Seorang gadis tengah memilih pakaian di almarinya lalu memasukkannya ke dalam tas besar. Ia menerka-nerka apakah ini akan cukup untuk ia pakai selama di ibu kota nanti.
"Nduk, kamu yakin mau pergi?" Tanya seorang wanita paruh baya yang baru saja masuk ke dalam kamar gadis itu.
Ratih menghentikan aktivitasnya lalu meraih tangan ibunya, "Bu, aku yakin, sangat-sangat yakin kalau nanti aku akan sukses dan akan merubah kehidupan kita," jawab Ratih sambil tersenyum.
Jawaban sang putri tidak meluruhkan ekspresi khawatir dari wajahnya, "Tapi nduk, yang kamu tuju bukanlah tempat biasa, disana banyak kejahatan, bagaimana kalau–––"
"Bu, kok ibu bilang gitu," potong Ratih, "Ibu pernah bilang kalau di dunia ini ada dua jenis manusia yaitu manusia baik dan manusia jahat, jadi tidak semua orang disana itu orang jahat dan Ratih yakin kalau Ratih bekerja dengan orang baik, ibu mau kan do'ain Ratih?"
Aminah menggeleng, "Tanpa kamu minta pun, ibu pasti akan selalu mendo'akan kamu."
Ratih melepaskan genggamannya pada tangan Aminah, ia pun melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda tadi, "Ratih sebenarnya sedikit khawatir kalau ibu di rumah sendirian," ucapnya sambil melipat pakaian.
Aminah mendekat dan membantu merapikan pakaian Ratih, "Ibu baik-baik saja, pokoknya nanti rajin kabarin ibu saat kamu senggang, biar ibu tahu kondisi kamu disana bagaimana."
"Iya bu, nanti Ratih akan menghubungi ibu lewat bu Nurul."
Bu Nurul adalah tetangga Ratih yang cukup dekat dengannya dan ibunya. Karena ibunya tidak memiliki handphone, Ratih pun sudah ijin ke bu Nurul agar menyampaikan pesannya selama ia mencari nafkah di ibu kota kepada ibunya. Dan begitupun masalah gaji, Ratih menitipkan di rekening bu Nurul untuk digunakan sang ibu sehari-hari. Untuk masalah lainnya akan ia tabung sendiri.
"Bu, nanti kalau juragan kesini buat nagih hutang, ibu bilang aja kalau Ratih masih berusaha, kalau juragan tidak mau pergi, panggil bu Nurul dan suaminya untuk membantu," ucap Ratih sambil menenteng tas besar miliknya.
Aminah mengangguk, "Iya Nduk."
"Ibu jangan sedih," ucap Ratih sambil memeluk ibunya.
Aminah pun tidak bisa menahan air matanya. Merelakan anak satu-satunya untuk bekerja di tempat yang jauh sungguh membuatnya tersiksa. Ia merasa dirinya bukanlah orang tua yang baik. Suaminya meninggalkan banyak hutang semasa hidupnya dan dirinya pun sekarang tidak berdaya untuk melunasi hutang sebanyak itu. Tubuhnya yang rentan sangat sulit digerakkan untuk mencari pekerjaan kasar yang menghasilkan banyak uang.
"Ibu jangan nangis, kalau ibu nangis Ratih jadi ikut sedih," ucap Ratih sambil menahan air matanya.
Aminah melepas pelukan mereka lalu menatap Ratih, "Maafkan ibu Nduk, sudah menjadi orangtua yang buruk buat kamu dan membuat kamu banyak berkorban."
Ratih menggeleng, "Tidak bu, Ibu adalah orangtua terbaik yang pernah ada, dan Ratih tidak merasa berkorban sama sekali."
Selang beberapa saat tukang ojek yang Ratih pesan sudah sampai dirumahnya, ia pun keluar rumah diantar ibunya.
"Yasudah Ratih berangkat dulu ya," ucap Ratih sambil memeluk ibunya lagi.
"Hati-hati Nduk."
Ratih mengangguk sambil berjalan ke halaman rumahnya. Ia berbalik lagi menatap ibunya yang berdiri di teras dan menatap rumah sederhana yang menjadi tempat tumbuh kembangnya selama ini. Ratih memantapkan hati dan raganya, inilah jalan yang ia pilih, maka dari itu ia harus berusaha. Melunasi hutang alm. Ayahnya dan merubah nasibnya di masa depan adalah prioritas utamanya saat ini.
Setelah menempuh perjalan selama kurang lebih 40 menit, Ratih pun sampai di agen PRT yang telah mencarikan pekerjaan untuknya. Dari sini ia akan diantar dengan travel bersama-sama dengan teman seperjuangannya yang juga ingin merubah nasib di ibu kota.
Bukan waktu yang sedikit untuk sampai, namun perlu waktu lebih dari satu hari untuk dapat menginjakkan kaki di tanah pusat negara itu. Travel yang Ratih tumpangi akhirnya sampai di kantor pusat agen PRT yang menaunginya. Setelah sampai Ratih menghirup udara sebanyak-banyaknya.
