Suara tawa menerobos keheningan di sore hari. Sebuah tangan kecil mengetuk benda tertutup lebih tinggi 100 cm darinya. Tak kunjung datang membuka, suara tawa semakin menghantam keheningan petang. Ketukan bersuara lebih keras, mengalahkan tawa gaduh. Lima detik menunggu, benda itu dibuka oleh seorang adam. Dia yang mengetuk pintu menginjakkan kaki ke tembikar dingin. Pintu ditutup kembali oleh seorang adam, tangan kekar membelai surai si gadis.
Gadis berlari tersipu mengarah kamar. Ruang tamu dipenuhi oleh adam. Suara tawa berasal dari para adam tampan yang bersemayam di sofa.
"Det, mau ke mana? Makan dulu," seorang adam berteriak memanggil gadis yang berlari ke lantai atas. Ia menggeleng dengan tingkah laku adiknya.
Di depan televisi, salah seorang adam menyaksikan tingkah mereka. Sebelum Dety menaiki tangga, sepasang mata tertuju padanya-tidak ada yang tahu. Ia sempat tersenyum dengan sipuan Dety, entah apa yang perlu dirasa malu saat bertemu kawan-kawan Elzio.
"Lucu banget adik lo." Suara itu berhasil mendatangkan perhatian kepadanya. "Kasih gue dong man, mumpung lagi jomblo gue." Nathan tak pernah serius atas ucapannya, setiap berbicara ceplas-ceplos tanpa berpikir panjang.
Elzio mendaratkan buritnya ke sofa, berkumpul kembali bersama teman-temannya. "Sekalipun adik gue suka sama lo, nggak bakal gue restuin Than." Mereka tertawa atas jawaban Elzio.
"Dety namanya? Cocok tuh sama Corne. Mumpung jomblo Cor, gas sono, pepet sampai dapat." Tawa mereka menerobos sepinya senja untuk kesekian kali.
Cornelious tidak menanggapi Pendrik, bagi dia itu hanya candaan belaka, tidak ada perkataan serius keluar dari moncong sahabatnya.
Di tengah kebisingan, terdengar langkah kaki menuruni tangga seraya mengumpat sesuatu. Untuk kedua kalinya, pandangan para adam terpatok akan gadis. Pesonanya berhasil mengalahkan tawa yang memecah keheningan senja.
Seorang adam berdiri, menghampiri gadis yang hendak pergi menuju dapur. Sepasang mata itu tertuju pada seragam sekolah yang ia kenakan. Dahinya mengernyit, seolah tak setuju dengan seragam tak kunjung diganti.
"Mau ke mana kamu? Kenapa belum tukar seragam sekolah?" tanyanya menggunakan intonasi tak setuju. "Sudah berkali-kali kakak sampaikan, ganti pakaian kamu setelah sampai di rumah, Dety. Kamu udah besar, malu kakak ingatkan terus. Lagian kenapa belum ganti pakaian? Mau nge-date pakai seragam sekolah? Iya? Kakak nggak pernah larang kamu pacaran, tapi tolong jangan pakai seragam sekolah. Jadi ce-"
"Aku lapar, kenapa kakak nggak sisakan nasi untukku? Apa aku nggak berharga lagi bagi kakak?" Potongnya menggunakan nada kesal. "Kakak jahat, kakak hanya tahu marahi Dety! Tiap hari kerjanya marah, Dety nggak suka!" Mata cokelat itu tertuju pada Elzio.
Elzio menahan amarahnya, dia tidak mau menyakiti hati adik kecilnya. Pria ini sangat menyayangi adiknya, adik satu-satu yang ia punya. "Dety, maafkan kakak, kakak tahu kakak salah." Tangan kekar itu merapikan rambut Dety yang menghalangi wajah cantiknya. "Kakak belikan nasi kamu ya, tunggu di kamar. Oke?" Untuk menembus rasa bersalah, besar harapan Elzio supaya Dety menyetujui permintaan dirinya.
Gadis di depannya menggeleng dengan cepat, tersenyum hangat kepada sang kakak. "Dety bisa beli sendiri kok, kak. Nggak mungkin kakak ninggalin teman-teman kakak di rumah."
