1). DEVAN ARTYOM.
Aku adalah malam yang gelap, sedangkan kau adalah sang rembulan dengan cahaya yang begitu menawan menyinari langit. Begitulah umpamanya ketika semesta mempertemukan kita. Namun kenyataan pahitnya adalah, rembulan hanya ada pada malam hari, dan cahaya matahari pagi akan menghapusnya. Aku kehilangan jejakmu...
Ketika malam datang, adalah waktu dimana khayalku hanya menceritakan kembali tentang mu, tentang pertemuan kita dahulu, dan aku mendapati betapa aku merindukanmu, malam yang singkat itu mengukir kenangan yang abadi di dalam jiwaku.
Setiap hari aku terjebak oleh bayangmu, segala yang pernah kau katakan selalu terngiang-ngiang di benakku. Pandangan matamu yang indah, senyumanmu yang manis, tanganmu yang dingin, dan janjimu untuk bertemu lagi denganku, menjadi penghibur nestapaku. Kaulah penyembuh luka dan ruh yang membuatku ingin tetap hidup.
Namun, saat takdir mempertemukan kita kembali untuk kedua kalinya, aku bersikap seolah-olah tidak pernah mengenalmu, sama sekali tidak mengenalimu. Padahal hati menggila oleh perasaan yang menggebu-gebu. Lenganku memaksa untuk merengkuh mu dan mengatakan betapa beruntungnya aku di takdirkan kembali bersua denganmu. Dan aku tidak bisa benar-benar melakukannya.
Aku terikat oleh sebuah hubungan yang membelengguku dengan rantai api yang membara, aku tidak mampu melarikan diri darinya, karena itu aku tak mungkin merengkuh mu dan ikut membakar mu juga. Aku harus menunggu, waktu dimana aku terbebas lalu membawamu terbang ke atas langit yang paling tinggi.
Aku sudah mengusahakan yang terbaik, aku sudah menahannya dengan baik, namun pada akhirnya air mata ini mengalir juga, karna aku mendapati diriku yang begitu mencintai mu, amat sangat mencintai mu. Aku tidak bisa menunggu lama, bahkan walau satu hari pun. Bolehkah aku egois dan serakah?
Aku berjanji, aku akan membahagiakan mu.
Adakah waktu dan cinta yang sempurna hanya untuk kita?
2). ANNA ISADORA B.
Malam ketika aku melarikan diri dari duniaku, aku menemukan mu di antara gelap malam yang dingin. Jiwamu yang memancarkan kesedihan seolah memanggilku untuk mendekat, meleburkan semua duka bersama, dalam guyuran air hujan yang meresap ke dalam bumi.
Kau tau? Kau adalah satu-satunya manusia pertama yang pernah aku temui dan ajak bicara selama hidupku. Melihatmu seperti melihat bayanganku sendiri, aku mencoba untuk menangkap mu dan menyatukan diri denganmu.
Sama seperti hujan yang turun malam itu, jiwaku melebur dalam hamparan rasa yang menumbuhkan rindu.
Pada masa depan saat dimana aku melihatmu kembali yang telah lama menghilang, seperti tahta langit dan rendahnya bumi, itulah tempat dimana kau dan aku berada. Laki-laki yang aku temui malam itu ternyata adalah seorang pangeran pewaris tahta, sedangkan aku hanyalah seorang pelayan rendahan yang tak ada nilainya.
Aku hanya bisa mengamati mu dari dasar bumi seraya menyadari bahwa mungkin saja takdir tak memihak kita. Apakah cerita singkat milik kita waktu itu hanyalah mimpi? Aku menyerah pada kenyataan ini.
Aku menangisi diriku setiap malam, sembari membisikkan rindu yang terpendam pada kunang-kunang yang terbang ke jendela kamarmu menemani mimpi indah mu.
Aku mengungkapkan pada malam yang membelai lelap mu, bahwa kaulah laki-laki pertama yang menghidupkan jiwaku dari gelapnya kematian yang mengerikan, membuatku memaknai hadirmu adalah anugrah yang dari bentuk kasih sayang Tuhan.
Bolehkah aku melanggar batasan dan berlari kepadamu?
Apakah ini cukup untukku, dengan hanya memendam dan menunggumu? Aku tidak bisa! Aku sudah memutuskannya.
Aku menginginkan sebuah cinta yang sempurna, hanya darimu. Itu bukan hal yang mustahil kan?
💌
Disclaimer/Peringatan:
Cerita ini adalah hasil murni dari imajinasi penulis dan bersifat fiktif. Seluruh tokoh, peristiwa, nama perusahaan, institusi, maupun situasi yang digambarkan dalam cerita ini tidak merujuk pada individu atau kejadian nyata. Jika terdapat kemiripan nama, jabatan, atau kejadian, hal tersebut semata-mata merupakan kebetulan yang tidak disengaja.