"Jadi seperti ini rasanya ada di ibu kota," lirih Ratih sambil menatap langit di atasnya.
Ratin pun masuk ke dalam kantor untuk mengurus beberapa berkas-berkas lalu menunggu jemputan dari majikannya. Ia duduk di kursi tunggu di kantor itu, ia sedang menerka-nerka bagaimana rupa majikannya. Apakah seorang pria tua bersama istrinya yang lebih dari satu? Ia berpikir seperti itu sebab di kampunya banyak juragan-juragan kaya yang punya banyak istri.
Tidak lama, Ratih melihat sebuah mobil sedan berwarna hitam yang berhenti di depan kantor itu. Lalu keluarlah seorang pria muda dari kursi kemudi sambil membawa beberapa berkas. Pria itu nampak berjalan ke resepsionis dan berbincang dengan petugas disana. Ratih nampak terkejut saat petugas itu menunjuk ke arahnya. Dan pria muda tadi pun berjalan ke arahnya. Ratih pun berdiri.
"Atas nama Nur Ratih?" Tanya pria itu sambil membaca biodata Ratih di berkas yang ia pegang.
"Iya pak, itu saya."
"Baiklah kamu tanda tangani kontra kerja ini," ucap pria itu sambil menyodorkan berkas dan bolpoin.
Ratih nampak gelagapan dan menerima berkas itu. Sebelum menanda tangani berkas itu, Ratih membaca satu persatu kalimat yang tertulis disana. Jangan sampai baru sehari di ibu kota ia sudah kena tipu, ia harus berhati-hati. Setelah semuanya tampak normal, ia pun menandatangani berkas itu. Kontrak kerja itu umum seperti pekerja rumah tangga pada umumnya, Ratih dikontrak selama dua tahun dan bisa diperbaharui menjelang masa kontraknya berakhir.
Saat membubuhkan tanda tangan, Ratih salah fokus dengan nama seseorang yang berada di seberang namanya. Ia yakin itu adalah nama sang majikan.
Nathaniel Ryker?
Di dalam hati Ratih bertanya-tanya bagaimana cara menyebut nama itu. Namanya sangat sulit untuk lidah kampung seperti dirinya. Dan nama itu, tidak mungkin kan dimiliki oleh seorang pria tua. Sepertinya majikannya memiliki darah campuran bila dilihat dari namanya.
"Ini berkasnya," ucap Ratih sambil menyerahkan berkas itu.
"Kalau begitu kita berangkat sekarang."
Ratih pun berjalan mengikuti pria itu, karena merasa tidak nyaman akhirnya ia memilih duduk di kursi belakang. Ini sebuah perasaan baru bagi Ratih, naik mobil bagus dan menikmati pemandangan baru yang belum pernah ia rasakan. Ratih berjanji dalam hati, jika nanti ia sudah sukses, ia pasti akan mengajak ibunya untuk berjalan-jalan disini.
Akhirnya mobil yang Ratih tumpangi sampai di sebuah gerbang yang cukup mewah. Mobil itu nampak berhenti sebentar menunggu gerbang itu terbuka secara otomatis. Ratih pikir rumah majikannya dibelakang gerbang itu, ternyata salah, ia harus menempuh perjalanan melewati taman dan pohon-pohon yang cukup panjang baru bisa sampai rumah majikannya.
Ratih tidak berkedip saat menatap betapa megahnya rumah itu, sudah seperti kerajaan di cerita Disney. Ia merasa aneh ternyata ada rumah seluas ini di ibu kota.
"Silahkan masuk, tugas saya selesai," ucap pria itu lalu meninggalkan Ratih yang masih berdiri termenung di depan teras pintu utama rumah itu.
Ratih menyadarkan dirinya, ini bukanlah saat yang tepat untuk bersikap bodoh, ini adalah waktunya untuk bekerja. Ratih pun menaiki anak tangga di depannya dan berjalan ke arah pintu utama.
Ayo Ratih, kamu bisa!
Baru sampai di rumah mewah yang sudah jelas bukan miliknya, Ratih merasa kagum dengan interior yang ada di sana. Satu langkah masuk dari pintu utama sudah membuat mulutnya menganga lebar. Disana ia disambut oleh tangga besar yang naik entah menuju kemana. Ratih bertanya-tanya dalam hatinya, apakah pemilik rumah ini adalah seorang pangeran bangsawan, bagaimana bisa seseorang memiliki rumah bak istana seperti ini. Kalau di kampungnya, pasti si pemilik rumah sudah dipuja-puja oleh tetangganya.
"Dengan Ratih?"
