Pernahkah kau bertanya-tanya, bagaimana rasanya berdiri di puncak dunia? Apakah menjadi penguasa sejati akan membawa kebahagiaan yang abadi? Jika kau bertanya pada pria ini, ia akan menjawab dengan dingin, bahwa itu tidak sepenuhnya benar.
Namanya Boqin Changing. Seorang pendekar yang telah menapaki setiap lembah penderitaan dan mendaki setiap tebing pengkhianatan. Kini, ia berdiri di puncak kekuatan dunia, tak tersentuh, tak terkalahkan.
Akan tetapi, di balik segala kebesarannya terpatri luka yang tak pernah sembuh. Sejak kecil, Boqin Changing hanyalah anak biasa dengan bakat yang pas-pasan. Di tengah derasnya lahir para jenius beladiri dan anak berbakat, dirinya terus tertinggal. Ia belajar lebih keras, berlatih lebih lama, berharap bisa mengejar ketertinggalannya.
Tapi dunia tak pernah adil. Yang ia dapat justru sebaliknya, penghinaan, kegagalan, dan pengkhianatan. Luka-luka itu terus terbawa, bahkan setelah ia menjadi sosok yang paling ditakuti.
Mengenai keluarganya, masa lalu itu sudah lama menjadi bayangan yang menyiksa. Ketika usianya baru menginjak enam belas tahun, desa tempat tinggal keluarga Boqin Changing dibantai habis oleh sekte aliran hitam. Ia satu-satunya orang dari keluarganya yang selamat, bukan karena kuat, tapi karena kebetulan ia sedang berada di sekte tempat ia belajar ilmu bela diri.
Tragedi itu menghancurkannya. Tiga tahun lamanya, Boqin Changing mengurung diri. Tak berlatih, tak banyak bicara, hanya memendam duka. Dunia seolah runtuh bersamanya, sampai gurunya akhirnya berhasil membangunkannya dari kehampaan.
Atas dorongan sang guru, Boqin Changing bangkit kembali. Ia bersumpah, tidak akan membiarkan tragedi semacam itu menimpa orang lain. Ia memutuskan untuk membasmi kejahatan. Tapi janji itu tak mudah ditunaikan. Dengan bakat biasa dan sumber daya terbatas, kekuatannya tak kunjung tumbuh signifikan. Para jenius terus melesat, sementara dia semakin tertinggal jauh di belakang.
Ia lalu mengambil keputusan besar, keluar dari sekte, dan menjelajahi dunia seorang diri. Namun dengan kemampuannya yang terbatas, kadangkala dia tidak bisa mencampuri beberapa urusan yang berada di luar kemampuannya.
Puluhan tahun berkelana, Boqin Changing menyaksikan ketidakberdayaan dirinya terhadap kejahatan dunia. Sering kali dia harus lari dari pertempuran karena merasa tidak akan menang atau mungkin saja malah terbunuh. Di banyak kejadian, bahkan dia hanya diam saja tanpa menoleh sedikitpun karena perasaan takut untuk ikut campur.
Hingga suatu hari dia menemukan sebuah warisan dewa ketika dia berusia lima puluh tahun. Sebuah warisan yang sangat luar biasa karena warisan ini bisa memanggil makhluk dari alam lain. Ya warisan itu bernama Zhaohuan Qiu atau Bola Pemanggil.
Zhaohuan Qiu adalah Bola Pemanggil yang dapat memanggil makhluk dari alam lain. Saat ia menyentuh bola itu, seberkas cahaya menyambar masuk ke dantiannya. Ia kemudian dapat memanggil satu per satu orang dari alam lain untuk menjadi pengikutnya.
Banyak diantara mereka yang dipanggil sangatlah kuat dan mempunyai keterampilan yang cukup unik. Lebih hebatnya lagi ketika berhasil memanggil para pengikutnya, maka dalam ingatan Boqin Changing akan muncul berbagai jenis kemampuan mereka, termasuk jurus dan rahasia mereka dalam memperkuat diri. Seketika itu juga, hidupnya berubah.