Cerita ini mengandung unsur drama yang didramatisasi untuk kepentingan fiksi, termasuk namun tidak terbatas pada: konflik keluarga (broken home), pengkhianatan, kekerasan verbal/psikologis, serta dinamika kekuasaan dalam dunia bisnis dan konglomerasi. Termasuk pula penggambaran skandal politik, korupsi perusahaan, manipulasi media, dan sistem peradilan, yang sepenuhnya merupakan rekaan dan tidak mencerminkan institusi atau tokoh nyata.
Penulis tidak bermaksud menyinggung, menyudutkan, atau menyerang pihak manapun. Pembaca diharapkan bersikap bijak dalam menafsirkan isi cerita dan tidak mengaitkannya dengan realitas atau tokoh tertentu di dunia nyata.
Malam kelam tak berbintang, langit menampakkan wajah kelabunya menyelimuti bumi dengan keheningan.
Seorang gadis berkaki jenjang terlihat berjalan lurus dengan langkah cepat diantara gelap malam yang hanya disinari oleh lampu-lampu gantung taman berwarna orange.
Rambut panjangnya yang berwarna emas, membentuk gelombang air laut menghempas punggung indahnya, yang disana terdapat beberapa bekas luka yang mulai memudar, namun tertutup oleh dress yang di pakainya. Tak nampak dari penampilannya yang begitu menawan kalau gadis itu sebenarnya sedang melarikan diri dari rumah. Untuk apa juga memperlihatkan penderitaannya kepada dunia yang tidak peduli dengan siapapun.
Angin malam berhembus kencang menerbangkan dress mocca model vintage setinggi lutut tanpa lengan yang dikenakan oleh Anna. Dingin menyeruak membangunkan bulu kuduknya yang hanya dilapisi oleh furing tille berwarna cream. Di tengah remang-remang cahaya malam, Anna melangkah gontai mengayunkan tas bulat kecil yang menggantung di bahunya, menyusuri jalanan kecil yang ada di antara taman kota.
Langkah Anna terhenti ketika melihat sosok laki-laki yang sedang duduk melengkung menenggelamkan kepalanya dalam-dalam diantara kedua lututnya, nafasnya yang berhembus kasar dan berat mengisyaratkan dengan jelas bahwa laki-laki itu dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Ada sedikit suara isak yang terdengar di antara nafas yang memburu itu. Semakin Anna mendengarkan dengan seksama, maka ia semakin mendapatkan sebuah sinyal kuat yang memancarkan kepedihan yang mendalam dalam diri laki-laki asing itu. Anna menghela nafas panjang sebelum menyakinkan dirinya mengambil keputusan untuk menghampiri laki-laki itu. Entah bisikan dari mana yang menyuruhnya agar tidak mengabaikan laki-laki yang sedang tenggelam dalam lara.
"Tuan, aura kegundahan anda menyelimuti seluruh alam, sampai-sampai aku tidak mampu mengabaikannya begitu saja." Anna akhirnya bersuara pada laki-laki yang masih enggan mengangkat wajahnya meski telah menyadari kehadiran seseorang di depannya.
"Bolehkah aku duduk menemani anda, Tuan?" Walau tidak mendapatkan persetujuan, Anna tetap mengambil tempat duduknya pada bangku panjang yang terbuat dari kayu, tepat di sebelah tubuh lelaki yang di selimuti oleh coat abu, dari brand ternama- Christian Daior. Bahu lebar laki-laki itu terlihat berguncang, meringkuk dalam, menikmati pilu jiwanya.
"Disini dingin sekali, sepertinya hujan akan turun, apa yang sedang anda lakukan disini sendirian, Tuan? Yah, memang suasana dingin seperti ini sangat mendukung jiwa-jiwa yang sedang bersedih. Tapi terlalu menikmatinya bisa mematikan akal sehat." Anna terus berucap walau masih tidak di tanggapi.
"Bicaralah Tuan, walau satu patah kata, walau itu bukan kata-kata yang baik, walau itu sebentuk umpatan amarah pun tidak mengapa, aku akan menerimanya, agar hati anda sedikit longgar." Anna terus mencoba memancing laki-laki ini agar mau mengeluarkan sepatah kata untuk menanggapinya. Gadis yang juga sedang dalam kondisi lara itu berucap begitu jelas seolah mengerti betul dengan apa yang sedang di rasakan oleh lelaki yang suara tarikan nafasnya terdengar begitu menyedihkan.
Anna menghela nafas panjang. Rupanya laki-laki di sebelahnya ini terlihat masih enggan meresponnya, dia justru semakin membenamkan wajahnya dalam-dalam di antara kedua lututnya, dengan kedua tangan yang melingkar di belakang menekuk lehernya.
Jgeeer...!
Sebuah kilatan cahaya terang seketika menyinari gelapnya bumi lalu di susul oleh suara petir sekali lagi. Tubuh Anna membuat sedikit getaran kecil karena kaget. Tiba-tiba gerimis turun bersamaan dengan angin kencang yang mendatangkan suara petir susulan diatas langit.