Mimik Elzio berganti tak setuju, ia mengambil gelas, lalu mengisi air ke dalamnya. "Justru kamu yang nggak sayang lagi sama kakak. Kamu mau keluar sama pacar kamu, kan? Dety, kakak udah bilangin ke kamu sampai tenggorokan kakak kering, Hans bukan pria yang baik, Dety. Tolong dengarkan kakak sekali ini saja, kakak mohon. Kamu harus melepas dia, dia udah nyakitin kamu berkali-kali, bahkan hampir tiap hari. Kakak nggak suka kamu nangis karena masalah cinta, apa untungnya buat kamu? Udah cari yang lain aja. Belum tentu dia jodoh kamu."
Dety mengangkat bahunya lelah, perkataan kakaknya seratus persen hampir benar, tapi apa yang bisa ia lakukan? Susah untuk melepas orang yang disuka selama bertahun-tahun.
"Kebetulan gue mau keluar, adik lo bisa numpang." Orang ketiga muncul dari balik dinding perbatasan ruang makan dan dapur. Sedari tadi dia menguping pembicaraan kakak-adik itu.
Elzio melirik adiknya, berharap dia setuju ikut dengan Cornelious.
Bertahun-tahun bersama, Dety sudah mengerti maksud tatapan kakaknya. Mau tak mau, Dety harus setuju. "Dety ganti pakaian dulu, sebentar." Dia berlari melewati pria yang tak ia kenali.
Cornelious menunggu Dety di dalam mobil miliknya. Sembari menunggu, Cornelious memutar lagu Bob Marley-Is This Love. Entah apa yang merasuki dia, hatinya kembali terbuka menerima orang baru. Sudah sangat lama dia menutup pintu hati karena ingin melanjutkan pendidikan di Velvet Crescent University.
Pintu belakang dibuka oleh Dety. Cornelious menoleh kepadanya, ia membiarkan lagu mengisi keranahan mereka. "Duduk di depan aja, gue nggak makan orang."
Tanpa mengatakan sepatah kata, Dety menyetujui permintaan Cornelious. Tidak ada rasa takut dalam diri Dety, jika kakaknya setuju, maka hal itu merupakan hal yang baik. Dety percaya Cornelious tidak akan melakukan apa pun padanya. Ditambah tampang Cornelious menyerupai anak baik.
Is this love? Is this love? Is this love?
Is this love that I'm feeling?
Is this love? Is this love? Is this love?
Is this love that I'm feeling?
~Bob Marley-Is This Love
Dety melirik Cornelious, dari lagu yang diputar, kemungkinan Cornelious sedang jatuh cinta. Dety ingin tertawa, dia merasa lucu ketika seseorang sedang jatuh cinta. Dia teringat akan kisah cintanya bersama Hans. Dia menyukai Hans sewaktu mereka SMP, di mana Hans selalu membantunya dalam kondisi apa pun. Dety pikir Hans juga menyukainya, saat dia memberitahu perasaannya kepada Hans, Hans menolak dia mentah-mentah, tapi Dety tak pernah menyerah. Dia selalu berjuang mendapatkan hati Hans, sampai-sampai ia mengikuti Hans daftar ke SMA Eterna, dan sekarang mereka berpacaran.
Cornelious sadar atas lirikan Dety. Ketika Dety mengganti pandangannya ke depan melihat jalan raya, Cornelious mencoba membuka pembicaraan. Bukan untuk mencuri perhatian Dety, tetapi dia ingin menunjukkan ramah-tamah kepada adik sahabatnya.
Cornelious berdehem pelan, berhasil menghancurkan lamunan Dety. "Nama lo Dety? Hanya Dety?" tanyanya aneh. Jujur Cornelious memendam rasa malu. Dari seribu pertanyaan, mengapa pertanyaan konyol keluar dari mulutnya.
Dety biasa saja dengan pertanyaan Cornelious, dia justru senang ada yang menanyakan namanya-mungkin untuk nama panjang. "Detyanna Eunoia, Detyanna Eunoia, Detyanna Eunoia. Ingat yaaa, nama aku Detyanna Eunoia..." jawabnya bersemangat. Dety menunjukkan senyum lebar di wajahnya.
"Kalau kamu? Nama panjang kakak apa? Cornelis de Houtman?" sambung gadis tersebut.
Tawa kala itu memecah kecanggungan mereka. Tidak ada yang menyangka Dety menyebut nama panjang Corne tanpa diberitahu dahulu oleh pemiliknya. Dety lantas bingung mengapa Corne tertawa. Dia tidak tersinggung, sedikit menampakkan gigi malu. "Jangan sembarangan ya lo, tapi kok bisa kepikiran sampai ke situ?"
