NovelToon NovelToon

As You Wish, Duke!

Seorang Haliden

Rambut hitam, bermata coklat cerah, kulit pucat dan ramping. Itu adalah Elia Haliden, putri bungsu Duke Haliden yang memiliki ciri fisik paling berbeda dengan kedua kakaknya.

Seorang Haliden akan memiliki rambut berwarna emas dengan mata hijau emerald. Ini adalah garus keturunan asli Haliden yang tidak akan terbantahkan. Oleh sebab itu, Elia dianggap sebagai malapetaka, kutukan, hingga darah kotor keluarga.

Duchess Haliden, bunuh diri tak lama setelah Elia lahir. Rasa bersalah dan rendah dirinya lebih kuat karena merasa membawa aib keluarga Haliden. Kelahiran Elia adalah hal paling memalukan bagi seorang Duchess yang setia kepada suaminya.

Armand Haliden, sang Duke membenci putri sulungnya karena menjadi penyeban kematian tragis istri tercintanya. Dia mencurahkan rasa marahnya dengan mengabaikan Elia, sang putri yang memiliki darah tercemar. Dia sangat percaya pada istrinya, namun setiap melihat Elia dia seperti melihat pengkhianatan istrinya.

Sang Duchess yang tidak bisa lagi memberikan pernyataan bahwa dia adalah istri setia. Karena inilah Elia selama dua puluh tahun hidup dalam kesengsaraan. Keluarganya membuangnya, para pelayan mengabaikannya, tidak ada yang mau menerimanya. Dia hidup seperti orang yang sudah mati di dalam rumah besar Haliden yang tampak damai dari luar.

Dia sama sekali tidak diijinkan untuk keluar. Bahkan menginjakkan kaki di taman saja Elia dilarang. Berbeda dengan kakak perempuannya, Elois Haliden, sang bintang sosial. Kecantikannya melegenda. Dia dipuja-puja oleh semua orang. Dia adalah calon istri putra mahkota.

Kemudian kakak pertamanya, sang Duke muda, Elyos Haliden, adalah pemimpin dari pasukan pengawal keluarga kerajaan Delian. Prestasinya setara dengan pahlawan negara. Dia adalah salah satu anak buah dari jenderal besar Delian, Julius Harbert atau putra ketiga kaisar dari garis keturunan seorang selir.

Hanya Elia seorang yang berkembang di tempat. Dia seorang hadis muda tapi tidak pernah debut di dunia sosial. Seorang anggota keluarga yang tak dianggap keluarganya sendiri. Seorang manusia yang bukan bagian dari manapun. Dia hanya hidup dan berusaha bertahan hidup. Entahlah kenapa dia ingin bertahan hidup dari kehidupannga yang menyedihkan. Hanya satu jawabannya, harapan.

Harapan yang selalu Elia ucapkan sebelum tidur akhirnya dijawab oleh Dewa. Seberkas cahaya yang disebut harapan datang menghampirinya.

Suatu pagi dia dipanggil oleh ayahnya, Duke Haliden.

Pintu tinggi dan besar itu menjadi tanda betapa tingginya kedudukan orang yang ada di dalamnya. Saat pintu terbuka, seorang pria tua yang berwajah kasar terlihat. Ini adalah kali pertama Elia memasuki kantor ayahnya. Meskipun dia beberapa kali berpapasan dengan ayahnya, mereka tidak pernah saling mengobrol. Bahkan bertegur sapapun tidak pernah. Tatapan sinis dari seorang ayah membuat tubuh Elia meringkuk. Dia lebih memilih diam disudut agar tidak terlihat.

"Anda memanggil saya ayah." Suaranya kaku. Menyebut kata "Ayah" sangat asing dilidahnya. Ah bahkan mengeluarkan suara adalah hak istimewa baginya. Kesehariannya yang dimakan kesendirian dan tidak memiliki teman untuk berbicara membuat Elia cenderung diam.