Anna segera berdiri untuk memayungi kepala lelaki dibawahnya dengan membentangkan ke sepuluh jari-jari tangannya. Ia lupa bahwa dirinya pun butuh berteduh. "Tuan, apa anda ingin menikmati kesedihan di bawah rintik hujan? gerimis itu tidak baik bagi hati yang sedang bersedih, rintiknya bisa menambah tekanan emosi di dalam jiwa."
"Kalau anda terus berdiam diri disini, bukan hanya hati anda yang semakin sakit, tapi juga fisik anda kemudian. Tuan! menikmati kesedihan bersama-sama itu jauh lebih baik, mau mencobanya bersamaku?" ucap Anna yang masih berdiri menahan rintik air yang jatuh di atas kepala lelaki yang kelihatannya sudah lebih tenang dari sebelumnya, terdengar dari suara nafasnya yang mulai berhembus normal.
Tak henti-hentinya, celoteh Anna menghujani telinga laki-laki yang kelihatannya sudah mulai mengangkat kepalanya perlahan, dan merubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman. Melihat itu, Anna tiba-tiba menjadi kikuk dengan menurunkan tangannya segera.
Wajah laki-laki itu mulai terangkat dan menoleh ke atas, perlahan. Lalu ia mendaratkan pandangannya pada setangkup wajah seorang gadis cantik yang juga sedang memandang gugup ke arahnya. Rintik-rintik gerimis yang semakin besar menetes di atas wajah pucat laki-laki itu kemudian meleleh tanpa di usapnya. Matanya yang sembab nampak memerah menyisakan sisa kepedihan disorotnya.
"Tuan...," lirihnya pelan. Anna tidak bisa berucap lebih dari pada itu setelahnya. Lidahnya menjadi kaku, tumbuhnya pun seketika membeku. Pandangan mata laki-laki yang sedang fokus menatap matanya membuatnya mematung.
Zaa... Zaa...!
Tanpa aba-aba hujan tiba-tiba turun menghujam bumi.
"Tuan hujan!" teriak Anna cukup keras di sertai panik, memecah kebekuan yang tercipta sesaat.
Lelaki yang ada di bawah Anna itupun bangkit seketika, dan dengan sigap langsung meraih jemari dingin Anna, lalu membawanya berlari pergi meninggalkan bangku kosong itu untuk mencari tempat untuk berteduh. Kini jemari Anna tenggelam dalam pelukan erat telapak tangan laki-laki yang satu langkahnya saja sepanjang hampir satu meter, membuat kaki Anna kewalahan menyusulnya.
Angin berhembus semakin kencang, sedangkan waktu mendadak berjalan melambat. Setiap detik berdetak mengikuti irama nadi yang berdenyut dalam lingkaran genggaman tangan laki-laki itu. Aroma manis tercium dari tubuh laki-laki yang mengalirkan hawa panas pada kulit mereka yang sedang menyatu. Dapat Anna rasakan setiap gerakan yang semakin mencengkram tangannya itu seolah memberikan sinyal persetujuan untuk berbagi duka bersama.
Mereka berdua berhenti pada sebuah halte bus di pinggir jalan yang sepi. Sepertinya hanya ada mereka berdua saja yang terlihat di sekitar sini. Laki-laki itu langsung melepas tangan Anna ketika sudah sampai pada tujuan, dan merasa ini adalah tempat yang paling aman untuk berteduh.
Anna lalu mengibas dress nya yang cukup basah oleh air hujan. Ia langsung duduk di tempat yang telah tersedia untuk memeriksa tumitnya yang terasa sakit akibat di paksa berlari menggunakan heels bening transparan setinggi tujuh cm. Ada sedikit luka gores disana ketika Anna memeriksanya.
Tak apalah, yang penting bisa berteduh tepat waktu. Sebenarnya bahaya kalau gaun-nya basah kuyup, bisa menjiplak bentuk tubuhnya dengan sempurna. Anna berterima kasih dalam hati pada laki-laki yang memiliki tengkuk putih, yang di depan sana sedang berdiri membelakangi nya.
"Tuan, duduklah disini! anda bisa basah kalau berdiri di pinggir sana!" teriak Anna sedikit kencang agar terdengar jelas oleh laki-laki itu.
Laki-laki itu kemudian membalikkan badannya menghadap Anna walau masih tanpa kata-kata.
"Tuan, duduklah sebelah sini," tunjuk Anna sekali lagi seraya mempersilahkan lelaki tinggi jangkung yang masih berdiri kaku di hadapannya ini untuk segera mengambil tempat duduknya.
Lalu lelaki itupun akhirnya mau menuruti ucapan Anna. Dia langsung mengambil langkah mendekat dan duduk tepat di samping gadis yang berceloteh tanpa henti sejak tadi. Kursi panjang yang terbuat dari aluminium cor itu terasa sangat dingin menembus jeans hitam yang di pakainya.
Anna langsung menyunggingkan senyum manis untuk laki-laki berwajah kaku dan datar ini, walau senyumannya tak terbalas Anna tetap lapang dada penuh pengertian, mungkin saja laki-laki ini sedang dalam mood yang tidak baik untuk berpura-pura tersenyum. Anna sangat memahami itu.