Jari telunjuk kanan menggaruk kepala tuannya seraya menahan malu. "Maaf kak, aku hanya bercanda," balasnya.
"Cornelious Nicholas. Lo bisa manggil semau lo, terserah apa pun panggilan gue."
Sang gadis mendapat ide, ia menusuk tangan Corne menggunakan jari telunjuk kecilnya. "Nicho, Kak Nicho,"
Pandangannya kembali menatap jalan, tak mengucapkan sepatah kata kepada gadis itu. Belasan tahun menginjakkan kaki di bumi, dia orang pertama memanggil sebutan favoritnya, 'Nicho'. Harapannya dipanggil terus dengan nama itu, nama khusus dari Detyanna.
"Anna."
Dengarkan kata hati. Tutup telinga untuk menangkal masuknya tuturan dekil. Tak penting dihiraukan, hidup terbentuk bukan karena mereka. Buang pikiran buruk, masih ada mengidolakanmu, tapi kau tak tahu.
Siapa butuh rekan hujahan? Di depan manis, di belakang menikam. Sudah kaualami rasa sakit yang membuatmu tak mengenal waktu, hanya meneteskan mutiara putih dari mata nan elok. Tinggalkan yang menyakiti, tak perlu merasa iba. Hidup untuk bahagia, bukan menderita oleh tuturan terbelakang.
Berpura-pura tak mengacuhkan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Siapa kata dia tidak mendengar ocehan di sana? Namanya disamarkan, dia tahu. Keburukannya terungkap tanpa diketahui dirinya. Siapa yang menambahi, tak lain orang terdekat.
"Modal caper aja bangga," bisikan itu selalu dia dengar, setiap saat, apalagi jika memasuki kelas kekasihnya. Apa salah guru meminta bantuan? Apa salah aktif di setiap mapel? Kalau tidak merugikan orang lain, ya diam saja. Uang sekolah dari orang tuanya, bukan dari omongan-omongan terbelakang. Menjawab apa yang ditanyakan bukan berarti mencari perhatian.
"Dety, tolong kamu tulis absen kelas kita ya, Nak. Besok Ma'am tunggu paling lama." Tangan mulus itu memberi buku tipis berbentuk persegi panjang kepada sang gadis. "Satu lagi, tolong kamu sampul buku absennya. Sampulnya minta ke tata usaha."
"Oke Ma'am. Permisi ya, Ma'am." Kedua kaki mulus itu melangkah dengan cepat keluar dari kelas yang memiliki aura tak sedap. Dia tidak menyapa kekasihnya, dia bahkan enggan untuk melihat.
...•••...
"Det, nanti kita pulang bareng, ya? Kamu nggak sama pacar kamu, kan?" Abigail menghampiri meja sahabatnya. Sudah lama baginya mereka tidak pulang bersama. Dety selalu diantar pacarnya pulang ke rumah, sementara dia pulang sendirian dengan rasa sepi.
Dety menghentikan jarinya yang mengayunkan pulpen hitam di atas kertas putih. Dia menoleh kepada sahabatnya. Mata nan elok itu memperlihatkan air tergenang di sana.
Segera Abigail mendekati telinga Dety, dia berbisik, "Det jangan menangis, nanti kita beri pelajaran ke buaya itu."
Terdengar suara tawa ringan dari sahabatnya, mata itu tak lagi tergenang air, tapi masih tampak kesedihan dari wajahnya. "Kenapa dia nggak pernah melihat aku ya, Ga? Apa aku jelek? Apa aku kurang baik untuknya? Setiap aku memasuki kelasnya, dia selalu buang muka, bahkan dia tadi bermain dengan anak-anak cewek, Ga. Nggak adil, kan, ya? Dia ngelarang aku friendly ke cowok, tapi dia malah friendly ke cewek. Mau dia apa coba? Apa rasa sukaku kurang besar?"
Abigail mengambil kursi temannya yang sedang permisi ke toilet, dia meletakkan kursi itu di samping Dety. "Kamu hanya bodoh," ucap Abigail. Mendengar curhatan Dety sudah menjadi makanannya sehari-hari. Padahal Abigail berkali-kali menyuruh Dety untuk putus saja, tapi gadis itu tetap tidak mau, dia selalu merasa bahwa Hans adalah orang yang terbaik untuknya. Memang kalau sudah jatuh cinta manusia akan buta.
