NovelToon NovelToon

Perjalanan Waktu

1. Zaragoza

Zaragoza, atau akrab disapa Goza, adalah seorang gadis berusia 22 tahun yang hidup di zaman modern dengan segala kecanggihan teknologi yang ada. Di hadapan keluarga, Zaragoza dikenal sebagai wanita ceria, ramah, dan suka usil. Namun, di balik sikap cerianya, ia menyimpan satu rahasia besar yang tak pernah ia bagi dengan siapa pun, bahkan keluarganya.

"Goza, Papa, Zergio, turun! Sarapan dulu," seru Chaitlin, Ibu Zaragoza, yang sudah menjadi alarm alami keluarga itu setiap pagi.

Zaragoza yang masih nyaman terbungkus selimut tebal, mulai terusik oleh suara sang Ibu.

"Iya, Ma. Bentar," sahutnya malas, entah terdengar atau tidak, yang penting ia sudah menjawab. Prinsip hidup Zaragoza yang penting "respons".

Dengan enggan, Zaragoza pun bangkit dari tempat tidurnya, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan penampilan siap kerja, kemeja putih dipadukan dengan blazer mint, rok span putih yang jatuh lima sentimeter di atas lutut, sepatu hak hitam, dan tas tangan senada. Wajahnya sedikit dipoles make-up, dan rambutnya dibiarkan tergerai, menambah kesan elegan yang khas dari Zaragoza Chadwick.

"Good morning, Ma, Pa, Kak," sapanya ceria pada keluarga di ruang makan.

Zaragoza adalah anak kedua dari pasangan pengusaha kaya di negara Neroga, Ringgo Chadwick dan Chaitlin Wilsh Chadwick. Ia memiliki seorang kakak laki-laki bernama Zergio Chadwick, yang kini berusia 26 tahun.

"Morning, darling," sahut Ringgo dan Chaitlin kompak.

"Lama banget sih, Za. Kakak udah laper nungguin kamu," protes Zergio dengan nada manja.

"Siapa suruh nungguin Goza?" balas Zaragoza sambil menyenggol bahu kakaknya, yang langsung mendapat sungutan kesal dari pria itu.

"Udah, udah… Kalian ini kayak anak kecil. Kalau deket berantem, nanti kalau jauh malah kangen-kangenan sama Mama," Chaitlin harus turun tangan melerai pertengkaran kecil dua anaknya yang sudah dewasa.

"Ayo makan, Papa hampir telat," Ringgo ikut menengahi, mendorong mereka untuk segera menikmati sarapan.

Suasana sarapan berlangsung penuh canda dan tawa. Keluarga kecil itu tampak sangat harmonis. Namun, tanpa mereka sadari, sesuatu yang akan mengubah hidup mereka sepenuhnya sedang menunggu di depan mata.

"Goza udah selesai, ya. Goza berangkat ke kantor duluan, ada yang harus diselesaikan pagi ini," pamit Zaragoza sambil berdiri.

"Iya, sayang. Hati-hati di jalan," sahut Chaitlin dan Ringgo bersamaan. Zaragoza hanya membalas dengan acungan jempol dan senyum ringan.

...*****...

Zaragoza melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Pagi itu jalanan belum terlalu padat, sehingga perjalanan menuju kantor terasa lebih tenang dari biasanya. Setibanya di gedung perusahaan, Zaragoza langsung memarkirkan mobilnya di area khusus untuk para petinggi. Ia turun dari mobil dengan anggun, mengenakan kacamata hitam favoritnya.

Begitu memasuki lobi utama, tatapan para karyawan langsung tertuju padanya, sebagian penuh kekaguman, sebagian lainnya memilih menunduk dalam diam. Di perusahaan ini, Zaragoza dikenal sebagai sosok pimpinan yang tegas, berprinsip kuat, dan tidak pernah mentolerir kesalahan, terutama yang menyangkut reputasi perusahaan maupun harga dirinya.

"Selamat pagi, Nona," sapa para karyawan yang ia lewati. Panggilan "Nona" adalah sapaan formal untuknya di lingkungan kerja. Zaragoza hanya membalas sapaan itu dengan anggukan kepala, dingin namun berwibawa.

"Good morning, my Lady Queen Zarago~" suara ceria menyambutnya saat ia memasuki ruang kerja pribadi. Ternyata Klara, sahabat sekaligus asisten pribadinya, sudah menunggu di sana dengan wajah polos yang kadang menyebalkan.

"Klara, ini kantor, bukan markas. Jaga sikap dan ucapan kamu," ujar Zaragoza sambil berjalan menuju meja kerjanya. Ia duduk di kursi empuk, lalu meletakkan tas dan mulai menata dirinya.

"Ih, Gozaa. Tapi itu kan panggilan kebesaran kamu! Lady Queen Zarago," sahut Klara sambil menyilangkan tangan di dada dan manyun ke depan.

Zaragoza hanya bisa geleng kepala, gemas sekaligus kesal melihat ekspresi sahabatnya itu. Tanpa ragu, ia mencubit kedua pipi Klara.

"Aduh, Goza! Sakit tahu!" Klara meringis, berusaha melepaskan tangan Zaragoza dari wajahnya.

"Salah sendiri, udah dibilangin masih ngeyel. Mulut kamu tuh," balas Zaragoza sambil terkekeh kecil.

"Oh iya, ngomong-ngomong soal markas... Sonia tadi bilang kita harus kumpul di sana pas jam makan siang, kan?"

Ya, selain menjadi seorang pimpinan perusahaan, Zaragoza juga adalah pemimpin tertinggi organisasi mafia paling berpengaruh di negara Neroga.

*

*

*

*

Kilas balik.

Saat Zaragoza berusia 17 tahun, ia pernah menemani ayahnya, Ringgo, dalam perjalanan bisnis ke kota Denon. Saat Ringgo sedang sibuk dalam pertemuan dengan klien, Zaragoza memutuskan berjalan-jalan di sekitar pantai yang tenang. Di sela langkahnya, matanya menangkap sosok kakek tua yang tergeletak lemas di balik semak-semak di pinggir pantai.

"Ya Tuhan… siapa itu?" gumamnya kaget, lalu berlari mendekat. Ia memeriksa denyut nadi dan napas sang kakek. Masih hidup.

Tanpa pikir panjang, Zaragoza segera meminta bantuan orang-orang di sekitar untuk membawanya ke rumah sakit terdekat. Kondisi kakek itu kritis, berdarah parah dan kehilangan banyak darah.

Setelah sampai di rumah sakit, Dokter segera mengambil tindakan operasi darurat.

Kini Zaragoza duduk di depan ruang operasi, menanti dengan cemas. Tak lama, seorang dokter keluar.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Zaragoza cepat.

