Ini adalah cerita pertama Annisa tentang dunia musik, dan tentang pertemuannya dengan teman-teman barunya.
Semuanya berawal saat ia duduk di bangku kelas satu Sekolah Menengah Pertama, di semester awal. Dari hari pertama ia masuk sekolah, ada satu orang yang langsung menarik perhatiannya.
Sejak pertemuan itu, Annisa sangat tertarik dengan kepribadian gadis tersebut dan memutuskan untuk berteman dengannya.
Nama gadis itu adalah Hana. Seorang murid cerdas yang sudah terkenal di bidang ekstrakurikuler musik. Dan ini adalah cerita Annisa, tentang pertama kalinya ia mengenal dan belajar tentang dunia musik bersama Hana.
Saat itu, pelajaran masih berlangsung seperti biasa.
"Hei!" sapa Annisa pelan sambil tersenyum, menyenggol pelan lengan Hana yang tengah duduk di bangkunya.
"Ohh. Hai!!"
"Pulang sekolah nanti, tolong ajari aku bermain gitar, ya," bisik Annisa, menunduk sedikit agar suaranya tidak terdengar guru.
"Emmmm. Oke! Nanti akan ku ajari di ruang musik. Tapi setelah pulang sekolah, kita harus mendaftarkan diri terlebih dahulu."
"Beneran kamu mau?!"
"Iya! Tentu saja aku mau!"
"Waahh! Terima kasih banyak ya, Han. Kalau begitu, nanti kita daftar ekskul musiknya bareng, ya."
"Oke. Biar semuanya aku yang atur."
Setelah keduanya selesai menyusun rencana, tanpa terasa jam pelajaran pertama pun telah usai.
Setelah itu, Annisa mulai mencoba mendekatkan diri kepada teman-teman lain di kelas. Setelah mengenal Hana, ia merasa lebih percaya diri dan berhasil mendapatkan dua teman baru lagi.
Obrolan mereka pun makin seru. Hana, Liaa, dan Winda duduk bersama dengan Annisa, saling bertukar cerita sambil menunggu guru mata pelajaran berikutnya datang.
Topik pembicaraan pun melebar ke kehidupan masing-masing. Dan setelah mendengar kisah mereka, Annisa diam-diam menyadari bahwa kehidupannyalah yang paling menyedihkan di antara mereka semua.
Bagaimana tidak?
Pertama, Hana. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar kelas satu, ia sudah mengoleksi gelar juara di berbagai mata pelajaran. Hampir tidak pernah tergeser dari peringkat teratas.
Kedua, Lisa. Keluarganya adalah pemilik salah satu perusahaan terbesar di kota. Di usianya yang masih muda, Lisa sudah memiliki rumah pribadi, mobil mewah, dan pelayan sendiri. Semua itu merupakan pemberian dari orang tuanya. Tak heran kalau ia dianggap sebagai murid paling elit di sekolah.
Ketiga, Winda. Ia adalah murid terpintar kedua di kelas, dan saingan terdekat Sindy dalam setiap ujian.
Kehidupan Winda tampak sederhana. Tapi tetap saja, tidak sesederhana kehidupan Annisa.
Ia berasal dari keluarga petani cabai di kota. Meskipun tidak sehebat Lisa yang punya segalanya, Winda tetap terlihat percaya diri dengan penampilan seadanya. Ia bahkan terkesan lebih jujur dalam menampilkan dirinya sendiri.
Dan terakhir, ada Annisa. Ia sendiri bahkan malu untuk membicarakan tentang latar belakangnya. Ia merasa tak punya sesuatu yang spesial untuk dibanggakan—dan karena itu, ia memilih untuk tidak menceritakannya.
Jadi, biarlah cerita ini cukup menampilkan Hana, Lisa, dan Winda saja.
Tak lama kemudian, guru mata pelajaran kedua masuk. Ia meminta setiap murid untuk maju ke depan dan memperkenalkan diri satu per satu.
Jumlah siswa di kelas itu ada tiga puluh lima orang. Annisa mendapat nomor absen delapan.
Saat murid dengan nomor enam dan tujuh sudah selesai, kini tiba giliran Annisa untuk maju ke depan kelas.
