DORRR
DORRR
"Cepat pergilah sebelum mereka menemukanmu!!" ucap wanita paruh baya itu kepada anak perempuannya.
"Tapi bagaimana dengan ibu dan ayah? aku tidak bisa meninggalkan kalian....hiks.....hiks" ucapnya dengan nada penuh kesedihan dan derai air mata yang mengalir deras.
"Jangan fikirkan kami, lebih baik kau segera pergi sayang" Wanita paruh baya itu memeluk putri semata wayangnya dengan tangisan tersedu-sedu.
"Tapi berjanjilah padaku kalian akan baik-baik saja dan segera menyusulku...." ucapnya dengan tatapan sendu yang di balas anggukan oleh ibunya.
"Tunggulah bawalah ini sebagai bekalmu nanti" wanita itu memberikan beberapa perhiasan serta beberapa gepok uang untuk putrinya yang ia sudah siapkan di sebuah ransel.
DORR
DORR
Suara tembakan semakin terdengar jelas membuat perempuan muda itu semakin ketakutan.
"Ayo cepat lewat sini!, jalan ini akan menuju ke hutan, berlarilah secepat mungkin agar mereka tidak bisa menemukanmu!"
"Tapi......"
"LARI!!! CEPAT!!!!" Wanita paruh baya itu mendorong keras anaknya agar segera keluar, gadis itu segera berlari dengan cepat menuju jalan yang telah di tunjukkan oleh sang ibu yaitu hutan.
"Hiduplah dengan tenang anakku, maafkan ibu dan ayah" wanita paruh baya itu menatap kepergian sang anak, dan sampai beberapa saat ia membalikan tubuhnya dan mengambil sebuah pistol di laci yang berada di ruangan itu.
Ia berjalan menuju orang-orang yang sedang beradu tembak di luar, "Baj****an MATI KALIAN SEMUA!!!" umpat wanita paruh baya itu sembari menembaki semua orang berbaju hitam itu, matanya memerah padam serta nafasnya yang memburu menahan emosi.
DORR
"Aghhh....." teriak wanita itu saat ia terkena tembakan tepat di dadanya, nafasnya mulai tersenggal-senggal ia menatap suaminya yang sudah terkapar tak bernyawa, ia segera merayap berusaha menggengam tangan sang suami.
Namun seorang pria tanpan bertubuh tinggi jenjang menginjak kakinya dengan kejam sampai wanita itu memekik kesakitan.
"Agh....ssshh...." wanita itu menoleh ke arah pria yang menginjaknya, seketika wajahnya menunjukkan senyum penuh ejekan.
"Kita lihat apakah kau...... akan menyesal di kemudian hari!!, atau..... kau akan tetap tenang setelah membunuh seorang yang kau anggap musuhmu!!, cihh..... aku baru sadar kau memang hanya seorang pria muda bodoh......yang tidak tau akan kebenaran!!" ucap wanita paruh baya itu dengan amarah yang mendalam.
"Dan ya kuperingatkan satu hal, suatu hari nanti saat kau tau keberanannya aku bersumpah...... kau akan menderita seumur hidupmu!!!, bahkan kau akan sangat amat tersiksa!!!"
Terlihat seringai menyeramkan yang ia tunjukkan saat melihat penderitaan kepada wanita itu seketika luntur dan berganti tatapan tajam serta menyeramkan
"Lihat apakah kau akan mengatakan hal bodoh dan konyol itu lagi setelah bertemu dengan seseorang di neraka sana!" jawabnya dengan lantang dan tegas
"Sudah cukup main-mainnya, sekarang waktunya kau menemani suami tercintamu itu" ucap pria bertubuh tinggi itu dengan seringai iblis penuh kepuasan sembari melangkah pergi meninggalkan wanita paruh baya itu.
"LEDAKKAN TEMPAT INI!!!!" perintahnya kepada seluruh pengawalnya.
BUMM!!!