"Apakah Anda keluarganya?" tanya dokter, sedikit ragu, karena dokter tersebut tahu betul siapa pasien yang ia tangani sekarang.

"Bukan. Tapi saya yang membawanya ke sini," jawab Zaragoza dengan ekspresi datar.

"Pasien sudah melewati masa kritis. Keadaannya mulai stabil, tinggal menunggu kesadarannya pulih setelah efek bius hilang. Kami akan memindahkannya ke ruang rawat inap."

Dokter itu berlalu, disusul beberapa suster yang mendorong ranjang tempat sang kakek berbaring. Zaragoza mengikuti dengan diam, hatinya terasa berat. Ia belum tahu, pertemuan itu akan mengubah hidupnya selamanya.

Kakek tua itu dipindahkan ke ruangan VIP, sesuai permintaan Zaragoza, agar beliau bisa menunggu dengan nyaman tanpa gangguan dari siapa pun.

"Kapan dia akan sadar, Sus?" tanya Zaragoza pada suster yang sedang merapikan selimut si kakek.

"Mungkin sebentar lagi, Nona. Kita tunggu saja sampai pasien siuman. Nanti setelah pasien sadar, Anda bisa panggil saya. Ini ada tombol, tinggal ditekan saja ya, Nona," ucap sang suster sambil menunjukkan tombol panggil di samping ranjang.

Zaragoza mengangguk pelan sebagai tanda bahwa ia mengerti.

Saat menunggu si kakek sadar, tiba-tiba ponsel Zaragoza berdering. Ia mengecek layar dan melihat nama ayahnya tertera di sana.

"Halo, Goza? Kamu di mana, Nak? Papa cari di sekitar restoran tempat Papa meeting, tapi kamu nggak ada," suara Ringgo terdengar khawatir. Setelah rapat, ia berniat menemui putrinya, tapi Zaragoza tidak tampak di mana pun.

"Papa, maaf. Goza tadi pergi nggak bilang dulu. Goza ke pantai sebentar, tapi pas di sana Goza lihat seorang kakek yang terluka parah. Jadi Goza bawa ke rumah sakit. Sekarang Goza masih di rumah sakit, kekenya belum siuman, Pa," jelas Zaragoza sambil menepuk jidat, lupa memberi tahu papanya soal kejadian itu.

"Ya ampun... Gimana keadaannya sekarang? Apa papa perlu ke sana buat temani kamu, Sayang?"

"Nggak usah, Pa. Ini tinggal nunggu dia siuman aja. Kalau sudah sadar, Goza bakal balik ke hotel. Papa pulang dulu aja, istirahat ya."

"Ya sudah, kalau begitu. Hati-hati di sana ya, Sayang. Jaga diri baik-baik."

"Siap, Papa-ku."

Setelah menutup telepon, Zaragoza kembali ke sisi ranjang si kakek. Ia terkejut saat mendapati kakek itu sudah membuka mata.

"Anda sudah siuman?" tanya Zaragoza spontan, lalu dengan sigap menekan tombol panggil seperti arahan dari suster tadi.

"Bagaimana kondisi Anda, Kek?" tanyanya cemas.

Belum sempat si kakek menjawab, suster dan dokter masuk ke ruangan untuk memeriksa kondisinya.

"Setelah saya cek, kondisi pasien sudah membaik dan tidak perlu dikhawatirkan." ucap dokter menghadap kepada Zaragoza. Lalu berbalik menghadap ke pasiennya"Kau cepat sembuh ya, Zo. Nona ini yang menyelamatkanmu," ujar sang dokter sambil tersenyum pada pasien, lalu pamit meninggalkan ruangan bersama suster.

Zaragoza mengangguk pelan, dan tak terasa, ia telah menemani si kakek selama dua jam sejak menemukannya di dekat semak-semak tadi.

"Namaku Arzo. Siapa namamu, Nak?" tanya si kakek dengan suara lemah namun jelas. Ia menatap gadis muda yang telah menyelamatkan nyawanya itu dengan penuh rasa ingin tahu.

"Nama saya Zaragoza, Kek," jawab Zaragoza lembut, tersenyum hangat.

"Nama kamu unik, seperti nama daerah di daratan Etmor, Nona Zarago," ucap Arzo dengan kekehan pelan.

"Oh ya, Kek? Di daratan Etmor ada daerah bernama Zaragoza?" Goza pun penasaran dengan yang dikatakan oleh Arzo tentang daerah bernama Zaragoza itu.

"Iya, kakek pernah ke daerah bernama Zaragoza itu. Tempatnya sangat bagus dan cantik, seperti kamu, Nona Zarago."

"Kakek bisa memanggil saya Goza saja, seperti yang lain. Tidak ada yang memanggil saya dengan sebutan Zarago," ucap Zaragoza dengan senyum ramah.

"Ah, tapi kakek ingin memanggilmu Zarago. Apa kamu tidak keberatan, Nona muda?" tanya Arzo, takut jika sang pemilik nama merasa tersinggung.

"Tidak apa-apa. Saya rasa panggilan Zarago tidak buruk juga. Saya tadi tidak sengaja menemukan Anda dalam keadaan terluka di dekat semak-semak. Apa yang sebenarnya terjadi pada Anda sebelumnya, Kek?" tanya Zaragoza dengan wajah serius. Ia merasa aneh, karena tak mungkin seorang kakek tua bisa berada di semak-semak dalam kondisi separah itu.

Luka sobek di mana-mana, darah mengalir dari setiap goresan lukanya, lebam di seluruh tubuh, bibirnya pucat. Persis seperti orang yang nyawanya hampir terenggut.

"Ceritanya sangat panjang. Mungkin kamu tidak akan percaya kalau kakek menceritakannya," jawab Arzo sambil menatap langit-langit ruang rawat dengan mata nanar.

"Lalu di mana keluarga Anda? Kenapa tidak ada yang menjenguk?"

"Istri saya sudah meninggal lima tahun lalu. Saya tidak punya anak, dan sudah tidak memiliki keluarga. Tapi saya melihat satu potensi dalam dirimu—sesuatu yang sama seperti saya. Apa kamu mau meneruskan apa yang akan saya berikan padamu? Saya sudah tidak lagi muda untuk terus mempertahankannya."

Arzo menatap Zaragoza dengan penuh harap, berharap gadis muda itu mau meneruskan sesuatu yang telah ia bangun seumur hidupnya.

"Kenapa harus saya?" tanya Zaragoza.

"Tidak ada orang yang bisa saya percaya di sekeliling saya."

"Anda baru saja mengenal saya. Kenapa Anda mau memberikan itu kepada saya? Bahkan saya masih anak 17 tahun," ujar Zaragoza, heran. Banyak pertanyaan berputar di kepalanya, mengapa pria tua itu memilihnya?