Alih-alih menjawab, Duke Haliden mengangkat salah satu alisnya seraya dengan malas menatap gadis kecil yang meringkuk di hadapannya. Rambut hitam itu mengingatkannya pada seseorang. Istri tercintanya, Yellia Haliden.

Sejarah panjang Haliden percaya jika darah Haliden adalah darah murni dengan superioritas tertinggi. Dikatakan bahwa keluarga Haliden adalah pendukung dari berdirinya Kerajaan Delian. Karena sumbangan besarnya ini, raja Delian pertama memberikan hadiah dari Dewa, yaitu kemurnian darah keturunan Haliden. Jika seorang dari Haliden lahir tidak menyerupai leluhurnya, artinya keturunan tersebut telah bercampur dengan darah dari luar.

Hari kelahiran Elia adalah hari pertama kalinya keturunan Haliden tercemar. Seorang putri yang lahir tidak seperti keturunan keluarga lainnya.

Rasa pahit inilah yang menjadi penyakit hati Albert Haliden, sampai sekarang dia masih tidak percaya jika istrinya tidak setia. Tapi bukti nyata dari semua itu terpampang nyata di matanya. Elia Haliden, menjadi simbol dari pengkhianatan Yellia Haliden.

Albert menelan rasa pahit dihatinya dengan membenci putri bungsunya. Seorang anak yang seharusnya tidak bisa disalahkan. Selain bukti mengkhianatan, Elia juga menjadi alasan dia kehilangan Yellia. Kehadiran Elia menjadi pukulan telak baginya. Anak itu tidak bisa untuk tidak dibencinya. Terlalu banyak variabel yang membuatnya pantas bersalah.

"Ada lamaran datang dari istana Delian, kamu akan menikah dengan pangeran ketiga, Julius Harbert."

Tubuh Elia bergetar mendengar suara menusuk ayahnya. Hingga tak sengaja tatapannya berserobok dengan sorot kebencian dari ayahnya. Elia bergidik. Segera dia menundukkan kepalanya untuk menatap sepatu usangnya.

Saat dia hendak menjawab, suara ayahnya memotongnya.

"Dalam satu minggu lagi akan ada kereta yang menjumputmu. Tidak ada perayaan pernikahan. Perjanjian pernikahan telah ditanda tangani oleh kedua keluarga. Hari ini kamu resmi menjadi Duchess Harbert. Selamat!"

Ada jeda sebentar.

"Keluar sekarang. Tidak ada lagi yang perlu disampaikan."

Tidak seperti biasanya, kata-kata ayahnya lebih panjang. Biasanya hanya decakan, desisan hingga gumaman ketidaksukaan yang dia terima. Tapi rasa sakitnya sama seperti biasanya. Kata-kata ayahnya tidak menyenangkan. Namun Elia tidak menangis. Dia sudah lama tidak peduli dengan keluarganya. Dia bertahan karena dia ingin hidup.

Sepanjang perjalanan dia kembali ke kamarnya, Elia berpikir panjang. Apakah ini adalah jawaban dari Dewa atas doa-doanya. Akhirnya dia akan keluar dari mansion Haliden. Apakah akhirnya dia dibebaskan dari penjara bernama keluarga ini, dan masih banyak lagi pemikiran di kepala Elia hingga tidak terasa waktu satu minggu berlalu begitu cepat.

Dia hanya fokus pada kebebasannya dari mansion Haliden hingga melupakan tujuannya keluar dari mansion itu. Pernikahan.

Elia tidak pernah menghadiri kelas sebagai putri Duke. Jadi dia tidak tahu pelajaran tentang pernikahan, menjadi seorang istri, atau menjadi seorang Duchess. Hanya sedikit pengetahuan yang dia curi dari buku-buku di perpusatakaan ayahnya saat dia sedang bosan. Itupun sangat sedikit.

