Terlihat di salah satu universitas ternama, segerombolan orang berpakaian putih-hitam memenuhi lapangan. Mereka terbagi menjadi dua barisan, laki-laki dan perempuan terpisah. Hari ini adalah hari pertama ospek bagi para mahasiswa dan mahasiswi baru—atau yang biasa disingkat maba.
"Perkenalkan, nama saya Biantara. Kalian bisa panggil saya Kak Bian. Saya menjabat sebagai ketua BEM di sini," ucap seorang pria berperawakan tinggi yang berdiri di hadapan mereka.
Auranya terlihat begitu kuat. Tatapan matanya tajam, hidungnya mancung, rahangnya tegas, dan alisnya tebal—membuat siapa pun akan segan padanya. Namun yang cukup menarik, pria itu memiliki lesung pipi saat tersenyum, meski hanya sekilas.
Terik matahari menyengat seluruh peserta karena mereka berada di ruang terbuka.
Di samping Biantara, sang ketua BEM, berdiri pula beberapa laki-laki dan perempuan yang merupakan panitia ospek. Ia kemudian meminta mereka untuk memperkenalkan diri satu per satu. Setelah semua panitia selesai memperkenalkan diri, tiba-tiba seorang mahasiswi mengangkat tangan.
"Kak, maaf, kepala saya pusing. Apa saya boleh istirahat sebentar?" tanya seorang gadis berambut panjang yang dikuncir dua dengan pita, serta memakai topi dari kertas koran.
"Kalau sakit, kenapa nggak izin dari awal?" tanya panitia perempuan bernama Monica.
"Maaf, Kak. Saya pusing karena nggak tahan dengan cuaca panas," jawab gadis itu.
"Siapa nama kamu?"
"Arra, Kak."
Ya, gadis itu adalah Arrabella, anak sulung dari keluarga Cassius—keluarga terkaya nomor empat di negara ini.
"Di sini juga semuanya kepanasan, bukan cuma kamu aja," ucap Monica dengan nada sinis.
Para maba yang lain menundukkan kepala, merasa ngeri melihat ekspresi wajah kakak tingkat mereka itu.
"Maaf, Kak." Arra akhirnya mengurungkan niatnya untuk beristirahat, meski kepalanya semakin pusing.
Tiba-tiba, seorang laki-laki dari barisan maba berdiri dan berjalan santai menuju barisan perempuan. Banyak mahasiswi dan panitia perempuan yang terpesona oleh ketampanan laki-laki itu. Wajahnya yang tersorot cahaya matahari tidak mengurangi kesempurnaan rupa ciptaan Tuhan satu ini.
Ia berhenti di samping Arra yang duduk di barisan paling pinggir.
"Berdiri," perintahnya pada Arra.
Arra terkejut melihat siapa yang berdiri di sampingnya. Tanpa suara, ia meminta laki-laki itu untuk pergi, namun tak dihiraukan.
"Hei, kamu yang di sana! Siapa yang ngizinin kamu berdiri di samping dia?" teriak seorang panitia laki-laki bernama Renald.
Laki-laki itu tetap tak menggubris Renald. Ia memalingkan wajah ke Arra.
"Arra, berdiri. Gue nggak mau lo pingsan di sini," ucapnya sambil menarik lengan Arra perlahan.
"Leo, kamu ngapain sih?" protes Arra dengan suara pelan agar hanya Leo yang mendengar.
Ya, laki-laki itu adalah Leo Rexander—sosok yang selalu menjadi bayang-bayang Arrabella di mana pun ia berada.
"Gue bilang berdiri, Arra. Kita istirahat bentar sampai kepala lo baikan," ujar Leo sambil membantunya berdiri.
"Kamu pikir ini kampus bapak kamu apa?!" teriak Renald, berjalan cepat mendekat.
Arra menunduk dalam. Hari pertama ospek dan dia sudah bikin keributan—gara-gara Leo.
Leo tak mengindahkan Renald sedikit pun. Para maba dan panitia mulai berbisik karena keberaniannya.
Renald menarik bahu Leo kasar agar berbalik menghadapnya.
"Lo tuli, ya? Nggak denger gue ngomong?!"
Leo menatap Renald datar. Wajahnya tanpa ekspresi.
"Gue cuma ngerti bahasa manusia. Kalau bahasa pohon, maaf, gue nggak paham."
Renald kaget.
"Jadi maksud lo, gue bukan manusia?"