Ujung mata Anna melirik ke arah papan informasi yang ada diujung sana memperlihatkan waktu kedatangan bus terakhir. Waktu datangnya bus masih cukup lama.
Hujan masih turun dengan derasnya membasahi apa saja yang ada dibawahnya, meskipun begitu hujan malam ini tidak menimbulkan suara yang begitu bising, melainkan seperti nyanyian alam yang menyentuh hati, merdu.
Anna mengayunkan kakinya ke atas dan ke bawah mengikuti suara air hujan yang jatuh diatas atap halte bus. Ia sudah tidak tau harus mengeluarkan ocehan apa lagi untuk menghibur laki-laki ini, pasalnya dirinya pun sebenarnya sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Tapi, tak masalah, tidak baik juga memaksa orang lain untuk bicara, tak elok juga jika dirinya terus mengoceh tanpa arti. Anna rasa yang tadi sudah cukup, ia takut jika bicara lebih banyak lagi justru akan mengganggu. Lalu, hujan menjadi lebih deras dari lima menit sebelumnya. Suasana pun menjadi begitu bising. Jalanan menjadi basah dipenuhi oleh air yang menggenang menutupi seluruh permukaan aspal dalam sekejap.
Hujan lebat ini tumpah seolah menguras bendungan langit untuk melenyapkan segala kekeringan yang menyakiti bumi selama musim kemarau enam bulan terakhir. Ini adalah hujan pertama yang begitu mistis, sebab setiap kecipak nya diatas tanah yang membisu sanggup menyempurnakan irisan-irisan pedih di setangkup hati yang di bebat luka. Kedua anak manusia yang sedang duduk mematung itu terlihat begitu menikmatinya, melelehkan segala bentuk rasa sakit bersama air yang akan meresap ke dasar bumi.
Semakin lama, hujan semakin reda, jarum air semakin terlihat merenggang, namun tak nampak akan berhenti menghempas bumi. Disela-sela itu, laki-laki yang enggan membuka mulutnya sejak awal itu mulai tergerak untuk memperdengarkan suaranya pada gadis muda yang terlihat masih menikmati pemandangan hujan di depannya.
Laki-laki itu menyandarkan punggungnya ke dinding halte, mata tajamnya menatap lurus ke depan. Wajahnya sendu, meski tak memperlihatkan perubahan ekspresi yang berarti, tapi suara hujan dan kehadiran gadis di sampingnya mengguratkan riak halus di danau jiwanya yang beku. Kepalanya perlahan menoleh, menatap lekat wajah Anna yang penuh perhatian. Matanya yang sembab memantulkan cahaya lampu halte yang kuning redup, terlihat begitu rapuh, seperti pria yang hampir tenggelam tapi malu mengakui bahwa ia sedang butuh pertolongan.
"Hei nona, apa yang telah kau lakukan pada orang asing seperti ini adalah tindakan yang terlalu berani, bagaimana kalau aku adalah orang yang jahat?" katanya dengan fokus yang teralihkan kepada rambut emas milik gadis yang datangnya entah dari mana.
_________
Dan malam itu menjadi awal dari segalanya, dari luka yang saling mengenal, hingga kisah yang tak pernah mereka bayangkan.
"Nona, apa yang membuatmu begitu berani mendekati orang asing bahkan mengajaknya berbicara di waktu yang sepi dan di malam yang gelap. Lain kali apapun yang menarik rasa kemanusiaanmu itu, abaikan saja jika situasinya tidak aman." Laki-laki itu pun menghujam Anna dengan tatapan heran sekaligus ketertarikan.
Gadis berkulit putih merona itu hanya memberikan tanggapan dengan helaan nafas pelan, sedikit mengabaikan, sambil menatap gemericik air yang menari di atas aspal hitam yang memantulkan bayangan cahaya lampu jalanan yang berpendar dari atas sana.
Jujur saja, tindakannya ini memang terlalu berani mengajak orang asing bicara, tapi bukan berarti ia melakukannya tanpa perhitungan. Meskipun Anna sangat tau resikonya, akan sangat bahaya jika Anna bertemu dengan orang yang jahat, apalagi didukung oleh tempat yang sepi dan malam yang gelap, pasti akan lain ceritanya. Tapi ia yakin, asal niatnya baik, Tuhan yang maha baik akan menjaganya.
"Yah, tapi untungnya aku bukanlah orang yang jahat," ungkap laki-laki itu kemudian. Matanya itu masih tak melepaskan pandangannya pada sosok gadis yang telah melenyapkan sedikit kegundahan hatinya, oleh sebab ucapan-ucapan yang seolah sangat mengerti dengan benar bagaimana kondisinya saat ini. Itu ajaib bukan?
Lalu Anna berkata dengan suara lirih penuh keyakinan, "aku mempercayai Tuhan yang menjagaku dan hanya akan mempertemukan aku dengan orang-orang yang baik seperti anda, Tuan."