Setiap pemanggilan juga membawa satu “kitab tak kasatmata” ke dalam pikirannya. Perlahan-lahan, Boqin Changing mempelajari teknik-teknik mereka dan merasakan manfaat yang sangat besar. Ia akhirnya menjadi sebuah legenda yang ditakuti oleh semua orang.
Boqin Changing bukan hanya kuat, ia tak terkalahkan. Dunia menjulukinya Dewa Kematian, karena setiap kali ia muncul di medan perang, tidak ada satu pun musuh yang hidup untuk menceritakan kisahnya.
Namun takdir belum selesai bermain. Di usianya yang ke-120 tahun, ketika dunia sudah memujanya sebagai tokoh tak tersentuh, ia kembali menemukan warisan dewa, Guoqu de Qiu atau Bola Masa Lalu.
Warisan itu menggodanya bukan dengan kekuatan, melainkan dengan kesempatan kedua. Sebuah jalan kembali ke titik awal. Sebuah janji bahwa mungkin, hanya mungkin, masa lalu bisa diubah.
“Tuan, apakah anda yakin akan menggunakan bola ini?” suara itu datang dari sisi kanannya.
Itu adalah Zhi Shen, pemanggilan pertamanya, dan yang terkuat. Ia berasal dari Alam Yuzhou, pendekar dengan seni tombak, pengguna sihir kuno, dan satu-satunya orang yang bisa menghidupkan kembali orang yang baru saja mati asal tidak melewati waktu tiga hari.
Boqin Changing tersenyum kecil. “Ya Shen. Berada di puncak dunia tidaklah selalu menyenangkan jika masa lalumu begitu buruk. Aku sudah memutuskan untuk mengulang masa laluku walaupun terlihat berat.”
Zhi Shen menunduk. “Jika Anda pergi, kami semua mungkin akan lenyap. Ingatan tentang kami, mungkin juga akan ikut menghilang di pikiran anda tuan.”
“Aku tahu. Tapi jika ada kemungkinan memperbaiki semuanya, aku harus melakukannya. Walaupun aku tidak tahu apakah Bola Pemanggil akan tetap ada di dantianku nantinya, setidaknya aku ingin mencobanya. Jika memang Bola Pemanggil tidak ada lagi di dantianku maka aku hanya perlu mencarinya kembali.”
Diam sejenak.
Lalu Zhi Shen melangkah maju dan membungkukkan badannya. “Jika ini perpisahan kita, maka izinkan saya mengucapkan terima kasih. Anda adalah tuan terbaik untuk kami semua.”
"Baik Shen, jika begitu aku pamit dulu. Aku tidak tahu apakah ketika aku pergi dengan bola ini maka kalian tetap ada? Jika kalian tetap ada sampaikan salamku kepada semua pasukanku yang lain. Bagiku kalian sudah aku anggap keluargaku sendiri.”
"Baik tuan."
Sambil menghela nafas, Boqin Changing kemudian menyentuh bola tersebut. Cap darah sudah membasahi tangannya, lalu seketika muncul dalam pikirannya kalimat-kalimat yang perlu diucapkan untuk bisa mengaktifkan Bola Pemanggil ini.
WUUUSSSHHH—!!
Cahaya melahap tubuhnya. Seketika ia berubah menjadi arus cahaya, menyelinap di antara waktu dan dimensi. Boqin Changing kemudian menghilang.
Zhi Shen memandang langit. Sebuah senyuman kecil terbit di wajahnya, sebelum akhirnya tubuhnya ikut memudar menjadi asap hitam. Satu per satu, seluruh pasukan yang dipanggil Boqin Changing ikut lenyap, seakan waktu menghapus keberadaan mereka sepenuhnya.