"Bagus kalau lo sadar. Karena kalau panitia emang manusia, mereka nggak akan ngelarang orang sakit buat istirahat."
Renald mengepalkan tangan, menahan emosi.
"Kamu boleh istirahat," suara bariton Biantara tiba-tiba memecah ketegangan.
Arra melirik Bian dari balik wajah yang masih menunduk.
"Saya sudah nggak apa-apa, Kak. Maaf sudah bikin keributan," ucap Arra malu.
Tanpa diduga, Leo langsung menarik Arra pergi dari lapangan. Arra sempat protes, tapi Leo mengabaikannya.
Renald meninju angin, kesal dengan sikap Leo.
Bian mengamati kepergian mereka dengan tatapan elangnya. Ia cukup kagum dengan keberanian Leo.
Renald kembali ke barisan panitia, masih menggerutu.
Bian akhirnya memutuskan memberi waktu istirahat karena cuaca memang sangat panas.
"1 jam lagi semuanya kumpul di auditorium. Mengerti?" ucap Bian.
"Mengerti, Kak!" seru para maba.
---
"Leo, kamu apa-apaan sih?!" protes Arra saat mereka duduk di salah satu kantin kampus.
Leo tak menjawab, langsung menuju stand makanan dan minuman.
Arra menghela napas kesal dan menyandarkan kepala di atas meja.
Tak lama kemudian, sebotol air mineral dan susu stroberi sudah berada di hadapannya. Ia mendongak, melihat Leo duduk di seberangnya.
Leo membuka air mineral dan menyodorkannya.
"Minum."
Arra buang muka, enggan mengambilnya.
"Apa perlu gue bantu minum?" tanya Leo.
Arra mendecak kesal lalu mengambil botol itu dengan kasar dan meminumnya hingga setengah.
Leo memperhatikannya dengan tangan terlipat dan punggung bersandar di kursi.
Setelah meletakkan botol dengan kasar, Arra masih terlihat kesal.
"Ini pesanannya," ucap seorang wanita ber-apron sambil meletakkan nasi goreng.
"Terima kasih," sahut Arra sopan.
"Makan," perintah Leo.
"Leo! Kamu dari tadi nyuruh-nyuruh terus! Nyebelin tahu nggak?!"
Leo tetap diam, hanya tatapannya yang berbicara bahwa ia tidak ingin dibantah.
Dengan wajah masam, Arra mulai menyantap nasi gorengnya perlahan.
"Habiskan. Kalau nggak, lo nggak boleh lanjut ospek hari ini," ujar Leo datar.
Arra hanya mengomel dalam hati. Dia kesal karena Leo terus mengikutinya, bahkan sampai masuk ke kampus yang sama.
"Wah, si gadis manja lagi asyik makan, ya. Nggak sadar baru aja bikin keributan," sindir suara dari belakang.
Monica dan dua temannya sudah berdiri di samping meja.
Arra menghentikan makan dan berdiri.
"Maaf, Kak."
"Kalau lo pikir karena anak orang kaya bisa seenaknya, mending suruh bokap lo bikin kampus sendiri," ejek Monica.
Arra diam, merasa bersalah.
"Iya, Kak. Saya minta maaf."
Monica melirik Leo.
"Lo juga, songong banget sama kakak tingkat. Lo pikir lo siapa?"
Leo mengangkat alis, tangan terlipat di dada.
"Gue bakal ikut campur kalau itu menyangkut pacar gue. Selebihnya, gue nggak peduli."
Monica tertawa sinis. "Oh, ini pacar lo? Rendah banget selera lo."
"Rendah itu kalau ada cowok yang suka sama ani-ani kayak lo."
Arra menyesali mulut tajam Leo.
Monica mengepalkan tangan, murka.
"Lo bilang apa?! Gue ani-ani?!"
"Gue nggak peduli lo siapa. Gue cuma peduli pacar gue."
Monica maju, hendak menampar, tapi—
"Ada apa ini? Mau lanjutkan perdebatan dari lapangan ke sini?"
Biantara muncul. Monica langsung menurunkan tangannya.
"Maaf, Kak. Tapi dia yang duluan. Dia hina saya."
Bian menatap Leo, memberi kode.
"Lo percaya omongan dia?" balas Leo cuek.
"Heh, nggak sopan banget lo!" bentak Monica.
"Kak, maaf, ini cuma salah paham," potong Arra. Ia ingin meredam suasana.
Bian menatap Arra. "Kamu masih pusing?"