Mendengar jawaban yang di berikan Anna, membuat bibir lelaki itu sedikit tergerak untuk tersenyum, tapi di gagalkan. "Sebuah keyakinan yang luar biasa. Oh ya, berbicaralah dengan santai, meskipun asing, mungkin lebih baik."
"Baiklah," sahut Anna.
"Tadi, aku sempat berpikiran yang tidak biasa ketika pertama kali melihatmu," ungkap laki-laki itu.
"Memangnya apa yang ada dalam pikiranmu?" Anna langsung mengubah gaya bicaranya sesuai keinginan laki-laki itu.
"Coba lihat dirimu," tunjuk laki-laki itu. "Warna rambut yang unik berwarna keemasan, juga lensa mata yang hijau seperti batu permata di dasar lautan, kulit sebening—ahh maaf, aku bukannya lancang melihat dirimu. Hanya saja aku terlanjur mengamati apakah kau benar-benar manusia atau bukan."
Anna terkekeh kecil. "Apa kau juga memastikan, apakah kakiku menapak tanah atau tidak?" guraunya.
Kedua alis laki-laki itu berkedut, matanya menyipit, bibirnya yang mengatup rapat sedikit tertarik ke samping, samar. Ia tidak tau harus memberikan respon seperti apa atas gurauan gadis itu yang tentunya sedang berusaha untuk mencairkan suasana.
"Yah, lupakan saja, aku mungkin sedikit berhalusinasi, Itu saja." Laki-laki itu nampak sedang mencukupkan pembahasan mengenai hal tersebut sampai disini saja.
Walau laki-laki di depannya ini nampak masih tak bersemangat menanggapinya, Anna tidak keberatan, setidaknya pemilik mata biru itu kini mau berbicara dengannya. "Yah, jadi, apa kau sudah merasa sedikit lebih baik, Tuan?"
"Sepertinya iya, cukup membaik berkat dirimu," jawab laki-laki itu pelan. Ia membungkukkan tubuhnya dalam-dalam, menghirup udara dingin dan menghembuskannya perlahan.
"Kalau begitu, mau bertukar cerita denganku?" tawar Anna.
Laki-laki itu menoleh, ia menjawab tawaran Anna dengan menganggukkan kepala beberapa kali. Ia benar-benar menyetujui penawaran gadis asing itu sekarang.
Anna tersenyum tipis. "Baiklah, anggap saja aku ini adalah makhluk asing yang akan membawa pergi semua masalahmu, lalu aku akan menukarnya dengan kebaikan untukmu. Jadi sekarang, kau boleh membuang semua keluh kesahmu padaku tanpa ragu, bagaimana?"
Anna berucap lembut tanpa mengalihkan pandangannya dari laki-laki yang kini juga sedang menatap ke arahnya, tanpa sengaja pandangan mata mereka bertaut. Sorot mata lelaki itu menyala sebiru lautan Antartika, seolah membekukan tubuh Anna sesaat. Buru-buru Anna melempar pandangan ke arah genangan air yang mulai memenuhi garis jalan, karna gugup.
"Memangnya kau bisa memberikan aku apa?" tanya lelaki yang masih berusaha menormalkan raut wajahnya yang sebenarnya sedikit kacau.
"Umm, kau lihat saja nanti. Pertama-tama apa boleh aku tebak masalahmu?" tanya Anna.
"Silahkan saja," lelaki itu menekuk kepalanya ke samping.
"Pasti di antara dua hal, keluarga atau cinta," todong Anna dengan jari telunjuk yang mengarah kepada target bicaranya.
"Oke, kau benar dua-duanya." Akhirnya laki-laki itu mengalah karna tebakan Anna benar semuanya.
"Yah, biasanya seseorang akan terlihat sangat putus asa jika itu menyangkut soal keretakan hubungan dengan orang-orang terdekatnya, iya kan?" Anna memastikan dengan penuh keyakinan.
"Kau benar," sahut laki-laki itu.
"Mau aku tebak lagi?"
Laki-laki itupun mengangguk mengiyakan. Lalu ia pun membiarkan dirinya ikut hanyut dalam arus cerita yang di ciptakan oleh gadis yang memiliki kharisma kuat ini.
"Bagus!" seru Anna antusias. Senyumnya merekah, lega karena percakapan akhirnya mengalir. "Kalau dalam hubungan cinta, pasti soal pengkhianatan—perselingkuhan. Tapi kalau dalam keluarga... mungkin tentang dibuang, dicampakkan."
"Perselingkuhan!" jawab laki-laki itu setengah berseru, "juga di campakkan," lanjutnya melemah.
"Umm... perselingkuhan, ya? Mungkinkah kekasihmu berselingkuh dengan saudaramu sendiri? Lalu keluargamu pun berpaling, dan kau terbuang seperti kisah yang tak diinginkan?" tebak Anna lagi dengan mendetail.
Mata laki-laki itu membulat sempurna karna terkejut. "Hei, kau peramal ya?"
"Bukan,"
"Atau hantu penunggu taman di belakang sana? disini hanya ada kau dan aku, apa hanya aku saja yang bisa melihat dirimu?" Laki-laki itu malah terlihat panik karna sejak awal semua yang di ucapkan oleh gadis ini benar semua, tanpa terkecuali.