"Det, aku berkali-kali nyuruh kamu putus, dia bukan pria yang baik, Det. Tinggalkan orang seperti dia, tolong. Kamu mau disakiti terus-terusan? Nangis untuk orang yang belum tentu jodoh kamu? Kamu pikir dia peduli dengan perasaan kamu? Enggak, Det, enggak. Dia udah bosan sama kamu, perasaan dia hambar, Det. Seharusnya kamu sadar saat ini dia sedang mencari penggantimu. Ayo dong Det, buka pikiran kamu. Kamu pintar, tapi sayang sangat bodoh masalah cinta." Abigail tidak peduli lagi dengan perasaan Dety. Jujur, dia sudah muak atas kelakuan pacar sahabatnya. Abigail pernah berpikir bagaimana jika Hans sudah mencuci otak Dety? Soalnya setiap disuruh putus, Dety tidak mau putus dari dia.
"Kamu sama sekali tidak mengerti, Ga. Rasa sukaku sudah aku beri untuk dia. Aku nggak bakal bisa kalau kami mengakhiri hubungan. Bagiku dia sudah seperti malaikat."
Bel pulang menghentikan percakapan mereka. Abigail kembali ke mejanya untuk membereskan barang-barangnya. Bukan tidak ingin menanggapi Dety, dia hanya sedikit pusing dengan sahabatnya itu. Abigail merasa sahabatnya mendadak bongak. Semakin hari rasa suka Dety semakin menumpuk, sedangkan rasa suka Hans semakin memudar.
Kedua tangan kecil itu bergandengan menuju gerbang kebebasan. Kaki-kaki melangkah dengan riang, mengeluarkan keluh-kesah yang dihadapi. Dia mencoba tidak memikirkan pria itu, berusaha tidak menoleh ke belakang-berharap dicari. Sebelum menaiki kendaraan umum, mereka mampir ke fotokopi sebelah. Abigail mengambil dua pulpen gel hitam bercorak kuromi, satu ingin diberikan kepada sahabatnya. Rasa sayang Abigail kepada Dety, mengalahkan rasa sayang Hans kepada Dety. Andai saja Dety menyadari perbedaan mereka. Andai...
Hendak memasuki kendaraan umum, sorakan anak sekolah Eterna mengalahkan klakson mobil karena macatnya jalan. Dety dan Abigail menoleh dari seberang apa yang terjadi. Sekejap sebuah motor Honda CBR250RR, menampakkan diri ke jalan raya, melaju dengan kecepatan tinggi, tanpa sadar Dety ada di sana.
Pandangan mata anak Eterna tertuju pada Dety yang diam membisu. Ada yang puas, ada yang merasa iba, bahkan ada yang tidak peduli. Pandangannya kosong, jauh di dalam rasanya seperti tertusuk seribu pisau. Tidak cukup kah friendly saja? Mengapa harus ada pihak ketiga di antara kita?
Rangkulan itu membuat Dety tersadar, dia memasuki kendaraan umum bersama sahabatnya. Kepalanya tertunduk, tidak sudi melihat orang-orang. Untuk kesekian kali, dia menahan air yang tergenang di matanya.
...•••...
"Sudah pulang adik tercinta kakak? Makan siang sana, habis itu kakak mau ajak kamu ke suatu tempat. Kamu mau, kan? Biasanya kamu paling semangat kalau keluar sama kakak."
Tak ada tanggapan dari ucapannya. Dia menyadari ada yang aneh dari Dety. Diletakkannya laptop di atas meja, meninggalkan tugas kuliahnya. Dia merasa bersalah karena tidak menoleh saat berbicara kepada Dety. Kaki panjang itu menyusul langkah adiknya menuju kamar. Sebelum pintu dikunci, dia berhasil mencegah.
Didapatnya tatapan kesal dari sang adik. Tangannya mendorong pintu perlahan, masuk tanpa izin. Dielusnya kepala dengan rambut hitam itu, lalu dia mendapat pelukan dari sang adik.
Dirasakannya baju itu mulai basah, dengan perlahan dia melepas pelukan sang adik. Mata nan elok itu kini dipenuhi air mengalir membasahi pipi mungil sang adik. Kedua tangan kekar itu menghapus air yang mengurangi kecantikan adiknya. Dia tersenyum, mengerti apa yang dirasa.
"Dia bukan pria yang baik, Det. Tinggalkan, kakak mohon," ucapnya lembut.