Tak lama kemudian terdengar suara ledakan hebat yang menghanguskan rumah mewah milik mereka.
Gadis yang tengah berlari seketika menoleh saat melihat kobaran asap hitam serta suara ledakan di belakangnya.
"TIDAK!!!! AYAH!! IBU!!!" teriaknya histeris, ia berlutut dan menangis sejadi-jadinya kala melihat kobaran api serta asap hitam mengepul di depan matanya, tangannya mengepal keras dadanya naik turun, serta wajahnya penuh akan kesedihan dan penyesalan.
"Ayah, Ibu, aku akan membalasnya untuk kalian" Ucapnya dengan menatap tajam kobaran api itu dengan penuh kebencian.
Seorang pria tanpan bersandar di mobil hitamnya sembari menghidupkan cerutunya, ia begitu menikmati pemandangan yang menurutnya luar biasa,
"Bagaimana apa kau puas atas balas dendammu?" tanya seorang pria lain di sampingnya.
"Belum, masih ada satu yaitu anaknya" jawabnya datar.
"Mungkin saja anaknya di sembunyikan di bawah tanah dan ikut terbakar disana"
*
Paginya wanita muda berparas cantik bernama Gizela Arabella yang biasa di panggil Gizel oleh orang-orang di sana, ia terkenal sebagai wanita pintar dan berparas cantik serta suka membantu, dan wanita pekerja keras.
"Gizel hari ini kau harus datang untuk acara ulang tahunku, kau harus menemaniku oke!" Viona Jiera tidak lain adalah teman satu-satunya Gizel yang berada di sana, mereka tidak sengaja bertemu dan akhirnya menjadi sahabat, walaupun terdapat perbedaan antara mereka Viona dan keluarganya juga menganggap Gizel sebagai keluarga.
"Tentu saja aku akan selalu siap menemanimu" ucapnya dengn nada penuh semangat.
Siangnya Gizel datang ke rumah Viona untuk membantu menata beberapa makanan serta perlengkapan untuk acara ulang tahun Viona. Gize juga menata beberapa bunga untuk menjadi hiasan di acara pesta ulang tahun Viona seperti tahun-tahun sebelumnya.
"Sebentar lagi acara akan di mulai, ayo kita pergi kesana"
Viona menarik tangan Gizel menuju tempat inti acara, para tamu juga sudah mulai berkumpul untuk menyanyikan lagu ulang tahun untuk Viona.
Setelah beberapa saat pesta di mulai, keluarga Viona merupakan keluarga yang tergolong kaya di kota itu yaitu Farhat Pavlo, jadi tidak heran jika mereka mengadakan pesta mewah dan yang datang bukan hanya kolega serta orang-orang kaya melainkan penduduk pinggiran kota juga mereka undang agar merasa senang dan memakan makanan yang enak.
Setelah acara pemotongan kue selesai terlihat Gizel hanya duduk dan terdiam melihat pemandangan menari-nari yang ada di depannya namun ia juga sedikit memainkan tepukan untuk menghargai pesta acara Viona.
"Gizel kenapa kau sendirian disini? ayo kita menari!" ajak seorang pria tanpan dan gagah bernama Victor Bram kakak dari Viona.
"Ah kak Victor, aku hanya sedang tidak ingin menari, aku lebih suka menikmatinya" ucapnya dengan senyum indahnya.
Manik mata hazel serta rambut coklatnya membuat Victor seketika terpana saat itu juga, ia tak henti-hentinya menatap Gizel yang nyaris begitu sempurna di matanya
"Emhh kalau begitu aku temani" Victor duduk di samping Gizel dan sesekali melirik wanita cantik di sampingnya yang sedang tersenyum senang.
"Astaga kakak ternyata kau disini bersama Gizel, aku dari tadi mencarimu kau ini!!" ucap Viona yang tiba-tiba datang mengganggu lamunan sang kakak.
"CK!! kau ini mengganggu saja, ada apa?" tanyanya dengan ketus.