Kebahagiaannya bisa keluar dari rumah terkutuk itu membuatnya lupa jika tempat baru yang dia datangi tidak jauh berbeda dengan Haliden. Senyum Elia langsung sirna. Rumah barunya Harbert, sama dengan Haliden, tidak menerimanya.

Kereta kuda yang biasa saja, pakaian yang tidak istimewa, tidak ada sambutan, bahkan di malam pertama pernikahannya suaminya tidak datang ke kamar. Elia masih tidak menangis. Takdirnya masih sama. Diabaikan. Entah apa kesalahannya, Elia terlalu enggan untuk bertanya pada siapapun.

Satu hal yang masih dia ingat dari perkataan ayahnya, "Selamat telah menjadi Duchess!". Elia merenung dikamar barunya yang gelap dan sepi, sama dengan kamar lamanya. Perbedaannya hanya tidak berbau apak. Kamarnya sekarang lumayan bersih. Jika dia seorang Duchess paling tidak dia akan memiliki kamar dengan skala lebih besar dari kamar Elois. Dia pernah mengintipnya beberapa kali, dan pernah tertangkap. Elia tidak pernah lagi berani mendekati kamar kakaknya setelah cambukan seratus kali yang dia terima.

"Duchess Harbert, nama yang menggelikan." Gumam Elia parau. Dia mendesah pelan kemudian membaringkan tubuhnya yang lemah ke kasur yang empuk hingga tubuhnya terbawa ke alam mimpi.

Bersambung...

Julius Harbert

Sebuah suara berisik membangunkan Elia dari tidurnya. Dia punya kebiasaan mengunci kamarnya. Menghindari gangguan yang tidak diinginkan dari para pelayan.

Ketukan keras diikuti teriakan terdengar dari luar pintu. Elia dengan berat hati mengangkat tubuhnya kemudian berjalan mendekati pintu.

Begitu bunyi klik pintu terbuka, tubuhnya tersapu oleh ombak manusia yang menerobos masuk. Elia terhuyung ke samping.

"Bagaimana anda bisa mengunci pintu?" Seseorang berteriak.

Elia yang belum memahami situasinya hanya mampu diam dan memperhatikan mereka.

"Semuanya, segera urus dia karena Duke sudah menunggunya."

Tidak diberi waktu untuk memahami situasinya, tubuh Elia segera diseret ke kamar mandi. Dalam waktu singkat dia telah berganti pakaian dan wajahnya dirias. Pakaian yang entah datang darimana dan sentuhan dari tangan-tangan yang tidak dia kenal. Elia tak berdaya. Saat dia sadar, dia sudah berada di tempat makan yang super besar. Ruang makan Haliden tak ada apa-apanya dari ini.

Warna emas yang mendominasi hingga hidungan yang menggugah selera. Di ujung meja panjang duduk seorang pria yang tak kalah indahnya. Elia reflek memberi hormat. Dia tidak tahu siapa dia, hanya sebuah kebiasaannya saja. Seolah dia berbuat salah maka dia harus menunduk terlebih dahulu.

Terlintas di benaknya, apakah dia suaminya.

"Duduklah." Suaranya juga indah.

Elia mengangkat kepalanya kemudian duduk di kursi yang dekat dengannya. Jarak mereka seperti langit ke bumi. Sangat jauh. Tapi orang itu tidak berkata apa-apa, dia hanya fokus pada makanan di depannya.

Tanpa sadar makanan sudah terhidang di mejanya. Satu potong daging yang kaya rasa lengkap dengan sayuran untuk menambah cita rasanya. Tatapan Elia melekat pada makanan yang tidak pernah dia makan sebelumnya. Rasa pahit diabaikan kemarin pudar begitu saja. Setidaknya dia masih diberi makan yang layak.

Saat tangannya hendak mengambil pisau, sebuah suara menginterupsinya.

"Pernikahan ini hanya sebuah perjanjian belaka."