"Saya percaya padamu. Firasat saya tidak pernah salah. Kamu memiliki potensi besar untuk meneruskan apa yang saya miliki sekarang."

"Hah. Baiklah, baiklah... apa yang akan Anda berikan pada saya?" dengan sedikit keterpaksaan, Zaragoza pun menerima tawaran dari Arzo.

"Apakah kamu berasal dari kota ini, Nak?" tanya Arzo, memastikan apakah Zaragoza bisa dia bawa ke ibu kota negara Neroga.

"Tidak. Saya dari ibu kota. Saya sedang menemani ayah saya yang berdinas di sini."

"Bagus sekali kalau begitu. Saat kamu kembali ke ibu kota, datanglah ke daerah Temon. Lurus saja ke arah hutan. Nanti, di tengah hutan, ada sebuah mansion besar. Saya akan menunggumu di sana," ucap Arzo, memberi tahu tempat tinggalnya.

Zaragoza yang mendengarnya menjadi sedikit ragu, karena daerah tersebut dikenal sebagai wilayah yang tertutup.

"Anda tidak mencoba menjebak saya, kan?" tanya Zaragoza dengan nada datar.

"Tidak, saya memang tinggal di sana. Datanglah sendiri, jangan sampai keluargamu tahu," ucap Arzo.

"Sungguh mencurigakan", itulah yang ada di benak Zaragoza sekarang.

"Tidak. Saya akan membawa teman-teman saya. Kalau Anda tidak setuju, saya menolaknya," jawab Zaragoza dengan tegas.

"Baiklah, datanglah bersama teman-temanmu saat berkunjung. Saya akan memberitahumu apa yang akan saya berikan setelah kamu sampai di sana."

"Hah. Ya sudah, saya mau pulang. Anda jaga diri baik-baik di sini, saya tidak bisa ke sini lagi karena besok sudah kembali ke ibu kota. Semua administrasi sudah saya bayarkan. Cepat sembuh sebelum saya datang ke kediaman Anda," ucap Zaragoza, lalu keluar dari kamar inap dan langsung menuju hotel. Tubuhnya rasanya ingin segera direbahkan.

Tak butuh waktu lama untuk sampai ke hotel karena jaraknya cukup dekat. Hanya saja, tempat meeting ayah Zaragoza tadi memang cukup jauh karena berada di dekat pantai.

Setibanya di hotel, Zaragoza langsung naik lift menuju kamarnya. Ia memang tidak sekamar dengan Ringgo—ia selalu meminta kamar terpisah setiap kali menemani sang ayah ke luar kota.

"Ah, enaknya bisa rebahan. Rasanya remuk semua tulangku. Ya ampun. Mandi dulu deh, biar segar, lalu makan. Betapa beruntungnya aku jadi Zaragoza, hidup dalam kemewahan," gumam Zaragoza sambil tersenyum.

Ia sempat berpikir, jika saja ia bukan anak dari keluarga Chadwick, mungkinkah hidupnya akan tetap sesempurna ini?

*

*

*

*

Hari-hari pun berlalu, dan Zaragoza baru ingat soal kakek tua itu. Ia harus pergi ke tempat yang dijanjikan untuk menerima sesuatu dari Arzo.

"Ngajak Sonia, Klara, sama Isel aja deh. Biar nggak bosen sendirian," gumamnya lalu membuka ponsel dan mencari kontak sahabat-sahabatnya itu.

Zaragoza, Sonia, Klara, dan Isel adalah sahabat sejak SD. Mereka bahkan selalu sekelas dari SMP sampai SMA.

"Halo Son, Kla, Sel. Ikut aku yuk ke daerah Temon, ada urusan penting," ucap Zaragoza lewat sambungan telepon grup.

"Hah? Kamu gila ya, Za? Itu daerah katanya rawan banget, hutan semua!" seru Isel dari seberang telepon.

"Kamu mau ngapain ke sana, Goza sayang?" tanya Sonia santai.

"Ada urusan, ayolah temenin aku. Masa kalian nggak bantuin sahabat sendiri sih?" ucap Zaragoza dengan nada memelas.

"Iya, iya, kita temenin. Tapi kamu yang jemput ya, biar satu mobil aja," jawab Klara.

"Yeay, terima kasih sayang-sayangku! Tunggu ya, sebentar lagi aku sampai di depan rumah kalian semua," ujar Zaragoza senang.

Setelah menjemput ketiga sahabatnya, mereka pun menuju daerah Temon. Di depan wilayah itu, ada gapura megah yang dijaga beberapa orang bersenjata berpakaian hitam. Setelah diberi pertanyaan dan menjelaskan alasan kedatangan, Zaragoza dan kawan-kawan akhirnya diizinkan masuk.

Dan benar saja, di tengah hutan, berdiri sebuah mansion besar berwarna putih dengan penjagaan yang jauh lebih ketat.

"Kamu yakin Za, ini tempatnya? Kok serem banget sih? Jangan-jangan perdagangan manusia nih," kata Klara dengan cemas.

"Aku udah bilang, daerah Temon itu tertutup banget. Merinding, Inces," sahut Isel sambil memeluk dirinya sendiri.

"Tapi beneran ini tempatnya, Za? Aku nggak mau mati konyol di sini," ucap Sonia khawatir.

"Aku juga nggak tahu. Pokoknya aku disuruh ke sini, udah itu aja," balas Zaragoza.

Mereka belum sempat lanjut bicara saat tiba-tiba...

"Zaza, itu... lihat deh. Ada kakek tua berdiri sambil senyum ke arah kita," ucap Isel sambil menepuk bahu Zaragoza.

"Ah, benar... itu Kakek Arzo! Dia yang nyuruh aku ke sini. Ayo turun," ujar Zaragoza.

Mereka pun turun dari mobil dan menghampiri Arzo yang berdiri di depan gerbang besar mansion.

"Selamat datang, penerusku... Lady Queen Zarago," sambut Arzo.

Para penjaga langsung berkumpul, mengepung mereka dengan formasi rapi.

"Hormat kami pada Lady Queen Zarago!" seru mereka serempak.

"Apa? Lady Queen Zarago?" ucap Zaragoza, Isel, Klara, dan Sonia bersamaan.

"Iya, Nona Zarago. Anda akan meneruskan ini semua, organisasi saya, Mafia Black Diamond," kata Arzo penuh kebanggaan.

"Apa?? Mafia??" teriak mereka berempat dengan suara keras, terkejut bukan main.

*

*

*

*

Halo semua maaf ya kalo ceritanya belum bagus baru penulis pemula buat ngisi waktu kosong aja, semoga suka ya sama ceritanya ya. kritik dan saran di persilahkan untuk membangun karya ini lebih baik lagi. I love you all

2. Tubuh Baru

"Sonia, ada apa ini? Kenapa seperti telah terjadi serangan?" ucap Zaragoza terkejut saat tiba di markas.

