NovelToon NovelToon

Beginning And End

Bab 1: beginning

...****************...

Di dalam kegelapan kamarnya yang lembap, diterangi hanya oleh cahaya remang-remang lampu jalan dari balik jendela, seorang pemuda berbisik, suaranya bergetar menahan tangis yang mengancam akan pecah. Udara malam terasa dingin menusuk kulitnya, seakan merefleksikan dinginnya hatinya. Rambutnya yang coklat tua, agak panjang dan sedikit berantakan, jatuh menutupi sebagian wajahnya yang pucat.

"Apa daya nya aku," bisiknya, suara serak menahan isak, "di saat kau telah pergi, aku bukan siapa-siapa lagi. Bahkan, kita berdua merasa tidak layak menghirup udara yang berbeda. Semuanya, peninggalanmu, kata-katamu, bahkan aroma tubuhmu yang masih tercium samar-samar di dalam indra penciuman ku... masih menghantui ku. Dan, kenapa semua ini begitu cepat? Apakah aku memiliki dosa yang tidak bisa diampuni? Tapi, jujur, aku sudah tak peduli lagi."

Air mata mengalir deras dari matanya yang biru muda, membasahi telapak tangannya yang gemetar. Kegelapan seakan semakin pekat, menenggelamkannya dalam lautan kesedihan yang tak berujung.

"Penyesalan," suaranya terputus-putus, "akan terus mengalir dari dalam diriku. Aku terlalu egois, naif, dan arogan. Bahkan, aku sempat tak bersyukur dengan setiap rintangan yang kita hadapi. Seharusnya, hubungan kita akan sampai ke pelaminan. Tapi, semua ini... semua ini murni dari kesalahanku. Bukan salah orang lain, bukan salahmu."

Ia menarik napas panjang, dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak seperti ombak di tengah badai. Dada terasa sesak, setiap tarikan napas terasa berat.

"Semua ini," ia melanjutkan, suaranya sedikit lebih tenang, "berawal pada delapan tahun yang lalu..."Sebuah kilatan cahaya, seperti kilas balik memori, menerobos kegelapan, membawa kita kembali ke masa lalu.

...****************...

tepatnya pada tanggal 14 Mei 2017.

Cahaya matahari pagi yang hangat menerpa Kota, langit biru cerah tanpa cela menghiasi cakrawala. Di sebuah rumah sederhana dengan cat tembok yang mulai pudar, Ratih, seorang ibu rumah tangga dengan rambut yang diikat rapi, tengah menyiapkan sarapan untuk putranya, Hikari Kei. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara.

"Kei, sayang, sarapan dulu sebelum pergi ke sekolah!," seru Ratih dengan suara ceria, namun sedikit khawatir. Ia mengetuk pintu kamar Kei dengan lembut.

Kei, seorang anak laki-laki berusia 12 tahun dengan rambut coklat tua yang sedikit berantakan dan mata biru muda, mengerang pelan dari balik selimut. Wajahnya pucat, lesu, matanya masih terpejam.

"Maaf, Bun," keluhnya, suaranya masih parau, "tapi setelah sarapan....biasanya perutku sakit." Ia mengusap kepalanya yang terasa pening.

"Eh, kalau nggak sarapan, nanti kamu nggak fokus mengerjakan ujiannya, Nak," Ratih bersikeras, namun suaranya dipenuhi kelembutan. Ia tahu Kei sedang tidak enak badan.

"Ya udah, Bun, aku sarapan roti dan teh aja," Kei akhirnya mengalah. Ia berjalan gontai ke dapur, mengambil sepotong roti tawar dan secangkir teh panas yang sudah disiapkan ibunya.

Kei mengunyah roti dengan malas, pikirannya melayang-layang ke ujian akhir SD yang akan dijalaninya hari itu. Kecemasan dan rasa sakit di perutnya membuatnya kehilangan selera makan.

Beberapa menit kemudian, Kei sudah siap berangkat. Ia mengenakan seragam sekolahnya yang rapi, namun langkahnya masih terlihat lesu.

"Bunda... aku pamit ya!" teriak Kei, sepatu sekolahnya sudah terpasang di kaki.

"Eh, tunggu dulu, Kei! Kamu kebiasaan banget lupa bawa uang jajan. Nanti kalau mau jajan di kantin, uangnya nggak ada," Ratih mengingatkannya dari balik pintu.

"Oh iya, Bun, maaf, Kei lupa," Kei mengusap lembut rambut nya, mengambil uang dari tangan ibunya. Ratih tersenyum, mengusap lembut rambut putranya.

Jam 07.55.

Udara pagi yang dingin menusuk kulit Kei saat ia tiba di gerbang sekolah yang terbuat dari besi bercat hijau kusam, sedikit mengelupas di beberapa bagian. Gerbang itu berderit nyaring saat dibuka oleh penjaga sekolah yang ramah, namun pagi ini Kei tak sempat memperhatikannya. Langkahnya gontai, kelelahan karena harus berjalan kaki menuju sekolah. Jalanan yang biasanya ramai dengan lalu lalang kendaraan dan para siswa siswi lain pagi ini terasa sunyi di telinganya, semuanya teredam oleh rasa sakit yang mulai mencengkeram perutnya. Bau khas knalpot kendaraan dan aroma jajanan kaki lima yang biasanya menggelitik hidungnya, kini tak mampu mengalihkan perhatiannya dari rasa nyeri yang semakin menusuk.

Ia melewati lapangan sekolah yang masih sedikit basah karena embun pagi. Rumput hijau yang biasanya terlihat segar kini tampak buram di matanya. Ia hanya fokus pada langkahnya yang semakin tergesa-gesa, namun setiap langkah terasa berat. Bayangan gedung sekolah yang kokoh dengan cat putih yang mulai menguning di beberapa bagian, tampak semakin dekat. Namun, rasa sakit di perutnya semakin terasa.

Akhirnya, ia sampai di depan gedung sekolah. Ia memasuki gedung, melewati koridor yang dipenuhi dengan suara langkah kaki siswa siswi lain yang berlalu lalang. Suara bising itu seakan semakin memperparah rasa sakit di perutnya. Ia berjalan cepat menuju ruang ujian, ruangan yang terletak di ujung koridor, di dekat perpustakaan. Ruangan itu terlihat sederhana, dengan dinding berwarna krem yang mulai kusam, dan beberapa lukisan pemandangan alam yang sudah mulai pudar warnanya. Bau kapur dan buku-buku tua sedikit tercium samar di udara.

Sesampai di depan pintu ruang ujian, perutnya kembali berbunyi dengan keras, "Brrrttt brrrttt...". Ia menarik napas dalam, mencoba meredakan rasa sakit yang semakin intens. Pintu ruang ujian terbuat dari kayu jati tua yang kokoh, dengan sedikit ukiran di bagian atasnya. Ia mendorong pintu itu perlahan, dan masuk ke dalam ruangan yang terasa pengap.

Ruang ujian itu cukup luas, dengan deretan meja dan kursi yang tertata rapi. Jendela-jendela besar di ruangan itu terbuka sedikit, membiarkan angin pagi masuk dan sedikit mengurangi rasa pengap. Namun, bau kapur dan buku-buku tua masih sedikit tercium. Di setiap meja, terdapat lembar ujian daN alat tulis yang sudah disiapkan. Para siswa siswi sudah duduk di tempatnya masing-masing, dengan wajah tegang dan fokus. Suasana di ruangan itu hening, hanya terdengar suara pena dan pensil yang mencoret-coret kertas ujian. Kei menemukan tempat duduknya, di bagian belakang ruangan. Ia duduk, mengeluarkan pena dan kartu ujiannya. Ia mencoba fokus, namun rasa sakit itu terus mengganggu konsentrasinya. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Ia mencengkram pahanya, menahan rasa sakit yang semakin menusuk-nusuk.

Jam 08.00.

Ujian dimulai. Semua siswa dan siswi fokus dengan ujiannya, kecuali Kei. Ia berusaha menahan rasa sakit di perutnya sambil mengerjakan soal, keringat dingin mulai membasahi dahinya. 32 menit berlalu, rasa sakit di perut Kei semakin menjadi-jadi. Ia meringis, menahan nyeri yang hampir tak tertahankan. "Ahh, sial! Perutku makin sakit," batin Kei, mencengkram pahanya, menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk. Ia menggigit bibirnya, mencoba untuk tetap tenang. Seketika, guru pengawas mengalihkan perhatiannya ke arah Kei.