Ah benar, orang itu adalah suami Elia, sang Duke Julius Harbert. Elia buru-buru menyembunyikan tangannya yang gemetar. Dia menegakkan punggungnya, siap mendengarkan apapun yang akan dia katakan. Makanan dihadapannya sekarang sudah tidak menarik lagi.

Tahukah orang itu bahwa sekarang adalah pertama kalinya Elia makan di meja makan yang penuh makanan. Dia selalu makan di kamar karena dia dilarang mendekati meja makan. Harapannya memang terlalu tinggi. Hidupnya masih sama.

"Jangan pernah berpikir kita adalah pasangan suami istri sungguhan. Pernikahan ini adalah sebuah hukuman bagiku."

Elia sedikit menoleh untuk melihat wajah Julius. Tampan tapi dingin. Itulah kesan Elia. Sudut bibirnya yang kaku dan tatapan jijik padanya, persis seperti tatapan orang Haliden. Elia kembali memusatkan perhatiannya pada piringnya yang mulai mendingin.

"Saya mengerti." Jawabnya lirih.

"Hiduplah seperti orang mati di dalam mansion dan jangan pernah mencampuri urusan masing-masing."

Kali ini Elia mengangguk.

"Sampai kemarahan ayahku mereda, kamu tetaplah Duchess Harbert. Semua orang disini akan memperlakukanmu sewajarnya. Jadi kamu hanya perlu diam hingga waktu perceraian tiba."

Siapa wanita yang mendengar perceraian di hari pertamanya menikah jika tidak Elia Haliden, tidak, Elia Harbert seharusnya. Jadi dia hanyalah bidak catur raja untuk menghukum anaknya yang bersalah. Lagi-lagi kesalahan dilimpahkan kepadanya. Apa bedanya dengan Haliden, Harbert sama saja.

Sesuatu yang disebut Elia sebagai harapan telah hangus tak bersisa. Kenapa dia harus mendapatkan perlakuan seperti ini padahal dia tidak pernah berbuat salah. Dunia ini sangat tidak adil baginya. Dengan tangan terkepal Elia kembali mengangkat kepalanya.

"Terima kasih atas kemurahan hati anda Yang Mulia. Tapi saya ingin meminta sesuatu pada anda." Dengan sisa keberaniannya Elia ingin bertaruh. Jika akhirnya dia akan dipukuli seperti di Haliden setelah berani menantang Duke, Elia akan menerimanya.

Alis Julius terangkat sebelah. Dengan suara berat dia menjawab.

"Katakan."

"Anda mengatakan jika saya akan diperlakukan sewajarnya."

Julius mengangguk dengan enggan.

"Apakah saya akan mendapatkan makanan yang layak dan diperbolehkan sesekali mengunjungi perpustakaan dan jalan-jalan di taman? Saya tidak akan meminta pelayan pribadi atau perlakuan istimewa, tentu saja saya tidak akan mencampuri urusan anda. Saya akan hidup seperti orang mati disini. Kadang saya juga bosan, bisakah anda mengabulkan permintaan saya ini?"

Julius tertegun sejenak. Gadis kecil yang sepertinya akan hancur dengan sekali pukulan itu bicara panjang lebar sejak mereka duduk bersama. Tidak sesuai dengan rumor yang beredar. Jika putri kedua Duke Haliden menderita penyakit anti sosial. Buktinya dia bisa berbicara lancar dengan orang lain.

Saking bingungnya, Julius hanya mengangguk.

"Terima kasih Yang Mulia." Elia menekankan kata penghormatan paling dalam di belakang.

Merasa tidak ada yang perlu lagi dia lakukan, Elia berdiri kemudian meminta izin untuk kembali ke kamarnya. Kekuatannya tiba-tiba melemah dan tubuhnya terhuyung ke tempat tidur. Elia meringkuk seperti bola dengan kaki tertekuk hingga dada.