Kondisi markas benar-benar kacau.

Gerbang depan hampir hancur, beberapa bagian tembok pagar roboh, dan bekas sabetan pedang tampak jelas di pintu gerbang. Darah berceceran di tanah, menambah suasana mencekam.

"Lady Queen, akhirnya kamu datang juga! Kami sudah kewalahan menangani serangan dari Road Devils. Mereka menyerang secara besar-besaran tadi malam!" teriak Isel dari dalam markas, berlari tergesa-gesa ke arah Zaragoza.

"Sam sialan... Berani-beraninya dia mengacak-acak markas Black Diamond!" ucap Zaragoza, emosinya meledak.

"Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Aku menyesal pernah mencintainya dulu."

Sam atau Samuel, adalah pemimpin Road Devils. Dia juga mantan kekasih Zaragoza.

Sudah lima tahun Zaragoza memimpin Black Diamond. Dua tahun lalu, Kakek Arzo, meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan yang mencurigakan. Sejak saat itu, Zaragoza dan anggota kepercayaannya terus mencari bukti, 'apakah itu murni kecelakaan, atau justru sabotase dari pihak musuh?

Setahun yang lalu, Zaragoza dan Samuel pernah menjalin hubungan asmara. Mereka tampak sebagai pasangan yang bahagia, setidaknya di mata orang lain.

Namun semuanya hancur ketika Zaragoza sendiri melihat Samuel di sebuah klub malam, bercumbu mesra dengan para model.

Sejak saat itu, luka pengkhianatan itu selalu ia bawa dalam diam.

"Tapi... dia belum tahu, kan? Kalau aku ini Queen dari Black Diamond," gumam Zaragoza.

Saat masih menjalin hubungan, Samuel hanya tahu Zaragoza sebagai anak keluarga Chadwick, tanpa tahu identitas aslinya sebagai pemimpin organisasi mafia paling ditakuti.

"Maaf, Lady Queen Zarago," ucap Grendo, orang kepercayaan Zaragoza sekaligus kepercayaan mendiang Kakek Arzo.

"Sepertinya Tuan Samuel sudah mengetahuinya. Saya sempat mendengar dia mencari Anda."

"Sialan... Dari mana dia tahu aku Lady Queen Zarago?" ujar Zaragoza geram.

"Aku akan bermalam di sini. Dan malam ini juga, kita siapkan serangan besar-besaran ke markas Road Devils."

Tanpa banyak bicara lagi, Zaragoza langsung melangkah menuju kamarnya di dalam markas. Ia harus segera menyusun rencana. Road Devils harus musnah.

"Hah... Lebih baik aku mandi dulu. Kepalaku terlalu penuh untuk berpikir lebih keras lagi."

Zaragoza langsung menuju kamar mandi untuk berendam dalam air hangat. Ia ingin merilekskan otot dan persendiannya sebelum pertempuran malam ini.

Cukup lama ia merendam diri. Setelah merasa tubuhnya lebih segar, Zaragoza mengenakan pakaian serba hitam, baju panjang polos, celana panjang, dan sepatu tempur yang siap menghadapi medan perang.

"Semua sudah berkumpul di sini?" tanyanya tegas saat memasuki ruang pertemuan khusus bersama Isel, Klara, Sonia, dan para anggota elit Black Diamond.

"Sudah, Lady Queen Zarago," jawab mereka serempak.

"Maaf membuat kalian menunggu," ucap Zaragoza, kemudian berdiri di depan papan strategi.

"Pertama-tama, saya ingin kelompok pemanah dan penembak jitu tetap berada di atas pohon untuk mengawasi dari ketinggian. Siapkan juga pasukan bersenjata, pedang, samurai, pistol, bahkan balok kayu untuk pertahanan jarak dekat."

Ia melanjutkan, "Kita akan berpencar dari empat arah. Saya sendiri akan memimpin dari gerbang utama, arah utara. Kalian bertiga, pilih sisi masing-masing."

"Saya dari barat," jawab Sonia.

"Saya dari selatan," sahut Isel.

"Kalau begitu, saya dari timur. Dekat aliran sungai menuju muara," ucap Klara mantap.

"Baik. Semua penjuru sudah terisi. Sekarang kita ke halaman belakang untuk memberitahukan ini pada anggota lainnya," ujar Zaragoza.

Mereka pun bergegas ke halaman belakang markas. Di sana, ratusan anggota Black Diamond telah berbaris, siap menjalankan perintah.

"Dengarkan semua!" seru Zaragoza lantang, suaranya memenuhi seluruh halaman.

"Kalian akan dibagi menjadi empat kelompok. Setiap kelompok akan dipimpin oleh saya, Nona Sonia, Nona Isel, dan Nona Klara. Masing-masing harus saling melindungi dan menyerang sesuai arah yang ditentukan."

Ia menatap tajam ke seluruh barisan.

"Jangan biarkan satu pun dari mereka lolos, termasuk Samuel. Habisi semuanya. Apa kalian mengerti?"

"Siap, Lady Queen Zarago! Kami mengerti!" jawab mereka serempak, penuh semangat.

Tanpa menunggu lama, pasukan Black Diamond mulai bergerak. Mereka berpencar ke posisi masing-masing sesuai rencana. Zaragoza sudah berada di posisi utara, sekitar 200 meter dari gerbang utama markas Road Devils.

Dari kejauhan, terlihat barisan penjaga musuh dengan senjata lengkap sudah siaga.

"Sialan… Siapa yang membocorkan rencana ini?" gumam Zaragoza penuh amarah.

"Awas saja. Setelah ini, aku akan mencari dan membereskan pengkhianat itu."

Zaragoza kemudian memberi aba-aba. Para pemanah langsung melepaskan hujan anak panah ke arah penjaga Road Devils.

Pertempuran pun pecah dengan sengit. Jeritan, dentingan senjata, dan ledakan menggema di tengah malam. Darah membasahi tanah. Jumlah pasukan dari kedua kubu terus berkurang drastis.

Saat situasi mulai memojokkan Zaragoza, tiba-tiba seseorang menarik tangannya dan membawanya berlari ke arah timur.

"Sam?!" ucap Zaragoza terkejut saat menyadari siapa yang menariknya.

"Lepaskan tangan saya! Saya tidak sudi disentuh oleh manusia hina seperti kamu!"

"Oke, oke, aku lepasin. Udah, kan?" balas Samuel dengan nada santai, meski wajahnya tegang. Ia membawa Zaragoza ke tepi sungai dan berhenti di sana.

Bugh!

Pandangan Zaragoza tiba-tiba menjadi buram, menghitam, lalu tubuhnya ambruk ke tanah. Sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, ia sempat melihat bayangan Klara berdiri di depannya, menjatuhkan balok kayu ke tanah, tertawa puas, lalu memeluk Samuel. Setelah itu, semuanya gelap.

