NovelToon NovelToon

Bukan Lagi Istri CEO

CEO baru!

"Bisa kamu menginap, temani Ren tidur malam ini? Dia terus memintaku menghubungimu," ujar Nathan Mahendra. Permintaan seorang CEO muda di kantor tempat Britania bekerja menjadi  budak korporat itu begitu mendadak, terucap dari bibir pria berkarisma dengan sejuta pesona, sesaat setelah rapat selesai sore ini. Britania, Manajer Operasional Divisi Ekspor-Impor, mengerjap, ia mencengkeram erat tablet di tangannya. Menginap? Di rumah bosnya sendiri? Sebenarnya Bri tidak terlalu kaget juga, karena Renn putra semata wayang boss-nya itu memang cukup dekat dengan Britania. Hanya saja, ia tidak ingin itu semua akan menjadi  sumber gosip nantinya di kantor.

Nathan Nathan memang bukan tipe CEO dingin yang kerap diceritakan di novel-novel. Pria itu jarang bicara, namun sikapnya selalu humble pada semua karyawan. Baru beberapa hari saja menjabat sebagai pimpinan menggantikan ayahnya, Nathan sudah menjadi idola baru bagi hampir semua wanita di kantor. Britania sendiri harus mengakui, ada aura tertentu dari Nathan yang tak bisa ia abaikan, meski ia selalu berusaha bersikap profesional dan memisahkan urusan pribadi dari pekerjaan yang begitu menyita hidupnya.

Keesokan paginya, Britania terbangun dengan napas tertahan. Sinar matahari pagi yang masuk menembus jendela kamar tak terlalu terang, namun cukup tinggi untuk menandakan hari sudah sepenuhnya dimulai. Ia benci bangun siang, hampir tidak pernah sama sekali dalam bab hidup Britania terjaga lebih siang dari matahari.

Matanya yang belum terbuka sempurna mengerjap berkali-kali, berusaha memaksa otaknya untuk mencerna pemandangan di hadapannya. Leher jenjang berkulit putih bersih milik seorang pria. Posisinya begitu dekat, saking dekatnya Britania bisa merasakan hembusan napasnya sendiri membelai kulit leher itu. Britania membeku, tak berani bergerak sedikit pun.

Perlahan, pandangannya turun ke bawah. Jantung Britania seakan berhenti berdetak. Sulit dipercaya, tangannya melingkar erat pada tubuh kekar yang masih terlelap menghadapnya. Begitu pula tangan pria itu, yang bertengger santai di punggung Britania, sementara satu lengannya menjadi sandaran kepalanya. Pose mematikan macam apa ini? Darah dalam tubuhnya berdesir panas berpusat di wajah Britania. Memalukan! Benar-benar memalukan! Ia, seorang manajer yang selalu menjaga citra profesional, kini terperangkap dalam situasi yang absurd ini.

"Sudah bangun? Hmm..?" Suara berat nan tenang itu tiba-tiba memecah keheningan, membuat Britania serasa ingin menghilang ditelan bumi. Padahal, ia sudah setengah mati menahan napas dan degupan jantung yang kini bertalu-talu brutal di dadanya sejak tadi. Rasanya seperti jantungnya ingin melompat keluar dari tulang rusuknya.

"Mmm, Pak Na—" Britania cepat-cepat meralat, nama itu hampir saja lolos dari bibirnya. "Maaf, Pak Nathan. Semalam saya tidur sama Ren. Di mana dia?" lirih Britania, suaranya tercekat. Ia mencoba menarik diri perlahan, namun sentuhan lengan Nathan di punggungnya terasa seperti belenggu yang tak ingin ia lepaskan. Britania tak berani mendongak menatapnya. Ia tahu, sedikit saja ia mengangkat wajahnya, pasti wajah Nathan akan berada tepat di depannya, dengan jarak yang sudah sangat terkikis.

"Dia tidur di kamarnya sama si Mbak, nanny-nya. Ren tidak biasa tidur di kamarku," jawab Nathan, masih memejamkan mata. Tubuhnya tak bergerak sedikit pun kecuali bibirnya yang samar membentuk senyum. Ada nada geli dalam suaranya yang membuat Britania semakin salah tingkah.