Dia tidak menangis. Matanya panas tapi dia tidak ingin menangis. Air matanya terlalu berharga untuk dia sia-siakan. Saat kecil dia pernah menangis hingga dehidrasi, berharap akan sedikit perhatian dari keluarganya. Namun dia sama sekali tidak pernah mendapatkannya. Bahkan jika dia mati sepertinya tidak ada yang peduli padanya.

Elia menutup erat-erat matanya berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.

Sesuai dengan janjinya, dia hanyalah Duchess dengan nama saja. Bukan istri dari Duke ataupun nyonya rumah Harbert. Elia hidup seperti tikus mati dengan baik. Dia menghindari bertemu dengan orang lain. Di pagi hari dia akan mengunci diri di kamar, saat malam dia akan mengumpulkan makanan dari dapur untuk disimpan di kamarnya. Untungnya kamarnya berada di lantai dua tanpa penghuni. Belakangan dia mendengar dari pelayan jika lantai dua adalah kamar tamu. Tidak ada yang pernah berkunjung di mansion Harbert.

Saat mansion mengadakan perjamuan, Elia bisa bersembunyi dengan baik. Para tamu diarahkan untuk menginap di mansion luar yang terpisah dengan mansion utama. Kurang lebih dia tahu struktur tempat tinggalnya dari seringnya dia berjalan-jalan di taman, tentu saat tidak ada orang. Dia hanya mengunjungi perpustakaan dan taman jika bosan. Elia lebih banyak berdian diri di dalam kamarnya.

Mungkin bisa dihitung dengan jari saat dia bertemu dengan Julius. Selain tak sengaja berpapasan, tak ada alasan untuk Julius memanggil Elia. Sebaliknya Elia juga tahu batasnya.

"Pernikahan yang menyedihkan." Gumam Elia saat dia memandang bulan purnama di atas langit. Hari ini adalah bulan purnama dan tahun ketiga dia menikah dengan Julius. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat.

Taman Harbert selalu indah seperti biasanya. Dia ingin melihat bulan lebih dekat hari ini. Malam menjadi semakin pendek saat musim panas. Ini adalah musim panas ketiganya di Harbert. Elia mendesah pelan.

Saat angin malam mengenai gaun tidurnya yang tipis, tubuh Elia menggigil. Sudah saatnya dia kembali. Dia terlalu lama Elia takut ada orang yang melihatnya. Bukan apa-apa, dia hanya tidak ingin melihat tatapan tidak nyaman mereka.

Langkahnya pelan menembus kegelapan, saat belokan pertama menuju lorong pintu belakang dapur, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar. Suara gaduh dari dalam mansion juga bocor keluar. Tiba-tiba mansion menjadi terang benderang di tengah malam.

Elia berlari untuk melihat apa yang terjadi.

"Cepat panggil dokter!" Teriak ajudan pribadi Julius yang Elia tahu tapi tidak mengenalnya. Tidak pula tahu namanya.

Dari balik kaca penghubung dapur menuju ruang tengah, terlihat samar-samar tubuh Julius yang tergeletak bersimbah darah. Semua pelayan panik, termasuk kepala pelayan Nyonya Mary. Wanita tua gemuk yang selalu memasang wajah garang padanya.

Bersambung...

Jangan Mati

Mansion sekejap berubah menjadi ramai. Ruang tengah dan lantai satu dipenuhi dengan orang-orang. Bahkan tabib dari istana telah datang dengan membawa banyak orang.

Elia berhasil menyelinap sebelum suasana menjadi kacau. Dia mengintip dari balik pintu kamarnya. Suara para pelayan cukup keras hingga sampai ke telinganya.

Duke Harbert sudah menikah, tentu semua orang tahu. Tapi tidak ada satupun yang mencari keberadaannya. Tidak ada yang menanyakam dimana Duchess Harbert.