"Hei, Hikari Kei, dari tadi saya lihat kamu gelisah. Ada apa?" tanya guru pengawas dengan nada lembut, penuh perhatian.

"Sebenarnya dari tadi perut saya sakit, Pak. Mungkin saya harus ke toilet," jawab Kei, tangannya masih memegang perutnya. Wajahnya pucat pasi.

Guru pengawas mengangguk mengerti. Ia pun berdiri dari kursinya.

"Kalau begitu, saya kasih 10 menit untuk ke toilet. Kamu nggak keberatan, kan?" tanya guru pengawas.

"Tidak, Pak. Waktu segitu sudah cukup," jawab Kei, berusaha menahan rasa sakit yang semakin hebat.

"Baiklah, cepat pergi," ucap guru pengawas. Kei pun berterima kasih dan bergegas menuju toilet.

Beberapa menit kemudian.

Kei keluar dari toilet, wajahnya masih pucat pasi. Rasa sakit di perutnya sedikit mereda, namun kelelahan masih terasa. Ia berjalan menuju rak sepatu yang terletak di antara toilet putra dan putri. Sepatu-sepatu berserakan sedikit berantakan di lantai, beberapa di atas rak, sebagian lagi tergeletak tak beraturan. Kei buru-buru mencari sepatunya, matanya hanya fokus pada tujuannya, yaitu kembali ke ruang ujian. Tanpa sengaja, kakinya menginjak sesuatu yang lunak. Ia mendengus kesal, tanpa melihat apa yang telah diinjaknya.

Dari kejauhan, seorang anak perempuan berseru dengan suara lantang, "Hei! Kamu! Apa yang kamu lakukan?!"

Suara itu membuat Kei berhenti. Ia menoleh ke belakang, melihat seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang sedikit menutupi poninya dan mata berwarna merah muda menatapnya dengan marah. Gadis itu, Reina, memegang sepatu putihnya yang tampak penyok di bagian tumit.

"Emang aku ngapain?" tanya Kei dengan nada datar, tatapannya dingin dan acuh. Rambut coklat tuanya yang sedikit berantakan sedikit menutupi matanya yang biru muda.

"Dasar tidak punya sopan santun! Kau menginjak sepatuku!" seru Reina, suaranya bergetar menahan amarah. Wajahnya memerah menahan emosi.

"Cih, lebay," Kei mendengus, ia menatap Reina dengan pandangan tajam, "Siapa suruh naruh sepatu sembarangan?" Ia berbalik dan hendak kembali ke ruang ujian.

"Hei! Tunggu!" Reina berteriak, menahan Kei. "Minta maaf lah kepada ku!"

Kei berhenti, ia kembali menatap Reina dengan tatapan dingin. "Buat apa? Lagian, itu salahmu sendiri." Ia kembali berbalik dan berjalan cepat menuju ruang ujian, meninggalkan Reina yang masih berdiri di sana dengan wajah merah padam menahan amarah. Mata merah mudanya berkaca-kaca, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia mengepalkan tangannya, menahan amarah yang membuncah.

Beberapa jam kemudian, bel pulang sekolah berbunyi. Kei berjalan gontai menuju gerbang sekolah, ia berniat menunggu bus. Ia merasa lelah, baik fisik maupun mental. Ujian yang melelahkan ditambah kejadian dengan Reina membuatnya semakin frustasi.

"Huh, akhirnya selesai juga ujiannya," gumam Kei, ia bersandar di tembok gerbang, menunggu bus yang akan membawanya pulang.

Dua menit kemudian, seorang pria paruh baya dan seorang gadis muncul dari gerbang sekolah. Pria itu, Hasane Danton, terlihat ramah dengan senyuman hangat di wajahnya. Gadis di sampingnya adalah Reina, wajahnya masih terlihat sedikit kesal.

"Bagaimana ujianmu, Reina?" tanya Danton, ia mengacak rambut putrinya dengan lembut.

"Biasa saja, Pa," jawab Reina, ia melirik ke arah Kei yang masih berdiri di dekat gerbang. Matanya masih menunjukkan sedikit sisa kemarahan.

"Eh, dia... orang yang menginjak sepatuku tadi," batin Reina.

"Papa, tunggu sebentar," kata Reina, ia berjalan ke arah Kei. Danton mengikuti dari belakang, memperhatikan putrinya dengan penuh perhatian.

Reina berdiri di depan Kei, tatapannya tajam. "Kau," ujarnya, suaranya dingin. "Kita belum selesai."

Kei mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata merah muda Reina. Ia mengerutkan keningnya, menunjukkan ekspresi tidak suka. "Ada apa lagi?" tanyanya, nada suaranya datar dan dingin.

"Minta maaf!" pinta Reina, suaranya tegas.

"Tidak," jawab Kei, suaranya keras. "Itu salahmu."

Danton, yang telah sampai di dekat mereka, mencoba menengahi. "Reina, Kei," katanya, suaranya lembut. "Sudahlah, jangan bertengkar lagi." Ia mengenali Kei, putra dari teman kerjanya, Hikari Haruto. "Kei, kan? Aku Hasane Danton, ayah Reina. Kebetulan, ayahmu adalah teman kerjaku."

Kei terkejut. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan ayah Reina di tempat ini. "Senang bertemu dengan Anda, Pak," katanya, nada suaranya sedikit lebih lembut dari sebelumnya.

Reina masih terlihat kesal. "Tapi Papa, dia..."

Danton menenangkan putrinya. "Sudahlah, Nak. Kita harus pergi." Ia tersenyum pada Kei. "Sampai jumpa lagi, Kei."

Kei mengangguk, lalu menaiki bus yang baru saja berhenti di hadapannya. Ia menatap Reina sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Perjalanan pulang terasa panjang dan penuh dengan pikiran. Ia masih memikirkan kejadian di sekolah, dan juga pertemuan tak terduga dengan ayah Reina.

Bus melaju meninggalkan kompleks sekolah, meninggalkan Kei yang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pemandangan kota yang berlalu di luar jendela seakan kabur, tak mampu mengalihkan perhatiannya dari kejadian pagi itu. Kejadian dengan Reina, pertemuan tak terduga dengan ayah Reina, dan rasa sakit di perutnya yang masih sedikit terasa, semuanya bercampur aduk dalam benaknya. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan perasaan campur aduk yang menguasainya.

Di rumah, setelah beristirahat sejenak, Kei mulai memikirkan ujiannya. Ia merasa lega karena ujian akhirnya selesai, namun rasa khawatir masih sedikit menghantuinya. Ia membuka buku catatannya, memeriksa kembali beberapa soal yang menurutnya sulit. Ia mengerutkan kening, mencoba mengingat kembali cara penyelesaiannya. Mata birunya yang tajam fokus pada angka dan rumus yang tertulis di buku catatannya. Rambut coklat tuanya yang sedikit berantakan sedikit mengganggu konsentrasinya, namun ia tetap berusaha fokus.

Hari-hari berlalu. Hasil ujian akhir sekolah dasar akhirnya diumumkan. Kei mendapatkan nilai yang cukup memuaskan, tidak terlalu tinggi, namun juga tidak terlalu rendah. Ia cukup lega, karena setidaknya ia berhasil melewati ujian tersebut. Ia tak terlalu memikirkan peringkatnya, yang terpenting ia telah lulus dan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.

Namun, pertemuannya dengan Reina masih terngiang di benaknya. Sikap Reina yang keras kepala dan pemarah masih membuatnya sedikit kesal. Ia mengakui bahwa ia salah telah menginjak sepatu Reina, namun sikap Reina yang berlebihan menurutnya juga tidak bisa dibenarkan. Ia merasa keduanya sama-sama salah, namun tidak ada yang mau mengakui kesalahannya. Kejadian itu menjadi pelajaran berharga baginya, bahwa ia harus lebih berhati-hati dan lebih peka terhadap perasaan orang lain.

Beberapa tahun berlalu.

...****************...

"Itulah awal mula aku bertemu dengan Hasane Reina... " Gumam seorang pemuda dari dalam kegelapan.

"Yah... awal yang sangat menjengkelkan bukan?.... namun... setelah mengingat nya kembali.... hati ku perlahan lahan sedikit hancur.... " Gumam nya, suara nya darat, namun pemuda itu berusaha menyembunyikan rasa kekecewaan nya yang amat dalam.

Bab 2: kembali bertemu setelah dua tahun.