Anna terkekeh pelan. "Anggap saja begitu."
"Hah?!" Laki-laki itu lalu menghembuskan nafas perlahan sambil memejamkan mata. Entah apa yang di benaknya.
"Kau sungguh mempercayai hal-hal yang seperti itu, tuan?" Anna sungguh ingin tertawa terbahak menertawakan raut polos dari wajah pria yang memiliki tubuh tegap maskulin.
"Tidak. Tapi berkat dirimu, apakah aku harus mempercayainya?"
Anna tersenyum geli namun tetap meladeni gurauan laki-laki rupawan di dekatnya ini. "Kau sungguh tak terduga."
"Apa pendapatmu tentang perselingkuhan?" tanya laki-laki itu ingin tau.
"Mengenai perselingkuhan, walau aku tidak pernah mengalaminya, tapi menurutku ia selalu menjadi Iblis yang paling kuat dalam merusak hubungan manusia, dan tidak ada yang lebih buruk daripada itu. Apalagi jika kita tidak mampu memutuskan ikatan hubungan busuk itu hanya karena merasa tidak berdaya oleh sebab-sebab tertentu. Itu adalah hal yang paling menyedihkan—terjebak di dalam lumpur hitam dan bahkan masih sempat terpikirkan untuk bertahan. Apakah itu yang membuat seorang laki-laki seperti dirimu menjadi sekacau ini, Tuan?"
Lelaki itu malah semakin syok mendengar jawaban Anna yang telah mampu menggambarkan secara jelas dimana posisinya sekarang. Laki-laki itu hanya mampu menanggapi Anna dengan hembusan nafas berat sekali lagi sambil memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih condong kepada Anna. "Kau manusia bukan?" tanyanya kembali keluar dari topik.
"Bukan!"
"Eh?!" bibir laki-laki itu tergerak untuk tersenyum mendengar jawaban Anna yang spontan.
"Bagiamana? kau percaya padaku?" tanya Anna sekali lagi untuk memancing kesanggupan laki-laki ini agar bersedia membuka diri padanya. Walau terkesan sedikit memaksa, biarkan saja.
"Mungkin tidak ada salahnya jika aku mengandalkan gadis asing ini dan mempercayai nya. Memanfaatkan kesediaannya untuk berbagi cerita denganku. Aku mungkin bisa mendapatkan beberapa kebaikan darinya seperti yang dia janjikan sebelumnya." Laki-laki itu mencoba meyakinkan dirinya. "Baiklah nona. Aku akan menceritakan padamu semuanya," sanggupnya kemudian.
"Aku akan mendengarkannya dengan sepenuh hati." Anna mengangguk-anggukan kepala.
Sebelum berbicara, laki-laki itu menghela nafas dengan sedikit kasar dan begitu berat, terdapat tekanan emosi yang mendalam disana. Setelah merasa siap, barulah ia bersuara.
"Kau benar sekali, ini tentang seorang gadis yang berselingkuh dengan saudaraku sendiri—kakak laki-laki yang sangat aku hormati. Gadis itu adalah tunanganku dari hasil perjodohan keluarga, sangat menyedihkan ketika aku harus menerima kenyataan pahit itu. Berawal ketika seorang gadis datang dengan penuh percaya diri menyatakan cintanya padaku secara terang-terangan, kemudian dalam waktu singkat ikatan pertunangan kami terjalin, dan tak butuh waktu lama bisa-bisanya dia mengkhianati ucapannya sendiri dengan menjajakan diri pada saudara iparnya. Aku tak tau harus bereaksi seperti apa, itu benar-benar membuatku mual dan ingin muntah karena merasa begitu menjijikkannya."
"....."
"Awalnya, semuanya tampak indah—terlalu indah, mungkin. Aku sempat percaya, bahwa cinta bisa tumbuh dari rasa kagum yang sederhana. Sebab dia selalu hadir, menempel seperti bayangan yang menyertai kemanapun langkah ku pergi, seolah-olah dunia hanya tentang kami berdua, walau singkat. Aku bahkan sempat membayangkan untuk melamarnya lebih cepat dari rencana, sebab siapa yang bisa menolak perempuan yang tampak begitu hangat dan penuh perhatian? dia yang selalu mendukung apapun yang aku kerjakan, dia memperlakukan aku seperti seorang pangeran yang mulia.''
"....."
"Namun ternyata, cinta dan perhatiannya itu palsu, bukan ketulusan, melainkan jebakan. Aku tak sadar sedang dijerat oleh senyum yang dirancang, oleh sikap manis yang rupanya adalah umpan. Semua mulai retak saat Ayahku terjatuh koma karena kecelakaan—kejadian mendadak yang menyesakkan dada. Dalam kekacauan itu, kakakku berdiri di atas puing yang hancur, dan menyatakan dirinya sebagai kepala keluarga. Padahal, warisan itu seharusnya milikku, amanah yang Ayah titipkan padaku. Dari sanalah, semuanya runtuh satu per satu."