Di sisi lain, Isel, Sonia, dan anggota Black Diamond yang tersisa telah berhasil membasmi seluruh anggota Road Devils. Namun saat mereka mencari keberadaan Klara dan Zaragoza, keduanya sama sekali tidak ditemukan. Bahkan, tubuh Samuel pun tidak ada di antara mayat para anggota Road Devils.

"Apakah Lady Queen dan Klara bertarung melawan Samuel?" tanya Isel, mulai cemas.

"Mungkin saja... tapi di mana mereka sekarang?" jawab Sonia, yang wajahnya mulai diliputi kekhawatiran.

"Kalian semua, segera cari Lady Queen Zaragoza dan Nona Klara!" seru Sonia memberikan arahan.

"Baik, Nona!" Para anggota yang tersisa pun segera menyebar ke segala penjuru untuk mencari keberadaan kedua orang penting itu.

...******...

Di tempat lain, Zaragoza perlahan mulai sadar. Namun begitu membuka matanya, ia langsung dilanda keterkejutan. Kedua tangan dan kakinya terikat erat dengan tali, mulutnya dilakban, dan tubuhnya dirantai pada batang pohon besar.

"Halo, My Lady Queen Zarago. Gimana? Gak nyangka kan bisa ada di posisi ini?" Suara tawa Klara menggema, berdiri di hadapan Zaragoza dengan wajah penuh kepuasan.

Srekkk!

Klara menarik lakban dari mulut Zaragoza dengan kasar hingga kulit di sekitar bibirnya terasa panas dan perih.

"Apa maumu, hah?! Kenapa kamu mengkhianatiku seperti ini?! Dasar pengkhianat!" bentak Zaragoza dengan suara parau penuh emosi.

"Uhh... kamu tahu nggak, Goza, semua ini adalah rencana....."

Klara belum selesai berbicara ketika ia menoleh ke arah belakang, lalu tersenyum.

"Sayang, sini deh."

Seseorang berjalan mendekat... dan betapa terkejutnya Zaragoza saat menyadari siapa orang itu, Samuel. Pria itu langsung memeluk Klara dengan mesra. Mual. Hanya itu yang Zaragoza rasakan sekarang. "Ternyata sebelum aku pingsan tadi, aku tidak berhalusinasi. Klara benar-benar mengkhianati ku."

"Biadab...! Aku akan membunuh kalian berdua! Jijik rasanya melihat kalian!" teriak Zaragoza penuh amarah dan luka di hatinya.

"Sayang, aku aja yang ceritain ke dia. Kamu liatin aja, ya," ucap Klara pada Samuel dengan nada menggoda.

"Terserah kau, sayangku." Samuel mengecup kening Klara, lalu menatap Zaragoza dengan tatapan tajam.

Klara melangkah mendekat. Ia mengeluarkan sebilah belati, lalu menempelkan ujungnya pada pipi Zaragoza. Perlahan, belati itu menyusuri kulit wajah Zaragoza dengan tekanan ringan namun mengancam.

"Kamu tahu nggak, Za, dari mana Samuel tahu kalau kamu adalah pemimpin Black Diamond?" tanya Klara dengan nada santai namun sadis.

"Kamu..." jawab Zaragoza pendek, namun yakin.

"Uh, pinter banget! Terus... kamu juga tahu nggak siapa yang ada di balik penyerangan Road Devils ke markas kita?" tanya Klara lagi sambil melompat-lompat kecil, seperti anak kecil yang baru dapat mainan.

"Kamu."

"Yeayyy! Pinter banget si My Lady Queen Zarago!" Klara tertawa sambil bertepuk tangan dengan ekspresi puas.

"Sayang, ada satu pertanyaan lagi yang belum kamu tanyain ke dia," ucap Samuel sambil melangkah ke arah Klara dan merangkul bahunya.

"Apa tuh, sayang?" Klara menatap Samuel dengan penasaran.

Samuel kini menatap Zaragoza lurus-lurus. Lalu ia bertanya dengan suara rendah yang membuat bulu kuduk berdiri.

"Zaragoza, apa kamu tahu... siapa dan kapan yang akan membunuhmu?"

Lalu.....

Srakkk!

Dengan satu tebasan pedang, Samuel memotong tali yang mengikat Zaragoza pada pohon. Tubuh Zaragoza yang masih terikat tangan dan kakinya, langsung didorong ke arah aliran sungai yang deras.

“Kalian ingin membunuhku dengan cara menenggelamkanku di sungai? Huh, cara yang licik dan murahan,” desis Zaragoza, terengah-engah, masih syok dengan kejadian yang baru saja dialaminya.

“Licik atau tidak, yang penting aku bisa membunuhmu sebelum kau sempat menyakiti orang yang kucinta. Kamu pikir aku akan diam saja saat kamu hendak membunuh Samuel? Tidak, Za, aku tidak akan tinggal diam. Aku cinta Samuel. Lebih baik aku kehilanganmu... daripada kehilangan dia,” ucap Klara dengan penuh emosi yang tak bisa ia bendung lagi.

“Sadar, Klara! Siapa yang selalu ada di sampingmu saat kamu terpuruk? Saat keluargamu bangkrut? Apa dia ada? Tidak, kan? Aku, Sonia, dan Isel yang selalu bersamamu! Kamu sudah dibutakan oleh cinta! Apa yang dia beri ke kamu? Tubuhnya? Hartanya? Otakmu sudah dicuci habis, Klara!” bentak Zaragoza dengan emosi yang tak kalah meluap.

Plakk!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Zaragoza. Dan...

Byurr!

Tubuh Zaragoza didorong Klara ke dalam sungai yang sedang banjir karena luapan dari hilir. Semua kata-kata Zaragoza melukai hati Klara, meski apa yang dikatakannya adalah kebenaran.

Tubuhnya langsung diterjang aliran sungai yang deras. Tangan dan kakinya masih terikat, membuatnya tak bisa berenang ataupun menyelamatkan diri.

Tubuhnya terbawa arus, menabrak bebatuan di sepanjang sungai. Air masuk ke hidung, ke mulut, hingga ke paru-paru. Kepalanya terasa seperti pecah. Sakit. Sesak. Gelap.

"Jika aku mati dengan cara sekejam ini, aku mohon kepada para dewa dan dewi di Nirwana... balaskan dendamku. Balaskan pengkhianatan ini. Jika tidak, aku akan menuntut keadilan di hadapan kalian. Aku bersumpah akan mengutuk mereka... semua dari mereka yang telah menghancurkan kepercayaanku."

Dengan sumpah terakhir itu, kesadaran Zaragoza menghilang.