Musim Panas Tahun 2019

Dua tahun telah berlalu sejak terakhir kali Hikari Kei dan Hasane Reina bertemu. Kei, yang dulunya ceria, kini tumbuh menjadi pemuda dewasa yang pendiam. Reina, di sisi lain, tumbuh menjadi gadis yang keras kepala dan sering marah. Dia menjauhi orang tuanya, tetapi sangat dekat dengan neneknya.

Selasa, 5 Juni 2019, Pukul 09.00

Telepon berdering. Kei mengangkatnya.

"Selamat pagi, Kei," sapa suara seorang perempuan tua, Bibi Serika.

"Selamat siang, Bi," jawab Kei.

"Apakah kamu sibuk hari ini?" tanya Bibi Serika.

"Tidak, Bi," jawab Kei.

"Bisakah kamu menolong membereskan rumah baru Bibi? Di sini sangat berantakan. Kalau Bibi sendiri yang bekerja, Bibi tidak sanggup," pinta Bibi Serika.

"Ya sudah, Bi. Aku akan berangkat jam sepuluh nanti," jawab Kei sambil menggaruk kepalanya.

Pukul 10.15 Pagi

"Ada-ada saja hari ini. Sebenarnya aku malas bergerak, tapi yang meminta tolong adalah Bibi ku sendiri. Aku tidak bisa menolaknya," gumam Kei dalam hati saat mengendarai sepeda motornya menuju rumah baru Bibi Serika.

Kei tiba di rumah Bibi Serika. Dia turun dari motor dan membawa peralatan bersih-bersih seperti sapu dan kemoceng. Dia melangkah ke depan pintu rumah yang dipenuhi peralatan rumah yang berserakan.

"Permisi, Bibi Serika. Apakah kamu ada di rumah?" teriak Kei ke dalam ruangan rumah yang hampa dan gelap.

Tidak lama kemudian, Kei mendengar suara seseorang bersin dari ruang gudang. Dia menyusul ke arah suara tersebut.

Di ruang gudang, Kei melihat Bibi Serika sedang menyapu lantai yang sangat kotor.

"Hai, Bibi Serika. Aku sudah sampai," sapa Kei sambil memasang masker agar tidak ikut bersin.

"Wah, Kei. Jarang-jarang kamu datang tepat waktu," ujar Bibi Serika dengan senyuman manis.

"Jangan pedulikan hal itu, Bi. Sekarang, apa yang harus aku bantu?" tanya Kei dengan raut wajah dingin.

"Kan kamu bawa motor ke sini. Nah, sekarang tolong Bibi membawakan barang-barang yang terletak di rumah lama Bibi, lalu bawa ke sini," pinta Bibi Serika.

"Hmm, tapi..." Kei terhenti karena Bibi Serika memotong pembicaraannya.

"Barang-barangnya tidak terlalu berbobot kok. Cuman kotak kardus yang berisi buku-buku anak Bini. Bisa kan?" tanya Bibi Serika dengan senyuman.

"Sama sekali tidak, Bi. Ya sudah, aku akan ke sana, Bi," jawab Kei dan melangkah keluar dari ruangan gudang sambil melambaikan tangan.

"Baiklah, Kei. Hati-hati," sorak Bibi Serika dari dalam ruangan gudang.

Kei keluar dari rumah baru Bibi Serika dan bersiap-siap pergi ke rumah lama Bibi Serika.

"Sebenarnya aku cuman menanyakan di mana anak Bibi Serika sekarang, tapi Bibi memotong pembicaraan ku seolah-olah aku tidak mau membawa barang yang berat dan berbobot. Apakah aku terlihat pemalas di mata orang?" gumam Kei dalam hati sambil memasang helm.

Pukul 11.00 Siang

Kei telah sampai di rumah lama Bibi Serika.

"Nah, sekarang, di mana kotak kardus yang berisi buku-buku itu?" gumam Kei di dalam ruangan rumah lama Bibi Serika yang kosong.

"Apakah kotak kardus nya yang ini?" ucap Kei dengan canggung sambil melihat dus yang lumayan besar.

Saat Kei membuka kotak kardus yang besarnya setengah dari tubuhnya, dia terkejut melihat isinya.

"Seharusnya aku tidak terkejut di saat melihat isi dalamnya. Kan aku tau sendiri dengan perkataan Bibi Serika. Dia sering mengucap kan kata konotatif. Tapi aku sangat malas hari ini. Ah, apa boleh buat, angkat aja semua nya," ucap Kei sambil mengangkat kotak kardus tersebut.

"Eh, kok tidak berat sama sekali ya? Ternyata aku salah menilai perkataan dari Bibi Serika. Tapi masalah nya, kotak kardus nya menghalangi penglihatan ku," gumam Kei dengan terkejut setelah mengangkat kotak kardus yang dikira berat ternyata sangat ringan.

Kei pun berjalan keluar dari rumah lama Bibi Serika sambil mengangkat kotak kardus tersebut. Lalu, dia meletakkan kardus tersebut di depan hadapannya, menyalakan motornya, dan pergi menuju rumah baru Bibi Serika.

Pukul 11.30 Siang

Kei memarkirkan motornya di depan toko yang berada di dekat rumah baru Bibi Serika karena jalur ke rumah Bibi Serika melalui gang yang lumayan sempit. Kei turun dari motor dan mengangkat kardus tersebut.

Saat Kei mengangkat kardus tersebut, dia kesusahan karena penglihatannya terganggu oleh kardus yang menutupi seluruh wajahnya.

"Harus kah aku jalan di gang ini? Huh, ribet sekali. Yang penting, selagi tidak ada orang yang menghalangi, aku cepat sampai ke rumah baru nya Bibi Serika," gumam Kei dalam hati sambil mengangkat kardus tersebut.

Tidak lama kemudian, ada seorang perempuan cantik dari lawan arah yang mau melewati Kei. Namun, perempuan itu merasa terganggu karena Kei menghalangi jalannya.

"Hei, bisakah kamu tidak menghalangi jalan ku?" ucap perempuan cantik itu sambil memegangi kotak kardus yang diangkat oleh Kei.

"Maaf, bisa kah anda mengalah? Apakah anda tidak bisa melihat aku sedang mengangkat barang?" ujar Kei kepada perempuan cantik itu dengan nada suara yang rendah.

"Aku, mengalah? Itu tidak ada dalam kamus besar ku," ujar perempuan cantik itu dengan nada keras sambil menggoyang-goyangkan kotak kardus yang diangkat oleh Kei.

"Kalau kau terus mengganggu ku seperti ini, dan tidak mau mengalah, jangan salah kan aku apa yang nanti ku lakukan," ujar Kei dengan emosi dan mengambil ancang-ancang untuk menerobos.

"A~apa.. hei.." sorak perempuan cantik itu dengan keras dan berusaha menyelip ke samping Kei.

"Hei, bahu mu menyenggol kepala ku," sorak perempuan cantik itu kepada Kei.

"Aduh, kenapa kau tidak mengalah saja? Dasar laki-laki misterius memakai masker hitam," ujar perempuan cantik itu di samping badan Kei.

Ternyata perempuan cantik itu adalah Hasane Reina. Kei pun melihat Reina dengan tatapan tajamnya.

"Sudah aku bilang, aku tidak mau tau. Seharusnya, orang yang tidak mengangkat beban apapun, dia lah yang mengalah. Dan jangan menyebut aku dengan sebutan laki-laki misterius dengan memakai masker hitam. Aku punya nama sendiri," ujar Kei dengan dingin kepada Reina sambil mengangkat kotak kardus yang diangkatnya.

Akhirnya, Reina bisa melewati Kei.

"Aku tidak peduli dengan nama mu," ujar Reina dengan suara yang rendah dan wajah kesal, dengan tatapan ke samping melihat Kei. Lalu, dia berlari menjauh dari Kei.

"Hah, siapa juga yang mau memberikan nama ku kepada mu," sorak Kei kepada Reina yang sudah jauh dari dirinya.

"Eh, wajah nya, wajah nya tidak asing bagi ku. Aku penasaran, siapa nama perempuan yang menganggu ku barusan," batin Kei dengan ekspresi bingung.

Akhirnya, Kei sampai ke rumah baru Bibi Serika. Dia meletakkan kardus tersebut di depan ruangan gudang dan keluar dari rumah Bibi Serika.

Bibi Serika pun keluar dari kamar mandi.