"....."
"Kakakku mengendalikan segalanya. Dan aku? Aku dibuang. Dikirim ke negeri asing seperti kutukan yang tak bisa aku tolak. Hidup sendiri, bertarung dengan sunyi, hanya ditemani tekad dan sisa ajaran Ayah yang menancap di dada. Aku tumbuh—benar-benar tumbuh dengan luka yang ditanam dalam. Lalu datang kabar itu... Perempuan yang pernah aku panggil tunangan, perempuan yang katanya begitu mencintai ku, ia kini menggenggam tangan kakakku dengan mesra, bukan setelah aku pergi, tapi bahkan sejak aku melangkah keluar rumah untuk terakhir kali—hubungan mereka adalah perayaan atas keterasingan ku, sebuah pengkhianatan yang telah mereka rancang dengan rapi. Tapi saat aku kembali, gadis itu menyambut ku dengan senyum yang sama, pelukan yang sama, seolah-olah tak ada dosa, tak ada kehancuran yang sedang dia sembunyikan. Dan aku... nyaris tertipu dan memberikannya kesempatan."
"....."
"Tapi suatu malam, aku pernah melihatnya keluar dari kamar kakakku. Tengah malam yang sunyi, rumah begitu senyap. Aku berdiri di ujung koridor, tubuhku mematung. Rasanya seperti dunia tiba-tiba berhenti. Aku tidak memotret, tidak bicara, bahkan tidak bernafas. Mungkin karena terlalu syok. Jadi kalau kau bertanya soal bukti, aku tidak punya. Hanya ada rasa hancur yang begitu nyata. Kemudian laporan demi laporan datang padaku, tentang mereka yang kerap pergi diam-diam, berbagi waktu yang bahkan tak pernah dia tawarkan padaku setelahnya, meski aku masih berada di rumah. Dan saat aku berani menanyakannya langsung pada gadis itu, dia menyebut semuanya sebatas pekerjaan, sebatas tugas. Seakan aku ini hanya lelaki paranoid yang tak tahu diri."
Laki-laki itu menarik napas panjang, kemudian menghela berat, ada kepedihan yang menyayat disana.
“Aku pun pergi pada orang yang seharusnya paling mengerti perasaanku... Ibuku. Aku berharap dia melihat apa yang aku lihat, merasa apa yang aku rasakan. Tapi dia justru menatapku seolah aku anak kecil yang sedang membesar-besarkan sesuatu. Dia mengatakan aku terlalu sensitif, bahwa aku hanya cemburu buta. Dan lebih dari segalanya, dia malah membela gadis itu, seolah-olah gadis itu lebih pantas dipercaya dibanding darah dagingnya sendiri. Tidak, Ibuku sedang membela kehormatan Kakak ku. Dan Kakakku tentu saja ikut tersulut. Dia merasa difitnah. Kami bertengkar hebat, dan sejak hari itu, rumah tak lagi terasa seperti rumah. Aku sendirian, dipojokkan, dianggap durhaka karena berani meragukan orang-orang yang mereka sayangi. Bahkan akhirnya... aku yang diminta meminta maaf, bukan hanya pada tunangan ku, tapi juga pada kakakku.”
"....."
"Aku sempat lupa dimana posisiku dalam keluarga saat ini, aku hanyalah seorang anak yang terbuang karena keserakahan dan ketidakadilan. Aku terpojok kepada situasi dimana akulah korbannya, namun akulah yang harus menyesali tindakanku yang memberontak, Lucu sekali. Aku sempat mencoba bangkit dengan keberanian yang tersisa, aku mengatakan bahwa aku akan membatalkan pertunangan itu. Tapi kenyataan tak seindah tekad. Pertunangan kami nyatanya bukan tentang dua orang yang saling mencinta, tapi tentang dua keluarga yang saling menggenggam keuntungan. Jika aku memutuskan tali itu, maka seluruh kontrak bisnis yang menopangnya akan runtuh bersamaan."
"....."
“Ayahku, satu-satunya harapan, terbaring koma, hidup tapi tak lagi hadir. Tak ada suara yang bisa kutanya, tak ada tangan yang bisa menarik ku keluar. Ibuku mengambil alih segalanya, dan demi menjaga nama baik keluarga, dia membuat keputusan yang justru menusukku lebih dalam dari pengkhianatan itu sendiri. Aku mendengar dari orang kepercayaanku bahwa Ibu tahu hubungan gelap mereka sejak awal, dan membiarkannya terjadi dan memilih tak peduli. Demi stabilitas keluarga, katanya. Ibu memberikan solusi dengan memberhentikan gadis itu dari posisinya sebagai sekretaris kakakku, dan mengembalikannya padaku. Seperti barang, seperti paket yang sempat tertukar lalu dikirim balik, seolah tak pernah ada luka dan dosa di antaranya."
"....."