Kepala Ratih langsung menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat seorang wanita muda yang mungkin usianya tidak jauh dengannya tengah berjalan ke arahnya sambil tersenyum. Kenapa Ratih bisa tahu kalau wanita itu adalah seorang pelayan, alasannya karena pakaian wanita itu. Wanita itu memakai pakaian pelayan hitam putih seperti di film-film dengan rambut yang tergelung. Sudah tidak heran sebenarnya, tidak mungkin kan rumah seperti istana ini memiliki pelayan yang pakaiannya biasa, pasti harus berseragam.
"Namamu Ratih?" Sekali lagi wanita itu membuyarkan batin Ratih yang sibuk bersuara.
"Iya nama saya Ratih, salam kenal," jawab Ratih sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. Hari pertama bekerja harus ramah pikirnya.
Kening wanita itu nampak berkerut namun segera membalas uluran tangan Ratih, "Salam kenal."
"Mbaknya?" Ratih ragu-ragu untuk bertanya.
Kalau di kampung sudah biasa untuk menanyakan nama dari orang yang baru ditemui, bahkan lebih dari itu, kadang malah sampai bertanya tentang alamat, rumahnya dekat dengan rumah siapa, anak, cucu, pekerjaan, dan hal lain yang sampai bingung mau dijawab yang mana dulu.
Wanita itu nampak tersenyum, "Aku Sofia."
"Oh Princess Sofia?"
Sofia pun tidak bisa menyembunyikan gelak tawanya mendengar ucapan Ratih. Sedangkan Ratih otomatis bingung mau merespon seperti apa, yah walaupun ia kudet tentang berita-berita trending, namun soal kartun mana mungkin tidak ada yang mengenal putri Sofia, seorang putri kerajaan yang katanya cuma anak angkat.
"Maaf mbak tadi saya cuma bercanda," ucap Ratih tidak enak.
Sofia menggeleng, "Tidak apa-apa, ternyata kamu tipe orang yang humoris."
Ratih mengiyakan dalam hati. Ia memang perempuan yang humoris dan cenderung manja. Namun perlu digaris bawahi, itu hanya untuk orang yang membuatnya merasa nyaman. Kalau ia merasa tidak nyaman, pasti tidak akan sehumoris seperti yang ia tunjukkan kepada Sofia.
"Oh iya, panggil saja saya Sofia, supaya lebih akrab."
"Sofia ya? boleh juga." Ratih tersenyum.
"Baiklah, ayo aku tunjukkan kamar kamu." Sofia memimpin jalan dan Ratih mengikuti dari belakang.
Selama melangkahkan kakinya, kepala dan mata Ratih tidak berhenti berputar, ia melihat-lihat apa saja yang ada di sekelilingnya. Banyak lorong-lorong dan pintu-pintu yang tertutup di lantai satu rumah itu. Di sepanjang perjalanan ia bisa melihat beberapa pelayan sedang melakukan pekerjaannya. Saat melewati dapur, Ratih pikir kamarnya di samping dapur, namun ternyata salah, ia harus berjalan lagi kebelakang melewati lorong dengan kaca besar yang menunjukkan sebuah bangunan diantara luasnya taman dan pohon-pohon lebat.
Ratih mengikuti Sofia yang membuka pintu diujung lorong yang baru saja mereka lewati dan keluar dari bangunan utama rumah itu. Dan disinilah Ratih akan tinggal, di sebuah paviliun yang letaknya di samping barat rumah utama. Bukan hanya Ratih yang tinggal di paviliun itu, namun semua pelayan juga tinggal disana. Jadi, tentu saja paviliun itu ukurannya cukup besar.
Katanya memang itu adalah tempat tinggal pelayan, namun sudah jelas lebih bagus daripada rumahnya yang berada di kampung. Sofia membukakan pintu paviliun yang lagi-lagi membuat Ratih kagum. Ia pikir interiornya biasa saja, namun ternyata sama bagusnya dengan rumah utama. Baru masuk saja sudah disambut dengan ruang tamu bersofa mewah dan lampu gantung yang sudah jelas bisa membiayai hidupnya selama beberapa tahun.
"Awas nanti lalat masuk," ucap Sofia sambil terkekeh.
Ratih tersenyum malu-malu, "Ini benar rumah pelayan? Apa tidak terlalu bagus?"
"Yah kalau dibandingkan dengan istana utama tentu saja cuma puingnya saja."
"Istana?" Ratih bertanya dalam hati.
Sofia mengajak Ratih untuk mengelilingi isi paviliun tersebut, "Paviliun ini ada ruang tamu sama dapur yang bersebelahan," jelas Sofia sambil berjalan ke arah dapur.
"Jadi kita bebas disini?" Tanya Ratih.
Sofia mengangguk, "Ini tempat kita, jadi kita bebas menggunakannya, untuk makanan dan minuman semuanya gratis. Ayo aku tunjukkan bagian kamar."
Di seberang sana terdapat jejeran pintu-pintu yang tertutup yang Ratih tebak adalah kamar-kamar yang ditempati pembantu disini.