"Ayah memanggilmu katanya ada urusan penting yang harus kau lakukan!!"
Victor menghela nafas kasar "Gizel aku pergi dulu sampai jumpa bay" Victor melambaikan tangan kepada Gizel dan di balas lambaian juga.
"Gizel ayo kita makan dulu, aku lapar sekali dari tadi hanya menerima tamu saja" ucap Viona dengan manja.
"Baik prinses ayo kita makan yang banyak sampai kenyang" ucap Gizel dengan penuh semangat, keduanya berjalan menuju makanan sembari bercanda gurau
Setelah beberapa jam berlalu akhirnya pesta selesai juga, setelah berpamitan dengan orang tua Viona dan sahabatnya, Gizel memutuskan untuk segera pulang karena hari sudah mulai larut, awalnya Gizel ingin di antar oleh supir Viona namun saat ia tengah berjalan tiba-tiba pria kekar serta tanpan menghentikan langkahnya dan meraih tangannya.
Gizel terhenti dan menatap ke arah pria itu "Kak Victor kenapa kau disini?" tanya Gizel yang heran melihat Victor di depannya pasalnya ia tadi mendengar jika Victor disuruh ayahnya untuk mengecek gudang pertanian mereka.
"Aku yang akan mengantarmu, lagipula ini sudah malam kita juga searah aku menuju gudang dan kau menuju rumahmu, bagaimana?" ucapnya dengan penuh percaya diri.
Gizel terlihat terdiam sejenak sebenarnya ia akan di antar oleh supir keluarga Pavlo namun sepertinya lebih aman jika pulang bersama Victor, karena jalanan menuju rumahnya sepi dan gelap, ia takut jika ada penjahat yang menghadangnya
"Emh Baiklah kak, aku mau pulang bersama kaka" ucapnya sembari mengembangkan senyumnya.
Victor juga mengembangkan senyumnya saat mendengar jawaban dari Gizel, Ia segera berlari untuk membukakan pintu mobilnya untuk Gizel ia segera menjalankan mobilnya dan mengantar Gizel ke rumahnya.
Beberapa menit perjalanan akhirnya sampai di tempat tinggal Gizel sebuah ruko berlantai dua yang Gizel gunakan sebagai rumah serta tempat usahanya.
*
"Sudah tiga tahun tapi anak dari keluarga ja**ng itu belum ketemu juga!!" ucap seorang pria dengan rekannya.
"Aku bahkan tidak tau siapa anak dari keluarga itu, aku bahkan tidak menemukan foto apapun tentang anaknya"
"Hem apa kau tau anaknya seorang wanitam atau pria?"
"Tidak, aku tidak tahu, bodohnya aku seharusnya sebelum meledakkan tempat itu aku mencari informasi tentang anaknya, dengan begitu keluarga mereka akan benar-benar tidak tersisa" ucap Pria itu sembari mengepalkan tangannya.
*^*
Selamat datang di cerita Athour semoga suka dan minta reviewnya ya😊
DORR!
DORR!
“LARI! CEPAT LARI, GIZEL!”
“JANGAN… JANGAN!!”
DUAARR!
“API!! LEDAKAN!! AWAS!!”
“Akhh…”
Gizel terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Keringat membanjiri kening dan lehernya, tubuhnya gemetar. Ia memegangi kepala yang terasa berdenyut hebat.
“Mimpi itu lagi… Kenapa kejadian itu terus-menerus menghantuiku?” gumamnya lirih.
Tangannya meraba nakas dan meraih sebuah bingkai foto. Di dalamnya, tampak wajah bahagia ayah dan ibunya. Keluarga yang kini hanya bisa ia kenang.
“Ayah, Ibu… Aku rindu. Tiga tahun aku hidup sendiri tanpa kalian… Hiks…” Air matanya luruh begitu saja. Ia tak sanggup menahan rasa kehilangan yang mengendap selama ini. Tragedi yang membuatnya hanya bisa melarikan diri tanpa sempat menyelamatkan siapapun.