"Itu adalah momen di mana aku benar-benar jatuh, sejatuh-jatuhnya, tapi juga dihancurkan hingga serpihanku tak bersisa. Bukan hanya karena dikhianati, tapi karena aku di tumbalkan, aku adalah bidak, hanya sekeping pion dalam permainan besar yang disebut kekuasaan dan nama baik. Dan di hari itu, aku berhenti percaya pada apa yang di sebut rumah."
Anna mendengar dengan seksama setiap kalimat putus asa yang terucap dari mulut lelaki itu, yang matanya kini terlihat berkaca-kaca pada wajahnya yang menampakkan kemurnian yang begitu bening—seperti embun di waktu fajar yang suci. Kelegaan nampak samar tergurat pada pandangan matanya, sebab telah ia tumpahkan semua bisa beracun yang hendak mematikan hatinya.
Anna memasang wajah duka untuk pada setiap kata yang terucap terdengar penuh tekanan. Meskipun ingin sekali mengasihani seperti seorang kerabat dekat, tapi Anna menahannya, karena tidak ada yang lebih di butuhkan oleh laki-laki ini selain sebuah kekuatan, sebentuk kepercayaan diri dan berfikir rasional bahwa dia lebih dari pada mampu melakukan apapun sesuai kehendak jiwanya.
Setelah tidak ada lagi kelanjutan ceritanya, barulah Anna menanggapi nya. "Masalah hidupmu begitu kompleks, tuan. Meskipun aku bisa merasakan keputus-asaan yang kau pancarkan itu. Ada hal paling penting yang harus aku pastikan terlebih dahulu. Apakah kau benar-benar mencintai gadis tunanganmu itu? Jika iya, kau sedang dalam masalah besar. Karena begitu sulitnya menyembuhkan luka karena cinta."
Dan...
Laki-laki yang kulit putihnya nampak memucat itu tak langsung menjawab. Ia menyugar rambutnya yang berpotongan two block cut itu pelan seperti pijatan, terlihat sedang berfikir.
Ia masih mencari tahu jauh ke dalam lubuk hatinya, apakah ia benar-benar mencintai tunangannya itu, sehingga membuatnya menjadi seputus-asa ini setelah mendapatkan pengkhianatan.
Setelah terdiam beberapa jenak, laki-laki itupun akhirnya menemukan jawabannya, dan siap-siap untuk menjawab pertanyaan Anna dengan sejujur-jujurnya. Dengan suara lemah yang menyayat, ia berucap. "Hubungan kami memang di bangun atas tanda tangan kontrak bisnis. Tapi pada akhirnya aku mulai berniat ingin membuka hati untuknya. Dan dia malah memilih menusukku lebih dalam dari tombak manapun yang paling tajam." Suaranya pecah di akhir kalimat. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat dada siapa pun yang mendengarnya merasa sesak.
"Ironis, ya?" Anna menatapnya tanpa berkata berlebihan, hanya mendengarkan dengan hati yang pilu. Anna menunduk perlahan, menghembuskan napas lebih dalam.
Laki-laki itu memalingkan wajah, menatap lampu jalan yang temaram. Bibirnya tertarik samar, bukan senyum, tapi segaris iba yang mengasihani dirinya sendiri. Sedangkan Anna menatap punggung laki-laki di dekatnya ini, dan saat itu juga Anna ingin tahu—lebih jauh lagi tentang lukanya.
Dan dalam hening yang menggantung, tiba-tiba Anna berkata lirih, "Kalau begitu... biarkan aku jadi bagian dari kotak obat yang menyembuhkan luka mu. Limpahkan lah seluruhnya padaku, tanpa tersisa."
Laki-laki itu menoleh, namun sebelum ia sempat bertanya apa maksud kalimat itu. Langit bergemuruh. Lampu jalanan berkelip.
Dan hujan pertama yang turun di bulan ini, menghapus jejak langkah, juga mungkin jejak luka...
09 September 2019
_____________
Kosa kata:
-Rambut Two block cut: gaya rambut pria asal Korea Selatan yang sangat populer, terutama di kalangan K-pop dan K-drama. Sisi dan belakang rambut dipotong sangat pendek, Bagian atas rambut dibiarkan lebih panjang, biasanya cukup panjang untuk ditata atau diberi tekstur.
Terima kasih telah membaca, Readers!
Di Bab 3 ini, kita mulai melihat sisi lain dari Anna dan laki-laki misterius yang tengah bergulat dengan lukanya. Tapi tunggu sampai kalian membaca bab selanjutnya. Di hadapan laki-laki asing itu, Anna akhirnya akan membuka luka yang selama ini dikuburnya rapat-rapat. Sebuah penderitaan yang teramat gelap, yang mengubah cara laki-laki itu memandangnya dan mungkin semakin mendekatkan mereka.
Apakah dua orang yang sama-sama hancur bisa saling menyembuhkan? Jangan lewatkan… karena untuk pertama kalinya, ada dua anak manusia yang berdiri dalam kebenaran—tanpa topeng, tanpa pelarian. Sampai jumpa di Bab 4, ya! Jangan lupa tinggalkan jejak atau komentar kalian, karena aku selalu senang membaca pendapat dan harapan kalian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!