"Di paviliun ini ada lima kamar mandi, tiga disini dan dua lagi ada dibelakang paviliun, jadi kalau ramai biasanya mereka memakai kamar mandi yang letaknya di sebelah dapur istana timur, dan juga harus rajin bangun pagi supaya tidak terlalu lama antri," jelas Sofia.
"Nah ini kamar kita," ucap Sofia setelah membuka salah satu pintu kamar. Disana total ada empat pintu kamar.
Ratih bisa melihat bahwa disana ada empat ranjang tingkat dan kamarnya tidak terlalu luas namun juga tidak terlalu sempit, "Ada 8 orang disini?"
"Iya betul, sebenarnya sebelum kamu diterima bekerja disini, ada satu pelayan yang dipecat, jadinya sekarang kamu yang menempati kamar ini."
"Dipecat?"
"Nanti aku janji untuk cerita, kalau aku cerita sekarang takutnya malah membuat kamu pesimis, padahal kan ini hari pertama kamu bekerja."
Ratih mengangguk mengerti, "Ranjang aku yang mana?"
"Yang ini dibawah aku." Sofia menunjuk salah satu ranjang, "Oh iya itu ada pakaian pelayan yang sudah aku siapkan, nanti kamu pakai itu terus langsung ke istana utama untuk melakukan pekerjaan kamu."
Ratih meletakkan tas besarnya lalu mengambil lipatan pakaian di ranjang itu, "Terima kasih, Sof."
"Sama-sama."
"Tugas aku?"
"Aku lupa buat menjelaskan apa saja tugas dan peraturan yang ada di rumah ini. Total pelayan disini adalah 32 pelayan, kamu lihat kan tadi ada empat kamar, dimana setiap kamar diisi 8 orang, dan ada pembagian tugas tersendiri di setiap kamar. Khusus dua kamar di bagian kebersihan dan kebetulan kamar kita masuk bagian kebersihan. Kamar lainnya bertugas di bagian dapur dan semua persoalan mengenai barang yang masuk dan barang yang keluar di rumah ini. Lalu sisa satu kamar lagi yang bertugas di bagian taman."
"Bangunan di rumah ini pembagian yang berbeda. Yang kita tempati saat ini namanya adalah istana luar khusus pelayan. Ada istana timur yang terdiri dari dua lantai, tempat dapur yang kita lewati tadi yang biasanya digunakan para pelayan untuk beristirahat atau istilahnya sebagai basecamp kita. Di istana timur ada perbedaan tersendiri yaitu ada meja makan khusus Tuan dan khusus pelayan. Lalu tempat yang pertama kali kamu lihat waktu kamu datang tadi adalah istana utama yang terdiri dari tiga lantai. Istana utama biasanya untuk penyambutan tamu atau rekan bisnis Tuan, karena disana ada ruang tamu untuk para kolega Tuan. Intinya jantung utama rumah ini adalah di istana utama. Kamar Tuan juga berada di istana utama di bagian lantai teratas, kamu tenang saja karena disini ada lift. Dan yang terakhir ada istana barat yang terdiri dari dua lantai, sebenarnya ini termasuk tempat yang terlarang."
"Tempat terlarang?" Ratih penasaran.
Sofia menyuruh Ratih untuk mendekat, "Istana barat sama sekali tidak boleh dikunjungi oleh siapapun, bahkan para pelayan senior tidak tahu bagaimana bentuk dan isi di istana barat dan hampir semuanya penasaran sebenarnya rahasia apa yang Tuan sembunyikan sampai melarang orang lain untuk kesana."
"Apa ada orang yang pernah melanggar peraturan itu?"
"Sebenarnya aku tidak mau cerita soal pelayan yang dipecat tadi, tapi karena kamu bertanya, baiklah akan aku jelaskan apa yang terjadi di rumah ini beberapa minggu lalu."
"Jadi pelayan yang aku gantikan itu dipecat karena nekat ke istana barat?"
Sofia mengangguk, "Betul, waktu itu memang Tuan sedang perjalanan bisnis ke Jerman dan sebenarnya memang Tuan sering tidak berada di rumah, seperti saat ini."
"Lalu bagaimana bisa ketahuan?"
"Waktu itu kami yang berada di kamar ini begitu terkejut dengan kepulangan Tuan yang begitu tiba-tiba di tengah malam. Seisi kamar yang sedang tertidur pulas langsung terkejut mendengar tembakan dari rumah utama. Dan tambah terkejut lagi saat tidak melihat pelayan yang bekerja belum genap dua minggu itu tidak berada di kamar."
"Jadi tembakan tadi?" Tanya Ratih curiga.