Dengan langkah sedikit ragu, ia berdiri di depan semua teman sekelasnya dan mulai bicara.
"Hai! Namaku Annisa. Umurku 12 tahun. Aku berasal dari desa Dukuh Tengah. Untuk hobi, aku belum punya... tapi rencana ke depannya, aku sudah putuskan: aku ingin menjadikan bermain musik sebagai hobiku!
Mungkin cukup sekian perkenalan dari aku. Selebihnya, aku ucapkan terima kasih, dan salam perkenalan semuanya!"
Dalam hati, Annisa mengakui satu hal: berbicara di depan teman-teman satu kelas bukanlah hal mudah untuk dilakukan semua orang.
Setiap orang punya kepribadian berbeda-beda. Dan satu hal yang membuat Annisa tetap bisa berbicara seperti tadi, adalah karena ia pernah diberi nasihat oleh ibunya.
Bel tanda pelajaran terakhir akhirnya berbunyi. Seluruh siswa di sekolah itu tampak bergegas merapikan buku-buku mereka, memasukkannya ke dalam tas, dan bersiap untuk pulang ke rumah.
Namun, tidak dengan Annisa. Ia masih berada di lingkungan sekolah, bersama Hana dan Winda. Hari ini adalah hari yang paling ditunggunya. Hari pertama mengikuti ekstrakurikuler musik.
Ada rasa canggung yang menggelayuti perasaannya. Tak bisa dipungkiri, ini pengalaman baru yang membuatnya gugup. Tapi juga bersemangat.
Di ruang musik yang sederhana tapi hangat, Hana mulai mengajarinya bermain gitar. Sementara itu, Winda mendapat bimbingan langsung dari ketua ekskul. Ia memilih drum sebagai alat musik utamanya.
Momen ini menjadi pengalaman pertama yang begitu membekas dalam hati Annisa. Sebuah awal yang tidak akan mudah dilupakan.
Namun, ekspetasinya segera dihantam kenyataan. Bermain gitar ternyata tidak semudah kelihatannya. Jari-jarinya terasa sakit saat menekan senar, dan banyak chord yang diajarkan Hana terasa sulit dijangkau. Berkali-kali ia mencoba, namun selalu meleset.
Sesekali matanya melirik ke arah Winda yang tengah berlatih drum. Sekilas terlihat mudah. Tapi saat melihat gerakan tangan dan konsentrasi penuh dari Winda, Annisa segera menyadari bahwa semua butuh proses. Tidak ada yang benar-benar mudah di dunia ini. Segalanya harus diraih dengan kerja keras.
“Hei, Nisa! Coba lihat dulu sebentar cara aku mainin gitar, biar kamu sedikit paham gimana cara mainnya!” seru Hana sambil tersenyum.
Annisa mengangguk. “Iya. Akan kusimak baik-baik.”
Jrengg! Jreengg!! Jrengg!
Suara petikan gitar dari tangan Hana terdengar mengalun mantap. Cara memainkannya begitu menawan. Ditambah ekspresi serius dan percaya diri Hana, membuat semangat Annisa bangkit kembali.
Winda juga menunjukkan kemajuan. Perlahan tapi pasti, ia mulai lancar memainkan irama dasar drum. Rasa kagum semakin menguat dalam diri Annisa.
“Yoooshh! Hana! Tolong ajari aku lagi cara main gitarnya! Setelah lihat kamu dan Winda, aku jadi makin semangat!”
“Haha! Boleh. Ayo kita belajar lagi bareng-bareng,” jawab Hana dengan antusias.
Tiba-tiba Winda mengusulkan sesuatu.
“Hana, Nisa! Gimana kalau kita bikin band?”
“Hah?! Band?!” seru Hana dan Annisa bersamaan.
“Hahaha! Kalian kompak banget, jawabnya bareng segala!” Winda tertawa puas.
“Aku setuju,” ucap Hana tanpa ragu.
Annisa masih terlihat kebingungan. “Tapi… aku belum bisa main gitar dengan lancar. Gimana mau bikin band?”