Waktu berlalu begitu cepat, air tidak lagi membasahi pipi mungil sang gadis. Seorang pria membawakan makanan ke dalam kamar sang gadis. Tak tega baginya jika sang adik belum makan hanya karena pria sontoloyo menyakitinya. Sungguh menjengkelkan.
"Bentar lagi Mama dan Papa pulang, cepat makan, nanti kita dua dimarahi," tegas Elzio.
"Kita mau ke mana, Kak? Biasanya kakak selalu sebut tempatnya, kok," tanyanya sembari memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut.
"Ke rumah teman kakak." Tanpa memikirkan Dety setuju atau tidak, dia menganggap Dety setuju dengan dia. Dety suka pergi keluar rumah jika diajak oleh Elzio. Oleh sebab itu, Dety pasti mau-mau saja diajak pergi ke mana pun. "Ke rumah Cornelious, masih kenal?" sambungnya.
Segera Dety mematung di atas tempat tidur. Siapa sangka cepat atau lambat mereka akan bertemu kembali. Lagian kenapa harus ke rumah Corne? Jika mengingat kejadian kemarin, dia sangat malu.
"Cepat makannya, dia udah gak sabar nunggu kamu."
Alis Dety bertaut, "Nunggu aku? Kenapa? Untuk apa?"
"Untuk dekatin kamu lah, apa lagi?"
Cubitan kecil mendarat di tangan Elzio. Rasa sakit itu merespon untuk menghindari serangan selanjutnya. "Kenapa Dety? Kamu malu ketemu sama dia? Kenal aja enggak," ejeknya yang membuat Dety semakin kesal.
"Kamu aneh kak! Kakak bilang kak Nicho mau dekatin Dety, terus kakak bilang kami nggak saling kenal. Nggak masuk akal tahu!" ujarnya sembari memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut.
"Ya... itu urusan kalian lah, kalau memang belum kenal, nanti kenalan. Jika memang kalian saling suka, kakak pasti dukung! Tanpa bertanya kalian sudah dapat restu dariku."
Dety menggeleng. "Enggak mau! Dety suka sama Hans! Selamanya!!"
Tawa Elzio menyakiti perasaan Dety. Salahkah Dety menaruh hati kepada Hans? Kita tidak tahu apa yang terjadi di masa depan, siapa tahu nanti Hans berubah menjadi pria yang lebih baik dan mencintai Dety sedalam-dalamnya.
"Kalian tidak akan bisa bersama selamanya, Dety. Kakak tidak memberikan restu atas hubunganmu dan Hans. Jangan bodoh, tidak semua pria itu pria yang baik. Satu lagi, jangan termakan omongan manisnya." Elzio keluar dari kamar Dety dengan perasaan bersalah. Dia tidak mau menyakiti Dety, demi apa pun dia tidak mau. Yang dia lakukan untuk kebaikan Dety, seharusnya Dety bisa mengerti.
...•••...
Tawa itu memecah kesunyian senja untuk kesekian kali. Dua dari tiga berbincang-bincang layaknya di dunia hanya ada mereka. Seorang lagi terdiam-membisu, susah rasanya mengikuti pembicaraan pria dewasa. Jika tidak tentang kuliah, pekerjaan, cewek, mereka membahas game. Tidak semua perempuan menyukai game, termasuk Dety. Hanya saja dia bersyukur, kedua pria itu tidak membahas hal dewasa. Masih terbilang wajar untuk menghargai anak perempuan manja di sana.
Sejujurnya sepasang mata memperhatikan Dety dari sofa seberang. Pandangannya tak pernah lepas, meskipun sedang berbicara dengan seorang teman. Dia memperhatikan gerak-gerik perempuan itu, tangannya mengotak-atik handphone sembari tersenyum. Tidak asal menebak, dia tahu Dety pasti bertukar pesan dengan kekasihnya. Jadi siapa di sini orang ketiga? Dety yang hanya diam-membisu di rumah Corne atau Corne yang memperhatikan Dety secara diam-diam? Atau Elzio yang menghalangi Corne berbicara empat mata dengan Dety?
[Dety: Hans, kamu tadi lucu banget yaa sama Manda. Dia lagi sakit? Biasanya kamu nggak mau pulang sama cewek lain.]
[Hans: Maaf yaaa sayangg, tadi Manda buru-buru pulang. Bundanya sakit, nggak ada yang jaga. Manda minta tolong antarin dia tadi. Kamu nggak marah, kann? Maaff nggak izin sama kamu dulu.]