"Sudah nggak, Kak. Maaf sudah buat keributan."
"Syukurlah. Kalau masih pusing, bisa ke ruang kesehatan."
"Nggak perlu perhatian dari lo. Gue cukup buat jaga dia," sahut Leo.
Keduanya saling tatap.
"Takut gue rebut pacar lo?" tantang Bian.
Leo menyeringai. "Ngapain? Pacar gue nggak pernah lirik cowok lain."
"Arra," panggil Bian.
Arra menengadah.
"Lo lihat?" kata Bian pada Leo.
"Tapi lo nggak perhatikan baik-baik. Dia nggak liat muka lo, tapi ke samping lo."
Leo langsung menarik Arra pergi.
Bian mematung. Baru kali ini ada orang yang tak menatapnya langsung. Dan itu… mengusik.
Monica juga terdiam. Ia kesal dan berniat memberi pelajaran pada dua maba itu nanti.
Suasana auditorium sudah terlihat ramai. Para mahasiswa baru yang sebelumnya berkeliaran di area kampus, kini mulai kembali berkumpul di tempat yang telah ditentukan oleh panitia ospek.
Arra dan Leo juga sudah berada di dalam. Mereka duduk di pojok ruangan, memperhatikan kerumunan mahasiswa lain yang mulai membentuk barisan.
Tak lama kemudian, pintu auditorium terbuka. Para panitia masuk satu per satu. Arra langsung berdiri dan berlari kecil untuk bergabung bersama kelompok mahasiswi lainnya, sementara Leo hanya berjalan santai tanpa memperdulikan sekitar.
"Ayo, semuanya kumpul sesuai barisannya! Yang perempuan di sebelah kiri, laki-laki di sebelah kanan!" seru Renald lewat alat pengeras suara agar terdengar jelas oleh seluruh maba.
Dalam hitungan menit, para mahasiswa baru telah berbaris dengan rapi.
"Silakan duduk," ucap Renald.
Auditorium mendadak hening. Suara langkah kaki menggema, menciptakan gaung yang nyaring di ruangan besar itu. Semua menoleh ke arah pintu. Biantara baru saja masuk.
Renald hendak menyerahkan pengeras suara pada Biantara, namun pria itu hanya memberi isyarat agar Renald melanjutkan kegiatan.
Renald kembali menatap para mahasiswa.
"Sekarang, bentuk kelompok berisi enam orang. Kalian akan saling memperkenalkan diri dan menunjukkan bakat masing-masing. Ini akan berlangsung selama tiga hari ke depan. Ayo, mulai bentuk kelompoknya sekarang!" perintahnya.
Ruangan kembali riuh. Para maba mulai mencari teman kelompok. Arra yang belum terbiasa dengan situasi seperti ini tampak bingung.
"Eh, lo belum ada kelompok, kan?" sapa seorang gadis tiba-tiba.
Arra menoleh dan mengangguk pelan.
"Kalau gitu, bareng gue aja, ya. Udah pada pas ber-enam, tinggal kita berdua," lanjutnya sambil merangkul lengan Arra.
Arra sedikit terkejut dengan sentuhan itu. Ia tidak terbiasa disentuh oleh orang lain.
"Oh iya, gue Gladys. Lo siapa?"
"Arrabella. Tapi kamu bisa panggil aku Arra."
"Oke, Arra. Sekarang kita teman," ucap Gladys sambil tersenyum lebar.
Arra ikut tersenyum. Teman barunya ini tampak ramah dan menyenangkan.
"Siapa yang kelompoknya belum lengkap, kurang dari enam orang?" tanya Renald, membuat suasana kembali tenang.
Gladys langsung angkat tangan, membuat Renald menoleh ke arah mereka.
"Kalian berdiri di sini," arah Renald menunjuk baris depan.
Gladys menarik Arra ke depan.
"Cuma kalian berdua?" tanya Monica dengan nada sinis.
Gladys mengangguk. "Iya, Kak. Tinggal kami berdua."
"Yang laki-laki, ada yang belum lengkap kelompoknya?" Renald melanjutkan.
Tak lama, Leo maju dengan wajah datar.
"Mana kelompok lo?" tanya Renald.
"Nggak ada."
Arra hanya bisa menggeleng. Dia tahu betul, Leo bukan tidak dapat kelompok—tapi memang tidak mau berkelompok.
"Jadi lo sendirian?"