"Di mana sih Kei sekarang? Udah dari tadi aku nungguin, tapi dia belum sampai ke sini dengan kardus tersebut. Ehh..." gumam Bibi Serika sambil mengeriting rambutnya. Dia terkejut melihat kardus yang terletak di depan pintu gudang.

"Loh, ini kan kardus nya. Tapi, di mana Kei?" batin Bibi Serika sambil memeriksa barang-barang di dalam kardus tersebut.

Kei berada di parkiran depan toko dan bersiap untuk meletakkan motornya di depan rumah Bibi Serika. Namun, setelah tiba di depan toko, dia melihat Reina keluar dari toko tersebut. Tidak lama kemudian, Kei menyusul Reina yang baru saja keluar dari toko.

Kei pun berdiri di hadapan Reina.

"Kau lagi? Apa mau mu sekarang?" ujar Reina kepada Kei dengan nada suara yang tinggi.

"Aku seperti pernah melihat mu, tapi aku tidak tau di mana kita pernah bertemu," ujar Kei kepada Reina dengan ekspresi dingin, yang masih memakai masker hitam di wajahnya.

"Lalu, apakah kau pikir, kalau kau masih memakai masker dan tidak menyebutkan nama mu, aku langsung tau siapa diri mu? Orang aneh," ujar Reina dengan kesal kepada Kei sambil memegang keningnya dan menurunkan kepalanya.

"Oh iya, maaf. Perkenalkan nama ku Hikari Kei. Salam kenal," ujar Kei kepada Reina sambil membuka maskernya.

Reina pun terkejut melihat wajah dan nama Kei. Dia masih ingat dengan Kei.

"Kau? Ihh, kenapa sih, hari ku sangat suram sekarang!" sorak Reina dengan keras. Lalu, dia jongkok dan memegang kepala nya sendiri dengan kedua tangannya.

"Hah? Kau kenal dengan ku? Tapi siapa kau sebenarnya? Kenapa kamu bertingkah seperti itu, di saat aku telah menyebutkan nama ku?" ujar Kei kepada Reina yang masih jongkok seperti orang yang merengek.

Lalu Reina pun berdiri dan menatap Kei dengan tajam, hal itu membuat Kei terkejut.

"Nama ku Hasane Reina. Kau satu sekolah dengan ku saat masih bersekolah di SD," ujar Reina dengan nada suara yang kencang.

Kei pun langsung mengingat siapa Reina sebenarnya, dan melakukan hal yang bodoh, seperti yang dilakukan oleh Reina.

"Kau lagi? Kau lagi? Kau lagi? Kenapa semua ini bisa terjadi!" ucap Kei dengan keras sambil memegang kepalanya sendiri dengan kedua tangannya, dengan kepala menghadap ke atas.

"Hadeh, jangan alay. Kau baru saja membuat ku jijik," ujar Reina kepada Kei dengan suara yang rendah dan melipat kedua tangannya dengan kepala menghadap ke bawah.

"Barusan kau juga bersikap seperti anak kecil yang tidak dibelikan keinginan nya oleh orang tua nya," ujar Kei dengan dingin sambil menatap Reina.

"Aku masih ingat! Pada kejadian itu, di saat kau menginjak sepatu ku, kau sama sekali tidak meminta maaf ke pada ku. Dan sekarang kita bertemu lagi. Ayo minta maaf kepada ku soal sepatu dan kejadian tadi," ujar Reina dengan santai tapi mengandung ejekan kepada Kei.

"Kau sama sekali tidak berubah. Kau makin bersikap seperti orang arogan, bahkan lebih di sebut sebagai orang yang arogan," ujar Kei dengan ekspresi dingin.

"Kau juga sama sekali tidak berubah. Pria sok keren. Dan sekarang, kau adalah laki-laki yang ambigu. Tidak heran kau tidak memiliki teman di sekolah," ujar Reina dengan keras kepada Kei dengan wajah yang merah.

"Teman? Benda macam apa itu? Lagi pula, teman itu membuang waktu santai ku. Tidak ada gunanya kamu berkata seperti itu kepada ku," cemooh Kei kepada Reina.

"Oh, bahkan kau sekarang bisa di sebut dengan kulkas dua pintu," ejekan Reina kepada Kei dengan wajah santai nya.

"Aku tidak peduli dengan kata kata yang kau sebutkan kepada ku. Jadi, izinkan aku untuk pergi menjauh dari hadapan mu," ujar Kei kepada Reina yang dimana, Kei masih bersikap dingin dan santai di saat berbicara dengan Reina.

"Kau tidak perlu meminta izin kepada ku. Kalau mau pergi, silahkan saja. Dan jangan memperlihatkan wajah mu yang menyebalkan itu," ujar Reina kepada Kei dengan nada suara yang tinggi.

Tetapi Kei langsung pergi menjauh dari Reina dengan motor yang dikendarai olehnya.

"Hei, kau mau ke mana? Kau belum minta maaf kepada ku. Dasar laki-laki ambigu," sorak Reina dengan keras ke arah Kei.

"Cih, dasar cewek arogan. Cuman orang bodoh lah yang mau minta maaf kepada orang yang seperti dia," batin Kei.

Tetapi, Kei berpikir sejenak.

"Tapi, walaupun sikap dia seperti itu, aku juga harus meminta maaf ke dia. Ah, aku menelan air liur ku sendiri. Aku lah orang bodoh yang ingin minta maaf keoada orang yang seperti dia. Tapi dengan cara apa, supaya Reina memaafkan aku dengan cepat?" batin Kei sambil mengendarai motornya.

"Biasanya, orang-orang kalau mau minta maaf, dia membeli kan makanan atau barang semacam nya yang akan di berika kepada orang yang mau di minta maaf kan. Mungkin aku harus membeli susu kotak untuk nya," batin Kei sambil memarkirkan motornya di depan rumah Bibi Serika.

Pukul 18.49

Hari pun sudah mulai gelap. Kei pamit pulang kepada Bibi Serika dan ketiga anaknya, lalu bersiap untuk pergi ke toko untuk membeli susu kotak sebagai permintaan maafnya kepada Reina.

Di saat Kei keluar dari gang rumah Bibi Serika, dia tidak sengaja melihat Reina dan temannya, Hanna, yang sedang berjalan menuju toko.

"Seperti nya, aku di mudah kan untuk meminta maaf kepada cewek arogan itu. Berarti, Tuhan mengharuskan aku untuk meminta maaf kepada dia," batin Kei dan membuntuti Reina dan Hanna dengan pelan.

Dan akhirnya, Reina dan Hanna masuk ke dalam toko. Di situlah ada Kei yang memarkirkan motornya di depan toko tersebut. Kei selalu membuntuti Reina dan Hanna dari kejauhan.

"Hanna, aku mau beli mie pedas itu. Kamu mau?" ujar Reina kepada Hanna dengan ceria.

"Pedas lagi? Pedas lagi? Ya sudah, untuk hari ini aja ya, Reina," ujar Hanna kepada Reina dengan kewalahan.

"Yee, malam ini kita makan yang pedas-pedas," seru Reina.

"Ya ya ya, terserah kamu sih. Ya sudah, aku akan membeli soda, dan kamu, pergilah mengambil mie itu," ujar Hanna kepada Reina dengan senyumannya.

Reina pun pergi mencari mie yang akan dibelinya, sedangkan Hanna berjalan berlawanan arah dari Reina dengan tujuan untuk membeli minuman soda.

Tetapi, Kei yang dari tadi membuntuti Reina dan Hanna, hanya fokus ke arah Hanna, dengan tujuan ingin menanyakan kepada Hanna, apa yang akan dibeli oleh Reina. Kei pun menyusuli Hanna.

"Hei, Akasi Hanna, lama tidak berjumpa dengan mu," ujar Kei kepada Hanna yang saling berhadapan, dengan ekspresi Kei yang sangat senang bertemu dengan kawan dekatnya di saat bersekolah di sekolah dasar.

"Astaga, Hikari Kei! Wah lama tidak berjumpa. Kamu terlihat lebih tinggi dan tampan ya. Dulu waktu masih SD, kamu sangat pendek. Bahkan waktu kelas 1, tinggi kamu hampir sama dengan meja guru," ujar Hanna kepada Kei dengan sangat gembira.

"Wah iya kah? Ternyata, aku sependek itu ya," ujar Kei kepada Hanna sambil memegang kepala nya sendiri dengan tangan kanan nya.