“Tenang aja! Aku ajarin sampai kamu bener-bener bisa,” kata Hana sambil menepuk bahu Annisa.
“Serius?”
“Iyalah serius! Aku janji.”
“O-oke! Kalau gitu, aku setuju! Aku mau gabung di band-nya, Winda!” jawab Annisa penuh semangat.
“Nah, gitu dong! Jadi makin seru, kan, kita bertiga bikin band bareng!” sahut Winda senang.
Tak lama, Hana berkata pelan, “Tapi, ada satu yang kurang.”
“Apa?” tanya Winda dan Annisa serempak.
“Kita kekurangan personel. Gimana kalau kita rekrut Lisa juga?”
“Boleh! Aku setuju,” Annisa cepat menyahut. “Gimana menurutmu, Win?”
“Kalau aku sih bebas! Kalau mau rekrut, ya rekrut aja. Tapi posisinya sebagai apa?”
“Posisi bas dan keyboard masih kosong,” kata Hana.
“Ya udah. Besok kita ajak aja Lisa latihan bareng,” putus Winda.
“Fix, ya! Winda di drum, aku lead gitar, Lisa bas atau keyboard, dan Nisa rhythm!” ujar Hana mantap.
“Lalu vokalisnya siapa?” tanya Winda.
“Vokalis ya kamu, Nis!” Hana tersenyum lebar.
“Aku nggak bisa nolak sih... Tapi gimana caranya nyanyi sambil main gitar?”
“Gampang kok! Yang penting kuasai dulu teknik main gitarnya,” jelas Hana.
“Iya deh!”
Pembagian peran pun selesai. Hari mulai beranjak sore, menjelang maghrib. Ketua ekskul memberi aba-aba agar semua segera pulang dan latihan akan dilanjutkan esok hari setelah pelajaran selesai.
Hari itu membawa kebahagiaan tersendiri bagi Annisa. Dari yang awalnya hanya ingin ikut ekskul, sampai akhirnya bisa berkenalan lebih dekat dengan teman-temannya dan membentuk grup band bersama mereka. Rasanya seperti mimpi di siang bolong.
Sesampainya di rumah, Annisa langsung menceritakan semua kejadian itu kepada ibunya. Wajahnya berseri-seri.
Ibunya pun tersenyum hangat. Ia bahagia melihat putrinya merasa dibutuhkan dan mulai menemukan tempat untuk berkembang.
Annisa bercerita tanpa henti. Tentang hari pertama masuk sekolah, perkenalan dengan Hana dan Winda, hingga bagaimana ia ikut ekskul musik.
Dulu, saat masih duduk di taman kanak-kanak, ia pernah mengutarakan cita-citanya pada ibunya. Dan kini, semuanya mulai terasa nyata.
Ia ingin menjadi musisi terhebat di dunia. Ia ingin seluruh dunia tahu namanya. Bahwa ia adalah musisi hebat yang tidak tertandingi.
" Nisa! Cepat bangun, Sayang! Udah pagi, waktunya kita sarapan! " Ibuku sambil berdiri didepan pintu dikamarku.
" Hoam!! Iya, Bu. Aku udah bangun! Ibu turun aja dulu kebawah, nanti aku nyusul! "
" Jangan lama-lama! Bangun buru dari kamarmu, nanti bisa telat masuk sekolah! "
" Iya, Bu! Aku udah bangun. " Dengan nada orang malas.
" Ya udah! Nanti kalau udah selesai ganti baju, cepet turun ya, Sayang! Kasihan, Ayah! Nungguin kamu udah dari tadi! "
" Iyaa, Ibu!! Ini aku udah bangun mau mandi dulu. Udah, Ibu. Tunggu aja dulu dibawah, gak bakal lama kok! "
" Ya udah, Ibu turun dulu buat nemenin, Ayah. Kamu! "
" Iya! "
Menjadi anak semata wayang ternyata tidak mudah! Setiap hari hidupku selalu diatur oleh, Ibuku.
Misal kalau aku jadi anak pembangkang, maka, Ibu dan Ayahku tidak akan peduli lagi memberiku toleransi!
Ibuku sangat disiplin terhadap waktu, jika aku atau, Ayah. Telat bangun pagi! Maka ocehannya akan sulit untuk dihentikan!.