[Dety: Iyaa, nggak apa-apa kok. Aku mau nanya, boleh?]
Dety berhenti menggerakkan jarinya. Tak kunjung datang pesan dari Hans. Perempuan itu selalu mengambil sisi positif, mungkin Hans lagi sibuk atau sedang membawa motor.
Dety merasa bosan dengan media sosial yang ia buka. Diletakkannya handphone itu di atas meja, pandangannya tertuju pada Corne yang masih berbincang dengan Elzio. Tatapan itu tidak memberi maksud apa pun, tatapannya kosong, layaknya melamun.
"Ada apa?" Corne sadar akan tatapan perempuan itu. Secara sadar dia mengalihkan perhatian kepada Dety, tak mengacuhkan Elzio yang tengah tertawa.
Getaran handphone Dety membuat dia tersadar dari lamunannya. Kedua mata elok kini berpandangan muka. Mereka terpatung, kaku, canggung, tak tahu harus bagaimana.
Kedua kalinya handphone Dety bergetar, Dety mengalihkan pandangan dari Corne. Segera ia mengecek notifikasi yang tak sabar untuk diberi tanggapan.
[Hans: Mau nanya apa sayangkuu? Tanya aja, pasti aku jawab.]
[Hans: Kamu di mana? Ayoo jalan.]
Kedua pesan tersebut berhasil mengembalikan suasana hati Dety. Ia selalu melihat sisi positifnya, tak peduli bahwa itu berkebalikan.
[Dety: Kamu kenapa selalu cuek waktu aku masuk ke kelas kamuu?]
[Dety: Aku merasa kamu nggak suka lagi sama aku, iya, yaa? Katanya rasa suka cowok dari 100-0, apa benar?]
Jantung Dety tidak stabil saat mengirim pesan tersebut. Dia takut Hans akan marah padanya, dia takut Hans meminta putus. Ekspresi perempuan itu tidak tertebak lagi, kedua pria yang duduk di dekatnya sampai bingung akan sikapnya yang berubah-ubah setiap saat.
[Hans: Aku masih suka sama kamu, tolong jangan pikir yang lain-lain sayangg.]
[Hans: Aku cuek? Aku benar-benar minta maaf Detyy. Rasanya nggak enak kalau guru ngelihat kita kode-kodean saat kamu masuk ke kelasku. Bisa dibilang nggak sopan.]
[Dety: Kamu lakuin itu untuk kebaikan kita yaa? Makasih yaa Hans, kamu memang yang terbaik.]
[Hans: Iyaa, kamu di mana sekarang?]
[Dety: Lagi di luar, sama kakak.]
[Hans: Ohh berarti kita nggak bisa ketemuan? Ya udah selamat menikmati.]
"Det, buatin kakak Sandwich dong." Suara itu menyadarkan adiknya yang tengah bermain handphone. Bermula dari layar hijau, kini menjadi hitam. Belum sempat membalas chat Hans, sudah dikagetkan oleh pria di sampingnya.
"Tapi ini bukan rumah kita, Kak. Masa aku jemput bahan-bahannya ke rumah," Dety berbisik untuk menjaga perasaan Corne.
Pria yang memperhatikan mereka melipat kedua tangannya di dada, kakinya ikut menyilang. "Gue punya bahannya. Perlu bantuan?"
Perempuan itu langsung terdiam dengan sikap dinginnya Corne. Apa Dety punya salah sama dia? Pertemuan terakhir mereka baik-baik saja, bahkan Corne masih bercanda-tawa.
"Mau buat sekarang, kan?" Corne beranjak dari sofa yang ia duduki. Tanpa berpikir dua kali, Dety menyusul dia dengan cepat.
Tangan kekar pria itu membuka lemari dan mengeluarkan mikser. Diletakkannya alat itu di atas meja sembari mencari bahan lainnya di dalam kulkas. Sementara perempuan di sana hanya bengong, benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
Sepasang mata cokelat itu bergerak mengikuti langkah pria yang tengah sibuk mencari bahan lainnya. Di sana, dia masih diam-membisu, tidak berani mengatakan sepatah kata kepada pria yang mendadak dingin kepadanya. Dia ingin membantu, tapi sama sekali tak punya nyali untuk membuka pembicaraan.