Keesokan harinya, kehebohan terjadi di dunia ini. Boqin Changing, Sang Dewa Kematian, menghilang bersama seluruh pasukannya dalam semalam. Tidak ada peringatan. Tidak ada jejak.
Di sisi lain ini adalah awal dari Boqin Changing, satu-satunya manusia dalam sejarah yang pernah menembus ranah pendekar dewa, untuk menebus kegagalan-kegagalannya di masa lalu. Dan kisah itu baru saja dimulai.
Gelap.....
Hanya kegelapan pekat yang menyelimuti pandangan Boqin Changing saat tubuhnya tersedot ke lorong waktu. Tak ada suara, tak ada bentuk, hanya kehampaan yang menggulung kesadarannya. Semakin lama ia melayang, semakin berat tubuhnya terasa. Hingga pada suatu titik, rasa nyeri luar biasa menghantam kepalanya. Boqin Changing akhirnya kehilangan kesadarannya.
Ia tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu. Namun perlahan, kelopak matanya mulai terbuka. Cahaya yang samar lalu menyambutnya. Cahaya itu merupakan cahaya alami dari langit yang cerah. Ia kemudian mendapati dirinya terbaring di sebuah gubuk yang dikelilingi hamparan ladang luas. Di kejauhan, bukit-bukit menjulang dengan anggun, dan udara yang segar menusuk lembut ke paru-parunya.
Boqin Changing mengedarkan pandangan. Hatinya bergetar. Desa ini merupakan tempat yang familiar baginya. Aroma tanahnya, bentuk gubuk, hingga jalan kecil yang melintasi rerumputan semuanya terlalu akrab untuk dilupakan. Ini adalah kampung halamannya. Tempat ia menghabiskan masa kecilnya. Tempat di mana keluarganya masih hidup.
Dengan tubuh gemetar, ia duduk perlahan. Saat ia melihat kedua tangannya, hatinya berdebar dengan kencang. Tubuhnya mengecil, tangannya tampak mungil, kaki menjadi lebih pendek. Ia benar-benar kembali menjadi seorang anak kecil.
“Jadi... bola itu benar-benar berhasil membawaku kembali,” gumamnya lirih.
Namun masih ada yang belum pasti. Sejauh apa waktu telah diputar? Usia berapa kini dirinya? Bola Masa Lalu memang menjanjikan perjalanan ke belakang, tapi tidak pernah menjelaskan titik mana yang akan menjadi tujuannya.
Matanya menatap sekeliling lagi. Ladang ini belum hancur, dan gubuk sederhana itu masih berdiri. Ia mengingat, tempat ini adalah tempat ia biasa duduk menunggu orang tuanya saat bekerja. Gubug ini adalah tempat beristirahat mereka saat matahari terik menyengat.
Seketika, sebuah senyum merekah di wajahnya. Ia telah kembali sebelum semuanya hancur. Sebelum keluarganya dibunuh. Sebelum tragedi yang mengubah segalanya terjadi.
“Chang'er, kau sudah bangun?”
Sebuah suara lembut dan penuh kehangatan menyentaknya dari lamunan. Ia menoleh cepat. Di bagian pintu gubuk, berdirilah seorang perempuan dengan wajah cantik dan bersinar. Rambutnya hitam panjang, mengenakan pakaian sederhana, namun auranya begitu menenangkan. Itu adalah Ibunya, Ehuang Baiye.
Boqin Changing membeku. Bibirnya bergetar. Lalu, tanpa bisa ditahan, air mata mengalir deras dari sudut matanya. Tangisnya pecah, seperti bendungan yang jebol setelah ratusan tahun menahan rasa rindu yang tak terucapkan.
Perempuan itu terlihat panik. Ia segera berlari menghampiri dan memeluk tubuh kecil anaknya.
“Chang’er! Ada apa denganmu? Mengapa kau menangis begitu?”