"Itu, mm... semalam Ren yang meminta saya untuk tidur di sini sama dia. Mm, saya... mau ke kamar mandi." Britania berhasil menarik dirinya, beringsut menjauh dari pelukan hangat itu. Nathan terpaksa sedikit melonggarkan dekapannya, membiarkannya bangkit. Saat Britania berdiri, Nathan membuka mata. Dia hanya menatap punggung Britania dengan senyum miringnya, pandangan matanya begitu dalam, seolah mengunci Britania di tempat. Senyum itu.

Entah kenapa, pipi Britania terasa makin panas. Ada gejolak aneh di dalam dirinya yang Britania berusaha keras untuk abaikan. Kehadirannya sungguh mengacak-acak hidup  Britania yang sudah tertata sangat rapi sebelumnya.

Bagaimana bisa ia berakhir tidur dalam pelukan CEO-nya sendiri? Britania berani bersumpah kalau semalam yang ia peluk adalah Ren, balita berusia lima tahun yang dengan segala kelucuannya memaksanya tidur di kamar Nathan setelah lelah bermain lego dengannya. Ingatan itu datang berkelebat. Britania menutupi wajahnya dengan kedua tangan, merasa seperti baru saja melakukan kesalahan fatal yang bisa merusak citranya yang sudah dibangun dengan susah payah.

Britania adalah seorang manajer operasional divisi ekspor-impor yang sangat berprestasi di kantor, hampir setiap bulan ia menggaet posisi karyawan teladan. Setiap harinya, ia tenggelam dalam tumpukan laporan, negosiasi klien global, dan strategi pasar. Kinerjanya selalu di atas rata-rata, seringkali ia menjadi yang pertama datang dan terakhir pulang. Pekerjaan adalah dunianya, bentengnya, tempat ia merasa paling berkuasa dan terkontrol. Ia selalu dituntut good looking, fashionable, dan up to date, sebuah tuntutan yang ia penuhi dengan sempurna. Ia tahu persis bagaimana memanfaatkan penampilan untuk mendapatkan tempat dan dihormati di lingkungan profesional ini.

Perlakuan Nathan yang terkadang terkesan "tidak biasa" memang sering membuat alisnya terangkat, namun ia selalu berusaha menyikapinya dengan profesionalisme yang tinggi. Ia percaya, segala sesuatu ada batasnya. Baginya, pekerjaan adalah prioritas utama, lebih dari apa pun. Ia tidak ingin ada hal di luar pekerjaan yang mengganggu fokusnya.

***

Britania melangkah cepat menuju kamar mandi, mencoba mengenyahkan semua pikiran aneh yang berputar di kepalanya. Pagi ini, ia punya jadwal rapat penting dengan klien Jepang, dan ia tidak punya waktu untuk memikirkan lengan CEO-nya yang melingkar di pinggangnya semalam. Setelah bersiap, ia bergegas kabur menuju kantor.

Melewati pintu kantor, Britania segera disambut oleh Chacha, asisten pribadinya yang ceria. Chacha sudah menunggu di meja kerjanya dengan setumpuk berkas.

"Pagi, Bu Britania! Saya sudah siapkan briefing untuk rapat pukul sembilan. Pak Haneda dari Kanzai Corporation sudah konfirmasi akan hadir tepat waktu," lapor Chacha, matanya berbinar melihat Britania yang tampak sempurna seperti biasa, seolah semalam tidak terjadi apa-apa.

Britania meletakkan tasnya, meraih Hot Coffee Hazelnut less sugar yang sudah tersedia di mejanya—rutinitas pagi yang tak pernah absen. "Bagus, Cha. Pastikan semua data proyek kita yang terbaru sudah tercetak rapi. Dan tolong, highlight poin-poin penting mengenai volume ekspor kuartal ini. Aku tidak mau ada satu pun detail yang terlewat." Nada suaranya tegas, profesional, tanpa cela.

"Siap, Bu! Oh, iya. Tadi pagi Pak Nathan sempat lewat dan bertanya apa Ibu sudah sampai." Chacha sedikit mencondongkan tubuhnya, berbisik. "Tumben sekali beliau menanyakan langsung, biasanya cuma lewat sekretaris."

Britania menoleh, alisnya terangkat sebelah. Hati kecilnya berdesir, namun ia cepat-cepat menepisnya. "Tidak ada yang aneh. Mungkin beliau hanya memastikan kehadiran seluruh tim inti untuk rapat." Suaranya terdengar datar, meskipun di dalam benaknya, scene pagi tadi masih berputar-putar. Mungkin beliau hanya memastikan kehadirannya, agar rapat tetap bisa berlangsung seperti biasa. Sisi keras kepalanya menolak untuk mengakui gejolak aneh dalam hati Briella, namun rona tipis di pipinya tak bisa berbohong.