"Eh, maafkan aku. Aku terbawa suasana. Aku jadi tak enak sesudah mengatakan hal itu kepada mu," ujar Hanna kepada Kei dengan merasa bersalah.

"Kamu sama sekali tidak berubah. Kau sering meminta maaf kepada aku, walaupun kamu tidak melakukan kesalahan apapun kepada ku. Dan sama dengan teman mu yang itu," ujar Kei kepada Hanna dengan senyumannya sambil menunjuk ke arah Reina yang sedang mencari mie yang akan dibelinya.

"Maksud mu Reina? Yaa.., dia sangat baik, tapi keras kepala," ujar Hanna kepada Kei.

"Aku setuju dengan keras kepala yang baru saja kamu bilang, tapi aku agak kurang yakin kalau dia adalah orang yang baik," ujar Kei kepada Hanna sambil menggelengkan kepalanya.

"Sebenarnya, aku mengerti kenapa kamu berkata seperti itu. Apakah kamu belum minta maaf kepada Reina?" ujar Hanna kepada Kei sambil melihat ke arah Reina.

"Sebenarnya tujuan ku ke sini, untuk memberikan susu yang baru saja ku beli, sebagai permintaan maaf ku," ujar Kei kepada Hanna sambil memperagakan susu yang baru saja Kei beli.

"Ehh, Kei, apa yang terjadi kepada mu? Apakah kau demam sekarang?" sorak Hanna kepada Kei sambil menyentuh keningnya Kei, untuk memastikan Kei benar-benar demam.

"Hei, apa yang kamu lakukan? Aku tidak demam, Hanna," ujar Kei kepada Hanna dengan bingung.

"Kei yang aku kenal, adalah orang yang susah meminta maaf kepada seseorang, dan memberikan makanan sebagai permintaan maaf? Apakah kamu udah berubah?" tanya Hanna dengan heran kepada Kei.

"Bisa dibilang tidak, tapi masalahnya panjang, tidak bisa dibicarakan sekarang. Tapi kalau kamu ingin tau, simpan aja nomor telepon ku," ujar Kei kepada Hanna sambil mengeluarkan ponselnya.

"Wah, pasti aku adalah teman cewek mu yang pertama, yang berada di dalam kontak ponsel mu," ujar Hanna dengan sangat girang dan bersiap mencatat nomor telepon Kei.

"Yah, bisa dibilang begitu," ujar Kei sambil tertawa kepada Hanna.

Mereka berdua pun tertawa dengan sangat kencang.

Reina pun sudah mengambil mie yang akan dibelinya, dan dia akan menyusul Hanna. Tetapi, dari kejauhan, Reina melihat Kei dan Hanna berbincang dan tertawa.

"Hah, Hanna dengan bocah ambigu itu? Apa yang sedang mereka lakukan? Aku harus menyusul mereka berdua," monolog Reina dengan wajah kesal.

Reina pun sampai di hadapan Hanna dan Kei.

"Wah wah wah, keliatan nya asik sekali pembicaraan kalian berdua. Seperti sepasang pasangan. Tapi, kenapa aku sangat geram melihat kalian berdua ya?" ucap Reina dengan nada ejekan nya kepada Hanna dan Kei.

"Maksudnya, apa barusan yang kau bilang? Jangan bersikap seperti tokoh antagonis," ujar Kei yang agak sedikit terkejut melihat Reina yang tiba-tiba berada di hadapannya di saat masih berbincang dengan Hanna.

"Iya, kenapa kamu tiba-tiba bersikap seperti orang jahat? Apa yang terjadi dengan kalian berdua sebenarnya?" tanya Hanna kepada Reina dengan cemas.

"Jangan mengucapkan kata-kata retoris kepada ku, Hanna. Kan kamu tau sendiri, apa yang telah terjadi kepada ku dan bocah ambigu yang di samping mu itu," ocehan Reina kepada Hanna.

"Terserah apa kata mu, Hasane Reina," ujar Kei kepada Reina dengan santai.

"Hanna, aku udah membayar makanan yang kamu beli. Jadi, aku pergi duluan. Aku muak lama-lama berada di sini," Reina pun pergi menjauh dari Hanna dan Kei dengan ekspresi sangat kesal.

"Reina, tunggu aku. Aduh, ada apa dengan dia sih?" ucap Hanna dengan perasaan cemas.

"Mungkin ini salah aku, Hanna. Tapi, apa yang harus aku lakukan untuk meminta maaf ke dia?" ujar Kei kepada Hanna dengan merasa bersalah.

"Ya sudah, gini aja, biar saja aku yang memberikan susu itu kepada Reina, dan maksud dari susu pemberian dari mu itu," ujar Hanna kepada Kei.

"Baik lah, sampai kan kepada dia ya, Hanna. Dan beri tau kepada ku kalau dia telah memaafkan aku," ujar Kei kepada Hanna.

Lalu, Kei pun memberikan susu tersebut kepada Hanna. Kei dan Hanna pun melangkah keluar dari toko.

"Kei, sebenarnya aku ingin sekali berbicara dengan mu lebih lama lagi," ujar Hanna kepada Kei dengan malu.

Tetapi Kei santai menanggapi perkataan Hanna.

"Kayak nya kita bakalan sering bertemu, soal nya, sekarang rumah nya bibi Serika dekat dengan rumah mu," ujar Kei dengan senyuman yang menawan, matanya berbinar-binar seperti bintang di langit malam.

Hanna terkesima sejenak. "Wah benar kah, aku senang sekali mendengar nya, baik lah, aku pergi ke rumah nya Reina ya, sampai jumpa, Kei," ucap Hanna, suaranya bergetar sedikit, menahan rasa gugup yang menggerogoti hatinya.

"Baik lah, sampai jumpa, Hanna," balas Kei dengan nada lembut, senyumnya semakin lebar.

Hanna pun berlalu, langkahnya terasa ringan, hatinya dipenuhi rasa bahagia. Ia berjanji akan menceritakan pertemuannya dengan Kei kepada Reina, sahabatnya yang selalu setia menemani suka dan dukanya.

Kei menyalakan motornya, melaju meninggalkan komplek itu.

Di saat Hanna pergi menuju ke rumah Reina, ia tertegun melihat sahabatnya itu duduk di halaman rumah, air mata mengalir deras membasahi pipi Reina yang pucat. Hanna yang cemas melihat Reina, lansung berlari ke arahnya.

"Hei Rei., kamu kenapa?" sorak Hanna, suaranya bergetar karena khawatir.

Seketika, Hanna mendengar suara papa dan mama nya Reina yang sedang adu argumen di dalam rumah, suara mereka bercampur aduk dengan tangisan Reina. Hanna mendengar papa nya Reina menyebut nama Reina, dan ia mendengar papa nya menyesal menikah dengan mama nya Reina. Namun, Hanna tidak tau, apa maksud dari perkataan papa nya Reina, yang sempat menyebutkan nama anak nya.

Hanna menarik Reina untuk berdiri dan membawa Reina menjauh dari rumah, ia memeluk Reina erat, berusaha menenangkan sahabatnya itu.

"Han, kenapa mereka beruda selalu bertengkar, kalau aku yang menyebabkan mereka bertengkar, lebih baik aku mati sekarang, Hanna," ujar Reina di pelukan Hanna sambil menangis, suaranya bergetar hebat.

"Reina, apa yang barusan kamu katakan, kamu tidak boleh berbicara seperti itu," ujar Hanna, suaranya tegas, berusaha menenangkan Reina.

"Han, aku tidak berani kembali ke rumah, aku mau menginap di rumah mu Hanna, boleh kan?" ujar Reina sambil menghapus air mata nya, matanya masih berkaca-kaca.

"Apapun untuk sahabat ku," ujar Hanna, suaranya lembut, penuh kasih sayang.

"Terimakasih Hanna, mari, kita kerumah mu sekarang, aku udah lapar," ujar Reina kepada Hanna sambil tersedu-sedu, matanya menatap Hanna penuh harap.

"Baik lah, nanti setelah sampai di rumah ku, cuci muka mu, dan ada yang ingin aku bicarakan," ujar Hanna kepada Reina sambil memegang pundak kanan nya Reina, matanya menatap Reina dengan penuh perhatian.

"Baik lah, Hanna," ujar Reina kepada Hanna dengan wajah yang memerah lembab, ia mengangguk pelan, seakan mencari kekuatan dari tatapan Hanna.