Dari apa yang dia dengar Elia bisa menyimpulkan. Julius terluka saat menghadapi pemberontak wilayah utara Delian. Dia sedang perjalanan kembali saat rombongannya disergap di hutan tak jauh dari gerbang istana. Dia terkena panah beracun di sekitar dadanya. Untung saja racunnya tidak sampai menyebar tapi panah tersebut merusak jaringan kulit dan tulang di sekitar dada. Saat ini kondisi Julius belum sadarkan diri.

Selain informasi ini Elia juga mendengar jika Julius pergi ke perbatasan karena perintah raja. Tiga tahun lalu Julius pernah menentang perintah raja hingga akhirnya dia di hukum. Kalau tidak salah, hukumannya adalah menikahi wanita cacat dari keluarga Haliden.

Elia meringis mendengar kata cacat. Seperti apa dunia luar menggambarkan dirinya sebagai putri bungsu Haliden.

Menjelang dini hari mansion mulai tenang. Para pelayan kembali ke kamar mereka dan tersisa beberapa orang saja seperti dokter dan pengawal pribadi Julius.

Meskipun telah tiga tahun tinggal bersama dalam satu rumah, Elia tidak tahu dimana kamar Julius. Dia hanya tahu kamar Julius ada tepat di lantai bawahnya. Karena tidak bisa tidur dan penasaran Elia memutuskan untuk menyelinap ke kamar Julius.

Tidak sulit untuk menemukannya. Lorong lantai satu dipenuhi dengan bau obat yanh menyengat. Bau itu semakin menyengat ketika langkahnya sampai di kamar paling ujung. Pintunya sedikit terbuka dan tidak ada penjaga. Elia hanya ingin mengintip sebentar kemudian pergi. Tanpa disadari kakinya terus bergerak masuk hingga tempat Julius berada.

Terbaring dengan dada penuh balutan perban, mata terpejam erat dan wajah pucat berantakan. Julius kehilangan banyak darah tentunya. Kondisinya saat ini kritis. Dia baru saja menjalani perawatan intensif dari para dokter kerajaan. Kamar kosong, tidak ada satupun yang menjaganya. Elia mengedarkan pandangannya sekilas. Para dokter dan pengawalnya mungkin sedang beristirahat. Sepanjang malam mereka telah bekerja keras.

Elia mengambil tempat duduk tepat disamping Julius. Pria yang terbaring tak berdaya ini adalah suaminya. Orang yang menjadi asing dan tidak cocok dengan kata suami. Hubungan mereka hanya kepura-puraan. Seluruh kerajaan tahu, Elia Harbert hanyalah orang-orangan sawah di mansion Harbert. Banyak wanita bangsawan yang menunggu kemurahan hati raja untuk menghentikan hukuman Julius. Singkatnya, perceraian.

Pangeran ketiga yang sangat potensial dan terkenal hingga pelosok negeri, siapa yang tidak ingin mendampingi hidupnya. Elia menjadi ingin tahu apa yang dilakukan hingga membuat raja marah dan menghukumnya seperti ini.

Ah sesuatu tiba-tiba terlintas. Bagaimana hidupnya setelah mereka bercerai. Apakah dia akan dikembalikan ke Haliden atau dibuang dijalan. Pilihan pertama lebih menakutkan daripada pilihan kedua. Jika dia tidak kembali ke Haliden setelah bercerai ada kemungkinan ayah dan kakak laki-lakinya akan mencarinya. Mengurung dan menyiksanya lagi di mansion.

Seluruh tubuh Elia merinding. Meskipun tidak jauh beda, Elia lebih suka hidup disini. Setidaknya dia tidak mendapat kekerasan secara fisik. Tapi jika Julius mati bukankah artinya dia bercerai lebih cepat. Apakah orang ini akan bertahan dengan luka yang serius seperti ini.

Kematian Julius membayanginya. Dia tidak ingin kembali ataupun diseret kembali ke Haliden. Hidup mandiri tanpa wali sebagai wanita juga terlalu beresiko. Dia tidak pernah keluar rumah sejak di lahir.