"Betul, semua pelayan langsung berhamburan ke rumah utama, dan kami semua terkejut melihat pelayan tadi sudah tergeletak penuh darah di bawah tangga istana utama. Setelah itu Tuan langsung menunjuk kami semua dengan senjata yang Tuan bawa, sambil berteriak mengancam untuk tidak mendekati istana barat kalau tidak mau bernasib sama dengan pelayan itu. Sampai sekarang rasanya masih merinding kalau mengingat peristiwa itu. Semua pelayan tidak ada yang berani membahas ini dan ya bisa dikatakan hanya pelayan itu yang tahu apa rahasia yang ada di istana barat. Intinya jangan menceritakan hal ini kepada orang lain, atau tidak kamu akan celaka." Sofia memperingatkan Ratih.
Ratih langsung bergidik ngeri setelah mendengar apa yang diceritakan Sofia. Baru saja ingin menata hidupnya dan mencari pekerjaan yang dapat membantunya dan ibunya, ternyata ia malah masuk ke kandang harimau.
"Sepertinya aku salah bekerja di tempat seperti ini," ucap Ratih ngilu.
"Tidak salah kok, asalkan kita bekerja sesuai tugas kita dan aturan yang ada, pasti kita akan baik-baik saja, apalagi Tuan menggaji kita dengan jumlah yang lumayan besar, Tuan juga jarang di rumah dan jarang mengawasi pekerjaan kita, jadi sebenarnya asal sesuai aturan, kita sama sekali tidak terbebani dengan pekerjaan ini," ucap Sofia agar Ratih bisa sedikit tenang.
Ratih menghembuskan nafasnya kasar. Benar juga apa yang dikatakan Sofia, asalkan ia taat aturan pasti tidak akan terjadi apa-apa, "Disini majikannya cuma Tuan saja?"
"Betul, kita cuma punya satu majikan."
"Rumah sebesar ini dihuni satu orang saja?" Tanya Ratih tidak percaya.
Sofia menggeleng, "Bukannya kita juga tinggal di rumah ini, jadi jika dihitung bukan hanya Tuan yang tinggal disini."
"Maksud aku, apa Tuan sekaya itu?"
"Yah cukup kaya untuk tujuh turunan," jawab Sofia sambil terkekeh, "Sudah kamu ganti pakaian dulu, lalu susul aku di istana utama untuk bersih-bersih," ucap Sofia lalu berjalan menuju pintu kamar. Namun tidak lama ia berbalik lagi.
"Oh iya aku lupa ada aturan lain, batas kita untuk di rumah utama adalah jam sepuluh malam, baik ada Tuan maupun tidak, jam sepuluh malam kita sudah harus keluar dari istana utama lalu kembali lagi ke istana utama besoknya pukul 7 pagi," ucap Sofia lalu keluar dari kamar itu.
Selepas Sofia pergi, Ratih meluruhkan tubuhnya di lantai kamar itu. Baru pertama bekerja ternyata sudah membuatnya lemas hanya karena kisah tentang Tuan-nya yang Ratih dengar adalah seorang majikan yang kejam. Ratih yakin kalau ini novel pasti majikannya adalah tokoh antagonis yang dibenci semua orang.
Mengingat masa kontraknya saja sudah membuat Ratih pusing. Banyak hari yang perlu dilewati agar kontraknya berakhir. Ratih bersumpah tidak akan memperbaharui kontrak di tempat menyeramkan ini. Lagipula bekerja selama dua tahun disini sudah cukup untuk membayar hutang si juragan dan mengirim uang untuk ibunya. Sedangkan untuk kebutuhan mendatang akan ia pikirkan nanti. Berpikir tentang ibunya, Ratih pun teringat untuk mengabari ibunya.
Ratih menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri saat jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Ia bangun dan memutuskan pergi ke kamar mandi. Ini adalah malam pertamanya menempati kamar yang cukup asing baginya. Karenanya ia masih butuh waktu untuk beradaptasi agar bisa tidur dengan nyenyak.
Setelah menyelesaikan kegiatannya di kamar mandi, Ratih pun menutup pintu kamar mandi. Saat hendak kembali ke kamarnya, entah darimana rasa penasaran dalam dirinya bangkit. Kakinya melangkah ke tirai merah yang menutup kaca besar di paviliun itu. Ratih memutar bola matanya untuk melihat sekeliling paviliun dari balik kaca.
Gelap.
Taman di samping paviliun itu sungguh gelap, sama sekali tidak ada kehidupan. Hanya beberapa lampu taman yang memberikan cahaya, ditambah bulan yang sedang bersembunyi entah dimana.
Srek
Ratih terkesiap mendengar suara gesekan daun akibat ulah dari seekor burung yang terbang dari salah satu pohon di samping paviliun itu. Dari penglihatannya, burung itu nampak mengepakkan sayapnya ke arah barat menuju bagian rumah yang sama sekali tidak disinari lampu. Ya, itulah istana barat yang diceritakan Sofia sebelumnya. Bangunan itu terlihat sangat kontras daripada bagian rumah yang lainnya. Bagaimana tidak, pencahayaan di sana lebih remang-remang bila dibandingkan dengan area sekitarnya.
Mungkin Tuan majikan memberikan daya rendah di sana, supaya lebih hemat listrik, batin Ratih.