Chacha hanya tersenyum maklum, sudah hapal dengan sikap bosnya itu. "Baik, Bu Boss yang cantiknya selalu konsisten. Assistenmu yang nggak kalah cantik ini  akan siapkan semuanya sekarang." Ia beranjak, meninggalkan Britania yang kini menatap layar komputernya, mencoba sepenuhnya tenggelam dalam angka dan grafik, tetapi bayangan senyum miring Nathan masih saja terlintas. Ahh! Bri bisa gila seharian ini!

Boss Killer

Semua berawal dari kejadian sebulan yang lalu. Pimpinan di perusahaan tempat Britania bekerja memberikan sepenuhnya wewenang kepada putra sulungnya, Zionathan Adiyaksa Mahendra. Nathan, demikian panggilannya, bisa dibilang seorang CEO muda yang sangat karismatik. Kecerdasan dan kelihaiannya dalam bisnis sudah diakui di kalangan dunia bisnis se-Asia Tenggara. Bukan hanya kecerdasan otaknya yang membuat dia menawan, tapi juga parasnya yang nyaris sempurna level dewa. Wajah oval dengan kulit kuning langsat, mata bulat besar dengan iris berwarna keabu-abuan, dan bibir tipis yang berwarna sedikit kemerahan alami. Dia baru saja kembali dari salah satu perusahaan milik ayahnya yang berkembang cukup pesat di Jepang. Kedatangannya membawa angin segar, sekaligus badai dalam Mahendra Corp.

"Saya minta kamu awasi proses pengiriman malam ini!" perintahnya dengan nada otoriter usai rapat rutin siang ini. Suaranya menusuk langsung ke telinga Britania, menghentikan laju pikiran Britania tentang laporan yang harus segera ia selesaikan.

"Saya, Pak?" Britania menunjuk dirinya sendiri dengan heran. Perintah itu terdengar sedikit mengherankan, sungguh di luar jobdesk-nya sebagai Manajer Operasional Divisi Ekspor-Impor. Ia terbiasa mengelola, bukan mengawasi langsung di lapangan. Otaknya yang cerdas segera menganalisis dan ingin protes, ada sesuatu yang berbeda kali ini, namun Nathan tak memberinya waktu untuk protes. Mungkin ini kebijakan baru.

"Iya, kamu. Britania Seiraphina. Kamu manajer operasionalnya, kan? Pastikan bagian produksi menyelesaikan dengan baik pengiriman kita malam ini. Saya tidak mau ada kesalahan sekecil apa pun, ini pengiriman kita ke Kanada. Buyer yang tidak menerima toleransi kesalahan sedikit pun," tegas Nathan, tatapannya tajam.

'Ok Bri, cuma ngawasin doang! Gampang.' batin Britania.

"Baik, Pak," jawab Britania, menelan kekesalan yang sedikit mengganjal di dadanya. Ini baru kali pertama ia diminta untuk turun sendiri mengawasi proses pengiriman barang. Biasanya, ada tim finishing dan ekspedisi sendiri yang melakukan itu. Ia hanya menerima laporan esok paginya, lengkap dengan semua data dan segala kendala yang mungkin ada. Apa mungkin ia memang sedang diuji, oleh Nathan?

"Bri, udah gue aja yang awasi. Lo pulang, nanti gue kasih laporan sedetail mungkin, deh. Ini bukan kerjaan lo, lagian lo sudah bekerja keras hari ini," Olivia, asisten Britania sekaligus sahabat dekatnya sejak magang, menawarkan bantuan. Chacha adalah orang yang biasa mengecek semua laporan pengiriman sebelum sampai ke Britania.

"Enggak apa-apa, Liv. Nanti aku kena marah Pak Nathan kalau tidak mengikuti perintahnya, hufh," keluh Britania siang itu, sambil menikmati makan siang yang terlambat bersamanya. Ada nada lelah dalam suaranya, namun tekadnya tetap kuat. Ia tidak ingin dicap lalai, apalagi oleh CEO barunya yang tampaknya sengaja menguji kinerjanya. Atau, apakah ini memang sengaja ia lakukan? Sebuah pemikiran aneh melintas di benak Britania, bisa saja Nathan meragukan keahlian dalam bekerja.