Mata Elia panas memikirkan nasibnya yang menyedihkan ini. Akan sama akhirnya bagi Elia, mau itu diceraikan atau Julius mati. Jika Julius mati kembalinya ke Harbert akan lebih cepat, untuk berpisah dengan Julius masih belum ditentukan. Elia bisa mempertaruhkan ini.

"Tolong jangan mati." Gumamnya lirih sambil menyeka air matanya. Untuk pertama kalinya Elia menangis demi seseorang. "Tolong bertahanlah." Lanjutnya.

Bukan karena dia ingin tinggal lebih lama di Harbert. Namun lebih baik bertahan di Harbert karena dia belum memikirkan masa depannya. Berkaca dari kejadian ini, Elia harus memikirkan setiap kemungkinan yang akan terjadi. Perceraian atau kematian, tak ada jaminan dia akan bertahan di Harbert.

"Apa yang anda lakukan disini?" Sebuah suara dengan oktaf tinggi mendekati Elia.

Sontak Elia langsung bangun dari kursinya. Dia mengenali wajah orang itu, ajudan Julius. Meskipun samar nampak jelas jika dia sedang menahan amarah.

"Maaf saya hanya ingin melihat keadaan Duke."

Wajah ajudan itu mengeras. Tubuhnya yang menjulang tinggi menakutkan. Elia menciut seraya menjauhi Julius. Seperti biasa, Elia akan pergi secara diam-diam. Namun sebelum dia mencapai pintu sang ajudan menghentikannya.

"Tidak ada yang mengharapkan kehadiran anda disini." Suara dingin yang menusuk, sama seperti majikannya.

"Maaf saya salah. Tidak akan saya ulangi lagi."

"Jika bukan karena anda, Yang Mulia pasti sudah bisa kembali ke istana. Kejadian ini pasti tidak akan terjadi. Kenapa anda tidak pergi saja dari Harbert."

Elia diam. Kakinya terpaku di tempat. Dia tidak ingin pergi, apakah itu tuduhan baru untuknya. Jadi mereka tidak bisa mengusirnya maka dari itu mereka mengharapkan kepergiannya. Jika dia pergi Julius bisa kembali ke posisi sebagai pangeran ketiga.

"Menikahi wanita dengan darah tercemar seperti anda sudah merupakan penghinaan bagi Yang Mulia. Dengan kehadiran anda yang tidak tahu malu di mansion Harbert menambah rasa malu Yang Mulia. Kenapa anda masih bertahan padahal sudah diabaikan? Apakah anda tidak punya harga diri? Kembalilah ke keluarga anda. Maka semua masalah ini akan selesai."

Kalimat panjang lebar yang pertama kali Elia dengar dari orang Harbert bukanlah dari Julius, suaminya, tapi dari orang lain yang tidak dia sangka. Apakah itu perasaan Julius padanya. Seperti mendengarnya sendiri dari Julius. Elia adalah hambatan baginya. Rasa malu yang tidak bisa dia hilangkan. Alasan bagi Julius tidak bisa kembali ke istana.

Langkah kaki Elia berat. Jadi selama tiga tahun ini Julius menginginkan kepergiannya. Kenapa tidak mengatakan sendiri kepada Elia. Kenapa harus menyembunyikannya. Dia sudah cukup tahan dengan pandangan orang-orang. Kenapa semua orang jahat padanya. Padahal dia sama sekali tidak pernah melakukan kesalahan apapun.

Tangis Elia pecah kembali. Dia hanya ingin hidup, hanya ingin bertahan. Kenapa rasanya sulit sekali.

Apakah jika dia mati semua orang akan bahagia, apakah mereka akan mengenang sedikit saja tentangnya. Sepertinya tidak. Tidak akan ada yang peduli. Dia tidak penting bagi siapapun.

Kalau dia tidak ada, tidak mempengaruhi siapapun bukan. Untuk pertama kalinya Elia memiliki tekad.

Kematian adalah jawabannya.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!