Ratih juga yakin bahwa biaya listrik di rumah ini bisa untuk membiayai listrik ratusan rumah di kampungnya. Sudahlah, daripada memikirkan hal yang tidak penting, lebih baik ia berusaha untuk tidur agar tidak telat bekerja. Ratih pun menutup tirai merah itu, lalu kembali ke kamarnya. Sesampainya di kamar, ia langsung membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya.
"Ratih."
Ratih merasa tubuhnya sedang di goyangkan oleh seseorang. Ratih pun membuka matanya dengan susah payah sebab cahaya terang tengah menusuk matanya yang sudah terpejam beberapa jam yang lalu.
"Ratih bangun, ayo berangkat kerja."
Ratih berusaha membuka matanya lebar dan muncul lah Sofia yang sudah lengkap dengan seragam pelayannya. Ia pun bangun dan membuka selimut yang membungkus tubuhnya.
"Ini jam berapa?" Tanya Ratih dengan suara serak khas bangun tidur.
"Jam 7 kurang dua puluh menit."
"HA?"
"Ayo cepat siap-siap."
Ratih melihat ke sekeliling kamar, "Yang lainnya kemana?" Tanya Ratih sebab di kamar itu hanya ada mereka berdua.
"Semuanya sedang sarapan di istana timur, kemarin kan aku sudah bilang kalau di sini dibedakan antara meja makan Tuan dengan meja makan pelayan, dan setiap pagi juga pelayan bagian dapur akan memasak sarapan untuk pelayan, kalau Tuan sedang di rumah maka pelayan akan memasakkan beberapa menu yang berbeda antara sarapan kita dengan sarapan Tuan, dan semua gratis tidak dihitung gaji. Makanya sebelum jam 7 pagi kita harus sudah siap."
"Kalau dipikir-pikir, Tuan sebenarnya sangat memanusiakan kita," ucap Ratih sambil menimbang-nimbang apakah majikannya termasuk tokoh protagonis atau antagonis.
"Yaa semua hal di dunia tentu saja ada kelebihan dan kekurangannya, sudah ayo siap-siap."
Dalam secepat kilat, Ratih pun menyelesaikan ritual mandinya lalu memakai baju pelayannya. Padahal Ratih di kampungnya selalu rajin bangun pagi, tapi entahlah di tempat baru ini, ia susah tidur dan akhirnya malah bangun kesiangan. Untuk wajah ia tidak terlalu peduli, lagipula ia sedang bekerja bukan sedang jalan-jalan. Ratih lebih memilih menggunakan bedak padat secukupnya lalu memoleskan lip balm agar bibirnya lembab.
Ratih dan Sofia pun menuju ke istana timur untuk sarapan bersama dengan yang lainnya. Sesampainya di meja makan khusus pelayan, Ratih pun mengikuti Sofia untuk mengambil piring dan makanan secukupnya. Sebenarnya Ratih adalah tipe orang yang suka makan, tapi karena ia masih baru disini, ia merasa segan dengan yang lainnya.
Ratih dan Sofia duduk bersebelahan dan fokus menikmati makanan mereka masing-masing. Ratih melihat ke sekelilingnya dengan canggung. Jujur saat kemarin sore mulai bekerja disini, semuanya berjalan lancar, pekerjaannya juga mudah, sebab di kampung ia sudah menguasai urusan rumah tangga. Namun yang mengganjal adalah para pelayan disini agak kurang ramah bila dibandingkan dengan Sofia yang suka sekali mengajaknya mengobrol.
Saat bertanya kepada Sofia tadi malam, para pelayan disini bersikap dingin karena adanya perilaku senioritas yang sudah turun temurun. Sofia juga mengatakan bahwa dulu saat ia masih baru bekerja disini, ia juga tidak memiliki teman sama sekali, namun seiring berjalannya waktu, Sofia bisa diterima dengan baik oleh para pelayan yang lain. Sofia memberikan saran, walaupun yang lainnya dingin namun kita harus tetap bersikap ramah agar mereka bisa menerima pelayan yang tergolong junior, seperti Ratih ini.
Setelah selesai sarapan, semua pelayan berhamburan untuk mengumpulkan piring bekas makanan menjadi satu tumpukan panjang. Tugas mencuci piring adalah tugas pelayan kebersihan seperti dirinya, jadi karena ia masih baru disini, Ratih pun berusaha bersikap rajin dan menawarkan diri untuk mencuci semua piring dan beserta alat-alat dapur yang tadi digunakan pelayan bagian dapur.
"Perlu aku bantu?" Tawar Sofia.
Ratih menggeleng, "Aku bisa kok, lagipula bukannya harus mencari muka didepan mereka semua," ucap Ratih sambil terkekeh.
Sofia juga ikut terkekeh dan memberikan dua jempol kepada Ratih, lalu ia pun pamit untuk mulai bekerja.