_____

Selarut ini, biasanya Britania sudah tertidur lelap di bawah selimut kalau saja bos barunya itu tidak menyiksanya dengan pekerjaan baru yang ia berikan. Beberapa karyawan lain bawahannya pun ikut terheran mendapati Britania berjam-jam duduk di halaman gedung produksi hanya untuk memantau pengiriman. Britania, yang terkenal selalu tampil rapi dan fashionable di kantor, kini harus bergelut dengan dinginnya malam dan debu gudang. Tapi ia melakukannya, dengan teliti, memastikan setiap pallet terangkut dengan benar. Tidak boleh ada sedikitpun kesalahan malam ini.

"Semua sudah siap, Bu Britania. Kita sudah menyelesaikannya tanpa ada kesalahan. Bu Britania bisa pulang sekarang. Kasihan sudah sangat kecapekan, ya, Bu?" ucap seorang juniornya yang menjadi kepala produksi.

Britania mengangguk lega akhirnya. Otot-ototnya terasa kaku, namun hatinya puas. "Makasih, gaes, untuk kerja samanya! Aku pulang dulu, yaaa... Hoam." Ia benar-benar sudah tidak bisa menahan kantuknya lagi. Sebelum pulang, Britania sempat menemui semua tim terlebih dahulu untuk berpamitan. Mereka semua tim yang mengurus pengiriman, Britania sudah terbiasa bekerja dengan mereka memang, hanya saja tidak turun langsung di lapangan seperti ini.

Untuk sampai di jabatannya saat ini adalah murni karena prestasi yang ia dapat dari awal ia menjadi anak magang. Bukan karena koneksi. Jadi, rekan-rekan seangkatannya cukup banyak dan super baik padanya.

Beberapa hari sejak kehadiran CEO baru itu, Britania memang diharuskan bekerja sangat keras, lebih dari biasanya. Entah apa yang merasukinya hingga terus menyiksanya dengan berbagai pekerjaan yang membuat Britania hampir tak punya waktu untuk menjalani hidup normal dengan rekan-rekannya. Atau sekadar menikmati secangkir kopi di kafe favoritnya. Ia tahu ia pasti mampu, tetapi ini terasa seperti ujian tanpa henti. Setiap tugas baru dari Nathan adalah tantangan, dan Britania, dengan segala kekeras-kepalaannya, akan membuktikan bahwa ia tidak akan pernah menyerah. Ia akan menghadapinya, satu per satu.

Banyak yang mengatakan hidup Britania nyaris sempurna, Ia dianugerahi otak yang cerdas hingga bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya dulu. Kini, karirnya di sebuah perusahaan multinasioanl berkembang lebih pesat dari yang ia perkirakan. Wajahnya juga bisa masuk kategori populer di kantor setelah ia "meng-upgrade"-nya, didukung lagi penampilan yang fashionable dan berusaha selalu kekiniann dalam soal gaya hidup. Ia berinvestasi pada dirinya, pada penampilannya, pada citra yang ia bangun dengan susah payah.

Bagaimanapun, Britania selalu dituntut good looking dari pekerjaannya, dari lingkungan sosialnya. Dan ia kian menyadari faktanya saat ini: Kalau berawal dari good looking, seseorang akan bisa menghargai dan menerima keberadaan kita dengan baik tanpa menghakimi. Ini bukan sekadar teori, ini adalah realitas pahit yang Britania rasakan. Memang banyak juga yang mengatakan kalau lebih penting hatinya baik, penampilan itu nomor dua.

Kalau Britania bilang, itu sih omong kosong, ya? Sangat jelas kalau orang yang memiliki penampilan menarik, tampan, cantik, elegant, megnikuti trend, akan selalu mendapat tempat di masyarakat, kan? Dibandingkan dengan orang yang berpenampilan biasa, meski mungkin hatinya seperti malaikat—namun ya... dalam hatinya siapa yang tahu. Britania tidak lagi ingin mengambil risiko. Ia sudah terlalu banyak kehilangan.

***

Alarm berdering nyaring, memecah keheningan pagi. Dengan malas, Britania meraih ponsel dan mematikan alarm itu. Mata sayunya menatap langit-langit kamar yang putih. Setiap pagi, rutinitas ini selalu sama. Bangun, mandi, berdandan, dan bergegas ke kantor. Dulu, ia hidup untuk bekerja lebih keras dari yang lainnya. Sekarang pun meski ia sudah punya jabatan tinggi, tak pernah sekalipun ia meremehkan pekerjaannya. Pekerjaan adalah bentengnya, pelarian terbaik dari pikiran-pikiran yang tak ia inginkan—pikiran-pikiran yang terkadang menggerogoti, meski ia berusaha keras untuk menampiknya.