Ayahku! Beliau netral, terkadang dia juga sama seperti, Ibu! Kalau aku melawan apa yang mereka inginkan, ocehan yang ia cetuskan lebih kejam dari, Ibuku!
Yang aku suka dari sifat, Ayah. Adalah, ketika memanjakanku. Apa pun yang aku mau kalau aku nurut dan tidak melawan, Ayah selalu mengabulkannya.
Berbeda dengan, Ibu! Meski pun aku rajin membantunya membereskan dapur atau membantunya memasak untuk makan malam, aku tidak pernah mendapatkan prize pool yang aku minta, meski pun aku memintanya berkali-kali, beliau bersikeras tak pernah mau mewujudkannya!.
Tapi! Meskipun aku tahu sifat dan sikap, Ibuku. Seperti itu! Aku percaya, kasih sayang seorang, Ibu. Lebih besar dari pada kasih sayang seorang, Ayah.
Jika ditanya lebih nyaman dengan siapa, jelas! Jawabanku akan mengarah ke, Ayah! Ayah selalu memberikan apa yang aku mau. Namun berbeda jika ditanya tentang kenyamannya kasih sayang seorang orang tua pilih yang mana?. Jelas aku pilih jawabannya adalah, Ibu.
Meskipun aku anak semata wayang yang selalu dikekang waktu oleh, Ibu!. Aku selalu bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan. Karena aku telah dilahirkan olehnya.
Kita akhiri perbincangan tentang orang tuaku, karena sudah tiba saatnya pergi kesekolah!.
Setelah sarapan pagi aku selesaikan. Aku lekas pergi kesekolah dan, Ayah. Yang mengantarku berangkat menggunakan motor tuanya.
Ayahku, banyak bercerita disepanjang jalan tentang pertama kali ia masuk sekolah, hingga ia pertama kali kenal dengan, Ibu.
" Ayah dulu kenal, Ibumu! Itu pas pertama kali masuk sekolah!. Waktu perkenalan didepan kelas, Ayah! Langsung jatuh hati sama, Ibumu, pas dia dipanggil maju kedepan untuk perkenalan! Waktu itu gak banyak murid yang tahu kalau, Ayah. Suka sama, Ibumu.
Tapi seiring berjalannya waktu, banyak murid yang sudah mengetahui kedekatan Ayah dan Ibumu, mereka merekomendasikan, Ayah. Untuk segera mengungkapkan isi hati, Ayah. Ke Ibumu sebelum terlambat!.
Karena dulu, Ayah. Orangnya pemalu dan pesimis! Ayah gak berani untuk mengungkapkannya. Hehehe!!!.
Tapi! Berkat teman dekat, Ayah. Yang ngasih tips cara ngedeketin cewek yang baik dan benar! Ayah pun bergegas untuk mencobanya dikemudian hari.
Nah disitulah perasaan, Ayah yang gak nentu tiba-tiba muncul!. Mulai dari malu jika ditolak, sampai malu diejek di kelas nanti.
Tapi untungnya, Ibu. Kamu terima cinta, Ayah. Hehehe. Jadi nasib, Ayah bisa selamat!. "
Disepanjang, Ayah. Bercerita. Aku hanya bisa tertawa mendengar kisah cinta, Ayah dan Ibu yang begitu konyol.
Meski terdengar konyol, nuansa kisah cinta mereka terbilang romantis dan dramatis! Mulai dari perjuangannya hingga ending nya yang begitu romantis!.
Berkat cerita dari, Ayah! Hari ku semakin bertambah semangat dan berasa berarti.
Karena hari ini adalah hari pertama pembentukan band dan hari perekrutan, Lisa untuk bergabung didalam band kita.
Tepat didepan gerbang sekolah setelah, Ayah. Pergi! Tanpa aku sadari! Tepat dibelakangku ternyata ada, Lisa yang sudah menungguku didepan gerbang.
" Hai! " Lisa menyapa dengan senyuman.
" Oh. Hai! "
" Kamu baru sampai?! "
" Iya! K-kamu dari tadi ada disini menungguku?! " Aku menjawab dengan perasaan yang canggung!.