Dari punggungnya, Ratih bisa merasakan tatapan dingin dari para pelayan bagian dapur. Namun ia tidak peduli, ia hanya fokus dengan tumpukan piring yang ada didepannya.
"Semua sudah sarapan?"
Ratih membalikkan badannya saat mendengar suara seorang wanita. Wanita itu hampir mendekati usia ibunya namun memiliki tampilan yang modis. Ratih bertanya-tanya siapakah dia, sebab wanita itu tidak mengenakan pakaian pelayan seperti yang ia pakai, wanita itu memakai jas wanita dengan rambut yang tergulung.
"Semuanya sudah sarapan dan sudah mulai bekerja," jawab salah seorang pelayan dapur.
Wanita itu tampak tersenyum lugas dan menganggukkan kepalanya, "Baiklah semuanya silahkan lanjutkan pekerjaan kalian," ucap wanita itu lalu pergi dari area dapur.
Ratih sebenarnya ingin bertanya kepada pelayan yang berada di sana siapa kah wanita itu, namun karena tatapan dingin mereka, lebih baik ia mengurungkan niat tersebut.
Setelah cuciannya selesai, ia pun mengambil kain lap untuk membersihkan meja makan yang mereka gunakan tadi. Lalu ia mengecek apakah masih ada debu yang tertinggal. Ratih menduga bahwa Tuan-nya adalah orang yang suka kebersihan, terbukti dengan rumahnya yang selalu dibersihkan setiap harinya, jadi ia harus memastikan semuanya kinclong dan mengkilap.
Akhirnya tugas membersihkan dapur selesai, ia juga telah menyapu dan mengepel area dapur. Ratih menatap hasil kerja kerasnya, ia pun tersenyum bangga, ternyata bekerja kalau tidak memperdulikan pandangan orang lain sangat lah nyaman. Kemudian ia pun menyusul Sofia untuk membersihkan istana utama di lantai yang paling teratas. Jujur ia masih takut bila naik lift sendirian, apalagi di kampungnya tidak ada bangunan yang memilik lift di dalamnya, jadi ia takut salah pencet dan malah terjebak di dalamnya. Jadilah ia sekarang ini yang sedang mengatur nafasnya diantara anak-anak tangga yang meraung-raung minta dinaiki.
"Kamu naik tangga?" Tanya Sofia yang baru saja keluar dari salah satu kamar.
Ratih menyeka keringatnya, "Aku tidak bisa naik lift."
Sofia menunjukkan wajah sedihnya, "Baiklah nanti aku ajarkan, kamu minum dulu." Sofia memberikan air mineral yang ia bawa sebelumnya.
"Terimakasih." Ratih minum dengan tergesa-gesa.
"Seharusnya tadi kamu bilang kalau kamu tidak bisa naik lift, supaya aku bisa jemput kamu dibawah."
"Tenang saja, aku tidak apa-apa, ini sprei-nya?"
"Iya, sekarang aku mau ke bawah untuk memasukkannya ke mesin cuci, kamu lanjutkan bersih-bersih di ruangan lainnya, oh iya di sini ada 4 ruangan, 2 kamar sudah aku bersihkan, tinggal ruang kerja Tuan dan kamar Tuan di ujung lorong sana," ucap Sofia sambil menunjuk lorong panjang yang agak gelap.
"Oh iya tadi dibawah ada seorang wanita memakai pakaian jas, tampilannya modis, dan kelihatannya semua pelayan hormat kepada wanita itu."
"Ouh pasti Nyonya Adhisti, beliau kepala pelayan di sini, kamu juga harus hormat dengan beliau, Nyonya Adhisti adalah penghubung kita dengan Tuan dan segala urusan rumah tangga di sini yang mengurus adalah Nyonya Adhisti. Baiklah, sudah pertanyaannya, ayo sekarang mulai bekerja."
Ratih mengangguk patuh lalu mendorong troli yang berisi alat kebersihan untuk melewati lorong panjang itu. Angin di sini terasa lebih dingin dibanding dengan tempatnya mengobrol dengan Sofia tadi. Sesampainya di ujung lorong, Ratih bisa melibat ada dua pintu yang saling berseberangan. Ia bingung harus membersihkan ruangan yang mana dulu. Akhirnya ia lebih memilih pintu yang ukurannya lebih kecil dibanding dengan pintu yang satunya. Ratih menebak ruangan itu adalah ruangan kerja majikannya.
Dan benar, ruangan itu berisi meja kerja berukuran sedang, ditambah sofa kecil didepannya, dan sebuah jendela besar yang menyinari ruangan itu. Katanya memang ruang kerja, namun kalau dirumahnya ini adalah ruang tamu, bahkan lebih besar ruang kerja ini daripada ruang tamu di rumahnya.
Ratih pun masuk dengan pelan sambil mendorong troli yang berisi alat-alat kebersihan tadi. Dan betapa terkejutnya ia saat menoleh ke kanan, Ratih melihat sebuah bagian yang sangat membuatnya kegirangan. Ia pun melepaskan trolinya dan berlari ke bagian kanan ruangan itu.