Boqin Changing tak menjawab. Ia hanya memeluk erat tubuh ibunya, memejamkan mata seolah tak ingin bangun dari mimpi ini. Butuh waktu cukup lama hingga tangisnya mereda, meski matanya masih sembab.
“Sudah baikan sekarang?” tanya Ehuang Baiye, mengusap lembut rambut anaknya.
Boqin Changing hanya mengangguk pelan. “Ya... Ibu.”
Suara itu pelan, namun sarat makna. Sudah lebih dari seratus tahun sejak terakhir kali ia mendengar suara ibunya. Seratus tahun lebih, sebuah usia manusia yang tidak manusiawi.
Ia telah menjadi pendekar terkuat di seluruh daratan, pemilik aura raja dan kekuatan dewa, tapi di hadapan wanita ini, ia bukan siapa-siapa. Hanya seorang anak kecil yang dilahirkan dari rahim wanita ini.
Ehuang Baiye tersenyum hangat. “Tadi ibu sempat khawatir. Kau tiba-tiba menangis begitu saja. Apa kau bermimpi buruk?”
Boqin Changing menelan ludah. Ia harus berhati-hati. Tidak mungkin ia mengatakan kebenaran pada ibunya bahwa ia telah kembali ke masa lalu. Ia bisa dianggap gila atau malah kerasukan.
“Hmm... Iya, bu. Sepertinya tadi aku mimpi buruk,” katanya dengan tersenyum kaku.
Sang ibu tertawa pelan, memeluknya lagi. “Ah, syukurlah kalau begitu. Ibu kira ada binatang liar yang mengganggumu.”
Boqin Changing ikut tertawa kecil, walau matanya masih menyimpan genangan air.
Kemudian ia bertanya pelan, “Ibu, ayah ada di mana?”
“Dia ada ladang. Sepertinya tadi menuju ke arah timur.” Ia menunjuk hamparan ladang mereka yang membentang jauh di sisi timur bukit.
Boqin Changing menatap ke arah yang ditunjuk. Hatinya kembali bergetar. Ia sangat ingin segera melihat ayahnya. Namun bersamaan dengan itu, muncul rasa takut. Takut melihat ayahnya masih hidup, hanya untuk kehilangannya lagi suatu hari nanti.
“Ibu,” katanya pelan. “Ini... tahun berapa sekarang?”
Ehuang Baiye mengerutkan kening. “Apa maksudmu, Chang’er? Mengapa kau bertanya seperti itu?”
Glek...
Boqin Changing menelan ludah. Pertanyaannya terlalu mencurigakan. Ia sadar baru saja bertanya hal yang salah pada ibunya.
"Eh maksudku ini tanggal berapa ya bu..?"
Boqin Changing buru-buru mengganti pertanyaannya. Wajahnya sedikit gugup. Ia baru saja menyadari betapa berbahayanya pertanyaannya sebelumnya. Kini ia tahu, setiap kata yang keluar dari mulutnya harus dijaga. Sekecil apa pun dia salah bicara, bisa berdampak besar di masa depan yang hendak ia ubah.
“Ini tanggal 12, bulan 4, Chang’er. Tahun ini tahun 551,” jawab Ehuang Baiye sambil mengelus kepala anaknya dengan penuh kasih.
“Hmm... Tahun 551...” Boqin Changing mengulang dalam hati.
“Berarti usiaku baru enam tahun. Aku kembali ke masa bahkan sebelum mulai berlatih bela diri.”
“Ye’er! Chang’er!” Suara laki-laki dewasa menggema dari arah ladang.
Ehuang Baiye menoleh dan tersenyum, lalu memanggil, “Feng gege, kemarilah!”
Boqin Changing menegakkan tubuhnya. Nafasnya terasa tercekat. Itu adalah suara yang sangat dikenalnya. Suara yang sangat dirindukannya, suara ayahnya. Ia kemudian menatap ke arah suara itu datang. Sosok tegap dengan wajah bersahaja dan senyum hangat berjalan mendekat. Pria itu adalah Boqin Feng.