"Ini weekend, Bri! Lo masih harus masuk kerja juga? Please, deh!" gerutu Chacha, sahabat Britania yang seorang jurnalis, berteriak dengan kesal di ujung telepon.

Britania mendengus pelan, sambil membalas pesan email di ponselnya. "Iya, as you know, aku punya bos baru yang kelewat ambisius, jadi aku harus mengerjakan berbagai pekerjaan di luar jam kerjaku sekarang. Tapi aku cuma meeting bentar, Cha. Kamu tunggu di apartemenku aja, ya. Habis itu kita shopping seperti rencana kita. Oke?" Britania berusaha terdengar meyakinkan, padahal ia sendiri juga lelah.

Tidak lama kemudian Chacha sampai di appartemennya, sahabatnya yang sudah siap menjelajahi mall bersama itu mendengkus kasar lalu menghempaskan tubuhnya di bean bag ruang tengah, sambil menyalakan TV untuk menonton drakor kesayangannya. Selagi menunggu Britania pulang meeting.

Sesampainya di kantor, Britania mengernyit heran, ketika memasuki ruang rapat tidak mendapati Pak Nathan di kursinya. Pria itu entah sedang kemana. Hanya asisten pribadi Nathan, Brianda, dan seorang anak kecil yang berada di ruang rapat.

"Mm, Brianda... Pak Nathan mana? Kita enggak jadi rapat?" tanya Britania pada Brianda, asisten Nathan.

"Enggak, Bri. Pak Nathan menemui klien barunya mendadak tadi. Gue juga enggak tahu kita mau meeting apaan weekend gini, hufh..." Brianda saja mendengus kasar atas perlakuan Nathan, apalagi Britania. Di ruang rapat sudah hadir beberapa kepala bagian lain yang siap mengikuti rapat, tapi fokus Britania teralihkan pada anak laki-laki berumur lima tahunan yang sedang duduk di kursi Pak Nathan.

"Nda, itu anak siapa? Kamu...?" Britania menunjuk ke arah anak kecil yang juga tengah menatapnya itu.

"Heh, kira-kira dong, Bri! Emang gue sudah ada tampang bapack-bapack, hah?! Nyari ibunya saja belum dapat-dapat!" Britania membekap mulutnya, menahan tawa mendengar jawaban kesal Brianda.

"Itu Nathan junior," bisiknya pada Britania.

Seketika mata Britania membulat lebar mendengar pernyataan Brianda. "Kamu lagi enggak ngerjain aku, kan, Nda?"

"Sumpah, Bri! Dia anaknya Pak Nathan yang ditinggalkan istrinya sejak anak itu berusia dua bulan. Lihat saja mukanya, mirip banget Pak Nathan, kan?" Mata Britania kembali fokus pada anak itu, ia juga tengah menatap Britania, jadi Britania melemparkan senyum termanisnya padanya.

Eh, anak itu malah makin lebar senyumnya. Britania membalas lagi dengan lambaian tangan padanya. Anak itu segera turun dari kursi dan menghampiri Britania. "Hei... nama kamu siapa, ganteng?" sapa Britania seraya memegang lengannya. Anak itu sepertinya tertarik pada Britania,

"Nama aku Ren. Om Nda, ini siapa? Teman Papi?" Anak kecil itu menatap Britania dengan mata berkedip gemas. Britania ingin sekali mencubit pipi gembulnya kalau saja tidak ingat siapa bapaknya.

"Iya, itu teman Papi, Ren. Namanya Aunty Britania. Ren mau kasih salam?"

Dia mengangguk cepat dan segera mengulurkan tangannya. "Hei Ren, panggil Aunty Britania, ya? Coba..." pinta Britania padanya, ia terlalu gemas pada anak itu. Rambutnya tebal berponi dan pipinya gembul, wajahnya juga sangat mirip dengan Nathan. 'Semoga sifat songongnya tidak menurun pada anaknya juga', batin Britania.

"Ontyy... Bri-ta-ni-a..." Dia mencoba mengeja nama Britania dan bisa ternyata, meski masih sedikit cadel. Britania dan Ren bahkan bersorak pelan bersama melihatnya berhasil mengucap nama Britania dengan benar.