"Nggak lihat ini ruangan isinya berapa banyak orang? Udah pasti gue nggak sendirian."
Renald menarik napas kesal.
"Oke. Kalau begitu, kelompok yang belum lengkap akan maju lebih dulu untuk memperkenalkan diri. Mulai dari lo," katanya pada Leo, sambil menyodorkan mic.
Leo malas-malasan menerima mic lalu berkata, "Gue Leo Rexander." Setelah itu, ia langsung mengembalikan mic.
"Cuma gitu doang? Perkenalan dong yang bener," celetuk Monica.
"Nggak ada yang perlu kalian tahu selain nama gue," ucap Leo datar, lalu mundur.
Renald menghela napas panjang dan beralih pada Gladys dan Arra. "Sekarang giliran kalian."
Gladys mengambil mic dan memperkenalkan diri dengan penuh percaya diri. "Halo semua, gue Gladys Anindita Putri. Asal dari Bandung. Hobi gue menari."
Arra mulai gugup. Ini pertama kalinya ia bicara di depan banyak orang.
"Bagus, Gladys. Berikutnya," ujar Renald.
Arra menerima mic dari Gladys, tangannya sedikit gemetar. Ia mengedarkan pandangannya sebentar. Saat matanya tertumbuk pada Leo, entah kenapa rasa gugupnya sedikit berkurang.
"Hai semua. Nama saya Arrabella Calista, panggil saja Arra. Saya dari kota ini, dan hobi saya menyanyi," ucapnya, matanya masih menatap Leo.
"Oke. Sekarang giliran menunjukkan bakat. Gladys duluan."
Gladys mengangguk. "Kak, boleh pakai musik?"
"Boleh. Mau lagu apa? Biar saya putarkan," jawab Renald, menyerahkan ponselnya.
Gladys memilih lagu, lalu berdiri di tengah. Musik mulai mengalun—lagu dari girl group Korea Selatan. Ia mulai menari. Gerakannya lincah dan memukau. Banyak yang terpesona, bahkan ada yang bertepuk tangan di tengah penampilannya.
Setelah lagu selesai, riuh tepuk tangan memenuhi ruangan. Arra mengacungkan jempolnya. "Kamu keren banget!"
Gladys tersenyum meski masih terengah. "Thanks! Lagu itu favorit gue, tiap hari gue latihan pake lagu ini."
"Berikutnya, Arra."
Tubuh Arra menegang. Ini bukan hal yang mudah baginya. Hanya mommy dan adik kembarnya yang pernah mendengar ia bernyanyi.
"Arra," panggil Renald karena Arra masih diam.
Tiba-tiba, Leo maju ke depan. Semua menatapnya.
"Nama lo Arra?" celetuk Monica.
"Gue yang main gitar, dia yang nyanyi," jawab Leo.
Leo menatap Arra seolah berkata: Percaya sama gue.
Gladys memberi semangat, dan panitia menyiapkan gitar dan standing mic. Leo menyetel gitarnya, lalu berkata pelan, "Gue di sini. Kalau lo gugup, liat aja ke gue."
Arra mengangguk pelan dan membisikkan lagu yang ingin dinyanyikannya. Leo mulai memetik gitar. Musik lembut mengalun.
Arra menatap Leo. Suaranya mulai terdengar. Ia hanya fokus pada Leo.
> [Lagu “Nothing’s Gonna Change My Love For You” dinyanyikan Arra]
Semua terpana. Leo pun ikut tersenyum sepanjang lagu. Beberapa mahasiswi bahkan mulai berbisik-bisik, membicarakan ketampanan Leo.
Saat lagu selesai, tepuk tangan kembali membahana. Arra tersenyum lega.
Gladys langsung memeluknya. "Lo jago banget, suaranya merdu!"
"Lo masih mau di situ?" tegur Renald ke Leo.
"Gue mau nyanyi satu lagu buat pacar gue," ucap Leo santai.
Renald mengernyit. "Ini bukan kafe—"
Namun Biantara memberi isyarat agar Leo diizinkan. Renald mendesah, lalu mengalah.
Arra menunduk, malu bukan main. Gladys menggoda terus, membuat pipi Arra makin merah.
Leo mulai memetik gitar. Suara beratnya terdengar syahdu.
> [Lagu “Number Two” dinyanyikan Leo]
Arra menatapnya. Lagu itu favoritnya. Dadanya berdebar. Suara Leo serak dan dalam.