Itu ada ayahnya yang selama ini hanya hidup dalam kenangan dan bayang-bayang penyesalan Boqin Changing. Sosok yang dulu menaruh harapan besar padanya. Sekarang, sosok itu hidup kembali di hadapannya.
Boqin Changing menggertakkan gigi, menahan air mata yang hendak tumpah. Ia tidak ingin terlihat cengeng di depan ayahnya, tidak untuk kedua kalinya hari ini.
“Chang’er, kau baik-baik saja?” tanya Boqin Feng saat melihat mata anaknya yang memerah.
“Tidak apa-apa, ayah. Aku baik-baik saja,” jawabnya cepat, tersenyum kecil.
“Tadi Chang’er mimpi buruk, Feng gege. Tapi sekarang sudah membaik,” jelas Ehuang Baiye, ikut menenangkan suaminya.
“Hahaha... Jangan terlalu sering melamun di gubuk, nanti kau bisa kesurupan!” canda Boqin Feng sambil mengacak-acak rambut anaknya.
“Baik, ayah...” jawab Boqin Changing sambil menahan senyumnya.
Di kehidupan kali ini, Boqin Changing bersumpah untuk menjadi anak yang lebih berbakti.
Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua ini saat kembali ke masa lalunya.
“Ye’er, Chang’er! Ayo makan dulu!”
“Baik, Feng gege. Aku ambilkan bekalnya dulu...”
Ehuang Baiye mengeluarkan bekal dari keranjang bambu. Mereka duduk bersama di bawah naungan atap gubuk ladang, menikmati makanan sederhana yang terasa lebih mewah dari jamuan istana mana pun bagi Boqin Changing saat ini.
Boqin Changing tampak lebih banyak diam, hanya menjawab seperlunya. Namun dalam hatinya, ia begitu bersyukur. Ia memperhatikan tiap tawa orang tuanya, tiap kalimat ringan yang keluar dari mulut mereka. Momen ini benar benar tidak ternilai harganya.
Orang tuanya terus bercanda dan menggodanya, terutama melihat tubuh gemuknya dan wajah polos Boqin Changing yang begitu menggemaskan. Bagi mereka, Boqin Changing adalah anak kecil biasa yang manja dan lucu. Mereka tidak tahu, bahwa dalam tubuh kecil ini tersembunyi jiwa pendekar tua yang telah menanggung beban dunia selama lebih dari seratus tahun. Ia seperti seorang kakek yang kembali menjadi bocah.
Setelah makan siang yang hangat itu, Boqin Feng mengajak mereka kembali pulang. Rumah mereka tidak jauh dari ladang, dan mereka berjalan bersama sambil bercanda seperti keluarga bahagia pada umumnya.
Sesampainya di rumah, Boqin Changing melihat kedua orang tuanya berganti pakaian.
“Ayah dan Ibu mau ke mana?” tanyanya.
“Kami diundang ke rumah Keluarga Luo. Mereka mengadakan sebuah acara,” jawab ayahnya.
Keluarga Luo adalah keluarga terkaya di desa ini. Dalam ingatan Boqin Changing, mereka punya pengaruh cukup besar di desa mereka.
“Ayah ibu, aku beristirahat di kamar saja,” katanya. “Aku agak lelah.”
Orang tuanya mengangguk setuju. Membawa anak kecil ke acara semacam itu hanya akan membuatnya cepat bosan. Mereka tidak tahu, anak kecil itu sebenarnya memiliki kebijaksanaan dan kesabaran yang melebihi usia mereka sendiri.
Saat rumah menjadi sunyi dan kedua orang tuanya telah pergi, Boqin Changing duduk bersila di atas tikar kamarnya. Ia menutup mata.
“Sekarang saatnya memeriksa tubuhku saat ini...”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!