Namun, waktu terus berjalan. Gizel mengusap air matanya, menarik napas panjang, dan bangkit dari tempat tidur.
“Astaga! Hari ini ada pesanan bunga! Aku harus segera ke toko.”
Ia membersihkan diri, lalu mengenakan pakaian kerjanya. Beberapa saat kemudian, ia turun ke lantai bawah, menuju toko bunga kecil miliknya—satu-satunya sumber penghasilan yang ia andalkan untuk bertahan hidup.
Toko bunga itu sekaligus menjadi tempat tinggalnya, berada di pinggiran kota besar. Meski kecil, toko itu cukup ramai karena keahliannya dalam merangkai bunga yang cantik dan penuh makna.
Setelah menyantap sarapan seadanya, Gizel mulai sibuk menyiapkan lima pesanan bunga.
TING TONG
Bunyi lonceng di atas pintu berbunyi, menandakan ada pelanggan datang. Gizel segera menyambut dengan senyum ramah.
“Selamat datang, silakan masuk,” ucapnya hangat.
Beberapa pelanggan mengambil pesanan, ada pula yang langsung memilih bunga di tempat. Gizel melayani mereka semua dengan senyum tulus—karena inilah yang bisa ia lakukan untuk bertahan. Merangkai bunga, merangkai harapan.
⸻
Di sisi lain kota, berdiri sebuah mansion megah di pinggir sungai, tak jauh dari hutan lebat. Tak ada satu rumah pun di sekitar sana, karena luas dan privasinya yang terjaga menjadikan mansion itu berdiri sendiri.
“Tuan, saya sudah mengosongkan seluruh jadwal Anda hari ini,” ucap seorang pria berjas hitam.
Seorang pria berdiri membelakanginya, bertubuh tegap, mengenakan setelan hitam elegan, namun wajahnya dingin bak es.
“Kita pergi membeli bunga. Hari ini hari istimewa untuk ibuku,” ucapnya tanpa ekspresi.
“Baik, Tuan,” jawab si pria dengan hormat, lalu segera menyiapkan mobil.
Mereka berkeliling kota, tapi toko bunga langganan mereka sedang direnovasi.
“Tuan, kita sudah menyusuri beberapa tempat, tapi tak ada toko bunga yang buka.”
“Cari sampai ketemu! Aku tidak mau tahu!” Suara tegas dan tajam itu membuat pengawalnya bergidik ngeri.
“Ba… baik, Tuan.”
Mereka pun mulai menyusuri jalanan kecil yang tak biasa dilewati. Sampai akhirnya, sebuah toko bunga kecil di pinggir jalan menarik perhatian sang pria.
“Berhenti. Toko itu saja!”
“Tapi biasanya Anda tidak suka membeli bunga dari toko kecil untuk Nyonya Besar, Tuan,” ucap asistennya ragu.
“Tidak usah banyak bicara. Lakukan saja!”
Mobil diparkir. Sang pria turun seorang diri, berjalan menuju pintu dan mendorongnya hingga bel di atas pintu berbunyi.
Dari balik etalase, muncullah seorang wanita muda dengan senyum lembut yang memikat.
“Selamat datang, Tuan.”
“Aku butuh bunga untuk ibuku,” jawab pria itu singkat.
“Jika berkenan, boleh saya tahu bunga kesukaan beliau?”
“Aku tidak tahu. Buat saja yang paling indah.”
“Baik, tunggu sekitar 20 menit. Apa Anda bersedia menunggu?”
“Hm. Silakan.” Ia duduk di sofa, memperhatikannya dalam diam.
Gizel mulai merangkai bunga dengan tangan terampilnya. Gerakannya lembut, penuh ketelitian, seolah ia sedang menenun cinta dalam setiap kelopak.
Tatapan pria itu tak lepas darinya. Ada sesuatu dari wanita ini—ketenangan, keanggunan, ketulusan—yang membuatnya sulit mengalihkan pandangan.
