mata Meira membulat saat melihat apa yang ia tabrak. Seorang cowok dengan paras tampan yang tidak manusiawi kini tengah menunjuk wajahnya dengan tatapan tajam. Detik selanjutnya Meira menujukkan cengiran, berusaha menghilangkan rasa takutnya.
"H-hai K-Kak Alka." Meira dapat mendengar geraman tertahan dari cowok itu.
"Devan!"
"Kenapa?" sahut Devan dari belakang diikuti oleh anggota The Lion yang lain. Dahi Devan mengernyit saat melihat cewek di hadapan Alka saat ini. Dia merasa seperti pernah melihatnya.
"Lo yang waktu itu nyasar, kan? Nama lo siapa lagi? Mei... Mei... Me---" Devan terlihat mengingat-ingat sebelum ucapannya di potong oleh Malik.
"Mei, Juni, Juli, Agustus, Sep---"
Tak!
"Bukan itu maksud gue, nyet!" satu jitakan mendarat di kepala Malik dari Devan. Namun sang empu hanya cengengesan.
"Lo Meira, kan?" Celetuk Bagus yang diangguki semangat oleh Meira.
Alka memutar bola matanya malas, bukan ini tujuannya memanggil Devan.
"Kasi hukuman bocah ini, Van." Perintah Alka itu langsung saja disuguhi kernyitan dari Devan.
"Hukuman? Meira? Emang nih, cewek kenapa?" tanya Devan bertubi-tubi, menunjuk Meira dengan tatapan mata.
"Dia pelakunya."
Sontak anggota The Lion pun menatap tidak percaya pada Meira. Berani sekali cewek ini, pikir mereka.
Devan ber'O' ria, selanjutnya seringai licik tersungging di bibir cowok itu hingga membuat Meira meneguk kasar ludahnya.
"Lo boleh pulang." Meira mengerjap polos mendengar suruhan Devan.
"Katanya aku mau di hukum?" Devan terkekeh melihat kepolosan cewek itu.
"Ini udah malem. Masih ada hari esok kalo lo lupa Meira." seringai kecil Devan tertampil di akhir kalimat.
####
Langkah tergesah-gesah dengan raut wajah cemas mengiringi langkah Meira sore ini saat menuju ke parkiran sekolah. Bell pulang telah berbunyi lima menit yang lalu namun masih banyak siswa-siswi yang belum pulang. Di lapangan juga ada beberapa siswa yang bermain basket, mungkin keperluan extrakurikuler. Namun bukan itu yang Meira pentingkan, melainkan bagaimana caranya agar ia bisa cepat-cepat pulang dan terbebas dari hukuman Alka yang belum ia ketahui.
Langkahnya semakin cepat hingga beberapa langkah lagi dirinya akan lolos dari gerbang sekolah. Namun, saat tinggal lima langkah menuju gerbang, sebuah suara seseorang di mikrofon sekolah membuat langkahnya terhenti, tubuhnya tiba-tiba kaku.
"Untuk cewek yang ada di dekat gerbang, tolong berhenti kalo gak mau tau akibatnya!" Meira meneguk kasar ludahnya mendengar suara asing itu di mikrofon sekolah, tapi ia yakin itu pasti suara dari salah satu teman Alka.
Mata Meira menyapu melihat sekeliling gerbang. Ternyata bukan dirinya saja yang berhenti, melainkan dua cewek berambut panjang sebahu juga ikut berhenti di dekat gerbang dan saling menatap satu sama lain, seolah bertanya ada apa ini.
Meira menghembuskan nafas lega, mungkin saja bukan ia yang dimaksud cowok itu. Meira pun melanjutkan langkahnya, namun lagi-lagi harus terhenti saat cowok itu kembali bersuara di mikrofon sekolah.
"Tetap disitu! Meira Annastasia!" bagai di terpa petir tidak kasat mata, jantung Meira tiba-tiba saja berdetak seperti orang yang telah lari marathon sejauh 1 km. Meira membalikkan badannya, dan betapa terkejutnya saat melihat semua tatapan menghunus kepadanya.
Tidak berselang lama, cowok dengan rambut gondrong terikat dan cowok berambut hitam sedikit acak-acakan namun tetap tampan menghampiri Meira. Dia adalah Devan dan Bagus.
"Mau kabur, yah, Cil?" tanya Bagus mengejek, diikuti kekehan renyah dari Devan.
"C-cil?" beo Meira, bingung dengan panggilan Bagus.
Bagus terkekeh lalu mengacak rambut Meira hingga beberapa siswi yang menyaksikannya menjerit tidak karuan bak orang kesurupan.
"Bocil, alias bocah kecil. Itu panggilan gue untuk lo," jawab Bagus, diakhiri dengan cengirannya. "Spesial." Bagus kemudian mengedipkan sebelah mata pada Meira.
"Udah gak usah basa-basi, yuk ikut kita. Hukuman menanti lo, Mei-Mei!" Devan tertawa jahat lalu melangkah menuju motornya begitupun dengan Bagus, meninggalkan Meira yang menggerutu.
"Tadi malem Kak Alka bilangin aku bocah. Tadi Kak Bagus bilang Bocil, terus sekarang Kak Devan bilang aku Mei-Mei. Emang gak ada apa panggilan yang lebih cantik buat aku? Princess misalnya? Atau mungkin bidadari gitu?" gerutunya sendiri tanpa menyadari bahwa Devan dan Bagus sudah ada di hadapannya menatapnya bingung.