Perpustakaan pribadi, yap, itulah yang saat ini dilihat Ratih. Walaupun Ratih berasal dari kampung, bukan berarti ia tidak bisa baca tulis. Walaupun kesulitan ekonomi, ia masih bisa tamat sampai jenjang SMA dengan beasiswa yang diberikan pemerintah. Di usianya yang baru menginjak 21 tahun ini, tentu bau-bau buku masih menjadi favoritnya. Dulu semasa sekolah ia suka membaca buku di perpustakaan sekolah, itupun hanya meminjam selama beberapa hari, untuk membeli buku masih sangat sulit kala itu, sebab kesulitan ekonomi yang menyerang keluarganya.
Ratih tentu saja merasa kagum dengan apa yang dilihatnya saat ini, sebab perpustakaan yang ia lihat saat ini lebih besar bahkan sangat jauh bila dibandingkan dengan perpustakaan milik sekolahnya dulu. Perpustakaan di ruang kerja majikannya ini sangat menjulang tinggi yang jumlah bukunya bahkan Ratih tidak bisa menghitungnya.
Karena penasaran, Ratih pun menyentuh salah satu buku yang warna sampulnya terlihat mencolok. Hatinya berteriak agar ia mau mengambil buku itu, namun karena mengingat ini adalah ruangan majikannya, maka dari itu tidak akan sopan bila mengambil barang tanpa seizin majikannya.
Ratih pun dengan langkah berat meninggalkan area itu lalu mengambil alat-alat kebersihan untuk membersihkan ruangan itu. Ratih berhenti sejenak di tengah-tengah aktivitasnya, sebab ruangan ini sangat besar sehingga membutuhkan tenaga yang ekstra.
"Akhirnya selesai," ucap Ratih sambil merapikan alat kebersihannya.
Kemudian ia pun melanjutkan tugasnya di ruangan sebelah yaitu kamar milik majikannya. Namun sebelum menutup pintu ruangan itu, Ratih kembali melihat area buku-buku tadi, ia berpikir kapan ada kesempatan untuk membaca buku-buku yang ada di sana.
"Sangat tidak mungkin," lirih Ratih.
Ia pun mendorong troli alat kebersihannya untuk masuk ke kamar majikannya. Baru membuka pintu, Ratih langsung bisa mencium aroma maskulin yang khas dari kamar itu. Sungguh, sangat memabukkan. Ia jadi penasaran bagaimana tampang majikannya itu, sebab di rumah ini sama sekali tidak ada foto-foto manusia, yang ada hanya lukisan-lukisan hewan dan tumbuhan.
Kesan pertama saat Ratih masuk ke kamar itu adalah menurutnya majikannya itu penyuka warna hitam. Kamar majikannya mayoritas berwarna gelap, sangat kontras bila dibandingkan dengan warna istananya ini.
Ratih pun mulai mengganti sprei ranjang milik majikannya itu. Ia bingung dimana letak sprei yang baru. Tadi ia lupa untuk bertanya kepada Sofia. Akhirnya ia berputar-putar mengelilingi kamar itu untuk mencari keberadaan sprei yang baru. Ia kemudian masuk ke kamar mandi majikannya, mungkin saja ada di sana. Kamar mandi majikannya sama saja berwarna gelap, namun tetap saja lebih mewah daripada kamar mandi di rumahnya.
Nihil, di kamar mandi tidak ada, akhirnya ia menelusuri area lainnya, yaitu walk in closet.
Di sana juga tidak ada. Alhasil ia membuka lemari-lemari kecil yang ada di pintu masuk. Dan yah, ternyata ada disitu. Kemudian Ratih memasang sprei itu lalu melanjutkan aktivitasnya untuk membersihkan seluruh area kamar.
"Huh capek," ucap Ratih sambil menyeka keringatnya, akhirnya tugasnya selesai.
Brak
Baru saja merapikan alat kebersihannya, Ratih dikejutkan dengan suara jendela yang tertutup tirai putih di dekat ranjang yang saling bertabrakan karena ulah angin yang lewat.
"Ternyata tidak dikunci, bagaimana kalau ada maling," ucap Ratih lalu menutup jendela itu.
Namun pandangan Ratih terkunci pada bangunan di seberang sana. Yap, itulah istana barat. Lagi-lagi ia dibuat penasaran, sebenarnya apa yang disembunyikan majikannya di sana.
"Ternyata dari kamar ini bisa melihat dengan jelas bangunan itu," ucap Ratih baru sadar.
Daripada memikirkan yang tidak-tidak, akhirnya ia memilih untuk keluar dari kamar majikannya. Baru beberapa langkah dari pintu kamar, Sofia tampak datang dan membantu membawakan sprei dari kamar majikannya, lalu mereka bersama-sama turun dengan menggunakan lift.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!