"Halo, Bri. Kamu apa kabar?" sapa seorang wanita paruh baya yang tampil sangat anggun menghampiri Britania. Beliau adalah Ibu Widia, ibu dari Nathan. Britania yang saat itu sedang tertawa bersama Brianda dan Ren sedikit kaget mendengarnya.

"Ah, Bu Widia. Britania sehat, Bu. Ibu bagaimana? Makin rajin yoga, ya, Bu, sekarang? Kelihatan segar banget wajahnya," balas Britania dengan senyum ramah profesionalnya.

Perempuan paruh baya yang masih terlihat sangat cantik itu tersenyum lebar. "Iya, Bri, sejak perusahaan diambil alih oleh Nathan, saya dan Bapak jadi lebih banyak waktu luang, jadi saya sering yoga sekarang. Kamu sudah ketemu sama cucu saya?"

"Oh, iya, Bu. Ren? Dia sangat tampan, gemas saya, Bu. Maaf."

Ibu Widia membungkuk, menyejajarkan tingginya dengan Ren. "Ren, cucu Oma. Kamu senang berkenalan sama..." Ren mengangguk cepat.

"Ontyy... Britania cantik, Omaaa, mirip sama boneka Barbie milik Sasha," seru Ren polos. Duh, dipuji anak TK saja Britania sudah melayang rasanya. Anak itu terus berada di dekat Britania sepanjang rapat. Ibu Widia sempat heran kenapa Ren langsung dekat dengannya, karena sebelumnya kata beliau, Ren adalah anak yang pendiam dan sedikit susah bergaul. Dia lebih sering merasa takut tiap kali bertemu orang baru. Karena sejak kecil sampai sekarang dia selalu berada di rumah. Bahkan sekolah pun ada guru privatnya yang tiap hari datang ke rumah.

"Kamu langsung pulang...?" Britania menoleh pada asal suara, Nathan berdiri di belakangnya. Britania sedikit tersentak. Nathan memang hadir di rapat menjelang akhir, ia hanya menyimak beberapa  laporan finalnya.

"Iya, Pak. Ada yang bisa saya kerjakan lagi?" tanya Britania, menghentikan langkah menuju area parkir. Ia mencoba menjaga nada bicaranya tetap datar.

"Enggak ada. Hati-hati di jalan," ucap Nathan datar, satu tangannya menggandeng Ren yang sedang tersenyum manis padanya.

"Ontyyy... mau main ke rumah Ren?" tanya anak itu dengan mata yang berbinar gembira. Senyum Ren sungguh menawan, mirip sekali dengan senyum miring ayahnya.

"Mmm, kalau hari ini kayaknya enggak bisa, Ren. Aunty ada janji sama teman Aunty. Dia sudah nunggu di rumah Aunty sekarang. Besok-besok, ya?"

"Oke, promiseee!" Dia minta untuk mengaitkan jari kelingkingnya pada Britania. Huhu, manis banget sih anaknya! Berbeda dengan ayahnya yang lebih banyak berwajah datar dan minim ekspresi. Britania tersenyum tipis, merasakan kelingking mungil Ren melingkari miliknya. Janji ringan itu terasa hangat. Bri sering berinteraksi dengan banyak  anak kecil. Di dalam rumah singgah yang ia bangun, ada 3 anak usia SD yang ia urus sejak mereka masih TK.

Pesona Wanita Workaholic

Niat Britania untuk berjalan menuju mobil mendadak urung. Di luar, gerimis berubah menjadi hujan deras yang berlomba-lomba untuk sampai aspal di depan lobi utama. Beberapa kali, suara petir menyambar, membuat Britania sepenuhnya menciut. Ini adalah situasi yang paling Britania benci. Suara hujan yang makin deras, kilatan petir yang terus-menerus membelah langit, dan gemuruh yang menggelegar di langit. Ketakutan yang teramat sangat mulai merayap terus  menyusup menguasai dirinya setiap kali ia berada di cuaca ekstrem begini. Rasanya ia ingin tenggelam ke dasar bumi saja, asal tidak mendengar suara-suara mengerikan itu.

Bri sudah meringkuk di sofa lobi gedung utama, kedua kakinya ditarik mendekat ke dada, dipeluk erat dengan tangan yang sedikit bergetar. Britania mencoba membuat dirinya sekecil mungkin, seolah bisa menghilang dari pandangan siapa pun. Ia tahu ia baru saja berbalik badan meninggalkan Nathan di pintu lift, tapi ia tidak peduli. Ketakutan ini mengambil alih segalanya.