Devan mengendarai motor ninja sport berwarna putih dan Bagus dengan motor Harley berwarna hitam. Apakah semua teman Alka memang memiliki ketampanan dan kekerenan di luar nalar manusia? Itulah yang ada di pikiran Meira kali ini.
"Ngapain bengong, Cil?"
"Eh?"
Meira tersentak untuk beberapa saat sebelum menghampiri Bagus dan Devan yang duduk di motor masing-masing.
"Lo mau ikut siapa? Gue atau Bagus?" tanya Devan yang mengundang tampang berfikir dari Meira.
"Kak Bagus aja, deh. Motornya gak terlalu tinggi," jawabnya, membuat Devan menghela nafas lega dan Bagus yang menggaruk kasar pipinya.
"Yaudah gue duluan, yang lain udah nunggu di apartemen Alka." setelah itu, motor Devan meninggalkan sekolah disusul oleh Bagus dengan Meira yang duduk di jok belakang motornya.
Berbagai macam tatapan tidak pernah luput dari Meira saat bersama Devan dan Bagus. Bahkan bisikan-bisikan masih terdengar walaupun Meira sudah jauh.
####
"Kak Bagus? Kita mau kemana, sih?!" tanya Meira dengan sedikit berteriak karena suaranya tenggelam dibisingnya suara kendaraan.
"Entar lo tau sendiri!" sahut Bagus, setengah berteriak.
Meira diam sejenak. Tiba-tiba saja ucapan Devan melintas begitu saja menjawab pertanyaannya.
"Yaudah gue duluan, yang lain udah nunggu di apartemen Alka."
"Jadi kita mau ke apartemen Kak Alka?" batinnya.
"Kak Bagus! Pulang ke rumah aku dulu, yah? Aku belum izin sama Mama."
"Gak usah!"
"Ish, tapi nanti kalo Mama nyari aku gimana dong?"
"Gak akan, Cil."
"Bisa aja, kan? Aku kan, anak Mama satu-satunya saat ini, pasti Mama bakal cemas kalo aku lambat pulang. Apalagi kalo Pak Hendra datang jemput aku, terus aku gak ada di sekolah."
Bagus menggeram tertahan. Tidak bisakah cewek ini diam sebentar saja? Suaranya sudah memecahkan konsentrasi Bagus dalam berkendara.
"Bocil denger, yah! Malik dan Ezra tadi udah ke rumah lo minta izin sama nyokap lo, buat kerja kelompok!"
"Berarti Kak Malik sama Kak Ezra bohong dong?"
Bagus tidak menjawab lagi. Ingin rasanya waktu berjalan cepat dan sampai di apartemen Alka hingga terlepas dari cewek yang kebawelannya tidak manusiawi ini.
30 menit kemudian Bagus dan Meira telah sampai di depan sebuah gedung menjulang tinggi ke langit. Bagus membuka helmnya lalu turun dari motor dan masuk ke dalam gedung itu tanpa mengajak Meira terlebih dahulu.
Meira memberenggut kesal lalu mengikuti Bagus dengan wajah cemberut.
Ting!
Sebuah lift terbuka dan Bagus masuk ke dalamnya diikuti Meira.
"Kak Bagus?" panggil Meira. Matanya tetap lurus ke depan pada pintu lift yang perlahan tertutup. Kedua tangannya memegang erat tali tasnya.
"Hm?" Bagus berdehem singkat menanggapi Meira. Dia sibuk dengan ponselnya.
"Kita mau ngapain ke apartemen Kak Alka?"
"Ngehukum lo, lah."
"Siapa yang bakal hukum aku? Kak Alka? Kak Devan? Atau Kak Bagus?" tanyanya, mulai was-was.
Ting!
Pintu lift kembali terbuka diikuti Bagus dan Meira yang keluar dari lift itu. Mereka berjalan beriringan menuju kamar apartemen Alka yang tinggal melewati 3 kamar lagi.
Bagus kembali memasukkan ponselnya ke saku celana abu-abunya. "Bukan. Tapi semua anggota The Lion."
"APA?!" pekikan Meira berhasil lolos hingga membuat Bagus menutup telinganya.
"Gak usah teriak juga, Cil! Sakit nih, kuping gue!"
Meira tersenyum kikuk.
"He... He... Abis Mei refleks dengernya. Masa iya Mei dihukum sama semua anggota The Lion."
"Kenapa enggak?"
"Kan, Meira ini imut, gemesin pula. Kalian tega hukum Mei?" Bagus memberhentikan langkahnya lalu menatap Mei dengan senyum geli. Cewek itu tengah memasang puppy eyes yang cukup menggemaskan menurut Bagus.
"Gak ada yang mustahil bagi The Lion. Bahkan kita berencana buat penggal kepala lo itu." Bagus menyeringai kecil lalu kembali melangkah.
Mata Meira terbelalak sempurna dengan mulut sedikit terbuka lalu mengejar Bagus yang sudah berjalan lebih dulu.
"Kak Bagus serius bakal penggal kepala aku?"
Bagus mengangkat bahunya acuh.
"Semua tergantung Alka."
"Kak Alka pasti gak bakal tega penggal kepala aku."
"Siapa bilang? Alka itu manusia yang gak punya hati terhadap orang yang berani mencampuri urusannya. Dan kelakuan lo semalam udah termasuk dalam kategori mencampuri urusan Alka. Ah, Lebih tepatnya urusan The Lion." Bagus menoleh sekilas untuk melihat wajah panik Meira.
"Tapikan waktu itu Mei khawatir liat kalian babak belur."
Bagus kembali mengangkat bahu acuh.
"Lebih baik lo berdoa buat keselamatan lo."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!