---

Di Tempat Lain, Dunia Berbeda, Abad yang entah keberapa

Seorang gadis berusia 15 tahun ditemukan tenggelam di kolam belakang rumahnya. Namanya Yuan Li Wei.

“Cepat! Bawa nona ke paviliun! Panggilkan tabib sekarang juga!” seru seorang pelayan bernama Gu Ren, panik dan menangis melihat tuannya yang tubuhnya sudah membiru dan tak sadarkan diri.

Dua orang prajurit langsung bergerak. Satu pergi memanggil tabib, dan satu lagi membantu Gu Ren membawa Yuan Li Wei ke dalam paviliun.

“Nona, bangunlah… jangan buat saya takut seperti ini…” ucap Gu Ren lirih sambil menangis.

Beberapa saat kemudian, tabib tua tiba bersama prajurit. Ia langsung memeriksa Yuan Li Wei.

“Apa yang terjadi pada nona?” tanya sang tabib.

“Saya menemukannya di kolam belakang. Ia sudah mengambang di permukaan air…” jawab Gu Ren, air matanya masih terus mengalir.

“Detak jantungnya melemah. Dia harus segera meminum pil ini untuk mengeluarkan air dari dalam tubuhnya,” ujar tabib sambil memasukkan pil berwarna hijau pekat ke mulut Yuan Li Wei.

Tak lama setelah pil itu masuk, tubuh Yuan Li Wei mengejang.

Uhuk! Uhuk! Uhuk!

Yuan Li Wei memuntahkan air dari dalam tubuhnya dan... matanya terbuka. Ia sadar.

Namun yang bangkit bukanlah jiwa Yuan Li Wei.

Itu adalah Zaragoza, yang kini terbangun dalam tubuh seorang gadis muda.

“Nona! Syukurlah anda sudah sadar!” seru Gu Ren bahagia, hendak memeluk tuannya, tapi...

Dengan sigap, tangan Zaragoza menahan pelukan itu.

“Siapa kamu?” tanyanya dingin.

“Apa maksud Nona? Saya Gu Ren… pelayan pribadi Nona Yuan Li Wei,” jawab Gu Ren dengan wajah sedih.

“Siapa Yuan Li Wei?” tanya Zaragoza, kebingungan, panik, dan tidak tahu apa yang sedang terjadi.

“Anda adalah Yuan Li Wei, Nona… apakah anda tidak mengingatnya?” jawab Gu Ren pelan.

“Aku? Yuan… Li Wei?” bisik Zaragoza, matanya melebar.

Tubuh yang ia lihat… bukan tubuhnya.

Dia… telah terlahir kembali dalam tubuh orang lain.

*

HAI SEMUA, SEMOGA SUKA SAMA KARYA KU YA

SELAMAT MEMBACA🤗

3. Yuan Li Wei

Zaragoza, yang kini berada dalam tubuh Yuan Li Wei, masih diliputi kebingungan. Akal sehatnya belum mampu mencerna semua kejadian yang menimpanya. Ia tak tahu bagaimana bisa terdampar di tempat asing ini, di dunia yang terasa benar-benar berbeda dari dunia yang ia kenal.

"Aku? Yuan Li Wei? Bagaimana semua ini bisa terjadi? Tadi aku dijatuhkan ke sungai, hanyut, terbentur batu... aku meregang nyawa. Lalu jiwaku seperti ditarik paksa, dan saat aku membuka mata, aku dikelilingi orang-orang berpakaian seperti di zaman kerajaan? Dinasti? Atau kekaisaran? Entahlah, kepalaku bisa pecah memikirkan ini semua. Apa alam nirwana menolakku hingga aku dibuang ke dunia lain? Mama... Papa... tolong Goza," gumam Zaragoza lirih, mencoba menyusun ingatan dan kenyataan yang baru saja ia alami.

Tok tok tok

"Masuk," ucapnya singkat, mempersilakan si pengetuk masuk ke dalam.

Ternyata, orang yang masuk adalah Gu Ren, pelayan pribadi Yuan Li Wei. Wajahnya terlihat cemas, namun terselip pula kebahagiaan melihat tuannya telah siuman.

"Nona, apa Anda sudah merasa lebih baik?" tanya Gu Ren penuh perhatian.

Zaragoza, yang kini terjebak di tubuh Yuan Li Wei, tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menatap Gu Ren dan menganggukkan kepala pelan.

"Ayah nona akan datang menjenguk nanti. Kalau nona masih merasa lemas, izinkan saya membantu mempersiapkan mandi," ucap Gu Ren lembut. Sikapnya tulus, dan Zaragoza bisa merasakannya, bahwa wanita ini benar-benar peduli dan setia melayani Yuan Li Wei.

Yuan Li Wei tersenyum ke arah Gu Ren, lalu menggelengkan kepala pelan sebagai isyarat bahwa ia tidak ingin dibantu saat mandi nanti.

"Baiklah, kalau begitu saya antar nona ke kamar mandi, ya," ucap Gu Ren dengan lembut.

Yuan Li Wei mengangguk, dan dengan bantuan Gu Ren, ia perlahan bangkit dari ranjang, berjalan menuju kamar mandi.

...****...

Saat berendam dalam air hangat yang dipenuhi beraneka macam bunga, pikirannya melayang ke segala arah. Aroma lembut bunga-bunga dan kehangatan air membuatnya tenggelam dalam renungan yang dalam.

"Apakah aku harus melupakan identitasku sebagai Zaragoza dan menerima identitas baruku sebagai Yuan Li Wei?" gumamnya lirih.

"Bisakah aku menjalani kehidupan baru ini sebagai Yuan Li Wei? Dengan lingkungan, aturan, dan dunia yang sepenuhnya berbeda?"

"Baiklah... aku sudah memutuskan. Aku akan mengubur Zaragoza. Selamat datang, Yuan Li Wei," katanya pelan, meski dalam hatinya masih banyak pertanyaan yang belum terjawab tentang kehidupannya sekarang.

Setelah selesai mandi, Yuan Li Wei mengambil kain putih yang ditinggalkan Gu Ren dan melilitkannya pada tubuhnya. Saat ia keluar dari kamar mandi, Gu Ren sudah menunggunya di depan pintu, membawa sebuah gaun indah berwarna hijau keemasan. Bahkan di dunia modern, Yuan Li Wei belum pernah memakai gaun seanggun itu.

"Gu Ren, apakah semua pakaian di sini seperti ini?" tanya Yuan Li Wei, mengingat sebelum mandi pun ia sudah mengenakan gaun, dan kini akan mengenakannya lagi.

"Iya, nona. Di sini, para perempuan memang memakai gaun seperti ini setiap harinya. Nona Li Wei tidak perlu khawatir. Saya akan membantu nona untuk mendapatkan kembali ingatan nona," jawab Gu Ren penuh semangat dan ketulusan.