20 menit kemudian…
“Tuan, ini bunga Anda. Jika ada yang kurang, saya bisa menambahkan.”
Ia menerima buket itu. “Ini bunga apa saja?”
“Yang putih ini Daisy, melambangkan ketenangan dan kebaikan. Yang berwarna biru lembut ini Cammon Bluebell, untuk kelembutan. Dan yang kuning ini Buttercup, melambangkan kebahagiaan.”
Ia terdiam, lalu mengangguk kecil. “Aku suka.”
“Terima kasih, Tuan.”
Ia menyerahkan sejumlah uang yang menurut Gizel terlalu banyak.
“Maaf, Tuan… Ini terlalu banyak. Harga buketnya tak semahal ini.”
“Anggap saja itu bonus, untuk buketnya yang indah.” Ia berbalik dan meninggalkan toko sebelum Gizel sempat membalas.
“Tunggu… Tapi, Tuan…” Gizel sempat mengejar, namun mobil itu sudah melaju pergi.
“Ah… Dia sudah pergi. Akan kukembalikan saat bertemu lagi.” Ia masuk kembali ke tokonya, masih memegang uang itu dengan canggung.
Sementara itu, di dalam mobil…
“Cantik… seperti pemilik bunganya,” gumam sang pria sambil tersenyum miring. Jarang ia memuji wanita, karena hampir semua yang mendekatinya hanya ingin memanfaatkan ketenarannya—baik dalam dunia hitam maupun bisnis legalnya.
Namun kali ini berbeda. Mata Hazel wanita itu begitu menenangkan, suaranya lembut, membuat hatinya yang beku seolah mencair sejenak.
Beberapa saat kemudian, mereka tiba di tempat tujuan.
Ia turun dari mobil dan melangkah menuju sebuah makam bertuliskan nama: Ana Alexandra.
“Ibu, aku datang. Selamat ulang tahun. Lihat, aku membawakanmu bunga yang cantik,” ucapnya lembut, menaruh buket di atas makam itu.
“Seandainya Ibu masih ada, pasti Ibu akan menyukainya. Aku membeli bunga ini dari seorang gadis… ya, dia cantik. Kau pasti terkejut mendengarnya, karena aku hampir tak pernah memuji wanita.”
Ia duduk sejenak di hadapan nisan itu, menatap nama yang terukir di sana dengan mata memerah.
“Ibu, tenanglah di sana. Aku, Arion Aleksei, akan selalu melindungi nama dan kehormatanmu. Aku akan membalas semua yang telah menyakitimu.”
Tangannya mengepal. Nafasnya dalam.
“Aku pergi dulu, Ibu. Aku tak bisa berlama-lama.”
Arion, pria tampan berbalut kekuasaan dan dendam, adalah pemilik kekaisaran bisnis dan dunia hitam. Di balik ketenangannya, tersembunyi sosok kejam yang tak segan menghabisi siapa pun yang menyentuh keluarganya. Sejak ibunya terbunuh oleh seseorang yang ia anggap sebagai keluarga bahkan rekan baik, Arion menjelma menjadi sosok yang bahkan ditakuti oleh para mafia lain.
“Kita pulang sekarang,” ucapnya pada Bruno.
“Baik, Tuan. Tapi… Tuan Charles telah kembali. Ia sedang menunggu Anda di mansion.”
“Aku tahu.”
Tanpa sepatah kata pun lagi, Arion masuk ke mobil. Dan roda takdir pun mulai berputar…
TING! TONG!
Gizel menoleh ke arah pintu, lalu bergegas menuju ruang depan dengan senyuman menyambut. Tapi bukan pelanggan yang datang.
“Kak Victor? Ternyata kau!” sapanya ramah.
“Tadaaa! Surprise!” seru Victor ceria, mengangkat kantong kertas berisi makanan. “Aku bawa makan siang. Kau belum makan, kan?”