"Are you okay?" 

Pertanyaan bodoh sepanjang masa. Sudah jelas Britania tidak baik-baik saja. Ia bahkan tidak berani mendongak, hanya menggelengkan kepalanya samar, berharap Nathan akan pergi dan membiarkannya sendirian. Ia tidak ingin siapa pun melihat dirinya selemah ini, apalagi Nathan. Wajahnya pasti pucat pasi, matanya mungkin dipenuhi ketakutan yang tak biasa ia tunjukkan.

Langkah kaki Nathan mendekat, ragu-ragu. Britania bisa merasakan hawa dingin mulai memudar saat Nathan memakaikan jas miliknya untuk menyelimuti tubuh kecil Bri. Jas Nathan. Aroma khas mint dan cedarwood perlahan memenuhi indra penciumannya. Nathan mulai memberi tepukan lembut di kedua lengan Britania, jujur itu mulai terasa menenangkan namun juga menambah kecanggungan.

Suara petir yang cukup keras kembali terdengar, kali ini lebih dekat, seolah menyambar tepat di atas gedung. Sontak, Britania menutup telinganya dengan kedua telapak tangan, menekan sekuat tenaga agar suara itu tidak lagi menembus indranya. Tubuhnya bergetar tak terkendali. Ia merasa terjebak dalam perangkap suara dan kilatan itu. Kondisi ini benar-benar menyiksanya, ditambah lagi wajah memalukannya ini harus dilihat oleh Nathan.

Tak disangka, pria di sebelahnya, yang selama ini selalu ia anggap CEO kejam penuh dengan tuntutan, ternyata bisa juga memberikan respons baiknya. Meskipun ragu, Britania merasakan Nathan mencoba menarik tubuhnya yang gemetar ke dalam pelukannya. Tubuh kekar itu terasa hangat dan kokoh, menjadi benteng sementara dari badai di luar. Britania tak ada daya untuk menolak, bahkan tanpa sadar, ia sedikit menyandarkan diri, mencari perlindungan. Pelukan itu bertahan beberapa saat, hingga akhirnya, suara hujan mulai mereda, disusul petir yang perlahan menjauh.

"Terima kasih, Pak Nathan... Maaf..." lirih Britania setelah hujan benar-benar reda. Meski lirih, ia tahu suaranya pasti masih bisa didengar oleh Nathan. Ia berusaha menyingkir dari pelukan itu, tapi Nathan masih mendekapnya, serasa ingin memastikan wanita dalam pelukannya sudah merasa baik-baik saja.

Tangan Nathan terangkat, ibu jarinya menyeka keringat di dahi Britania. Padahal cuaca sedang dingin. "Kamu takut hujan?" suaranya lembut, ada nada kekhawatiran yang asing Britania dengar darinya.

Britania memberanikan diri mendongak sekilas, hanya untuk melihat Nathan yang sudah beranjak mengambilkannya air minum. "Hujan sudah reda, Pak. Saya permisi pulang duluan. Mm, jas bapak saya bawa dulu, ya. Mau saya laundry." Britania berusaha terdengar setenang mungkin, meskipun napasnya masih sedikit memburu.

"Kamu yakin? Apa perlu aku antar...?"

Britania terkesiap. Hah? Ini Pak Nathan? Tidak salah ucap? Dia menyebut "aku" bukan "saya", dan sorot matanya pun sedikit agak berbeda, lebih hangat, lebih manusiawi. Perhatian seperti ini, dari seorang Nathan Adiyaksa, adalah hal yang Britania tidak pernah duga.

"Oh, enggak, Pak. Saya sudah baikan. Hujannya sudah reda, sekali lagi terima kasih, Pak," tolak Britania cepat, buru-buru berdiri. Ia tidak punya keberanian untuk menatapnya lagi. Pasti saat ini kondisinya sangat berantakan, tidak seperti Britania yang biasanya selalu nampak sangat menawan, terkontrol, dan profesional. Ia merasa benar-benar sangat malu saat ini.

***

Hari Senin datang lagi. Rasanya baru kemarin Britania rehat sejenak dari dunia perkantoran. Sekarang, sepagi ini ia sudah melenggang ceria menyapa teman-temannya di sepanjang lobi kantor. Langkahnya ringan, senyumnya terkembang. Sebuah topeng yang ia pakai dengan sempurna. Sangking cerianya, tanpa sadar ada sepasang mata yang memperhatikannya sedang tertawa berjalan bersama teman-teman sejak tadi. Mata itu tak lain milik Nathan.