"Bisakah kamu keluar terlebih dahulu? Saya ingin memakai baju. Rasanya kurang nyaman jika harus berganti pakaian di depan orang lain," ucap Yuan Li Wei dengan hati-hati, khawatir perkataannya akan melukai hati Gu Ren.

"Baik, nona. Pakaian ini saya letakkan di atas ranjang. Jika butuh bantuan, nona bisa memanggil saya kapan saja," jawab Gu Ren lembut, lalu meninggalkan kamar. Yuan Li Wei hanya membalas dengan senyuman manis.

Ia pun mengambil baju yang sudah disiapkan Gu Ren. Gaun itu pas di tubuhnya, menonjolkan siluet anggun dan membuatnya terlihat begitu cantik.

"Haaah... Oke, nona Yuan Li Wei, di mana pun dirimu sekarang, aku sangat berterima kasih karena kau telah memberikan kehidupan ini padaku. Semoga kau bahagia di tempatmu berada saat ini. Aku izin mengambil alih peranmu di dunia ini," bisik Yuan Li Wei, seolah berbicara pada jiwa yang pernah menghuni tubuh itu.

Ia lalu duduk di depan meja rias. Baru kali ini ia benar-benar memperhatikan bayangan dirinya di cermin.

"Cantik... Wajah yang sangat cantik. Li Wei, kenapa kamu sampai tercebur ke kolam? Apa kamu tidak puas dengan kecantikanmu sendiri? Tapi sungguh, ini wajah yang luar biasa. Putih bersih, halus, dan mulus..." gumam Zaragoza yang kini hidup dalam tubuh Yuan Li Wei. Ia menatap pantulan dirinya dengan penuh rasa kagum, seolah tak percaya bahwa kecantikan itu kini menjadi miliknya.

Sayangnya, saat matanya tertuju pada deretan alat rias di atas meja, ia langsung mengernyit.

"Sayang sekali, alat make-up di sini jauh berbeda dari dunia modern. Ini terbuat dari apa? Bedak dan lipstiknya pun aneh... Tidak, aku tak mau memakainya. Terlalu berisiko kalau sampai merusak kulit wajahku."

Ia mengabaikan semua alat rias itu, memilih menikmati kecantikannya yang alami. Ia hanya menyisir rambutnya dan menata dengan sederhana, merasa itu sudah cukup.

Tok tok tok.

Terdengar suara ketukan di pintu. Yuan Li Wei segera bangkit dari kursi dan berjalan membukanya. Begitu pintu terbuka, ia mendapati sepasang pria dan wanita paruh baya berdiri di hadapannya.

"Li Wei, putriku... Apa kamu sudah merasa lebih baik, nak? Bagaimana kondisimu sekarang?" tanya Yuan Gi dengan suara penuh cemas. Ia melangkah maju hendak memeluk Yuan Li Wei, namun gadis itu dengan sigap mundur selangkah ke belakang.

"Siapa?" tanya Yuan Li Wei pelan, matanya penuh tanda tanya saat menatap pria di depannya.

"Ini ayah, Li Wei. Apa kamu tidak mengenali ayahmu sendiri, putriku?" ucap Yuan Gi, suaranya bergetar.

Yuan Li Wei hanya menggeleng perlahan.

"Ayah?" ulangnya lirih.

"Iya, sayang... Ini ayahmu," ucap Yuan Gi sambil langsung menarik Yuan Li Wei ke dalam pelukannya.

"Maafkan ayah, Li Wei... Ayah tak bisa menjagamu dengan baik, sampai kau bisa terjatuh ke kolam seperti itu... dan sekarang kau bahkan tak mengenali ayahmu sendiri," isaknya lirih, menyesali kelalaiannya.

"Jangan salahkan dirimu, Ayah... Mungkin aku yang kurang berhati-hati hingga bisa terjatuh," jawab Yuan Li Wei pelan. Suaranya lembut, seolah mencoba menenangkan hati pria itu.

Setelah melepaskan pelukannya, Yuan Gi kembali menatap putrinya dengan khawatir. "Apakah kamu sudah merasa lebih baik sekarang, sayang? Apa tubuhmu masih terasa sakit?"

"Sudah, Ayah. Aku merasa jauh lebih baik sekarang," jawab Yuan Li Wei sambil mengangguk kecil. Di dalam hatinya, ia bisa merasakan ketulusan pria itu. Entah siapa Yuan Li Wei sebelumnya, tapi ayahnya benar-benar menyayanginya.

Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya ikut melangkah maju dengan mata berkaca-kaca. "Sayang... Ibu sangat khawatir padamu. Untung saja kau selamat. Ibu sangat sedih saat mendengar kau jatuh ke dalam kolam," ucapnya, lalu langsung memeluk Yuan Li Wei erat.

Namun saat berada dalam pelukan itu, suara lembut dan dingin berbisik tepat di telinga Yuan Li Wei.

"Kenapa kau tidak mati saja? Ingat ini baik-baik. Kalau aku tidak berhasil membunuhmu hari ini, maka besok atau lusa... aku pasti akan melakukannya."

"Ah, jadi wanita itu yang mencoba membunuh Yuan Li Wei..." batin Yuan Li Wei. Matanya menatap tajam ke arah wanita yang baru saja memeluknya. "Tenang saja, Nona Yuan Li Wei. Aku, Zaragoza, yang kini mengambil alih hidupmu... akan membalaskan dendammu pada semua orang yang berniat jahat padamu."

Saat Yuan Muren melepaskan pelukannya, Yuan Li Wei tetap diam tanpa ekspresi. Namun sorot matanya menyiratkan kemarahan yang mendalam.

"Ibumu sangat khawatir padamu, Li Wei. Sejak tadi dia terus menangis," kata Yuan Gi mencoba mencairkan suasana. Tapi Yuan Li Wei hanya membalas dengan diam seribu bahasa.

"Kalau begitu, ayo kita makan bersama di paviliun ayah. Tadi saat perjalanan pulang, ayah sudah membelikan makanan kesukaanmu," lanjut Yuan Gi dengan nada penuh harap. Dalam hatinya, ia berharap hilangnya ingatan putrinya bisa menjadi awal baru, mungkin saja kini Li Wei bisa menerima Yuan Muren sebagai ibunya.

"Kalian duluan saja. Saya akan menyusul bersama Gu Ren," jawab Yuan Li Wei tenang.

"Baiklah, kalau itu maumu. Ayah akan menunggu di paviliun," ucap Yuan Gi sebelum berjalan pergi bersama Yuan Muren, meninggalkan Yuan Li Wei dan Gu Ren di kamar.

Begitu langkah mereka menjauh, Yuan Li Wei pun menoleh pada pelayannya.

"Gu Ren... siapa wanita tadi?" tanyanya dengan nada datar namun tajam.