Gizel tertawa kecil, memegangi perutnya yang berbunyi pelan. “Waaah… Kakak memang selalu tahu kapan aku lapar.”
“Kalau begitu, ayo makan!” Victor meraih tangannya dan menariknya lembut ke dapur belakang.
“Tunggu, biar aku yang siapkan. Kakak duduk saja.” Gizel buru-buru mengambil piring, sendok, dan mengeluarkan makanan dari kantong satu per satu. Aromanya langsung memenuhi ruangan kecil itu.
“Kakak benar-benar tahu makanan kesukaanku… Ini aromanya luar biasa!” katanya sembari menghirup dalam-dalam.
“Tentu saja. Aku tahu segalanya tentangmu,” balas Victor dengan senyum hangat.
Mereka pun duduk dan menikmati makan siang sederhana namun penuh kehangatan. Obrolan ringan dan tawa kecil menghiasi ruang makan itu. Victor, yang baru Gizel kenal setahun terakhir, adalah kakak dari sahabatnya, Viona. Ia baru kembali dari luar negeri setelah bertahun-tahun menjalankan bisnis keluarga. Sejak pertemuan pertama, Victor langsung jatuh hati pada Gizel, sementara bagi Gizel, Victor telah seperti kakaknya sendiri—selalu ada, perhatian, dan penuh kepedulian.
Namun sayangnya… Victor menginginkan lebih.
⸻
Sementara itu, di sisi lain kota…
Arion melangkah masuk ke dalam mansion megahnya. Di ruang tengah, seorang pria tengah duduk santai di sofa, menyilangkan kaki, dikelilingi oleh beberapa bodyguard.
“Apa kabar, Arion? Aku sudah menunggu cukup lama,” sapa pria itu, Charles Artha, sahabat lama Arion.
“Ke mana saja kau? Kenapa baru kembali ke Rusia?” tanya Arion, nada suaranya berat dan khas, membuat siapa pun yang mendengarnya terpaku.
“Setelah kejadian tiga tahun lalu, aku memutuskan tinggal di Cina bersama orang tuaku. Tapi sekarang aku kembali. Tidak senangkah kau melihat sahabatmu ini?”
Arion mendengus pelan. “Kau pergi begitu saja setelah pembantaian itu. Meninggalkan semua.”
“Jangan bawa-bawa masa lalu, kawan. Hari ini hari pertamaku kembali. Ayo ajak aku bersenang-senang!”
“Kau masih saja seperti dulu. Sudah tahu aku tak suka wanita-wanita murahan itu.”
“Arion… Arion… Kau akan tetap sendiri sampai mati kalau begini. Cobalah bersenang-senang sedikit, nikmati hidupmu, rasakan cinta!” Charles tertawa lepas.
“Jika kau kembali hanya untuk mengejar wanita, silakan. Tapi jangan seret aku ke dalamnya!” Arion berdiri dan hendak pergi.
“Tunggu dulu! Ayo ikutlah, temani aku minum saja. Tak usah ikut bercumbu atau menari. Anggap saja ini penyambutanku.”
Arion berhenti sejenak, lalu menghela napas. “Aish! Baiklah, aku ikut.”
Keduanya pun naik ke mobil mewah milik Arion menuju klub malam eksklusif di pusat kota Moskow. Setibanya di sana, manajer klub langsung menyambut mereka dengan penuh hormat.
“Selamat datang, Tuan Arion, Tuan Charles. Silakan, ruang VIP Anda sudah kami siapkan.”
Mereka masuk ke ruangan luas yang tertata rapi, lengkap dengan minuman mahal dan beberapa wanita cantik dengan pakaian minim berdiri menyambut.
“Ayo bersenang-senang!” seru Charles sambil menepuk lengan Arion.
“Kau bilang tak akan ada wanita,” ujar Arion dengan tajam.
“Tenang, mereka hanya menuang minuman. Jika lebih dari itu… yah, itu urusanku.” Charles duduk, ditemani wanita seksi di sebelahnya.