Sesampainya di rumah Hanna, Reina membasuh wajah nya di dalam kamar mandi yang berada di kamar Hanna. Ia menatap wajahnya di cermin, matanya kosong, pikirannya melayang jauh.

"Apakah aku adalah puncak permasalahan mereka, sampai sampai mereka sering bertengkar, sebenarnya, apa guna nya aku di lahir kan, kenapa dunia ku tidak sama dengan Hanna, bahkan aku lebih tenang berada di sini daripada rumah ku sendiri, apakah dunia ku adalah sebuah ilusi?" monolog Reina sambil melihat wajah nya di kaca cermin di dalam kamar mandi Hanna, suaranya lirih, penuh keputusasaan.

"Reina, apa yang kamu lakukan di sana, tidak baik berlama-lama di kamar mandi tau," sorak Hanna dari luar kamar mandi, suaranya sedikit khawatir.

"Iyaa.. aku mau keluar sekarang, jangan berteriak seperti itu," sorak Reina dari dalam kamar mandi, suaranya sedikit tertahan, seakan takut membuat Hanna khawatir.

Reina pun keluar dari kamar mandi, matanya masih berkaca-kaca, ia duduk di sebelah Hanna, tubuhnya lemas.

"Reina, duduk lah di samping ku, ada yang mau ku bicarakan," Hanna menyuruh Reina duduk di sebelah nya, sambil menepuk nepuk kasur nya, matanya menatap Reina dengan penuh perhatian.

Reina pun duduk di sebelah Hanna, ia menunduk, seakan takut menatap mata Hanna.

"Apa yang mau kamu bicarakan, Hanna?" ujar Reina kepada Hanna dengan suara lemas, suaranya terdengar seperti bisikan angin.

"Ya, kamu harus mendengar kan apa yang akan aku bicarakan, aku tau, kamu benci dengan hal yang akan aku bicara kan ini," ujar Hanna sambil mengelus kepala Reina, matanya memancarkan kasih sayang.

"Aku tau apa yang ingin kamu bicara kan, baik lah, aku akan mendengar kan nya, walaupun aku muak mendengar namanya lagi," ujar Reina dengan nada rendah kepada Hanna, suaranya bergetar, penuh kekecewaan.

"Baik lah, yang pertama, fun fact, aku dan Kei adalah teman dekat sewaktu kami masih SD, dan yang ke dua, Kei pergi ke toko membeli kan kamu susu kotak sebagai permintaan maaf, dan inilah fakta yang menarik," ujar Hanna dengan girang kepada Reina, matanya berbinar-binar, penuh semangat.

"Apapun itu, selagi tidak membuat ku jijik, aku akan mendengar nya," ujar Reina kepada Hanna, suaranya datar, tanpa emosi.

Reina pun mengeluarkan seluruh belanjaan nya dan mengambil kantong belanja nya, seakan-akan ingin muntah di dalam kantong belanja tersebut..

"Hei tenang dulu, ini tidak menjijikkan kok," ujar Hanna yang kewalahan melihat tingkah lucu nya Reina, suaranya sedikit terengah-engah, menahan tawa.

"Jadi, sebenarnya, Hikari Kei orang nya sangat ramah, tetapi ketika melihat orang baru, Kei berprilaku acuh tak acuh, jadi, aku meminta kamu lebih dekat dengan Kei, jangan menolak ya," ujar Hanna dengan girang sambil mencubit pipinya Reina, matanya berbinar-binar, penuh semangat.

"Ya ya ya, terserah kamu saja, dan di mana susu pemberian dari bocah ambigu itu?" ujar Reina dengan ekspresi kesal, suaranya sedikit meninggi, penuh ketidaksukaan.

"sebentar ya, aku akan mengambil nya di luar," Hanna keluar dari kamar dan meninggal kan Reina sendirian di kamar, matanya masih tertuju pada Reina, seakan ingin memastikan bahwa Reina baik-baik saja.

"Aku, dekat dengan Kei? " perkataan hati Reina sambil memikirkan kejadian tadi siang bersama dengan Kei, suaranya lirih, penuh keraguan.

"Mungkin yang di bilang Hanna itu benar, aku harus dekat dengan Kei, supaya, kalau aku bertemu dengan dia lagi, aku tidak akan merasa jijik di saat bertatapan lansung dengan dia," perkataan hati Reina, suaranya semakin lirih, penuh keraguan.

Tapi, Reina sempat sempat nya membayangkan wajah Kei, yang mengakibatkan, wajah Reina memerah, matanya berbinar-binar, penuh keraguan.

"Apa yang kamu bayangkan Reina, kau bodoh sekali, kenapa kau cepat luluh ketika melihat orang sekeren, eh maksud ku orang yang ambigu seperti dia, ah lupakan," perkataan hati Reina sambil menutupi wajah nya dengan bantal, suaranya lirih, penuh keraguan.

"Nah, ini dia susu nya, Reina, tangkap ini! " sorak Hanna kepada Reina, dan melemparkan susu tersebut ke arah Reina, matanya berbinar-binar, penuh semangat.

Reina pun terkejut dan menangkap susu tersebut, matanya membulat, penuh keterkejutan.

"Kebiasaan banget sih kamu, Hanna, melemparkan barang secara tiba tiba kepada ku! " sorak Reina kepada Hanna dengan ekspresi terkejut, suaranya sedikit meninggi, penuh ketidaksukaan.

Reina pun melihat susu pemberian dari Kei, matanya tertuju pada susu itu, penuh rasa penasaran.

Reina terkejut melihat susu yang di belikan oleh Kei, matanya membulat, penuh keterkejutan.

"Ini kan susu favorit ku, apakah Hanna memberi tau kan nya kepada Kei, tapi kayak nya, Hanna tidak tau apa susu favorit ku," perkataan hati Reina dengan heran, suaranya lirih, penuh keraguan.

"Hanna, kamu bisa menebak, apa susu favorit ku?" tanya Reina kepada Hanna, suaranya sedikit bergetar, penuh keraguan.

"Pasti susu strawberry," Hanna menjawab pertanyaan Reina, matanya berbinar-binar, penuh semangat.

"Benar juga sih, aku juga suka susu rasa strawberry, tapi, yang di belikan Kei ini, susu rasa coklat pisang, ini susu favorit ku," Reina canggung mengatakan itu kepada Hanna, suaranya sedikit tertahan, penuh keraguan.

Hanna pun ketawa histeris dan menyarankan untuk mengirim kan pesan kepada Kei, dan memaafkan Kei, matanya berbinar-binar, penuh semangat.

"Tapi, bagai mana cara berbicara dengan orang seperti dia," ujar Reina kepada Hanna, suaranya sedikit bergetar, penuh keraguan.

"Kan ada aku, aku akan mendikte kan apa yang harus kamu tulis, tapi lebih bagus, kamu mengatakan nya melalui nalar dan hati kamu sendiri," ujar Hanna dengan gembira, matanya berbinar-binar, penuh semangat.

"Hei, sejak kapan kamu padai berbicara seperti itu," ujar Reina kepada Hanna sambil menahan tawa, suaranya sedikit bergetar, penuh keraguan.

Dan akhirnya mereka berdua melepaskan tawa nya masing-masing, tawa mereka bercampur aduk, penuh kebahagiaan.

Bersambung.

Bab 3: perkenalan yang berarti.

Jam menunjukkan pukul 23.00. Bulan purnama bersinar terang di langit, menerangi kamar Hanna yang dipenuhi dengan cahaya lembut.

"Hei, Reina, apakah anda telah kenyang, seharusnya kamu telah kenyang dengan mie pedas yang barusan kau makan," cemooh Hanna kepada Reina sambil mengayunkan sendok, matanya berbinar-binar, penuh semangat jahil.

"Kenapa kau bertingkah seperti itu, apakah kau terkena hypomania?" tanya Reina kepada Hanna dengan nada rendah, suaranya sedikit bergetar, menahan rasa kesal.

"Wah, apakah kamu lupa dengan apa yang kamu janjikan, Reina.." ujar Hanna, tawa nya pecah, membuat Reina semakin kesal.

Satu jam yang lalu.

"Aku akan menelpon Kei di saat aku udah kenyang," ujar Reina, matanya berbinar-binar, penuh semangat.

"Ya ya ya, aku harap, kamu akan melakukan nya," ujar Hanna dengan ragu kepada Reina, matanya sedikit mengernyit, penuh keraguan.