" Nggak! Aku juga kebetulan baru sampai, pas aku nengok kebelakang, aku lihat kamu! Makanya aku mutusin buat nungguin kamu disini. Hehehe! "
Tepat dibelakangku
" Doorr!!! " Winda
*H'aaaaa??* Nada kaget.
" W-winda!! "
" Hahaha!!! Kaget ya?! "
" Ng-nggak!! "
" Hahaha! Bohong banget kamu, Nis! "
" Ya udah! Kita masuk aja. Yuk! Udah mau bell pelajaran pertama dimulai nih! " Lisa.
" Ayo! " Winda dengan tangan kanannya merangkul bahu dan menatap kewajahku.
Kami bertiga masuk ke kelas secara bersamaan, kebetulan ketika kami sedang berjalan dikoridor menuju ke kelas. Kami melihat, Hana. Sedang sibuk mengerjakan sebuah tugas dari ketua osis.
Ketika kami ingin menghampirinya dan menyapa. Hana! Dengan sigap ia menyapa kami lebih awal.
" Hai!
Kalian baru sampai?! " Hana.
" Nggak! Kami udah dari tadi nyampe, cuma kami tadi sebelum kesini ngobrol dulu didepan gerbang, makanya kami datang agak terlambat. Hehe! " Jawab, Winda.
" Oalah!.
Oh iya, Win " Hana.
" Hem?! "
" Kamu udah ajak, Lisa?! " Tanya, Hana.
" Ajak, Aku?! " Lisa yang kebingungan, apa yang mereka bicarakan!.
" Belum, Na! "
" A-ajak apa si maksud kalian?! "
" Jadi gini, Lis! Kita bertiga kan lagi ikut eskul musik. Nah pas kita lagi latihan! Tiba-tiba, Winda. Ngusulin kita untuk bikin grup band!. Makanya aku nanya ke, Winda. Udah ngajak kamu apa belum?!. " Tutur, Hana. Yang menjelaskan secara detail.
" Ohh!. Aku kira mau ajak aku kemana?! Hehehe! " Jawaban lugu yang dilontarkan, Lisa.
" Gimana nih?! Mau gak gabung sama grup band kita!. Ikut gabung aja ya. Please!! " Hana.
" Hahaha! Kamu yang ngajak kamu yang jawab! "Lisa.
" Hehehe! Gak apa-apa lah! Itung-itung menghibur diri!. " Hana.
" Ya udah! Aku mau ikut gabung! Tapi aku gak bisa main gitar atau drum! "
" Gak apa-apa, Nisa sama Winda juga belum bisa apa-apa kok! "
" Hehehe! Peace!! " Winda tertawa sambil menyelak percakapan, Hana.
" Nanti bakal diajarin sama murid eskul musik disana, pokoknya kamu gak usah risau! Gak usah khawatir! Everything is gonna be oke! "
" Kalau nanti kamu ikut gabung! Posisi pemain kosong tersisa bas sama keyboard. Nah mulai dari sekarang! Kamu mending pilih sendiri, mau diposisi apa kamu nanti?! " Winda.
" Hem, enaknya jadi apa ya?! " Lisa yang kebingungan.
" Kalau saran dari aku si mending pilih bas. Kenapa aku pilih bas! Karena seorang Basis itu sangat menonjol permainannya, dan terkesan keren dimata penonton! " Tutur, Hana yang menjelaskannya secara Pro!.
" Beneran nih?! Jadi Basis itu terkeren?! " Lisa.
" Y-ya nggak sih. Hehehe! Tapi sama aja intinya! Semua player punya perannya masing-masing dimata penggemarnya! "
" Hmmm!.. Ya udah! Aku mau pilih jadi Basis aja kalau begitu! "
" Berarti fix, ya! Kita berempat udah punya perannya masing-masing?! " Winda.
" Iya! Untuk nama band nya nanti saja dibahasnya! Sekarang sudah waktunya jam pelajaran pertama dimulai. Ayo kita masuk ke kelas dulu! " Hana.
Kami bubar setelah selesai perundingan dikoridor tadi!.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!