Arion duduk dengan wajah datar, menyesap minumannya, tidak tertarik sedikit pun dengan wanita di sampingnya yang berusaha menggoda.
“Tuan, kenapa Anda cuek? Apa saya kurang menggoda?” bisik si wanita sambil menyentuh leher Arion.
Tatapan tajam pria itu menusuk.
“Jangan sentuh aku. Atau jarimu akan kupotong. Pergilah. Aku di sini hanya untuk menemaninya minum.”
“Ba… baik, Tuan.” Wanita itu mundur dengan wajah pucat. “Astaga… matanya seperti iblis… hampir saja nyawaku melayang…” gumamnya takut.
“Kenapa kau usir dia?” tanya Charles sambil tertawa.
“Dia mengganggu.”
"Oke oke"
"Emh kau tubggulah disini sebentar kawan.....sepertinya mereka menginginkan lebih" bisik Charles
"Pergilah!" Arion hanya mengiyakan permintaan temannya itu, karena ia sudah hafal dengn tingkah laku Charles sahabat baiknya,
Mereka berteman sejak kecil dan hal itu membuat Arion selalu menghargainya, Charles yang selalu membantunya dalma segala hal bahkan hal yang besar sekalipun,
Charles yang selalu percaya padanya dan selalu membuatnya senang walaupun kelakuannya kadang membuat Arion sedikit kesal.
⸻
Sementara itu…
“Viona, kita mau ke mana?” tanya Gizel di dalam mobil.
“Aku akan ajak kau bersenang-senang. Kau harus coba sekali-sekali. Trust me, it’ll be fun!”
Mobil berhenti di depan sebuah klub malam. Mata Gizel membesar.
“Apa?! Kau ajak aku ke… tempat seperti ini? Kau tahu aku tak suka keramaian!”
“Tenang, kau tidak harus minum alkohol. Aku pesan jus untukmu. Ayo masuk!” Viona menarik tangannya.
“Baiklah… Tapi jangan terlalu malam. Kak Victor bisa marah…”
Sesampainya di bar, mereka memesan minuman. Viona memesan alkohol, sementara Gizel mendapat segelas jus.
“Gizel, coba nikmati hidup sedikit. Jangan terus-terusan ngurung diri dengan bunga-bunga itu.”
Viona larut menari. Gizel duduk diam, merasa asing dengan suasana ramai, lampu kelap-kelip, dan musik yang menggema.
"Gizel kau duduk saja jangan kemana-mana oke, aku ingin bersenang-senang sebentar" ucap Viona
"Tapi...."
"Sudahlah tidak akan ada yang menganggumu, jika ada kau langsung datang padaku"
Viona akhirnya pergi melanjutkan tariannya bersama beberapa pria dan wanita lainnya,
“Tempat ini gila… Pakaian para wanita nyaris tidak menutupi tubuh, dan pria-pria di sini… ihh…” gumamnya.
Tiba-tiba, seorang pria asing duduk di sampingnya.
“Hai, cantik. Sendirian?”
“Ti-tidak. Aku bersama temanku,” jawab Gizel gugup.
“Mau menari denganku?” Pria itu tiba-tiba menggenggam tangannya. Gizel sontak menariknya.
“Maaf, Tuan. Saya harus pergi.”
“Ck, jangan jual mahal. Apa pun yang kuinginkan, akan kudapatkan!”
Gizel berusaha tenang. “Maaf, saya tidak berminat berdansa.”
Namun pria itu mencengkeram lengannya keras hingga ia meringis.
“Lepaskan!” Gizel memukul perut pria itu.
“Agh! Sialan berani kau memukulku!” Pria itu mendorong Gizel dengan keras—hingga tubuhnya menabrak sosok kekar di belakangnya.
BUGH!
Gizel jatuh terduduk. Suara langkah berat terdengar dari atasnya. Ia mendongak.
Tatapan itu…
Tatapan tajam yang tak asing. Dingin. Mengancam.
Arion.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!