"Percaya atau tidak nya, itu bukan urusan ku lagi," ujar Reina dengan yakin akan perkataan nya, suaranya penuh keyakinan, membuat Hanna sedikit tercengang.

Reina pun mengingat perkataan yang telah dia lontar kan dengan percaya diri kepada Hanna.

"Kenapa aku berkata seperti orang bodoh, pada saat satu jam yang lalu!" sorak histeris Reina sambil menutupi wajah nya dengan bantal, suaranya penuh penyesalan, membuat Hanna terkekeh pelan.

"Dan kamu sangat bersemangat mengatakan perkataan yang kamu anggap itu bodoh," cemooh Hanna dengan di iringi ketawa kecil, matanya berbinar-binar, penuh geli.

"Yaudah, aku akan menelpon nya sekarang, haduh, kenapa aku sangat gegabah ya," ocehan Reina sambil mengetik nomor ponsel nya Kei, suaranya penuh penyesalan, membuat Hanna semakin geli.

Dua menit kemudian.

Reina telah mencoba menghubungi nomor telpon Kei sebanyak tiga kali, tapi, Kei tidak mengangkat telpon tersebut.

Ketika percobaan ke empat.

*Di rumah kediaman Kei dan keluarga.

"Hei bang Kei, kenapa aku selalu kalah bermain gim dari mu, padahal, aku udah berusaha," ujar Havik kepada Kei dengan nada lemas, suaranya penuh kekecewaan, membuat Kei sedikit tertegun.

"Havik, kau selalu berkata seperti itu, jangan karena gara-gara gim, kau bersikap pesimis seperti itu," ujar Kei sambil menepuk pundak Havik, matanya memancarkan rasa pengertian, membuat Havik sedikit terharu.

"Aku tidak mengerti, dengan apa yang abang katakan," ujar Havik dengan wajah datar, suaranya penuh keraguan, membuat Kei sedikit tersenyum.

"Yah, cepat atau lambat nya, kamu akan mengerti," ujar Kei sambil menepuk pundak Havik, matanya berbinar-binar, penuh keyakinan, membuat Havik sedikit termotivasi.

Lama kemudian, ponsel Kei berdering.

"Bang, sebenarnya, aku terganggu dengan suara dering ponsel mu, itu terjadi sebanyak empat kali," ujar Havik dengan wajah polos nya, suaranya penuh ketidaknyamanan, membuat Kei sedikit terkejut.

"Kalau begitu, tolong ambil kan ponsel ku," Kei menyuruh Havik mengambil ponsel nya yang terus berdering, matanya sedikit mengernyit, penuh ketidaksukaan.

Havik pun berdiri mengambil ponsel Kei, matanya tertuju pada ponsel Kei, penuh rasa penasaran.

"Nomor yang tidak di kenal," Havik melihat ponsel nya Kei, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa penasaran.

"Bang, ada nomor yang tidak di kenal menelpon nomor telfon mu, bang," ujar Havik sambil memperlihatkan layar ponsel Kei, suaranya penuh rasa penasaran, membuat Kei sedikit tertegun.

"Bawa kesini," ujar Kei dengan wajah datar, suaranya sedikit dingin, membuat Havik sedikit takut.

Di saat Kei mengambil ponsel nya, Kei mengira, yang menelpon nya adalah Hanna.

Kei mengangkat telfon tersebut.

"Hai, Hanna, apakah dia memaafkan ku, kalau sudah, aku lega mendengar nya," seru Kei di dalam telfon, suaranya penuh harap, membuat Reina sedikit terkejut.

"Kau bodoh sekali, harus repot repot meberikan ku susu, ternyata, kau sangat mendalami peran untuk menjadi orang baik yang sering meminta maaf bila ada kesalahan, tapi yang sedang berbicara dengan mu ini, adalah aku, Hasane Reina," ujar Reina dengan nada ejekan nya di dalam telfon, suaranya penuh kekecewaan, membuat Kei sedikit tercengang.

"Hah, apa maksud dari perkataan yang diiringi nada yang sangat kotor itu," ujar Kei yang terkejut di dalam telfon, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa heran.

"Tidak, aku cuman kagum melihat orang dingin seperti mu yang melakukan hal yang melewati batas pria dingin," ujar Reina dengan nada senang di dalam telfon, suaranya penuh kegembiraan, membuat Kei sedikit tertegun.

"Bukan urusan mu, menilai ke pribadi an aku, jadi inti nya, apakah kau mau memaafkan ku," ujar Kei dengan malu, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa harap.

"Gimana ya, sebenarnya aku tidak ingin mencari musuh selagi aku masih hidup, ya, aku memaafkan mu, tapi... " seru Reina dengan nada rayuan, suaranya penuh kegembiraan, membuat Kei sedikit tertegun.

"Jangan meminta hal yang aneh dari ku," sorak Kei di dalam telpon, suaranya sedikit meninggi, penuh ketidaksukaan.

"Aku cuman ingin menayangkan, dari mana kamu tau dengan susu favorit ku," tanya Reina dengan perasaan malu, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa penasaran.

"Naluri pria lah yang menyuruh mengambil susu itu," ujar Kei dengan santai, suaranya penuh keyakinan, membuat Reina sedikit tertegun.

Di dalam pikiran Reina.

"ha... disaat dia berkata seperti itu, aku merasakan dia adalah orang yang dikatakan Hanna barusan," perkataan hati Reina dengan wajah yang memerah, suaranya lirih, penuh keraguan.

"Halo, apakah orang yang aku telfon ini udah mati atau gimana, sebenarnya aku memiliki kesibukan malam yang harus ku kerjakan," ujar Kei dengan nada santai, suaranya sedikit dingin, membuat Reina sedikit kesal.

"Aku masih di sini, datang lah ke rumah Hanna besok, jangan menolak," ajakan Reina, suaranya penuh keyakinan, membuat Kei sedikit tertegun.

"Yaudah, di tunggu ya," ujar Kei dengan malu, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa harap.

"Apa yang sedang dia pikir kan, apakah Hanna dalang di balik semua ini," isi pikiran Kei dengan perasaan canggung, suaranya lirih, penuh keraguan.

Lalu, Kei mematikan telfon nya.

*Di rumah Hanna, lebih tepat nya di dalam kamar Hanna.

"Reina, apakah kamu sadar, apa yang kamu bilang kepada Kei," tanya Hanna dengan bingung, matanya sedikit mengernyit, penuh rasa heran.

"Eh, emang nya, apa yang aku katakan kepada nya? " tanya Reina yang juga kebingungan, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa penyesalan.

"Hadeh, kamu barusan mengajak Kei pergi ke rumah ku," ujar Hanna sambil memegang kepala nya sendiri dengan tangan kanan nya, matanya sedikit membulat, penuh keterkejutan.

"Apa! ,apa yang aku pikir kan, kenapa aku sangat bodoh disaat berbicara dengan nya! " sorak Reina sambil menutupi wajahnya dengan bantal, suaranya penuh penyesalan, membuat Hanna terkekeh pelan.

"Tidak ada komentar, kau harus menemui Kei besok, dan aku ingat dengan perkataan mu tadi," seru Hanna, matanya berbinar-binar, penuh semangat.

"Ah... apa..." tanya Reina dengan ragu, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa penyesalan.

"Kamu bilang, jangan menolak ajakan kamu bertemu dengan nya," ujar Hanna diiringi tawa, matanya berbinar-binar, penuh kegembiraan.

"Huh, kenapa aku bodoh sekali," ucap Reina menutupi wajah nya dengan bantal, suaranya penuh penyesalan, membuat Hanna semakin geli.

"Sudah sudah, ayok tidur, persiapkan diri mu besok, dan ingat, Kei tidak suka dengan orang yang bertele-tele, tapi dia lebih suka dengan orang yang berkata jujur kepada nya, mau seburuk apapun itu," ujar Hanna sambil menepuk kepala Reina dengan lembut, matanya memancarkan rasa pengertian, membuat Reina sedikit terharu.

"Baik lah," Reina tersipu malu, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa harap.

 

...****************...

"Pada saat itu, aku ceroboh menyetujui pertemuan dengan Hasane Reina, tapi apa daya, aku terlalu cepat memutuskan nya," ujar seorang laki-laki di dalam kegelapan, suaranya lirih, penuh penyesalan.

 

...****************...

Keesokan hari nya.

Pada jam 09.00.

"Tumben sekali kamu berpenampilan sangat rapi hari ini," ujar Ratih kepada Kei dengan raut wajah senang, matanya berbinar-binar, penuh kegembiraan.