Gu Ren mengepalkan tangan diam-diam. Sejak tadi ia menahan diri agar tidak mencakar wajah Yuan Muren di tempat.

"Itu ibu tirimu, Nona. Istri dari Ketua Ketiga, Tuan Yuan Gi. Namanya Yuan Muren. Karena Nona kehilangan ingatan, izinkan saya memberitahu satu hal penting, Nyonya Yuan Muren sangat tidak menyukai Nona. Dia sangat licik. Di depan Tuan Yuan Gi, dia akan bersikap manis seolah perhatian, tapi saat tak ada yang melihat, dia bisa berubah menjadi sangat kejam."

"Terima kasih telah mengingatkan aku, Gu Ren. Kalau begitu, tolong antarkan aku ke paviliun ayah," ucap Yuan Li Wei pada Gu Ren.

Di sepanjang jalan menuju paviliun Yuan Gi, Gu Ren menceritakan banyak hal tentang Yuan Li Wei, termasuk di mana dia tinggal sekarang. Gu Ren juga menceritakan kelicikan Yuan Muren dan anaknya, Yuan Mina. Yuan Li Wei memiliki kakak kandung bernama Yuan Tanzi yang kini sedang menempuh pendidikan di Akademi Kerajaan Zuyeng.

Sesampainya di paviliun Yuan Gi, mereka kebetulan melihat sang pemilik paviliun yang sedang berbincang dengan seseorang.

"Li Wei, kenapa hanya berdiri di sana? Ayo, duduk di samping ayah," kata Yuan Gi, menyadari kehadiran putrinya di paviliun.

Yuan Li Wei pun menghampiri dan duduk di samping Yuan Gi, yang kemudian memperkenalkan Ketua Ke-4 kepadanya.

"Li Wei, perkenalkan, ini Ketua Ke-4. Kamu bisa memanggilnya Paman Yuan Min," ucap Yuan Gi, memperkenalkan dengan penuh perhatian karena Yuan Li Wei sedang mengalami kehilangan ingatan.

"Ketua Ke-3 sangat lucu. Kenapa harus memperkenalkan kami lagi? Tidak mungkin Li Wei lupa pada saya," ujar Yuan Min sambil terkekeh pelan.

"Ah, aku belum menceritakannya padamu. Li Wei mengalami lupa ingatan setelah terjatuh ke dalam kolam," jawab Yuan Gi dengan wajah penuh kesedihan.

"Efek terjatuh ke dalam kolam ternyata separah ini. Kalau begitu, nona Yuan Li Wei, perkenalkan saya, Yuan Min. Kamu bisa memanggil saya Paman Min," ucap Yuan Min.

"Baik, Paman Min," jawab Yuan Li Wei sambil tersenyum tipis.

"Yuan Gi, saya pamit dulu, kembali ke paviliun saya. Mari, nona Li Wei," kata Yuan Min, kemudian pergi meninggalkan paviliun Yuan Gi. Ia berencana memberi tahu orang-orang di klan Yuan tentang kondisi putri Ketua Ke-3 yang kehilangan ingatan.

"Li Wei, mari kita ke ruang makan. Ibumu sudah menunggumu di sana," ujar Yuan Gi. Yuan Li Wei mengikuti ayahnya menuju ruang makan, dan memang di sana sudah ada Yuan Muren dengan senyumnya yang terkesan memuakkan bagi Yuan Li Wei.

Ketiganya pun makan bersama dan berbincang-bincang. Yuan Li Wei memanfaatkan kesempatan ini untuk menggali informasi tentang kehidupannya yang lalu.

"Ayah, Tanzi gege menjadi murid di Akademi Kerajaan Zuyeng, kenapa aku malah di rumah dan tidak belajar di akademi?" tanya Yuan Li Wei dengan penasaran, setelah mendengar dari Gu Ren bahwa Yuan Tanzi dan Yuan Mina berada di akademi, sementara ia malah di klan.

"Putriku, kamu harus berlatih lebih giat agar bisa masuk ke akademi," jawab Yuan Gi dengan wajah sendu.

"Li Wei sayang, kau tidak memiliki dasar kultivasi sama sekali. Di dunia ini, orang yang tidak memiliki kultivasi dianggap sebagai sampah. Itulah alasan kenapa kau tidak bisa belajar di akademi," kata Yuan Muren dengan nada mengejek, lalu kembali menunjukkan ekspresi ramahnya. Sungguh wanita yang licik.

"Aku... tidak memiliki kultivasi?" tanya Yuan Li Wei tidak percaya.

"Kau punya, putriku. Hanya saja, kau belum mengasahnya. Belajarlah lebih giat lagi, putriku," ucap Yuan Gi dengan senyuman hangat, namun matanya tajam menatap Yuan Muren.

"Suamiku, jangan berikan harapan palsu pada Li Wei. Kami sudah memberinya banyak ramuan untuk menumbuhkan kultivasinya. Tapi apakah ada hasilnya? Tidak ada, bukan?" Yuan Muren berkata sambil melirik Yuan Li Wei dengan tatapan meremehkan.

"Ramuan? Penumbuh kultivasi? Sepertinya wanita itu telah memberikan ramuan yang mencurigakan kepada Yuan Li Wei. Sebaiknya aku cari tahu lebih lanjut di perpustakaan klan Yuan. Tadi, Gu Ren bercerita bahwa klan Yuan memiliki perpustakaan. Ya, nanti aku akan minta Gu Ren untuk mengantarku," batin Yuan Li Wei, merasa curiga terhadap Yuan Muren dan berencana mencari tahu lebih banyak mengenai cara menumbuhkan kultivasi yang tepat.

"Ayah, aku sudah selesai makan. Li Wei pamit dulu. Lain kali aku akan datang lagi," ucap Yuan Li Wei, hendak meninggalkan paviliun Yuan Gi.

"Li Wei, putriku... Jangan dengarkan kata-kata ibumu. Teruslah belajar dengan giat agar bisa masuk ke Akademi Kerajaan," kata Yuan Gi, lalu mendekat dan memeluk putrinya. Yuan Li Wei membalas dengan anggukan dan senyuman kecil.

Yuan Li Wei pun keluar dari paviliun dan mencari Gu Ren di depan, namun tidak ada. Ia memutuskan untuk kembali ke paviliunnya sendiri dan mencari Gu Ren di sana. Benar saja, Gu Ren sedang menunggunya di paviliunnya.

"Gu Ren, antarkan aku ke perpustakaan klan Yuan," ucap Yuan Li Wei pada Gu Ren yang sedang berdiri menunggu di samping pintu.

*

MAAF YA KALO ALURNYA MEMBOSANKAN. SELAMAT MEMBACA, KRITIK DAN SARAN SELALU AKU TERIMA DEMI CERITA INI JADI LEBIH BAIK LAGI😊

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!