Saat lagu berakhir, auditorium kembali dipenuhi tepuk tangan. Semua kagum, kecuali Renald dan Monica. Mereka tampak enggan memberi reaksi.
Leo berdiri, meletakkan gitar, lalu sebelum kembali ke tempatnya—ia mengedipkan mata ke arah Arra. Suara jeritan kecil terdengar dari beberapa mahasiswi.
Arra hanya bisa menunduk, wajahnya merah padam. Hari ini benar-benar membuat jantungnya bekerja ekstra.
"Wah, pacar lo keren banget, Ra! Udah ganteng, romantis pula. Duh, gue jadi pengen punya pacar juga," celetuk Gladys.
Arra tersenyum tipis. "Tapi kalau kamu tahu aslinya dia... aku yakin kamu bakal mikir dua kali buat punya pacar kayak dia."
Ospek hari ini berjalan lancar. Semua mahasiswa baru sudah dipersilakan pulang. Arra dan Gladys melangkah keluar dari auditorium bersama.
Sejak tadi mereka banyak mengobrol. Arra, yang biasanya tertutup, bisa merasa nyaman dengan gadis berdarah Sunda itu.
"Lo dijemput atau pulang sendiri?" tanya Gladys ringan.
"Aku pulang sama Leo," jawab Arra sambil mengedarkan pandangan, mencari sosok Leo di antara kerumunan.
"Ih, enak banget sih lo bisa pulang sama pacar. Jadi pengen punya pacar juga deh," celetuk Gladys, membuat Arra tersenyum kecil.
"Dia bukan pacar aku, sih. Kami memang udah terbiasa bareng dari SMA."
"What? Serius dia bukan pacar lo? Tapi tadi dia ngakuin lo di depan semua orang!" Gladys tampak kaget.
Arra mengangguk, "Dia emang selalu kayak gitu dari dulu. Jadi aku udah terbiasa."
Gladys tertawa, "Kalau gue yang diakuin sama Leo, udah gue sebarin ke seluruh dunia. Seganteng itu, loh. Rugi banget kalau enggak diumumin."
Baru saja Arra ingin membalas, seseorang tiba-tiba muncul dan membuat mereka terkejut.
"Temen lo aja pintar, kenapa lo nggak bisa mikir kayak dia, hm?"
Mata Arra membelalak. Leo sudah berdiri sangat dekat di sampingnya, wajahnya hanya beberapa inci dari wajahnya.
Gladys langsung menutup mulutnya, menahan tawa karena terlalu gemas melihat adegan di depannya.
"Harusnya lo juga ngakuin gue ke semua orang, biar gue nggak harus capek-capek nyingkirin cowok yang coba deketin lo," ucap Leo sebelum meniup wajah Arra, membuat gadis itu langsung tersadar dari lamunannya.
"Gue duluan ya. Nggak sanggup liat kalian, bisa mati baper. Bye Arra, sampai besok!" seru Gladys, lalu berlari meninggalkan mereka.
Arra hanya bisa terdiam, belum sempat menjawab apa-apa.
"Ayo pulang," ajak Leo sambil menggenggam tangan Arra tanpa peduli pada tatapan orang-orang di sekitar mereka.
Arra menunduk malu. Ia melihat Biantara berdiri tak jauh dari mereka, menatap ke arah mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak. Hari ini benar-benar melelahkan secara emosional.
Setibanya di parkiran, Leo membantu Arra mengenakan helm merah muda yang selalu ia bawa khusus untuk gadis itu. Setelah memastikan Arra duduk dengan aman, Leo naik dan menyalakan motor sport hitamnya.
Mereka melaju dengan kecepatan sedang. Arra melingkarkan tangannya di perut Leo, sebuah kebiasaan yang sudah lama tertanam.
Jalanan cukup padat, namun lancar. Tapi suara klakson yang terus berbunyi dari belakang membuat Leo melirik spion.
Seorang pria di motor sport hijau tampak seperti sedang mengejar mereka.
"Leo, itu siapa? Kok kayak ngejar kita?" tanya Arra, khawatir.
"Mungkin cuma kebetulan searah. Nggak usah diliatin," jawab Leo, menambah kecepatan.
Tapi kekhawatiran Arra terbukti benar. Saat mereka berbelok ke jalan yang lebih sepi, motor hijau itu tiba-tiba menghadang.
Leo mengerem mendadak. Arra menjerit pelan, kepalanya membentur helm Leo, membuatnya sedikit pusing.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Leo tanpa menoleh.