"Jangan menanggapi penampilan ku bunda," ujar Kei dengan wajah datar nya, suaranya sedikit dingin, membuat Ratih sedikit terkejut.

"Bunda jadi curiga sama kamu, apakah kamu akan pergi berkencan, wah, Kei yang sangat muram ini, akhirnya mendapatkan pacar," Ratih menjahili Kei, matanya berbinar-binar, penuh kegembiraan, membuat Kei sedikit tertegun.

"Terserah apa pendapat bunda, yang penting, aku bukan pergi berkencan, hanya saja, aku ingin berkumpul dengan teman lama ku," Kei terpaksa bohong kepada Ratih, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa gugup.

"Yaudah, hati hati ya," sorak Ratih dengan bahagia, matanya berbinar-binar, penuh semangat.

"Kei, maaf kan bunda nak, gara gara masalah keluarga, sikap kamu sekarang berubah," perkataan hati Ratih, suaranya lirih, penuh penyesalan.

Di perjalanan.

Kei pergi dengan memakai sepeda motor nya, tapi, dia sama sekali tidak canggung pergi ke rumah Hanna untuk bertemu dengan Reina.

Jam 12.05.

*Di dalam kamar Hanna.

"Apakah ini terlalu berlebihan, aku kan cuman bicara sama dia, tapi, kenapa kamu mendandani aku seperti ingin pergi berkencan," ujar Reina yang ragu sambil melihat ke arah kaca cermin, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa gugup.

"Yah... gimana cara membicarakan nya ya, sebenarnya, baju ini udah lama aku simpan untuk mu, tapi, aku belum menemukan waktu yang pas untuk memberikan nya kepada mu," ujar Hanna dengan malu, matanya sedikit memerah, penuh rasa sayang.

"Haa... kamu emang teman terbaik ku, Hanna," sorak Reina dengan bahagia, suaranya penuh kegembiraan, membuat Hanna sedikit terharu.

"Gimana, kamu suka kan?" ujar Hanna dengan girang, matanya berbinar-binar, penuh semangat.

"Iya, aku suka, warna gaun nya warna pink, yang di mana, ini warna kesukaan ku," ujar Reina bahagia, suaranya penuh kegembiraan, membuat Hanna semakin gembira.

"Syukur lah," ujar Hanna sambil mencubit pipi Reina, matanya berbinar-binar, penuh kegembiraan.

Ponsel Reina berbunyi.

"Ehh... siapa ini? , wah, hahaha... " Hanna melihat ponsel Reina dengan diiringi tawa girang, matanya berbinar-binar, penuh kegembiraan.

"Ehh, Hanna, jangan di lihat," sorak Reina sambil berusaha mengambil kembali ponsel nya yang di halangi oleh Hanna, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa gugup.

"Bocah ambigu," nama kontak Kei yang di simpan oleh Reina.

"Baik baik, akan ku berikan," ujar Hanna diiringi tawa, matanya berbinar-binar, penuh kegembiraan.

Reina pun mengangkat telpon nya.

"Dimana kau, aku telah sampai di depan halaman nya rumah Hanna," ujar Kei di dalam telfon dengan suara berat, suaranya sedikit dingin, membuat Reina sedikit terkejut.

"Iya sabar dulu, aku akan keluar, tunggu di sana," ujar Reina dengan gugup, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa gugup.

Reina pun menutup telfon nya.

"Aku mau keluar dulu, Hanna," ujar Reina yang terlihat gelisah, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa gugup.

"Aku ikut! " sorak Hanna dengan girang, matanya berbinar-binar, penuh semangat.

"Yaudah, tapi lima menit setelah aku bicara dengan Kei ya," ujar Reina dengan perasaan canggung, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa gugup.

Reina pun melangkah keluar dari kamar Hanna.

"Baik lah, Reina, bersikap baik lah pada nya," sorak Hanna dari dalam kamar, matanya berbinar-binar, penuh semangat.

Reina pun keluar dari rumah Hanna, lalu Reina melihat Kei dan berjalan ke arah Kei.

"Cih, kamu nurut juga ya," cemoohan Reina kepada Kei, suaranya sedikit meninggi, penuh ketidaksukaan.

"Kau sendiri yang menyuruh aku tidak menolak," ujar Kei dengan santai, suaranya sedikit dingin, membuat Reina sedikit tertegun.

"Huh, sebenarnya, seperti yang aku bilang kemarin, aku tidak mau mencari musuh selagi aku masih hidup, jadi, mari kita perkenalan ulang," ujar Reina dengan malu, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa gugup.

"Untuk apa memperkenalkan diri kembali, dan, kau sangat beda hari ini," ujar Kei sambil menatap wajah nya Reina, matanya sedikit mengernyit, penuh rasa penasaran.

"Yaa... perkenalan kemarin, memiliki kesan yang buruk, cuman itu alasan ku," ujar Reina dengan malu, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa gugup.

"Huh apa boleh buat," ujar Kei dengan sangat dingin, suaranya sedikit dingin, membuat Reina sedikit takut.

"Apa, cewek selain Hanna, aku sebenarnya canggung kalau dia bersikap manis kayak gini, tahan Kei, jangan mudah luluh," ucapan hati Kei, suaranya lirih, penuh keraguan.

"Baik lah, perkenalkan, nama ku Hikari Kei, terserah kamu memanggilku apa, asal kan aku tidak merasa jijik mendengar nya," ujar Kei dengan wajah menahan malu, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa gugup.

"yah.. senang berkenalan dengan mu, Hikari Kei, Baik lah, perkenalkan, nama ku Hasane Reina, panggil saja dengan sebutan nama ya, aku kurang suka kalau orang memanggilku dengan nama keluarga," ujar Reina dengan senyuman manis di wajah nya, suaranya penuh kegembiraan, membuat Kei sedikit tertegun.

"A..apa.. apakah ini sisi terang nya Reina, ternyata, aku salah dalam menilai orang," perkataan hati Kei sambil menatap wajah Reina, suaranya lirih, penuh keraguan.

Reina pun sadar kalau Kei sedang menatap tajam diri nya.

"Hey, wajah mu itu menjengkelkan, biasa aja melihat wajah ku," ujar Reina dan nada yang tinggi, suaranya sedikit meninggi, penuh ketidaksukaan.

"Oh.. maaf, aku cuman ada yang beda di dalam diri mu, ternyata selain menjengkelkan, kamu juga bisa bersikap manis seperti ini, tolong jangan salah paham," Kei tidak sengaja mengeluarkan kata kata yang menurut nya menjijikkan itu, suaranya sedikit bergetar, penuh rasa gugup.

"Haa... apa yang aku katakan barusan!!" ucapan hati Kei dengan wajah nya yang memerah, suaranya lirih, penuh penyesalan.

"Hah... Kei, kenapa dia tiba tiba memuji ku!!" ucapan hati Reina dengan wajah nya yang memerah, suaranya lirih, penuh keraguan.

Tidak lama kemudian.

"Baa.. apa yang sedang kalian lakukan, hah, wajah memerah, hahaha, kalian sangat lucu," Hanna mengejutkan Kei dan Reina, matanya berbinar-binar, penuh kegembiraan.

"Jangan berkata seperti itu!!" sorakan serentak dari Kei dan Reina, suara mereka bercampur aduk, penuh rasa malu.

"Huh hehehe... dari pada di luar, bagaimana kita berbicara di ruang tamu, aku membuat kan minum kesukaan mu loh, Kei," ucap Hanna dengan senang hati, matanya berbinar-binar, penuh semangat.

"Aku harap itu bisa di minum," ujar Kei dengan sangat santai, suaranya sedikit dingin, membuat Hanna sedikit terkejut.

Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah Hanna.

 

...****************...

"Entah bagai mana, pada saat itu, hati ku lansung luluh, ketika melihat sisi terang nya Reina, dan pada saat itu lah, aku mendapatkan teman baru, meski pun dia sangat menjengkelkan, tapi dia bisa membaca suasana hati orang, hah... pengen balik ke masalalu," ujar laki-laki yang dimana itu adalah Kei dari tahun 2025, suaranya lirih, penuh penyesalan.

Kei yang sekarang, lebih tepat nya, pada tahun 2025, dia sedang mengingat masa lalu nya yang indah bersama Hasane Reina, walaupun itu menyakitkan, tapi, terkadang itu membuat Kei merasa senang.

...****************...

 

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!