"Nda, Britania sudah lama kerja di sini?" tanya Nathan pada asistennya, Brianda, namun pandangan matanya tak beralih sedikit pun dari Britania.

"Sudah hampir enam tahun, Nath, dengan masa magangnya. Dia karyawan teladan, andalan sekaligus kesayangan Pak Bos," jawab Brianda mantap. Dia memang masuk hampir bersamaan dengan waktu Britania magang dulu semasa kuliah. Brianda tahu betul Britania adalah salah satu aset berharga perusahaan ini.

"Pak Bos maksudnya? Papah?"

Brianda mengangguk-angguk saja. Mereka berdua memang sudah akrab dan berteman sejak kecil karena orang tua mereka juga bersahabat, jadi tidak susah bagi Brianda untuk menjadi asisten pribadi bosnya itu.

Sudah setengah hari. Britania terus berkutat dengan segudang berkas yang harus ia tandatangani dan ia cek satu per satu sampai menjelang waktunya pulang. Meja kerjanya penuh tumpukan dokumen. Otaknya berputar cepat, menghitung margin, menganalisis risiko, dan memastikan setiap detail sesuai standar yang berlaku di perusahaan. Ia adalah roda penggerak utama di divisinya, dan ia bangga akan hal itu. Bri tidak akan pernah membiarkan sedikit saja kegagalan atau kesalahan dalam setiap perkejaannya.

"Bri, lo minta gue lembur enggak?" tanya Olivia, asistennya, yang sudah siap berkemas untuk pulang. Olivia tahu Britania seringkali lupa waktu jika sudah berhadapan dengan pekerjaan.

"Enggak usah, Liv, aku bentar lagi kelar kok. Kamu balik aja enggak apa-apa," jawab Britania, pandangannya masih fokus pada layar komputer. Ia tahu Olivia sudah bekerja keras hari itu membantunya, jadi ia membiarkannya pulang lebih dulu. Britania bisa mengurus sisanya sendiri. Ia selalu begitu.

"Briii... Dipanggil Pak Nathan sekarang!" Brianda berseru dari pintu ruangannya, tepat setelah Britania hampir menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Nathan seusai makan siang tadi.

Britania menghela napas panjang, kepalanya mendadak terasa berat. Ini sudah melewati jauh jam kerja normalnya, dan bapak CEO itu masih saja menyiksanya dengan berbagai alasan. Ia merasa lelah, tubuhnya sudah menuntut untuk istirahat.

"Ada apa lagi, Ndaaa...? Nyerah aja, deh, aku kayaknya. So tired, Ndaaa... huhu," keluhnya, nadanya bercampur putus asa yang jarang ia tunjukkan. Hanya pada Olivia atau Brianda ia berani mengeluhkan pekerjaan. Brianda hanya meringis  saja, ia pun tidak tahu dengan bossnya yang belakangan sering sekali memberikan pekerjaan tak henti-hentinya pada Britania.

"Gue kurang paham ya Bri, kayaknya emang ada sesuatu yang salah sama otaknya si boss, lo  diminta ke ruangannya sekarang."

Britania menyeret kaki lelahnya menuju  lantai tujuh tempat ruangan Nathan berada. Setelah mengetuk pintu, Bri tak lupa memasang wajah sumringah dan senyum profesional pada Nathan, walau itu terasa terpaksa. Ia tahu ia harus terlihat sempurna, tak peduli betapa lelahnya ia. "Permisi, Pak Nathan. Ada apa, ya...?" tanyanya setelah memasuki ruangannya. Nathan masih menunduk, fokus pada laptopnya.

"Pekerjaan kamu sudah selesai?"

"Tinggal sedikit, Pak, akan saya selesaikan segera," jawab Britania, menjaga nada suaranya tetap formal.

"Bawa ke sini, kamu kerjakan di sini, ya," perintah Nathan, otoriter, seperti biasa. Britania menurut, segera berbalik badan mengambil sisa pekerjaannya dan masuk kembali untuk mengerjakannya di dalam ruangan Nathan. Saat menatap keluar jendela, Britania baru sadar ternyata di luar sedang hujan lebat. Jantungnya mulai berdetak tak beraturan, ia tidak siap kalau harus kembali terlihat buruk di depan Nathan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!