Arra mengangguk pelan. "I-iya..."
Seorang pria turun dari motor hijau. Wajah Leo mengeras saat pria itu membuka helm.
"Kak Renald?" gumam Arra, mengenali sosok itu.
"Turun lo," bentak Renald, marah.
Leo tidak bergerak. Dia hanya menatap tanpa ekspresi.
"Gue bilang turun, bngst!" Renald berteriak.
"Leo, dia mau apa?" bisik Arra ketakutan.
Leo menggertakkan rahangnya, "Apa mau lo?"
"Balas dendam. Lo pikir lo siapa udah berani ngatain gue di kampus?" Renald mencengkram kerah Leo.
Arra terisak panik. "K-kak, jangan kayak gini... kami minta maaf..."
"Maaf? Setelah cowok lo mempermalukan gue? Nggak cukup. Minimal gue bikin hidung dia patah dulu!"
"Leo..." Arra mencengkram tas Leo, air matanya mulai jatuh.
Melihat itu, Leo menurunkan standar motornya. Ia menepis tangan Renald lalu turun.
Ia membelai wajah Arra dengan lembut, menyeka air matanya.
"Tunggu di sini. Jangan turun. Gue selesain ini sebentar," ucap Leo lembut, lalu berjalan ke arah Renald.
Dengan cepat Leo menarik kemeja Renald dan mendorongnya mundur.
"Lo bikin pacar gue ketakutan. Sekarang ayo, gue ladenin lo."
Renald langsung menyerang. Tapi Leo menghindar dan menendang punggung Renald sampai pria itu jatuh.
Renald bangkit, mencoba memukul lagi. Leo menangkis dan membalas pukulan ke wajahnya, lalu menendang perutnya tanpa tenaga berlebih. Renald kembali terjatuh.
"Udah puas? Atau lo masih mau lanjut? Pacar gue kepanasan. Gue nggak mau dia pingsan nontonin cowok lemah kayak lo."
"Leo, udah! Kasian Kak Renald!" teriak Arra, takut kejadian itu jadi besar. Beberapa kendaraan bahkan sudah berhenti menonton.
Leo menatap Renald dengan dingin. "Jangan cari masalah lagi. Ini pertama dan terakhir."
Ia berbalik, meninggalkan Renald yang masih terkapar.
"Sialan! Gue bakal balas lo!" teriak Renald.
---
Setibanya di rumah Arra, Leo membantu gadis itu turun dari motor. Mereka masuk karena pintu sudah terbuka.
Keriuhan terdengar dari dalam.
"Mom," panggil Arra melihat Alyssa berdiri di ruang tengah, berkacak pinggang.
"Kakak!" Alyssa baru menyadari kehadiran mereka.
"Kenapa, Mom?"
"Zayn. Dia main tepung," jawab Alyssa, lelah.
"Zayn!" seru Leo.
Tak lama, tubuh mungil muncul dari belakang bufet. Zayn dengan pipi gembulnya tampak malu.
"Zayn sini," panggil Leo sambil jongkok.
"Maap Yoyo. Jain nakal..." ucap Zayn dengan suara cadel.
"Kalau nakal harus apa?"
Zayn menjawab polos, "Halus tanggung jawab."
Arra dan Alyssa hampir tertawa, tapi Leo tetap serius.
"Dengan sembunyi, Zayn udah tanggung jawab?"
Zayn mengangguk—padahal jawabannya tidak sesuai.
Leo menahan senyum, "Minta maaf sama Mommy. Janji nggak ngulang lagi."
Zayn mendekat, memeluk Alyssa. "Momi, Jain minta maap..."
Alyssa mengecup pipi Zayn. "Tapi lain kali jangan main tepung lagi, ya. Itu makanan, bukan mainan. Zayn ngerti?"
"Iya, Momi!" serunya lucu.
"Kamu mau minum?" tanya Arra pada Leo.
Leo menggeleng. "Nggak, gue pulang aja. Besok pagi gue jemput."
Arra mengangguk.
"Mom, aku pulang dulu ya," pamit Leo.
"Nggak makan dulu?" tawar Alyssa.
"Lain kali, Mom. Bye, Zayn."
"Tata Yoyo..." lambaian tangan mungil Zayn mengiringi kepergian Leo.
Sebelum pergi, Leo mengusap kepala Arra dengan lembut, lalu melangkah pergi.
Arra yang kelelahan segera pamit naik ke kamarnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!