Sekilas diperhatikan, Corne adalah pria yang dewasa, juga sangat tampan. Hanya menggunakan kaus putih yang agak kebesaran sudah membuat hati wanita meleleh. Rambutnya menjadi daya tarik, dilihat dari segala arah rasanya ketampanan dia tidak akan pudar. Namun, Dety berusaha tidak memandang Corne lebih. Ada hati yang harus ia jaga, sikap setianya tidak akan dia lepaskan hanya karena pria tampan sedang berdiri di depannya. Tampan di luar belum tentu dalamnya baik. Siapa yang akan menyangka dia hanya main-main dengan cewek untuk mengisi waktu luang? Lebih baik biasa saja, tapi tulus.
"Gue hanya punya strawberry, mau beli yang lain?" Lemari pendingin ditutup perlahan oleh Corne. Matanya tertuju kepada Dety yang setia mematung.
"Gue nggak bisa menebak isi pikiran lo," ucapnya karena tidak mendapat respon dari perempuan patung itu.
Ia tersadar dari lamunannya. Tak ingin membuat Corne marah dengan sikap tidak jelasnya itu. "Cukup kok. Kakak mau ikut bantu?" tawarnya.
Tidak ada jawaban atas tawaran yang ia berikan. Tanpa basa-basi pria itu memasukkan tepung ke dalam wadah dan menuangkan air ke dalamnya. Dety segera menyalakan mikser dan mengaduk tepung yang sudah dicampur dengan air.
"Lebih suka pakai pinggiran atau tidak?" Corne mulai berbicara dengan lembut. Ia juga memperhatikan Dety mengaduk tepung tersebut.
Dety mengalihkan pandangannya kepada Corne, ia berpikir sejenak. "Kalau aku lebih suka dikupas pinggiran rotinya, kak, tapi kalau kakak sukanya nggak dikupas, nggak apa-apa," jawabnya mengalahkan kelembutan Corne.
"I'll peel it, Anna."
Alis Dety bertaut mendengar omongan Corne. Ternyata dia serius memanggil namanya 'Anna'. Jika begitu, Dety harus memanggil dia 'Nicho', biar sama-sama punya nama panggilan khusus. Dety tidak pernah keberatan orang lain memanggil dia apa, yang penting sopan dan nama panggilan yang dibuat tidak untuk merendahkan.
Perpaduan antara suara talenan dan pisau menenangkan suasana kala itu. Pisau yang diayunkan oleh tangan kekar itu mendapat penggemar dari balik sana. Keseriusannya mendebarkan hati seseorang, tak kunjung mengalihkan pandangan.
Tepung sudah siap untuk digunakan, kini strawberry dipegang oleh perempuan itu dan hendak membersihkannya. Air dari wastafel mengalir keras membasahi strawberry yang ia pegang. Strawberry-strawberry itu disusun rapi ke atas piring kaca yang memiliki ukuran cukup besar.
Pria bertangan kekar mendekati Dety yang masih mencuci strawberry. Dia menyela tangan Dety untuk membersihkan tangannya. Didapatinya tatapan kesal dari perempuan pendek itu. Dibalasnya dengan senyuman kemenangan sekaligus mengejek.
Corne membentangkan plastic wrap di atas meja. Diambilnya sepotong roti tawar, teroleslah tepung ke atas roti. Jari-jari lentik menyusun strawberry di atas roti yang sudah diberi tepung. Tak mau kalah, Corne melapisi roti dengan tepung menggunakan tenaganya, ia berlomba siapa yang akan menang.
Dety hanya menggelengkan kepalanya. Dilanjutkannya membungkus roti dengan plastic wrap. Pekerjaan yang dia lakukan menarik perhatian Corne, apalagi Dety melakukannya dengan serius.
Tanpa mereka sadari, seseorang memperhatikan mereka dari belakang. Dia tersenyum lucu, mengambil beberapa foto. Elzio sengaja menyuruh Dety membuat Sandwich, dia ingin mendekatkan hubungan Corne dengan adiknya. Dari dulu Elzio sangat ingin Dety memandang Corne, setidaknya sedikit saja. Bukan bermaksud memaksa Dety dan bukan bermaksud mengambil haknya, hanya saja Dety tidak pintar menilai cowok, bisa-bisa dia nanti mendapat cowok yang gila uang, seperti Hans. Jika Dety tidak lebih kaya dari dia, Hans pasti tidak mau berpacaran dengan Dety. Sayangnya Dety tidak terlalu paham. Baginya words of affirmation membuktikan tulusnya cinta seseorang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!